Sejarah Tarekat dan Tasawuf PERAN TAREKA (1)

PERAN TAREKAT TIJANIYAH DALAM MEMBIMNA MASYARAKAT
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Sejarah Tarekat dan
Tasawuf Dosen Pengampu: Dr. Asep Achmad Hidayat

.

Oleh:
Jawad Mughofar KH
1145010071

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrohiim,

Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat,

dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan
apapun sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah Sejarah Tarekat dan Tasawuf. Penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat penyusun harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Bandung, 15 Desember 2015

Penyusun,

i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................


1

B. Rumusan Masalah ..........................................................................

1

C. Tujuan ............................................................................................

1

BAB II PEMBAHASAN
A. Masuk dan Berkembangnya Tarekat Tijaniyah di Indonesia .........

2

B. Peran Tarekat Tijaniyah dalam Membina Masyarakat ..................

15


BAB III PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................

17

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke-9 dan ke-10 M, tarekat adalah sebuah metode psikologi
moral untuk bimbingan praktis bagi individu-individu yang mempunyai sebutan
mistik. Sesudah abad ke-11 M, tarekat menjadi sistem keseluruhan dari tatacara
latihan spiritual tertentu bagi kehidupan komunal dalam berbagai kelompok
keagamaan Muslim. Setelah itu, banyaklah bermunculan tarekat-tarekat yang
meperluas ajarannya ke berbagai umat dunia. Munculnya ikatan-ikatan
ketarekatan ini telah menyebabkan perubahan besar dalam pengamalan tasawuf.
Tasawuf yang semula merupakan gerakan individual dan hanya bisa dinikmati

oleh kalangan elite keruhanian, berubah menjadi gerakan massal dari kaum
Muslimin.
Salah satunya dari tarekat tersebut yaitu Tarekat Tijaniyah yang pada
kesempatan kali ini penulis akan membahasnya dari masuk dan berkembanganya
tarekat tersebut sampai bagaimana perananny dalama membina masyarakat..
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagiamana masuk dan Berkembangnya Tarekat Tijaniyah di Indonesia?
b. Bagaiamana Peran Tarekat Tijaniyah dalam Membina Masyarakat?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mengetahui Poses Masuk dan Berkembangnya Tarekat Tijaniyah di
Indonesia.
b. Mengetahui Peran Tarekat Tijaniyah dalam Membina Masyarakat?

1

BAB II
PEMBAHASAN

A. Masuk dan Berkemabangna Tarekat Tijaniyah di Indonesia
Asal usul Tarekat Tijani, Tijaniyah berasal dari nama sebuah suku asli di
‘Ayn Madi yang terletak di Algeria Selatan. Penyandang suku al-Tijani
tersebut adalah ibunya Abu al-Abbas Ahmad. Beliau adalah seorang wanita
yang berketurunan kulit hitam, yang bernama Sayyid ‘Aisyah binti Abdullah
al-Sanusi al-Tijani. Sementara ayahnya yaitu Muhammad bin Mukhtar adalah
seorang ‘alim dan merupakan keturunan ke- 22 dari Nabi Muhammad
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada
Rasulullah saw. Silsilah lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id
Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd
Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad alNafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al- Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan alSibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah
saw.1
Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani merupakan
tokoh sentral bagi lahirnya Tarekat Tijaniyah yang lahir pada tahun 1150 H di
‘Ayn Madi, sebuah desa yang berada di Maghrib al-Aqso (Maroqo). Beliau
dibesarkan pada keluarga yang taat beragama oleh orang tuanya, sejak kecil
beliau juga sudah dibekali berbagai macam ilmu agama terutama yang
berkaitan dengan masalah Ubudiyah dan Akhlaq al-Karimah. Keistimewaan

al-Tijani sudah tampak sejak usianya masih anak- anak, salah satunya adalah
kemahiran al-Tijani dalam Qira’at Nafi yang menjadikannya seorang hafidz
pada usia tujuh tahun.

1 Ikhyan Badruzzaman, Tarekat Tijaniyah Di Indonesia , (Garut: Zawiyah Tarekat Tijaniyah,
2007). hlm. 3.

2

3

Pada usia 7 tahun Ahmad al-Tijani telah menghafal al-Qur’an dalam
qira’at Imam Nafi’ dengan baik dalam bimbingan gurunya, Sayyid
Muhammad bin Hamawi at-Tijani, seorang yang alim dan terkenal kesholehan
dan kewaliannya. Dengan kecerdasannya al-Tijani cepat dapat menguasai
beberapa ilmu dengan sempurna. Tahun 1166, orang tuanya meninggal pada
hari yang sedang gencar dengan wabah to- un, yaitu ketika Syekh Ahmad
berusia 16 tahun. Sejak itu Syekh Tijani tetap aktif dalam aktifitas
keilmuannya yaitu mengajar, menulis dan memberi fatwa. Pada tahun 1171 H
Syekh Tijani mulai menekuni dunia Tasawuf setelah mendalami syariah.

