Etnis Minoritas dan Tantangan Terhadap T

Etnis Minoritas dan Tantangan Terhadap Transisi
Demokrasi di Myanmar
Oleh Edbert Gani Suryahudaya

Abstrak
Sulit mengatakan bahwa Myanmar telah menjadi negara demokrasi. Akan tetapi perlu diakui
bahwa negara tersebut sedang dalam masa transisi menuju demokrasi. Namun sebuah transisi
tidak selamanya akan berujung pada rezim demokratis. Ada berbagai hal yang perlu untuk
dihadapi oleh Myanmar. Salah satu masalahnya terletak pada begitu banyak etnis yang ada di
negara tersebut. Isu konflik etnis menjadi salah satu topic yang menarik dari kerangka
demokratisasi di negara tersebut.

Kata Kunci: etnis minoritas, demokratisasi, patron klien

Pendahuluan
Salah satu negara di Asia Tenggara yang masih berkutat dengan transisi menuju
pemerintahan demokrasi adalah Myanmar. Sebagai sebuah negara yang lama diperintah oleh
junta militer, banyak hal yang perlu dibenahi agar demokrasi benar-benar bisa diterapkan. Tentu
saja hal ini bukanlah proses yang bisa berlangsung dengan cepat. Demokratisasi selalu
merupakan proses panjang yang memiliki banyak sekali tantangan. Di berbagai negara yang
sedang dalam proses demokratisasi tantangan yang dihadapi berbeda-beda dan memiliki

keunikannya tersendiri. Selain kekuatan militer yang begitu sentral, tantangan yang hinggap di
Myanmar dalam demokratisasi mereka adalah masalah etnisitas.
Dalam tulisannya, Martin Smith mencatat Myanmar sebagai salah satu negara yang
memiliki keberagaman etnisitas terbanyak di dunia. Setidaknya tercatat ada 135 etnis nasional di
Myanmar. Salah satu penyebabnya adalah lokasi geografis Myanmar yang berbatasan dengan
berbagai negara seperti Bangladesh, India, Cina, Tibet, Laos, dan Thailand. Menurut Smith
banyak populasi dari negara-negara tersebut yang bermigrasi ke Myanmar lewat dataran-dataran
tinggi dan membentuk sepertiga dari populasi Myanmar.1 Keberagaman etnis yang ada di
1

Martin Smith, Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy, and Human Rights (London: Anty Slavery
International, 1994), hal. 17.

1

Myanmar dengan sendirinya membawa berbagai kepentingan yang beragam pula. Kemudian
keberagaman tersebut pada akhirnya akan menuntun pula pada berbagai permasalahan laten
seperti keadilan politik dan sosial bagi setiap kelompok etnis atau daerah. Tantangan seperti itu
bisa kita lihat pula di negara seperti Indonesia yang juga memiliki keberagaman etnis yang
masing-masingnya menuntut adanya persamaan.

Menurut Parks et.al, seperti dikutip Kim Jolliffe, permasalahan yang ada di negaranegara Asia Tenggara terletak pada kontestasi pemerintah dengan aktor-aktor politik daerah yang
berusaha untuk melawan penguasaan secara sentralistik. Kemudian menurut Jolliffe sendiri yang
terjadi di Myanmar adalah sebuah perebutan hak untuk memerintah dan juga masalah legitimasi
penguasa. Yang menarik adalah Jolliffe menempatkan layanan sosial sebagai solusi untuk
meredam konflik atau mendamaikan berbagai etnis yang ada.2 Dengan kata lain yang bisa kita
lihat adalah permasalahan ketimpangan sosial atau pun pembagian sumber daya yang tidak
merata kepada banyak etnis minoritas yang ada di Myanmar. Masalah ini sebenarnya juga terjadi
di semua negara dengan berbagai kelas yang ada di dalamnya. Akan tetapi permasalahan ini
semakin pelik ketika di dalam masyarakatnya telah terkotak-kotak dalam berbagai kelompok
etnis yang beragam seperti di Myanmar sehingga konflik tidak terhindarkan.
Chao-Tzang Yawnghwe menjelaskan bagaimana masalah etnis di Myanmar begitu dekat
dengan kerangka demokrasi. Perselisihan atau konflik etnis yang terjadi di Myanmar menurutnya
sangat bersifat politis dan tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan diskursus demokrasi
seperti masalah kesempatan yang sama (equal opportunity) dari berbagai etnis yang ada di
Myanmar.3
Masalah junta militer memang bukan sebuah hal kecil bila ingin membahas mengenai
demokratisasi. Terlebih lagi sebuah demokratisasi sangat berkaitan erat dengan sebuah rezim
militeristik atau yang non demokratis.4 Akan tetapi paper ini tidak ingin mengulas banyak
mengenai isu militer dalam proses Myanmar menuju negara demokrasi. Saya akan lebih banyak
membahas mengenai isu etnisitas dan mengaitkannya dengan proses demokratisasi yang sedang

