Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan Belaj (1)
Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan: Belajar dari Proses
Penyusunan Kabijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Susilo Andi Darma
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Justisia No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta
+62274 512781 ext. 2205, [email protected]
Abstrak
Pekerja/Buruh rumahan juga merupakan warga negara yang berhak atas kehidupan dan
penghidupan yang layak. Praktik kerja rumahan muncul karena globalisasi dan perkembangan
industrialitasi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apakah dapat
melindungi kepentingan pekerja/buruh rumahan? Walaupun istilah Pekerja/Buruh tidak membedabedakan pekerja/buruh itu sendiri. Berdasarkan kondisi tersebut, menarik untuk mengkaji
bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja/buruh rumahan. Penulisan ini dibuat dari proses
penyusunan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulisan ini merupakan penelitian
Normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Penelitian Normatif
dilaksanakan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah
hukum, dan perbandingan hukum. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Undang-Undang
Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja/buruh rumahan
dan berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan mengenai pekerja/buruh rumahan berdasarkan tugas
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan terutama dalam rangka menampung
kondisi khusus daerah
Kata Kunci: Pekerja/buruh rumahan; Penyusunan; Perlindungan hukum.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila merupakan Dasar
Negara Republik Indonesia yang melandasi semua aspek dari kehidupan berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam Pancasila yaitu Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Berdasarkan esensi tersebut sudah
seharusnya manusia sebagai mahluk Tuhan mendasarkan segala perbuatannya pada apa yang
tercantum di dalam Pancasila. Manusia seharusnya merasa selalu diawasi oleh Tuhan Yang
Maha Esa, semua tindak tanduknya harus berperi-kemanusiaan, mengedepankan Persatuan,
mengedepankan kepentingan banyak orang (Rakyat) dan Keadilan.
Pekerja rumahan/buruh rumahan juga merupakan warga negara yang berhak atas
kehidupan dan penghidupan yang layak. Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal tersebut diwujudkan
dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Penjelasan umum Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan
yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat
mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Hak-hak dan
perlindungan tersebut juga semestinya diberikan kepada Pekerja/Buruh Rumahan.
Globalisasi menyebabkan memunculkan berbagai macam sifat dari pekerjaan.
Pekerjaan-pekerjaan yang telah ada sebagian sekarang dikerjakan di rumah. Praktik kerja
rumahan belakangan ini semakin marak seiring dengan perkembangan industrialisasi di
Indonesia. Praktik ini berlangsung dalam sistem yang dikenal dengan istilah putting out system.
Pekerja melakukan kerja-kerja yang merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi
barang atau jasa. Akan tetapi, bedanya pekerja melakukan pekerjaan tersebut di rumahnya.
Pekerjaan yang diperoleh biasanya melalui perantara ataupun dapat secara langsung dari
Pemberi Kerja. Pekerja/Buruh yang melakukan Praktik sedemikian rupa dapat disebut sebagai
Pekerja/Buruh Rumahan.1
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdapat
Pekerja/Buruh Rumahan. Berdasarkan Hasil Survei yang dilakukan oleh salah satu LSM di
Yogykarta di 2 (dua) kabupaten dan 1 (satu) kota, jumlah Pekerja/Buruh Rumahan sebanyak
1.243 (seribu dua ratus empat puluh tiga)2. Apabila berdasarkan sektor kegiatan/industri, hasil
survei yang dilakukan oleh ILO di Yogyakarta, Pekerja/Buruh Rumahan terdapat di sektor
pengolahan makanan, tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan), pakaian jadi (menjahit baju),
kulit, barang kulit dan alas kaki, pengolahan kayu, bambu dan rotan, furnitur, dan manufaktur
lain.3
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak secara spesifik mengatur mengenai pekerja
rumahan. Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur mengenai ketenagakerjaan kecuali yang
diamanatkan melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal
12 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan urusan
wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Selanjutnya Pasal 24 untuk
melaksanakan urusan wajib pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar,
Kementerian atau Lembaga pemerintah non kementerian bersama Pemerintah Daerah
melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
dan urusan pemerintahan pilihan yang menjadi prioritas setiap daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota. Selain itu, pembentukan/penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Konvensi
ILO mengenai Kerja Rumahan No. 177 Tahun 1996 (Konvensi 177) salah satu aturan yang
1
APINDO DAN ILO Jakarta, 2013, Panduan Praktik yang Baik untuk Mempekerjakan Pekerja Rumahan
bagi Pengusaha, ILO Jakarta, Jakarta.