Syekh Tijani masuk dalam dunia Tasawuf berdasarkan pemikiran dan
pengetahuan yang dikehendakinya dan kemudian memantapkannya.2
Pengausaan berbagai macam ilmu pengetahuan agamanya terutama
terhadap ajaran-ajaran Maliki, Hadits, Kalam Asy’ari dan Tasawuf,
merupakan keistimewaan lain yang dimilikinya sehingga menjadikannya
menduduki posisi puncak karirnya dengan menjadi seorang mufti di usia 20
tahun. Semasa hidupnya Syekh al-Tijani melakukan banyak perjalanan untuk
mendapatkan ilmu tasawuf, dan perlu proses panjang untuk mencapai
kewaliannya. Sebelum diangkat sebagai wali besar,pada usia 21 tahun Syekh
Tijani sudah bergaul dengan orang-orang sufi pada usia 31 tahun Syekh Tijani
mulai mengamalkan ilmu- ilmu kesufian dan kewalian. Sejak usia 46 tahun ia
menenggelamkan diri dalam amalan-amalan para wali dengan mengunjungi
para wali besar di berbagai negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Madinah,
Maroko, Fez dan Abi Samghum. Kunjungan yang al-Tijani lakukan selain
sebagai ajang silaturahmi juga sebagai pencarian ilmu- ilmu kewalian secara
lebih luas, sehingga ia mendapat derajat kewalian yang sangat tinggi.
Melihat guru-guru tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, tampaknya beliau
lebih

banyak


mendalami

ajaran

tasawuf

dari

tokoh-tokoh

Tarekat

Khalwatiyah, seperti Sayyid Ahmad Ibn Abdurrahman al-Azhari, Syekh
Mahmud al-Kurdi, dan Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman. Hal
2 Syekh Fakhrudin Ahmad al-Uwaisi dan Sholeh Muhammad Basalamah. Syekh Ahmad Tijani RA,
(Brebes: Tim Santri Pon Pes Darussalam, 2009)., hlm 7 – 8.

4


ini dikarenakan tarekat terakhir yang beliau amalkan adalah Tarekat
Khalwatiyah. Pencarian Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar
al-Tijani terhadap wali besar dan syekh tasawuf

dimulai ketika beliau

berumur 21 tahun. Fez adalah kota yang pertama kali disinggahi, di kota ini
beliau mulai belajar ilmu hadits, disamping itu juga beliau memasuki
sekaligus tiga tarekat, yaitu: Qadariyah, Nashiriyah dan Tarekat Ahmad bin alHabib Muhammad.
Pada tahun 1196 H/1781-1782 M, al-Tijani pergi ke Tilimsan untuk
menambah ilmu pengetahuannya pada Abu Samghun. Disinilah mulai
terbukalah pandangan batinnya, bukan dalam tidur tetapi dalam penjagaan dan
kesadaran. Konon al-Tijani bertemu dengan Nabi Muhammad yang
mengajarkan kepadanya beberapa amalan seperti Wirid, Istighfar, dan
sholawat yang masing-masing harus diucapkan sebanyak seratus kali dalam
semalam, selain memerintahkan al-Tijani untuk mengamalkan juga menyuruh
untuk mengajarkannya kepada seluruh umat muslim yang berkenan. Pada
tahun 1200 H/1785-1786 M, Rasulullah datang dan mengajarkan hailalah (laa
ilaaha illallaah) sebanyak seratus kali setiap malam sebagai tambahan
wiridnya,3 Atas jaminan-jaminan demikian, mulailah Syekh Ahmad al-Tijani

mengajarkan tarekatnya kepada setiap ummat Islam yang berminat.
Keabsahan seorang syekh tarekat juga dapat dinilai melalui kasyaf atau ilham,
dan kasyaf itu dapat terjadi melalui mimpi maupun dalam keadaan terjaga.
Berikut ini adalah perjalanan singkat dari al-Tijani, dalam perjalanannya
beliau mendapatkan gelar Quthb al-Udwa, yaitu:
1. Fase Menuntut Ilmu Syariat
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal alQu’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu
seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja,
Syekh Ahmad al- Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai
cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau
3 Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Bandung: Ramadhani, 1962)., Hlm.
362

5

telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
Dalam al-A’lam dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah
seorang ahli fiqih (faqih) Mazhab Maliki yang menguasai berbagai
disiplin ilmu seperti ilmu usul, fiqh, sastra dan tasawuf.
2. Fase Menuntut Teori-teori Ilmu Tasawuf

Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad alTijani pindah ke kota Fez Maroko. Tidak diketahui mengenai motifmotif kepindahannya tersebut, namun ada dugaan yang mengatakan
bahwa kepindahannya adalah untuk memperdalam ilmu Tasawuf,
kemudian sepertinya ilmu ini juga merupakan ilmu yang diminatinya,
maka beliau pun terkenal dengan ilmu Tasawufnya. Ketekunannya
dalam ilmu ini terarah dari pembinaan yang dilakukan orang tua dan
guru-guruya, hal ini kemunginan disebabkan kecenderungan ilmu
agama yang berkembang saat itu bercorak sufistik, dan pada waktu itu
dibagian barat dunia Islam, kota Fezz merupakan pusat studi Ilmu
Agama yang masyhur dan tidak kalah harumnya dengan Kairo.
3. Fase Pengidentifikasian diri
Pada usia 31 tahun, al-Tijani mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub ilallaah) melalui beberapa tarekat, diantaranya Tarekat
Qadiriyah, kemudian beralih menjalankan Tarekat Nashiriyah yang
diambil dari Abi Abdillah, setelah itu al-Tijani mengamalkan tarekat
Ahmab al-Habib Ibn Muhammad

dan kemudian mengamalkan

Tarekat Tawwasiyah. Setelah beberapa tarekat yang beliau amalkan,
kemudian beliau berpindah ke Zawiyah (pesantren Sufi) Syekh Abd alQadir Ibn Muhammad, diduga kepindahannya dari tarekat satu ke
tarekat lainnya, karena dalam tarekat- tarekat sebelumnya beliau belum
merasakan kepuasan terhadap amalan- amalan yang diajarkan dalam
tarekat tersebut. Pada tahap ini beliau banyak mendapatkan
pengalaman, maka tahap ini merupakan tahap pengidentifikasian diri.
4. Fase Pengembangan Dakwah

6

Pada tahun 1978 al-Tijani pindah ke Fez, dan kemungkinan ini
dilatarbelakangi oleh pengembangan dakwahnya. Di sana, Syekh
Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (1793-1822 M) sebagai
penguasa Maroko bersekutu dalam memerangi khurafat yang
menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan kemalasan. Pada saat itu,
al-Tijani dan ulama-ulama besar lainnya berpendapat bahwa keadaan
umat Islam saat ini dalam keadaan lemah. Kelemahan ini
dilatarbelakangi oleh kemerosotan bidang akidah dan ibadah serta
timbulnya paham-paham sesat, diantaranya melakukan upacara ziarah
kubur dengan tujuan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam,4
contohnya ziarah kubur dengan tujuan mengharap kekayaan/syirik.
Pada fase pengembangan dakwahnya, al-Tijani memberikan beberapa
wasiat diantaranya beliau senantiasa aktif memberikan tausiyah dan
bimbingan baik secara lisan ataupun tulisan kepada seluruh ummat Islam,
khususnya yang ada di Kota Fez, Maroko dan negara-negara tetangganya.5
Tarekat

Tijaniyah

termasuk

tarekat

yang

dasar

pembentukannya

menggunakan sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Tarekat Tijaniyah,
sebagaimana tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaranajaran itu tidak diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya,
tetapi diperoleh langsung oleh Syaikh Ahmad al-Tijani dari Rasulullah
Sallallahu’alaihi Wasallam, dalam perjumpaan secara yaqzhah (dalam
keadaan terjaga). Perjumpaan dengan melihat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi
Wasallam adalah peristiwa yang menurut tradisi tarekat merupakan hal yang
biasa dan bisa terjadi terutama dialami oleh wali-wali besar. Bertemu dengan
Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan.6

4 Ikhyan Badruzzaman, Op. Cot., hlm. 8-9
5 Ibid., hlm. 11
6 Kata keramat diambil dari kata bahasa Arab karamah yang berarti tidak kurang dan tidak lebih
dari pada pengertian mulia dan lebih tinggi. Tetapi dalam pengertian sufi, yang kemudian diikuti
oleh umum di Indonesia, keramat mempunyai pengertian: suatu kejadian yang luar biasa,
pekerjaan atau perbuatan diluar akal manusia, dengan keterangan bahwa keramat itu harus
diartikan berpilin dengan nubuwwah, tidak pula merupakan tanda-tanda pendahuluan dari nubuah
itu. Keramat bisa saja terjadi pada hamba Allah yang biasa, yang sholeh, yang tetap mengikuti

7

Karamah seperti inilah yang senantiasa diharapkan dan dicita-citakan oleh
para wali Allah SWT.
Saat memberikan talqin, kepada Syekh al-Tijani, Rasulullah juga
menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkanNya,
karena itu pula Rasulullah memerintahkan kepada Syekh Tijani untuk hanya
berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu.

Sejak pertemuannya dengan

Rasulullah, akhirnya Syekh Tijani mulai mengajarkan tarekatnya dan segera
tersiar di sekitar tempat tinggalnya, dari sini mulai lahir penerus-penerus
Syekh Tijani seperti Syaikh Ali al-Thayyib. Sampai saat menjelang wafatnya
Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas
dakwahnya, beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada
ummat Islam, terutama dalam membina dan mengarahkan murid melalui
zawiyahnya maupun melalui surat-surat yang dikirim ke berbagai lapisan
masyarakat (fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro).
Pada masanya, Syekh al- Tijani juga menyampaikan wasiat kepada
pengikutnya dengan mengungkapkan keinginannya, yaitu seorang sufi tidak
hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan
mengabaikan masalah kemasyarakatan. Akan tetapi sebagaimana ditegaskan
dalam ajaran Tarekat Tijaniyah, seorang sufi harus senantiasa aktif berjuang
bersama masyarakat, namun demikian Syekh Ahmad al- Tijani menjelaskan
lebih lanjut, bahwa meskipun seorang sufi telah kembali menjalankan
kehidupannya sebagaimana layaknya seorang muslim, cahaya ma’rifah yang
diperolehnya, akan tetap menyinari dirinya. Hal ini akan nampak
termanifestasikan dalam setiap gerakan dan ucapannya. Karena cahaya
ketuhanan