dijalani oleh Myanmar. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa sebenarnya masalah militerisme
Kim Jolliffe, Ethnic Conflict and Social Services in Myanmar’s Contested Regions (The Asia Foundation, 2014),
hal. 5.
3
Chao-Tzang Yawnghwe, “Burma and National Reconciliation : Ethnic Conflict and State-Society Dysfunction”,
Legal Issues on Burma Journal, No.10 (Desember, 2001), hal. 3.
4
Demokratisasi sebagai sebuah konsep dalam banyak literatur yang dibaca oleh penulis dapat dipahami sebagai
sebuah proses dari sebuah negara non demokrasi menuju demokrasi. Penjelasan lebih lanjut akan dibahas dalam
paper ini.

2

2

dan kuatnya berbagai pergolakan atau pemberontakan yang berlatarbelakang etnisitas bukan dua
hal yang bisa dipisahkan. Keduanya adalah dua hal yang sama-sama terkait.
Mengaitkan isu etnisitas dengan demokratisasi yang sedang berjalan di Myanmar menjadi
menarik untuk dibahas karena kondisi yang sedang terjadi sekarang. Meskipun pemilu berjalan ,
fenomena kuatnya kelompok etnis minoritas tetap berkembang di Myanmar. Langkah-langkah

yang dilakukan Myanmar secara garis besar adalah bentuk akomodasi atas berbagai tarik ulur
kepentingan. Namun seberapa kadar akomodasi itu masih perlu untuk kita simak.
Dari berbagai hal di atas ada beberapa masalah yang bisa ditarik. Dalam proses transisi
dari rezim militeristik ke yang lebih demokratis Myanmar dihadapkan pada berbagai
pemberontakan etnis. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh berbagai etnis yang berbeda
sehingga kepentingan yang dibawa pun beragam. Dari kondisi itu pemerintah transisi harus
mengakomodasi berbagai tuntutan yang beragam sekaligus harus menjaga integrasi nasional.
Masalah-masalah tersebut berujung pada sebuah pertanyaan yang ingin dijawab dalam paper ini
yaitu apakah tantangan yang harus dihadapi Myanmar dalam transisi demokrasi mereka di
dalam kondisi masyarakat mereka yang begitu plural?

Transisi Demokrasi
Laurence Whitehead memandang demokratisasi sebagai sebuah proses panjang yang
begitu rumit bentuknya dan ujungnya tidak dapat kita prediksi. 5 Secara umum demokratisasi
sering dianggap sebagai sebuah proses pergerakan dari negara yang otoriter atau tertutup menuju
negara yang lebih demokratis atau terbuka. Namun proses ini berbeda-beda konteksnya di tiap
negara. Whitehead melihat demokratisasi sebagai sebuah konsep yang rumit karena ia sendiri
menilai demokrasi (yang seharusnya menjadi tujuan demokratisasi) sebagai sebuah konsep masih
begitu dinamis.
Meskipun demokrasi secara definisi masih berkembang, konsep demokratisasi telah

terima secara umum dengan menitikberatkan pada transisi. Menurut Guillermo O’Donnell dan
Philippe Schmitter, transisi adalah interval dari satu rezim politik dan lain. Transisi dipisahkan,
di satu sisi dengan membubarkan rezim otoriter, sementara di sisi lain dengan memasang

5

Laurence Whitehead, Democratization: Theory and Experience (New York: Oxford University Press,2002),
hal.27.