2 Hasil Penelitian yang dilakukan oleh YASANTI, tahun 2017 di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul,
dan Kota Yogyakarta.
3 Proyek ILO MAMPU, 2015, Akses ke lapangan kerja dan pekerjaan yang layak untuk perempuan,
ILO, Jakarta, Hlm. 28-29.
mengatur mengenai Pekerja/Buruh Rumahan. Akan tetapi Konvensi 177 ini belum diratifikasi
oleh Indonesia, sehingga tidak mengikat bagi Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berusaha untuk
mengantisipasi permasalahan Praktik Pekerja/Buruh Rumahan dengan menyusun kebijakan
mengenai Pekerja/Buruh Rumahan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah.4 Pertanyaan yang kemudian timbul
adalah bagaimanakah perlindungan hukum bagi pekerja/buruh rumahan, belajar dari proses
penyusunan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
METODE
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.5
Berdasarkan dari sudut tujuan penelitian hukum, penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif. Penelitian normatif dilaksanakan untuk meneliti asas-asas hukum,
sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.6 Penelitian
ini meneliti mengenai sinkronisasi hukum dengan teori yang ada dan perbandingan hukum
untuk memberikan gambaran nyata terhadap hubungan kausalitas antara subjek hukum dengan
penjatuhan sanksi pidana terhadapnya di beberapa peraturan perundang-undangan.
Secara umum, di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat yang disebut sebagai data primer dan bahan pustaka yang
disebut sebagai data sekunder.7 Berdasarkan sifat dan tujuan penelitian, maka penelitian ini
merupakan penelitian yang hanya menggunakan data sekunder sebagai sumbernya.
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum
sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder.8
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan konvensi ILO no 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan menyatakan
bahwa “Kerja rumahan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, yang kemudian
4
Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
5 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Hlm.43
6 Ibid. hlm. 51.
7 Ibid.
8 Ibid, hlm. 51-52.
disebut sebagai buruh rumahan, (i) di rumahnya atau tempat lain pilihannya, selain tempat
kerja pemberi kerja; (ii) untuk mendapatkan upah; (iii) yang menghasilkan suatu produk atau
jasa sebagaimana yang ditetapkan oleh pemberi kerja.
Definisi yang diberikan oleh ILO tersebut dapat ditarik pola hubungan antara pemberi
kerja dan pekerja adalah sebatas pemberian pekerjaan dan upah kepada seorang pekerja yang
kemudian dilaksanakan di luar perusahaan pemberi pekerjaan. Dengan demikian proses
produksi barang atau jasa tersebut dilakukan tanpa adanya supervisi dan pengawasan dari
pemberi kerja. Kriteria dan kualitas pekerjaan didasarkan atas kesepakatan pemberi kerja dan
pekerja, sementara bagaimana dan dimana mengerjakannya terserah dari pekerja tersebut
(biasanya di rumah masing-masing; oleh karena kenapa kemudian disebut pekerja/ buruh
rumahan).