yang

didapatkannya,

akan

menyebabkan

ia

mempunyai

keistimewaaan (karamah). Sehingga dikatakan, salah satu tanda bahwa
seseorang adalah sufi yang sudah meraih cahaya ma’rifat, adalah ia dapat
menunjukan rasa tanggung jawabnya terhadap ummat, lemah lembut terhadap

syariat Nabi Muhammad, bersih I’tikadnya, dan mengerjakan segala amal ibadah dan amal
sholehnya. Aboebakar Atjeh, op, cit., hlm. 88

8

mereka, berjuang untuk mereka dan bersama-sama mereka membangun
kehidupan yang islami melalui pendekatan hikmah, yakni melakukan
pendekatan dakwah kepada ummat manusia sesuai dengan tingkat
kemampuan akalnya.
Tarekat Tijaniyah juga dikenal sebagai tarekat yang bergerak di bidang
politik yang menentang politik penjajahan Prancis di Afrika Utara. Bahkan
tarekat ini termasuk yang reformis dan Neo-Sufisme.7 Ciri tarekat ini adalah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih
menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya
sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
Melihat dasar pembentukan Tarekat Tijaniyah sebagai mana disebutkan
di atas, bagi orang yang percaya bahwa hal tersebut memang terjadi, berarti
mereka sudah meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani memperoleh
kedudukan yang tinggi, dan berarti pula Tarekat Tijaniyah adalah tarekat
yang mempunyai sanad sampai kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena
itu amalan Tarekat Tijaniyah adalah amalan Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Dalam proses perkembangannya, Tarekat Tijaniyah mendapatkan
sambutan yang sangat hangat dari umat Islam. Salah satu yang membuat
tertarik orang Islam adalah sosok al-Tijani yang memiliki akhlakul karimah
dan memperlihatkan perilaku yang sangat baik. Satu hal yang penting dicatat
dari dzikir Tarekat Tijaniyah yang

membedakannya dengan tarekat lain

adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat
Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi Muhammad

7 Terminology Neo-Sufisme pertama kali dicetuskan oleh pemikir muslim kontemporer yakni
Fazlurrahman dalam bukunya “Islam”. Neo-Sufisme adalah kebangkitan kembali sufisme di dunia
Islam, dan ini tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap
kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernism. Rivay
Siregar, Tasawuf: Dari Sufi Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999). hlm
248.

9

Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana
merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh
karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan
At-Thariqah

Al-Muhammadiyyah

atau

At-Thariqah

al-Ahmadiyyah,

ternyanta merujuk langsung kepada nama Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang
ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan
lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali
dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang
ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatik dan metafisis sufi.
Tarekat Tijaniyah semakin berkembang meliputi tempat lahirnya yaitu
Afrika, Sudan, Iraq, Tunisia, dan lain-lain hingga pada perkembangan
berikutnya, Tarekat Tijaniyah berkembang di Indonesia. Pada setiap tempat
perkembangan Tarekat Tijaniyah selalu melahirkan muqoddamd-muqoddam
diantaranya seperti Sidi Omar Masoud dari Sudan, Syekh Idris Iraqi dari Iraq,
Sidi Muhammad Laqmari Tunisi dari Tunisia hingga ke Indonesia.
Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia tidak diketahui secara
pasti kapan waktunya, namun adanya Tarekat Tijaniyah di Indonesia ditandai
dengan dua fenomena yaitu adanya gerakan Tijaniyah di Cirebon pada tahun
19288 dengan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet oleh
Kyai Anas9 dan kehadiran Syekh Ali ibn Abdullah al-Thayyib dengan adanya
pengajaran Tarekat Tijaniyah di Tasikmalaya.
Berdasarkan kehadiran Syekh Ali ibn Abdullah al-Thayyib ke Pulau
Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal
abad ke-20 M (antara 1918 dan 1921 M), dengan tujuan menyebarkan
Tarekat Tijaniyah dengan cara mendekati orang-orang yang dianggap
mempunyai ilmu dan menyebarkan kitabkitab Tijaniyah hingga pada saat itu
8 Aboebakar Atjeh, op, cit., hlm. 361.
9 Kyai Anas lahir pada tahun 1883 M di Desa Pekalangan Cirebon, beliau terlahir dengan nama
Muhammad Anas, ibunya bernama Nyai Qori’ah dan ayahnya bernama Kyai Abdul Jamil.