3

beberapa bentuk dari demokrasi, kembali ke beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau
memunculkan alternatif yang revolusioner.6
Karena adanya kemungkinan untuk kembali ke rezim otoriter maka demokratisasi harus
berjalan sampai terjadi tahap konsolidasi. Namun tahap konsolidasi itu bukan hal yang ingin
dibahas dalam paper ini. Yang ingin dilihat adalah Myanmar dalam masa transisi tersebut. Apa
saja yang telah dicapai dan apa saja yang masih harus dilakukan untuk memenuhi indikator dasar
dari sebuah negara demokrasi. Secara umum banyak ilmuan politik yang menggunakan indikator
dari bentuk polyarchy dari Robert Dahl dalam melihat demokrasi yang diterima secara universal.
Apa yang ditekankan oleh Dahl adalah pentingnya pemilu yang bebas, jujur dan adil serta

pentingnya menjaga kebebasan politik dan kebebasan sosial. Teori Dahl ini banyak digunakan
dalam pembahasan mengenai demokrasi yang telah terkonsolidasikan dalam suatu negara.
Banyak pula yang memberikan gambaran polyarchy sebagai indikator utama sebuah demokrasi
liberal. Setidaknya indikator tersebut dapat membantu kita melihat fenomena yang terjadi di
Myanmar, tentunya dalam konteks isu etnis.
Transisi menuju demokrasi di Myanmar sering dikaitkan dengan tokoh perempuan
bernama Aung San Suu Kyi. Ia adalah anak dari tokoh pendiri Myanmar, Aung San. Tokoh
populis ini banyak dianggap sebagai cikal bakal masuknya Myanmar dalam proses transisi.
Kemenangan partainya, National League for Democracy (NLD), pada pemilu tahun 1990
menjadi salah satu tolak ukur keberhasilannya memobilisasi masyarakat. Akan tetapi menurut
saya analisa aktor saja tidak cukup untuk menjelaskan proses transisi tersebut. Sejalan dengan
pendapat Daniel Rothenberg7, transisi yang terjadi di Myanmar banyak pula dipengaruhi oleh
alasan struktural. Rezim militer yang otoriter telah gagal dalam membangun perekonomian
Myanmar. Pendapatan per kapita masyarakat Myanmar hanya 300 dolar per tahun. Selain itu rule
of law tidak bekerja dengan buktinya adalah pelanggaran HAM yang massif oleh militer. Banyak
orang ditangkap dan dibunuh tanpa proses peradilan, penyiksaan dan pemerkosaan, dan lain
sebagainya. Semuanya itu, menurut catatan Rothenberg, kebanyakan terjadi di daerah pedesaan
yang banyak diisi oleh etnis minoritas. Secara sederhana, semua kondisi tersebut adalah efek
samping dari otoriterisme yang dijalankan oleh Myanmar di bawah Jenderal Ne Win.
Guillermo O’Donnell, Philippe Schmitter, dan Laurence Whitehead, Transitions from Authoritarian Rule:

Prospects for Democracy, 1986, Baltimore: Johns Hopkins University Press, hal. 6.
7
Daniel Rothenberg, “Burma’s Democratic Transition: About Justice, Legitimacy, and Past Political Violence”
Legal Issues on Burma Journal, No.1 (Desember, 2001), hal. 58.
6

4

Kita bisa melihat bahwa proses demokratisasi sebenarnya adalah kebutuhan dari etnisetnis minoritas untuk bisa mendapatkan hak-hak mereka. Adapun hak tersebut meliputi hak
politik dan juga hak sosial mereka. Sebuah pemerintahan yang berasal dari demokrasi elektoral
tidak bisa kita lihat sebagai satu-satunya indikator untuk mengatakan sebuah negara telah
menganut demokrasi. Indikator yang telah dirumuskan oleh Robert Dahl, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, adalah hal penting untuk dilihat secara bersamaan.