Pekerjaan rumahan muncul karena adanya tuntutan efisiensi dari sisi perusahaan,
sementara disisi lain terdapatnya angkatan kerja (terutama wanita ibu rumah tangga) yang bisa
flesibel bekerja di waktu luang. Dua situasi ini yang kemudian mendorong perkembangan
munculnya angkatan pekerja rumahan. Demikian secara filosofis bahwa relasi pengusaha
dengan pekerja rumahan merupakan simbiose mutualisme. Oleh karena mereka harus samasama menjaga prinsip itu sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Oleh karenanya
penting untuk menghindarkan satu pihak mengambil keuntungan dalam relasi tersebut,
sementara pihak yang lainnya dirugikan (simbiose parasitisme).
Pada prinsipnya Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada
semua pekerja/buruh yang ada. Pasal 1 angka 3, menyebutkan bahwa Pekerja/Buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Memang
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak secara eksplisit menyebut istilah Pekerja/Buruh
Rumahan, akan tetapi berdasarkan pengertian tersebut, Pekerja/Buruh Rumahan termasuk di
dalam istilah Pekerja/Buruh yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan
demikian, sudah seharusnya Pekerja/Buruh rumahan juga memiliki hak-hak ketenagakerjaan
dasar seperti: Perjanjian kerja, jam kerja, upah, usia minimum, keselamatan dan kesehatan
kerja, perlindungan dan jaminan sosial, perlakuan setara dan non diskriminatif, kebebasan
berorganisasi dan membuat kesepakatan kerja bersama, dan lain sebagainya. Jika publik saja
tidak melihat keberadaan Pekerja/Buruh rumahan, maka hampir bisa dipastikan bahwa
mayoritas hak-hak dasar mereka sebagai pekerja masih banyak terabaikan.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah perlindungan hukum yang diberikan oleh UndangUndang Ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dalam konteks Pekerja/Buruh Rumahan?
Apabila membicarakan mengenai perlindungan hukum, maka tidak terlepas dari pembicaraan
kepentingan. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa setiap orang yang hidup di dalam
masyarakat memiliki kepentingan, kepentingan yaitu tuntutan perorangan atau kelompok yang
diharapkan untuk dipenuhi. Setiap Kepentingan manusia yang dilindungi oleh perturan atau
hukum disebut sebagai hak. Setiap hak mempunyai 4 (empat) unsur yaitu, subjek hukum, objek
hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban, dan perlindungan
hukum. Pada hakekatnya kepentingan mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi
oleh hukum dalam melaksanakannya.9
Berdasarkan pendapat Sudikno, terdapat kepentingan dari kelompok Pekerja/buruh
Rumahan untuk dipenuhinya kepentingannya sehingga perlu untuk diakui. Kembali kepada
pertanyaan di awal, untuk dapat mengetahui apakah Undang-Undang Ketenagakerjaan cukup
untuk memberikan perlindungan. Hasil penelitian yang dilakukan di Daerah Istimewa
Yogyakarta, pola hubungan pekerja/buruh rumahan dengan pemberi kerja10 (pengusaha11 dan
perantara12) dapat terdiri dari beberapa bentuk, pola pertama yaitu pengusaha dengan
pekerja/buruh rumahan dan pola kedua yaitu pengusaha, perantara, dengan pemberi kerja. Dari
pola kedua, perantara bisa terdiri dari satu perantara tetapi bisa lebih dari beberapa perantara.
Apabila mendasarkan pada pengertian hubungan kerja, hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.13 Berdasarkan pengertian tersebut, pola yang terjadi di antara
pengusaha dengan pekerja/buruh rumahan atau pun pola antara pengusaha, perantara, dengan
pekerja/buruh rumahan tetap didasarkan pada suatu perjanjian, baik perjanjian tertulis maupun
perjanjian lisan. Dari hasil penelitian juga menunjukkan, perjanjian yang terjadi antara pemberi
kerja dengan pekerja/buruh rumahan sebagian besar merupakan perjanjian berbentuk lisan.