10

juga beliau menulis Kitab Munyat al-Murid yang menjelaskan sanad tarekat
dari guru-gurunya dan pesan-pesan serta restu untuk menyebarkan ajaran ini
untuk menyebarkan ajaran ini kepada murid-muridnya secara meluas. Adapun
sanad taqdim dan khilafah dari Syekh Muhammad Alfa-Hasyim ahli hadis di

Madinah al-Munawarah dari syekh Umar Bin Sa’id dari Sayyid Ahmad alGhala dari Syekh Ahmad al-Tijani dan dari Rasulullah Sallallhu ‘alaihi
Wasallam.
Kehadiran Syekh Ali ibn Abdullah al-Thayyib belum bisa dipastikan
sebagai tanda awal masuknya Tarekat Tijaniyah di Indonesia, karena sebelum
tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di Pulau Jawa,
namun Pijper menjelaskan bahwa Cirebon merupakan tempat pertama
diketahui ajaran Tarekat Tijaniyah. Dari kedua versi diatas penulis juga
meyakini bahwa Tarekat Tijaniyah masuk ke Indonesia dibawa oleh Kyai
Anas dari Pesantren Buntet, terbukti pada bulan Maret 1928 Pemerintah
(Kolonial) mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa
oleh guru agama (Kyai) yang membawa ajaran tarekat baru yaitu Tarekat
Tijaniyah, sebelum tahun 1928 tarekat ini belum diketahui berkembang,
gerakan ini juga dihawatirkan akan merekrut anggota yang cukup besar
karena sebelumnya tarekat ini belum pernah populer di mata pemerintah.
Namun demikian, meskipun baru diketahui oleh pemerintah pada tahun 1928,
Sebenarnya pengajaran Tarekat Tijaniyah ini telah dimulai sejak beberapa
tahun sebelumnya.10
Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia dibawa oleh Kyai Anas
dari Pesantren Buntet pada tahun 1921. Perkenalan Kyai Anas dengan
Tarekat Tijaniyah dimulai saat Kyai Abbas pergi ke haramayn untuk
menunaikan ibadah haji, disana beliau bertemu dengan mursyid dan murid
Tarekat Tijaniyah, maka ketika beliau kembali ke tanah air beliau langsung
menyuruh adikya yaitu Kyai Anas untuk memperdalam Tarekat Tijaniyah.
Atas anjuran Kyai Abbas, akhirnya Kyai Anas pergi ke Haramayn untuk
10 Ikhyan Badruzzaman. op. cit., hlm. 47

11

melaksanakan ibadah haji dengan tujuan utamanya yaitu mempelajari dan
memperdalami Tarekat Tijaniyah, kurang lebih selama tiga tahun Kyai Anas
bermukim di Makkah untuk mempelajari kitab-kitab pegangan Tarekat
Tijaniyah seperti Jawahirul Ma’ani,11 Rimah, Bughyat al- al-Mustafid
langsung dari Syekh Alfa Hasyim. Atas seizin Kyai Abbas maka Kyai Anas
menjadi Muqoddam Tarekat Tijaniyah dan mendapat bai’at dari Syekh Alfa
Hasyim serta dibai’at pula oleh Syekh Ali al-Thayyib.
Kedua saudara ini yang kemudian menjadi perintis Tarekat Tijaniyah di
Indonesia khususnya di wilayah Pesantren Buntet. Pesantren ini didirikan
oleh Mbah Muqoyyim12 yang pada saat itu tiba di Kedungmalang13 (Bulak
Kulon) Desa Buntet dengan alasan kehidupan di keraton Cirebon sudah tidak