Isu Etnis Dalam Masa Transisi
Isu konflik etnis di Myanmar tentu tidak tunggal. Ada beragam masalah etnis yang
berlatarbelakang kondisi yang berbeda satu dengan yang lain. Di antara banyak etnis yang
tersebar di Myanmar kita mengenal etnis Kachin, Karen, Karenni, Mon, Naga, Rohingya, Shan,
atau pun juga etnis Cina dan India. Masing-masing punya masalahnya masing-masing yang perlu
diakomodir oleh pemerintah Myanmar. Paper ini tidak akan membahas semua masalah dari

etnis-etnis tersebut namun hanya mengambil beberapa contoh kasus yang bisa menggambarkan
bagaimana keberagaman masalah dan kepentingan antar etnis tersebut.
Sebelum masuk dalam konflik dari kelompok etnis minoritas perlu kita ketahui dahulu
latarbelakang munculnya perlawanan tersebut. Pada saat naik berkuasa di Myanmar tahun 1962,
Ne Win mulai memberlakukan politik Burmanisasi. Ia melakukan interpretasi sepihak atas
sejarah Myanmar dan berusaha untuk menyatukan seluruh unsur etnik yang ada di Myanmar
dengan satu kultur

dan sejarah yang sama yaitu Burma. Ne Win memaksa dilakukannya

asimilasi menggunakan kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini yang memicu perlawanan dari etnisetnis minoritas dan mereka menuntut otonomi bagi daerahnya masing-masing.8
Di antara etnis-etnis tersebut, konflik Kachin adalah salah satu yang paling lama
berlangsungnya. Bahkan konflik Kachin menjadi salah satu konflik etnis terlama dan masih
berlangsung hingga saat ini di dunia.9 Kachin adalah salah satu etnis Myanmar yang berada di
dataran tinggi yang berlokasi di Timur Laut Myanmar. Kachin adalah etnis yang sangat
mendorong pembentukan negara federal.10 Hal ini tidak terlepas dari sejarah etnis tersebut yang

8

Martin Smith, Op.Cit., hal. 18.

International Crisis Group, A Tentative Peace in Myanmar’s Kachin Conflict, (Yangon, Jakarta, Brussel, 12 Juni
,2013).
10
Martin Smith, Op.Cit., hal. 38.

9

5

berakhir dengan ketimpangan yang mereka rasakan dari pola pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar.
Menurut International Crisis Group, konflik panjang yang melibatkan Kachin ini
disebabkan oleh adanya pembangunan yang sentralistik di Rangoon. Gaya pembangunan yang
sentralistik tersebut mengakibatkan tersingkirnya kepentingan kelompok etnis minoritas seperti
halnya Kachin. Pemerintahan sentralistik memang dalam banyak kasus berujung pada rasa iri
dari daerah-daerah sisi terluar negara yang tidak terlalu mendapat perhatian atau jangkauan
pemerintah pusat. Konflik Kachin yang berkepanjangan diltarbelakangi oleh masalah tersebut
dan dimulai pada tahun 1950an akhir dan 1960an awal.11
Simbol perlawanan Kachin terlihat dalam KIO (Kachin Independence Organisation)
yang merupakan oposisi bersenjata terbesar dan paling terorganisir di Myanmar. 12 KIO ini

terbentuk pada Februari 1961 dan berasal dari para pemuda nasionalis Kachin yang dimotori
oleh mahasiswa Universitas Rangoon.13 Keberadaan kelompok ini bertahan sampai dengan saat
ini dan menjadi tantangan besar dalam rekonsiliasi yang berusaha diwujudkan dalam momen
demokratisasi. Mereka secara umum menuntut adanya otonomi untuk Kachin. Dukungan Kachin
pada sistem federal dapat dilihat dalam kacamata usaha mereka untuk mendapatkan otonomi
tersebut.
KIO tidak semata-mata hanya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah
pusat. Kelompok ini juga melakukan bakti sosial (social service) kepada penduduk Kachin
khususnya di bidang pendidikan. Mereke mulai membangun sekolah dari tahun 1964. Data tahun
2013 menyebutkan KIO telah menyediakan kursi pendidikan sekolah menengah atas, menengah
pertama, dan dasar yang bertotal kurang lebih 23.000 siswa.14
Salah satu fakta yang tidak terhindarkan dari konflik bersenjata adalah jatuhnya korban.
Perlawanan yang dilakukan oleh KIO dibayar dengan banyaknya korban yang jatuh. Beberapa
kali dilakukan usaha untuk melakukan genjatan senjata untuk meminimalisir jatuhnya korban.
Akan tetapi genjatan senjata tersebut beberapa kali kandas karena tidak berhasil menemui titik
temu antar kepentingan pemerintah pusat dan Kachin. Namun jatuhnya korban tersebut jelas

11

International Crisis Group, Loc.Cit.

Ibid., hal. 4.
13
Martin Smith, Op.Cit., hal. 39.
14
Kim Jolliffe, Op.Cit., hal. 15.

12

6

banyak mempengaruhi arah elit kelompok Kachin untuk memakai cara-cara diplomasi
ketimbang kekerasan.
Usaha Kachin untuk mendapatkan otonomi tidak datang dengan sendirinya. Kelompok
ini memilih untuk berjuang karena merasa memiliki hak yang besar atas sumber daya alam yang
ada di daerahnya. Daerah mereka kaya hasil alam, diantaranya adalah giok dan emas. Akan
tetapi yang sangat disayangkan adalah etnis Kachin tetap menderita dalam kemiskinan. Hal ini
disebabkan keuntungan hasil dari alam mereka hanya dinikmati oleh elit pemerintah dan juga
para investor asing yang didominasi dari negara Cina.15 Martin Smith mencatat banyak
penambang giok Kachin yang dipaksa meninggalkan lahan yang mereka miliki secara turun oleh
pemerintah pada tahun 1989-1990 saat diberlakukannya hak mineral di daerah Hpakhan.16
Konflik berdarah antara KIO dan pemerintah pusat Myanmar sempat terhenti pada tahun
1994 dengan diadakannya genjatan senjata. Ini dilakukan agar tidak jatuh lebih banyak korban
lagi. Namun yang menarik KIO tidak menemukan adanya solusi lebih lanjut yang ingin
dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangani perang saudara yang terjadi di seluruh Myanmar
karena saat KIO telah sepakat dengan gencata senjata nyatanya di daerah lain masih terjadi
peperangan. Atau dengan kata lain ini hanya sebatas gencatan senjata tanpa adanya usaha untuk
melakukan penyelesaian konflik politik yang terjadi.17
Kedamaian sesaat setelah gencatan senjata tahun 1994 berangsur hilang ketika KIO
menghadapi masalah baru yaitu konstitusi tahun 2008 yang menyebutkan bahwa setiap angkatan
bersenjata harus berada di bawah komando Kementrian Pertahanan. Klausul yang terdapat di
pasal 338 konstitusi 200818 tersebut pada awalnya masih bisa dikompromikan. Akan tetapi
akhirnya KIO menolak bergabung dengan pemerintah karena mereka diminta untuk menjadi
tentara perbatasan yang dinilai oleh mereka akan mengendurkan otonomi yang yang selama ini
ingin diperjuangkan. Akhirnya konflik Kachin kembali menyeruak pada tahun 2011 dan banyak
sekolah KIO ditutup karenanya. Di tahun 2013 KIO dan pemerintah menandatangani perjanjian
perdamaian sementara.19 Perkemabangan selanjutnya masih harus diikuti seara seksama.
Contoh lain dari masalah isu etnis di Myanmar yang sangat mendapat perhatian dunia
internasional adalah soal Rohingya. Etnis Rohingya yang beragama Muslim ini menjadi masalah
15

Martin Smith, Op.Cit., hal. 41.
Ibid., hal. 97.
17
International Crisis Group, Loc.Cit.
18
Ibid., hal.6.
19
Ibid., hal. 1.
16