11 Jawahir al-Ma’ani adalah kitab induk dalam Tarekat Tijaniyah yang memuat fatwa-fatwa dan
ajaran-ajaran Syekh Ahmad at-Tijani dalam masalah tasawwuf dan berbagai masalah agama.
Secara keseluruhan, Jawahir al-Ma‟ani terdiri dari dua Juz , yang memuat 554 halaman, terdiri
dari enam Bab , 16 pasal. Juz Pertama memuat 264 halaman, lima Bab, dan 12 pasal, dan Juz
kedua memuat 288 halaman, terdiri dari satu bab, empat pasal. Bab pertama menjelaskan riwayat
hidup Syekh Ahmad al-Tijani. Bab kedua menjelaskan akhlak Syekh Ahmad at-Tijani disertai
keterikatannya terhadap sunnah Rasulullah saw., baik dalam segi ibadah maupun mua‟amalah.
Bab ketiga menjelaskan karamah Syekh Ahmad al-Tijani. Bab keempat menjelaskan tata tertib
wirid thariqat tijaniyah, baik yang berkaitan dengan bentuk-bentuk amalan wirid, maupun yang
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan murid dan syekh. Bab kelima mengungkapkan fatwa-fatwa
Syekh Ahmad al- Tijani, bentuk-bentuk Shalawat kepada Nabi Muhammad yang dianjurkan
kepada setiap pengikut thariqat tijaniyah, ajaran-ajaran tasawwufnya, dan surat-surat dakwah
Syekh Ahmad at-Tijani yang ditujukan untuk petani, pedagang, orang-orang kaya dan orang-orang
miskin yang ada disekitar Maroko. Bab terakhir mengungkapkan penjelasan (syarh)wirid yang
terdapat dalam amalan thariqat tijaniyah, baik wirid yang bersifat lazim maupun wirid yang
bersifat ikhtiyari, disertai penjelasan rinci mengenai keharusan mengikuti sunnah Nabi
Muhammad saw., bagi setiap murid thariqat tijaniyah.
12 Mbah Muqoyyim lahir di Desa Srengseng Krangkeng, Karang Ampel Indramayu, berdasarkan
buku silsilah Psantren Buntet beliau adalah putra Kyai Abdul hadi yang berdarah kesultanan
Cirebon. Diyakini, Mbah muqoyyim mendapat ilmu secara laduni, diperoehnya tanpa melalui
proses belajar, meski ada pula pihak yang meyakini bahwa beliau mendapatkan ilmu dari sebuah
pesanten di Jawa, namun tidak terdapat dokumen yang memberikan penjelasan ihwal keberadaan
pesantren tersebut. Digambarkan sebagai sosok yang gagah berani, berpenampilan simpatik, tutur
kata yang sopan dan dikenal dengan kerendahan hatinya, Mbah Muqoyyim jiga dikenal sebagai
sosok yang sangat vokal dalam menyuarakan pesan-pesan kemerdekaan bagi masyarakat Cirebon.
Nuril Lizah, Perjuangan Mbah Muqoyyim (1689-1750 Dalam Menyebarkan Agama Islam Di
Buntet Pesantren Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon, (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati,
2012). Hlm 21. Aah Syafaah, Perjuangan Kyai Muqoyyim (1689-1785) dalam Pendirian
Pesantren di Cirebon Timur , (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2013). hlm 47.
13 Kedung berarti daerah sungai yang dalam, dan Malang berarti celaka. Ibid., hlm 47

12

sesuai dengan syariat Islam.14 Kedatangan Mbah Muqoyyim ke Desa Buntet
pada tahun 1770, dan lima tahun kmudian baru berdiri sebuah Mushola yang
kemudian dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu-ilmu agama meliputi tata
cara sholat dan tata cara membaca al- Qur’an.15 Mbah muqoyyim wafat
pada saat perjuangannya hampir selesai pada tahun 1812 di Buntet.
Sepeninggal Mbah Muqoyyim Pondok Pesantren Buntet kemudian
dilanjutkan oleh Kyai Muta’ad yang masih merupakan keturunan keraton
Cirebon dan merupakan santri terbaik dari putra Mbah Muqoyyim. Karakter
Kyai Muta’ad dalam membina dan memimpin Pondok Pesantren Buntet
selalu bercermin pada kepemimpinan Mbah muqoyyim yang tidak pernah
kompromi dengan tentara Belanda,16 dan pada tahun 1842 Kyai Muta’ad
meninggal dunia. Penerus kemudian dilanjutkan oleh Kyai Abdul Jamil,
beliau adalah salah seorang putra Kyai Muta’ad dan Kyai Abdul Jamil pun
meninggal dunia pada tahun pada 23 Rabiul Awwal 1339 H/ 1918 M dengan
meninggalkan dua orang istri17 serta 15 putra-putrinya. Sepeninggal Kyai
Abdul Jamil, yang menjadi sohibul wilayah adalah putra putri dari kedua
istrinya, dan yang terpilih adalah Kyai Abbas karena beliau adalah putra
tertua Kyai Abdul Abdul Jamil.18
Kyai Abbas lahir pada hari Jum’at, tanggal 24 Dzulhijjah 1300 H/1879
M di Cirebon dan memiliki nama asli Maulana Sayyid Asy-Syaikh Al-Arif
Billah Muhammad Abbas bin Abdul Jamil. Dalam tradisi pesantren19

14 Sebelum memutuskan untuk pergi ke Buntet, Mbah muqoyyom tinggal di Keraton Cirebon dan
harus hidup dibawah pimpinan kompeni, namun semakin lama mbah Muqoyyim menganggap
kelakuan kompeni yang suka mabuk-mabukan teka melenceng jauh dari syariat agama Islam.
Maka kemudian Mbah Muqoyyim serta pengikutnya melakukan perjalanan ke desa-desa agar
terhindar dari kompeni. Ibid., hlm. 36.
15 Aah Syafaah, op. cit., hlm. 50.
16 Ibid., hlm. 50.
17 Nyai Sa’diyah binti Kyai Kriyan dan Nyai Qori’ah binti KH. Syatori
18 Muhaimin AG, op. cit., hlm. 309
19 Tradisi Pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di
Indonesia. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm 38.