7

yang cukup rumit dengan etnis Rakhines di Arakan. Etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang
oleh Rakhines. Mereka diidentikkan dengan etnis Bengalis dari Timur Pakistan dan Banglades.
Dengan kata lain etnis Rohingya ditempatkan hanya sebagai imigran, bahkan dicap ilegal. 20
Bila kasus Kachin dan beberapa etnis lainnya adalah persoalan antara masyarakat lokal
dan pemerintah pusat, masalah Rohingya adalah antar sesama etnis. Sehingga konflik yang
terjadi bersifat horizontal. Akan tetapi yang patut untuk digarisbawahi, dalam banyak kasus etnis
Rohingya berposisi sebagai korban. Salah satunya tahun 2012 saat terjadi kekerasan antar etnis
di sebelah Barat Angkar yang menelan 200 korban jiwa dan 120.000 orang terlantar, yang
sebagian besar dari jumlah tersebut adalah etnis Rohingya.21 Kejadian yang menimpa etnis
Rohingya ini tidak sedikit jumlahnya dan juga merembet ke komunitas Muslim lainnya.
Dalam hal ini tidak dapat disangkal pula bahwa negara turut serta dalam proses
diskriminasi yang terjadi di dalam masyarakat Myanmar terhadap etnis Rohingya. Dalam
administrasi kependudukan etnis Rohingya masih ditempatkan sebagai bangsa pendatang,
bahkan statusnya tidak memiliki negara, yang diatur lewat Undang-undang Kependudukan tahun
1982.22 Sehingga bisa dikatakan etnis Rohingya tidak termasuk dalam 135 etnis nasional yang
tercatat oleh pemerintah Myanmar. Saya memandang bahwa diskriminasi yang terjadi di tingkat
masyarakat berdampak besar pada apa yang dilakukan oleh negara terhadap Rohingya. Pada
dasarnya aparat negara atau birokrasi tentu merupakan bagian dari etnis mayoritas dan juga
didominasi oleh agaa Buddha. Sehingga sentimen sosial yang telah terbentuk dari pribadi-pribadi
memiliki pengaruh signifikan pada apa yang akan terjadi bila individu tersebut menjabat.
Dengan kata lain etnis Rohingya harus berhadapan dengan diskriminasi secara sosial maupun
struktural.

Tantangan Transisi Myanmar
Dari berbagai pemaparan mengenai isu etnis dan juga corak transisi demokrasi di atas
sekarang kita akan beranjak untuk menganalisa apakah langkah transisi yang diambil Myanmar
telah berada dalam jalur demokratisasi yang benar. Untuk menganalisa hal itu saya akan
menggunakan budaya politik Myanmar dan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terhadap
20

Martin Smith, Op.Cit., hal. 57.
Global Center for Responsibility to Protect, Persecution of the Rohingya in Burma/Myanmar and the
Responsibility to Protect, (tanpa kota, 5 Maret 2015).
22
Ibid.

21

8

kelompok etnis lokal yang selama ini dirundung konflik. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, etnis Kachin dan Rohingya menjadi dua kelompok yang saya ambil sebagai unit
analisa.
Permasalahan utama dari etnis Kachin dan beberapa kelompok lainnya di Myanmar
adalah tidak diikutsertakannya kepentingan etnis lokal dalam berbagai pembangunan yang
dilakukan. Telah dijabarkan sebelumnya bahwa etnis Kachin seharusnya mendapatkan
keuntungan yang besar dari kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Dalam kondisi
tersebut sewajarnya penduduk disana mendapatkan kehidupan yang layak. Akan tetapi dalam
kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya Etnis Kachin dilanda kemiskinan. Bahkan mereka
terlempar dari lapangan pekerjaan mereka yaitu bertambang.
Hal serupa sebenarnya bisa kita temukan persamaannya di negara seperti Indonesia. Pada
masa pemerintahan otoriter Suharto pembangunan dilakukan secara sentralistik. Alhasil yang
terjadi adalah ketidakmerataan pembangunan. Pulau Jawa menjadi satu-satunya yang mendapat
perhatian karena dekat dengan pusat pemerintahan. Sedangkan pulau-pulau lain terbengkalai dan
jauh tertinggal. Sebelumnya telah disampaikan, mengutip Daniel Rothenberg, bahwa kondisi
seperti itu adalah ciri khas dari sebuah rezim otoriter. Stabilitas politik diselewengkan untuk bisa
memonopoli uang negara di dalam lingkaran pejabat tinggi. Pelanggaran HAM adalah salah satu
efek samping ketika stabilitas itu ingin dicapai lewat cara militer.
Kim Jolliffe dalam penelitiannya tentang Myanmar mengemukakan bahwa salah satu
budaya politik yang mengikat di negara tersebut adalah patron klien. Yang menarik patron klien
di Myanmar ini berlatarbelakang etnis. Seseorang bergantung pada afiliasi etnolinguistik mereka
untuk bisa mendapatkan keamanan dan kesempatan mobilitas sosial. Hal ini menurut Jolliffe
telah mengakar cukup dalam di masyarakat Myanmar , bahkan sudah terbentuk sebelum mereka
mendapatkan kemerdekaan.23
Sifat patron klien ini dengan sifat etnolinguistik ini tidak sejalan dengan iklim
pemerintahan yang demokratis. Ada dua alasan yang membuat budaya tersebut menjadi
tantangan yang cukup berat bagi demokrasi di Myanmar. Telah disebutkan sebelumnya bahwa
demokrasi menuntut adanya kebebasan politik dan kebebasan sosial. Hal itu bermakna semua
individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat berhak mendapatkan kedua hak tersebut.
Sehingga budaya patron klien tersebut akan menutup hak politik dan hak sosial bagi etnis-etnis
23