13

sebelum seseorang menjadi kyai,20 seseorang itu harus terlebih dahulu
menjadi seorang santri.21 Seperti halnya Kyai Abbas, sebelum menjadi
seorang Kyai dalam sebuah pesantren, beliau telah menjadi santri di beberapa
pesantren seperti Pesantren yang ada di Plered, Pesantren Jatisari, Pesantren
Giren Tegal, Jawa Tengah, Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren
Lirboyo, namun pertama-tama beliau belajar kepada Kyai Abdul Jamil
ayahnya sendiri terutama tentang ilmu agama.2263 Perjalanan Kyai Abbas ke
pesantren-pesantren akhirnya menuai hasil, terbukti dengan dirinya dijadikan
sebagai penerus ayahnya, yaitu melanjutkan kepemimpinan Pesantren Buntet.
Sosok

Kyai

Abbas

telah

memperkenalkan

tarekat-tarekat

yang

muktabarah ke Indonesia, khususnya Pesantren Buntet. Pesantren Buntet
sampai saat ini masih berkembang dengan dua tarekat, yaitu Tarekat
Sattariyah yang dikenalkan oleh Kyai Abbas serta Tarekat Tijaniyah yang
dikenalkan oleh Kyai Anas.
Pada perkembangan selanjutnya Kyai Abbas mengambil bai’at Tarekat
Tijaniyah melalui Syekh Ali ibn al-Thayyib sewaktu berkunjung ke Jawa
Barat mengikuti adiknya yang sudah lebih dulu menjadi muqoddam Tarekat
Tijaniyah, tindakan Kyai Abbas ini sebenarnya telah ada sejak sepulangnya
beliau dari Haramyn, namun karena pada saat itu Kyai Abbas adalah mursyid
Tarekat Syattariyah maka beliau menyuruh adiknya untuk mempelajari
Tarekat Tijaniyah dan kemudian menjadi Muqoddam Tarekat Tijaniyah.
Akibat datangnya Tarekat Tijaniyah ke Pesantren Buntet, Tarekat Sattariyah
20 Kyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren, bahkan merupakan pendirinya
dan sudah hal lumrah bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada
kemampuan pribadi kiyainya. Ibid., hlm. 93
21 Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren, menurut tradisi pesantren
santri terdiri dari dua yaitu, Santri Mukim dan santri Kalong, yang dimaksud santri mukim adalah
santri yang berasal dari daerah-daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri kalong
adalah santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Ibid., hlm. 88-89.
22 Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan Dari Tanah Pengasingan (Yogyakarta: PT LKIS Printing
Cemerlang, 2014), hlm. 67-68.

14

yang telah ada lebih dulu akhirnya agak tergeser oleh Tarekat Tijaniyah.
Maka pada perkembangan selanjutnya Tarekat Sttariyah berkembang hanya
secara individual. Sejak perkembangannya di Pesantren Buntet, Tarekat
Tijaniyah mulai dikenal di berbagai daerah di Indonesia seperti pada tahun
1928 Tarekat Tijaniyah sudah terkenal di beberapa wilayah diantarnya di
Bogor, di Tasikmalaya, di Jawa Tengah dan Kalimantan.
Kyai Abdul Rosyid dari Desa Pasawahan yang masih berdekatan dengan
tempat awal mulanya perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia.
Meskipun

mendapat

tantangan

dari

tarekat-tarekat

lain,

sepanjang

perkembangan Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet dilalui dengan beberapa
sistem yang digunakan oleh Kyai Anas dalam mengajarkan Tarekat Tijaniyah
kepada murid-muridnya, dimulai dari Kyai Anas membai’at penerusnya,
diantaranya yaitu Kyai Hawi, Kyai Akyas, Kyai Junaidi Anas dan Kyai
Fahim Hawi, dan dari Kyai Akyas kemudian membai’at Kyai Abdul Rosyid
dari Desa Pasawahan. Selain membai’at, sistem penyebaran yang dilakukan
Kyai Anas adalah hijrah, yaitu beliau berhijrah ke Desa Sidamulya, hingga
saat ini Tarekat Tijaniyah masih berkembang di Desa Sidamulya dengan
Ikhwan Tijaniyah yang semakin bertambah. Jika dibandingkan dengan
Pesantren Buntet, perkembangan Tarekat Tijaniyah di Desa Sidamulya lebih
maju bahkan kegiatan-kegiatn Tarekat Tijaniyah di Desa Sidamulya sampai
saat ini masih terselenggara kegiatan-kegiatan tarekatnya.
Pengkaderan yang dilakukan Kyai Anas berhasil sampai menyentuh Desa
Pasawahan Kecamatan Susukanlebak Kabupaten Cirebon, disana terdapat
seorang muqaddam Tijaniyah sejak tahun 1982 dan memimpin pesantren 150
santri putraputri. Kyai Abdul Rosyid adalah alumni pesantren Buntet dan
menjadi pengikut Tijaniyah sekaligus dipercaya menjadi seorang muqaddam
oleh Kyai Akyas (adik Kyai Anas). Pengikutnya 400 orang atau lebih.
Mereka berasal dari daerah Pesawahan, Ciawi, Sedong, Pamanukan juga
Jakarta yang datang sengaja untuk menjadi jama’ah Tarekat Tijaniyah.