Kim Jolliffe, Op.Cit., hal. 5.

9

minoritas yang tidak memiliki kekuasaan. Kedua, karena tidak memiliki hak tersebut maka
kepentingan etnis minoritas menjadi tidak terakomodir oleh pemerintah. Sehingga yang ada
hanyalah akomodasi dari kepentingan etnis mayoritas saja. Padahal demokrasi adalah sebuah
sistem yang memberikan akses seluas-luasnya bagi partisipasi politik dan akomodasi atas banyak
kepentingan yang berbeda-beda. Di luar kedua alasan tersebut, patron klien seperti ini juga
memiliki dampak negative pada integrasi atau rekonsiliasi nasional. Ini karena yang terbentuk
pada akhirnya hanyalah nasionalisme etnis ketimbang negara bangsa.
Akan tetapi budaya patron klien di atas memang cukup berat untuk dihilangka. Jolliffe
menemukan hal menarik dimana kelompok-kelompok etnis minoritas bersenjata seperti Kachin
dengan KIO melakukan bakti sosial (social service) kepada penduduk mereka. Hal ini dilakukan
untuk bisa membantu mengakomodir kebutuhan penduduk etnis mereka yang dirasa tidak
tersentuh oleh pemerintah. Alhasil bakti sosial tersebut menambah kuat budaya patron klien
berlatar etnis di masyarakat Myanmar dan bahkan memperkuat legitimasi kelompok tersebut di
daerahnya.24
Masalah patron klien di atas memiliki sudut yang sedikit berbeda di etnis Rohingya.
Dalam konfrontasinya dengan etnis Kachin, pemerintah beberapa kali setidaknya mau
berkompromi dan melakukan gencatan senjata. Perlawanan dari etnis Kachin juga sejalan atau
bergabung dengan beberapa perjuangan bersenjata lain seperti dari Karen. Mereka punya misi
yang sama untuk mendapatkan otonomi atas daerah mereka. Akan tetapi misi yang harus
dihadapi oleh Rohingya jauh lebih berat. Pertama, mereka bahkan tidak diakui sebagai salah satu
etnis minoritas di Myanmar atau hanya dianggap sebagai imigran gelap. Kedua, mereka selain
melawan pemerintah pusat yang tidak mengakui mereka juga harus menghadapi diskriminasi
dari etnis lain di Myanmar. Ketiga, tidak seperti Kachin, kelompok Rohingya tidak memiliki
kekuatan yang besar untuk melakukan perlawanan dan tidak memiliki organisasi perlawanan
yang kuat seperti halnya KIO.
Masalah Rohingya dapat menjadi pertanyaan serius dari transisi demokrasi Myanmar.
Perjuangan mendapatkan pemerintahan yang demokratis seperti yang dilakukan oleh Aung San
Suu Kyi dan NLD bahkan tidak mau menyinggung masalah Rohingya ini.25 Kondisi ini sangat
memprihatinkan bila melihat bagaimana NLD di satu sisi begitu kuat mengumandangkan

24
25

Ibid., hal. 7.
Global Centre for the Responsibility to Protect, Loc.Cit.

10

demokratisasi. Sedangkan di sisi lain mereka tidak menghiraukan salah satu masalah hak politik
dan hak sosial Rohingya yang ada di tengah masyarakat Myanmar sendiri.
Memang tidak banyak yang bisa dielaborasi lebih dalam mengenai Rohingya karena dari
awal pintu mereka untuk memperjuangkan hak mereka telah ditutup lewat masalah
kewarganegaraan. Akan tetapi lewat kasus Rohingya ini sifat patron klien etnislinguistik
Myanmar semakin jelas terlihat. Perjuangan transisi menuju demokrasi yang dilakukan oleh
NLD juga tidak bisa menghilangkan latarbelakang nasionalisme etnis dan agama mereka.
Rohingya yang beragama Islam sejak dari awal tidak dimasukkan sebagai satu-kesatuan dengan
mereka. Selain perbedaan fisik Rohingya yang memang identik dengan orang Banglades, faktor
agama pengaruhnya sangat signifikan.

Kesimpulan
Bila kita kembalikan ke pertanyaan di awal paper ini maka ada beberapa poin penting
yang bisa ditarik dari kasus demokratisasi di Myanmar. Hal pertama yang penting untuk dicatat
adalah bahwa tantangan berat dari transisi Myanmar menuju demokrasi tidak semata-mata ada di
dalam kekuatan junta militer saja. Dalam kajian-kajian tentang demokrasi para ahli memang
mengatakan bahwa demokratisasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah rezim yang non demokratis.
Akan tetapi rezim tersebut yang telah lama berkuasa ternyata menghasilkan efek samping lain
yang membentuk sebuah budaya politik yang mengakar lama.
Kedua, budaya patron klien yang etnislinguistik menjadi tantangan serius dari
demokratisasi di Myanmar. Budaya politik ini bisa saja dikatakan adalah salah satu efek samping
dari otoriterisme yang bertahan sangat lama. Akan tetapi pada akhirnya, setelah menjadi sebuah
budaya politik, sifat ini membentuk sebuah nasionalisme etnis yang harus mendapatkan
perhatian khusus agar rekonsiliasi benar-benar ingin dicapai.
Poin terakhir yang perlu dicatat adalah bahwa budaya politik patron klien di atas bukan
berarti tidak bisa berjalan berdampingan dengan demokratisasi. Hal dasar dari demokrasi adalah
pemilu yang adil, hak politik, dan hak sosial. Patron klien itu dapat merusak hak politik dan hak
sosial. Ketika kedua hak tersebut tidak bisa tercapai maka demokrasi secara substansif juga akan
sulit dicapai oleh Myanmar. Kasus Rohingya dapat dijadikan salah satu cerminan apakah
Myanmar akan melangkah ke arah yang lebih positif atau tidak. Karena perjuangan menuju
demokrasi yang sesungguhnya harus melibatkan semua komponen masyarakat yang ada di
11

dalam satu negara. Masalah siapa yang termasuk di dalam negara itu ternyata menjadi masalah
bagi etnis Rohingya. Dengan demikian dari poin-poin di atas jalan transisi menuju demokrasi
dari Myanmar masih sangat panjang. Dan bukan tidak mungkin arahnya tidak ke depan
meainkan kembali mundur ke belakang.

Daftar Pustaka

Buku:
O’Donnell, Guillermo, Philippe Schmitter, dan Laurence Whitehead. Transitions from
Authoritarian Rule: Prospects for Democracy. Baltimore: Johns Hopkins University

Press,1986.
Smith, Martin. Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy, and Human Rights. London:
Anty Slavery International, 1994.
Whitehead, Laurence. Democratization: Theory and Experience. New York: Oxford University
Press,2002.
Jurnal:
Rothenberg, Daniel. “Burma’s Democratic Transition: About Justice, Legitimacy, and Past
Political Violence”. Legal Issues on Burma Journal. No.1 (Desember, 2001), hal. 57-65..
Yawnghwe, Chao-Tzang.“Burma and National Reconciliation : Ethnic Conflict and StateSociety Dysfunction”. Legal Issues on Burma Journal. No.10 (Desember, 2001). hal. 110.
Dokumen lain:
Global Center for Responsibility to Protect. Persecution of the Rohingya in Burma/Myanmar and
the Responsibility to Protect. Tanpa Kota, 5 Maret 2015.

International Crisis Group, A Tentative Peace in Myanmar’s Kachin Conflict. Yangon, Jakarta,
Brussel, 12 Juni ,2013.
The Asian Foundation. Kim Jolliffe. Ethnic Conflict and Social Services in Myanmar’s
Contested Regions. Tanpa Kota, Juni, 2014.

12