15

B. Peran Tarekat Tijaniyah dalam Membina Masyarakat
Dr. KH. Ikyan Badruzzaman (2008) kehadiran Tarekat Tijaniyah di Garut,
yang pertumbuhan dan perkembangannya telah menempuh puluhan tahun,
secara langsung dan tidak langsung, telah menunjukan peranannya dalam
kehidupan masyarakat. Peranan-peranan itu tampak pada aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh para tokoh tijaniyah baik muqaddam maupun nonmuqaddam dan para penganut tijaniyah lainnya. Peranan-peranan yang
menonjol jika dilihat dari aktivitas-aktivitas para warga tijaniyah tersebut di
atas adalah bidang dakwah sosial, politik, organisai sosial dan politik, serta
pendidikan.
Peranan Tarekat Tijaniyah di bidang dakwah, yaitu peranan pembinaan
masyarakat, merupakan bagian terpenting dan terpokok, karena prinsipprindip ajaran tarekat serta sasaran utama adalah membangun manusia yang
sempurna dan berguna, bagi dirinya ataupun orang lain, dihadapan dirinya,
manusia lainnya ataupun Tuhanny. Pembinaan mayarakat, yang dilakukan
Tarekat Tijaniyah, terutama adalah pembinaan bidang agama.
Pembinaan ilmu agama biasa dilakukan dalam bentuk pengajianpengajian, melalui majlis-majlis taklim, masjid-masjid, ataupun tempat
lainnya, dengan materi-materi yang mencakup berbagai asfek islam, terutama
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari: akidah, ibadah, muamalah,
dan lainnya. Aktivitas demikian dilakukan oleh para muqaddam dan para
tokoh tijaniyah non-muqaddam lainnya. Hampir tidak ada muqaddam atau
tokoh yang lepas dari aktivitas pembinaan masyarakat.
Aktivitas bidang sosial dalam artian sosial-ekonomi masih tampak lebih
bersifat internal. Sedangkan yang bersifat eksternal kurang begitu menonjol.
Aktivitas sosial ekonomi menitik-beratkan pada peningkatan kesejahteraan
anggota, atau kebutuhan kegiatan Tarekat Tijaniyah bentuk aktivitas demikian
ini sekarang kurang berjalan lagi, dan tidak semua daerah melaksanakan yang
demikian.
Aktivitas sosial yang bersifat eksternal diantaranya adalah khitanan
massal, dan penyantunan sekolah anak-anak yang tidak mampu, untuk

16

ditampung di sekolah milik yayasan yang didirikan oleh Tarekat Tijaniyah.
Aktivitas sosial secara luas sebenarnya terkandung dalam program
pengembangan bidang sosial kemayarakatan yang dicanangkan oleh Tarekat
Tijaniyah, namun reaksinya masih belum tampak menonjol

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Tarekat Tijaniyah dengan tokoh Ahmad Al-Tijani, memimpin tarekatnya
sendiri, yang segera menyebar dari Maghrib ke Afrika Barat, Mesir dan Sudan.
Tarekat ini baru sampai ke Indonesia setelag tahun 1920-an, setelah
disebarkannya setelah disebarkan dijawa barat oleh seorang ulama pengembara
kelahiran mekkah, Ali bin Abdallah Al-Tayyib Al-Azhara, yang telah menerima
ijajah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syaikh yang berbeda.
Kehadiran

Tarekat

Tijaniyah

di

Garut,

yang

pertumbuhan

dan

perkembangannya telah menempuh puluhan tahun, secara langsung dan tidak
langsung, telah menunjukan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Perananperanan itu tampak pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para tokoh
tijaniyah baik muqaddam maupun non-muqaddam dan para penganut tijaniyah
lainnya. Peranan-peranan yang menonjol— jika dilihat dari aktivitas-aktivitas para
warga tijaniyah tersebut di atas adalah bidang dakwah sosial, politik, organisai
sosial dan politik, serta pendidikan.

17

DAFTAR PUSTAKA
Al-Uwaisi, Syekh Fakhrudin Ahmad dan Sholeh Muhammad Basalamah. 2009.
Syekh Ahmad Tijani RA. Brebes: Tim Santri Pon Pes Darussalam

Atjeh, Aboebakar. 1962. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Bandung:
Ramadhani.
Badruzzaman, Ikhyan. 2007. Tarekat Tijaniyah Di Indonesia . Garut: Zawiyah
Tarekat Tijaniyah
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Hasan, Ahmad Zaini. 2014. Perlawanan Dari Tanah Pengasingan. Yogyakarta:
PT LKIS Printing Cemerlang
Lizah,

Nuril.

2012.

Perjuangan

Mbah

Muqoyyim

(1689-1750

Dalam

Menyebarkan Agama Islam Di Buntet Pesantren Kecamatan Astanajapura
Kabupaten Cirebon. Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.

Roudlon, 2003. Sufisme Ibnu ‘Atha’illah. Surabaya: Risalah Gusti.
Siregar, A. Rivay. 1999. Tasawuf: Dari Sufi Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Syafaah Aah. 2013. Perjuangan Kyai Muqoyyim (1689-1785) dalam Pendirian
Pesantren di Cirebon Timur . Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.