Apabila berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat secara
tertulis maupun tidak tertulis serta perjanjian kerja yang disyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.14 Terutama perjanjian yang
disyaratkan secara tertulis yaitu perjanjian kerja waktu tertentu. 15 Perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat
(1). Dengan demikian pekerjaan yang menjadi objek dari perjanjian antara pemberi kerja
dengan pekerja/buruh rumahan tidak dapat diperjanjikan secara lisan. Hal ini kontra prestasi
dengan hasil penelitian yang ada, sehingga harus dibuat aturan baru mengenai bentuk dari
perjanjian kerja rumahan.
Selanjutnya membicarakan mengenai jam kerja, upah, dan keselamatan dan kesehatan
kerja. Mengenai jam kerja berdasarkan hasil penelitian pekerja/buruh rumahan bekerja tidak
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (7 jam sehari untuk 6 hari
kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja). Pekerja/buruh rumahan menganggap pekerjaan
rumahan merupakan pekerjaan sampingan. Jam kerja pekerja/buruh rumahan juga tidak tentu,
pekerja/buruh rumahan dapat bekerja kapan pun selama yang bersangkutan dapat
menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktu yang telah ditentukan, sehingga sangat fleksibel.
Sebagai contoh, pekerja/buruh rumahan yang bekerja pada bagian mengemas barang, dapat
9
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 41-43.
Periksa Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
11 Periksa Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
12 Berdasarkan hasil penelitian, perantara dapat orang-perseorangan atau persekutuan sehingga
dapat pula dikualifikasi sebagai pengusaha sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5.
13 Periksa Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
14 Periksa Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
15 Periksa Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
10
dalam satu hari bekerja selama lebih dari 12 jam. APINDO dan ILO telah membuat buku
panduan bagi pengusaha yang akan mempekerjakan pekerja/buruh rumahan. Berdasarkan
buku panduan tersebut, waktu kerja yang direkomendasikan yaitu ekuivalen dengan 40 jam
per minggu, dan apabila melebihi waktu kerja (lembur) maka tidak boleh lebih dari 14 jam per
minggu. Sehingga dalam seminggu beban kerja maksimal seorang pekerja rumahan adalah
setara dengan 54 jam kerja (termasuk lembur).16 Rekomendasi yang disampaikan oleh
APINDO dan ILO dapat menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan pertama yaitu terkait
lamanya waktu kerja karena terkesan tidak terdapat batasan bekerja dalam satu hari kemudian
permasalahan selanjutnya yaitu apabila melewati batas waktu kerja (lembur), belum terdapat
mekanisme atau tata cara perhitungan upah lembur. Dengan demikian masih perlu
dipertimbangkan mengenai jam kerja yang proporsional dan sesuai dengan karakteristik
pekerjaan rumahan.
Upah merupakan isu yang sensitif untuk diperbincangkan. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Kuloprogo, sebagian besar pekerja/buruh rumahan diupah di
bawah ketentuan upah minimum. Berdasarkan Pasal 91 ayat (1) Undang-undang
Ketengakerjaan, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Studi dari Iriyani dan Wiyanto17
menemukan fakta bahwa pekerja rumahan sebagai salah satu wujud pemberdayaan SDM yang
dianggap efisien bagi perusahaan kecil seperti UMKM, tapi itu kurang manusiawi kepada
pekerja atau buruh sendiri karena sistem ini jauh dari layak untuk kesejahteraan para pekerja
ini. Sistem yang dianggap ekonomis untuk pengusaha adalah pengusaha tidak perlu
mengeluarkan uang untuk agama tunjangan hari raya (THR), Jamsostek, gaji tetap, tunjangan
kesehatan, dan tunjangan lain seperti yang harus diberikan kepada karyawan resmi. Penulis
ingin menggarisbawahi sistem yang dianggap ekonomis, dengan adanya pekerja/buruh
rumahan pengusaha setidaknya diuntungkan dari kesempatan membayar upah di bawah
ketentuan dan keuntungan lain sebagaimana disebutkan dari studi tersebut. Dengan demikian
perlu dipikirkan formulasi upah yang tepat bagi pekerja/buruh rumahan.
Sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian kerja rumahan yang diberikan oleh
ILO, salah satu ciri kerja rumahan adalah pekerjaan dikerjakan tidak di perusahaan melainkan
di rumah dari pekerja atau tempat lain selain tempat yang disediakan oleh pengusaha.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada kewajiban dari pemberi kerja yang secara a contrario dapat
ditemukan pada Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-undang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut
menyebutkan setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan: a.
16 Apindo & ILO, 2013, Panduan Praktik yang baik untuk mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---iloPengusaha,
e-book,
jakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf, Hlm. 7, diakses 7 September 2017
17 Iriani, N.I. & Wiyanto, H.S.L. (2016). Pemberdayaan Kelompok Pekerja: Rumahan Melalui Pembinaan
Kewirausahaan dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 5(3): 104108.
keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kebanyakan
pekerja/buruh rumahan mengerjakan pekerjaannya tanpa menggunakan alat perlindungan diri,
bekerja seadanya sesuai dengan kebiasaan yang ada. Kondisi ini muncul karena kekurang
pahaman pekerja/buruh rumahan terhadap arti pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Diperparah lagi dari kurangnya kepedulian pengusaha menjadikan persoalan ini belum
dianggap penting. Terkait hal tersebut, Pemerintah DIY dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja
berusaha memfasilitasi dengan pemberian pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Kondisi
seperti ini, pemerintah daerah harus mengambil kebijakan untuk dapat mengatasi
permasalahan. Sebagaimana diketahui, bahwa pemerintah sebagai penyeimbang kedudukan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha sudah seharusnya memberikan perlindungan hukum
bagi para pihak khususnya bagi pekerja/buruh. Dengan demikian, kebijakan mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja yang seharusnya menjadi kewajiban dari pemberi kerja
dilaksanakan oleh pemerintah.
Begitu pula untuk permasalahan tidak diberikannya jaminan sosial terhadap
pekerja/buruh rumahan pemberi kerja. Permasalahan jaminan sosial timbul karena ada belum
adanya keseragaman program yang diikuti dan masih banyaknya masyarakat yang belum
menjadi peserta dari jaminan sosial yang ada. Belum adanya keseragaman dikarenakan masih
terdapat program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang sifatnya
cuma-cuma.18 Kepesertaan dari jaminan sosial yang ada, dalam hal ini BPJS Kesehatan,
menunjukkan sudah sebagian besar masyarakat DIY menjadi peserta BPJS Kesehatan.19
Permasalahan mengenai kepesertaan BPJS ini juga bermuara pada hubungan kerja yang
terjalin di antara para pihak cenderung sementara, sehingga hal ini dapat menjadi kerugian bagi
pemberi kerja. Selain itu, apa bila pekerja/buruh rumahan tidak bekerja lagi maka siapa yang
berkewajiban meneruskan iuran kepesertaan. Berdasarkan hasil penelitian, pekerja/buruh
rumahan berasal dari masyarakat yang kualifikasikan pada peserta penerima bantuan iuran.
Berdasarkan beberapa hal yang menjadi objek perlindungan di atas, dapat dirumuskan
bahwa, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum melindungi pekerja/buruh rumahan. Dengan
demikian Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengaturnya dalam
suatu peraturan daerah (Pergub atau Perda).
Pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan tidaklah tanpa menggunakan
suatu pedoman. Apabila menilik pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, oleh sebab itu semua produk hukum
yang merupakan dasar dari pelaksanaan suatu kewenangan pemerintah haruslah berdasarkan
hukum. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pedoman dalam membuat suatu produk hukum.
18 Masih ada Balai Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Gubernur No. 97 Tahun 2015 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata
Kerja Unit Pelaksanan Teknis pada Dinas Kesehatan.
19 Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warfa di Daerah Istimewa Yogyakarta jadi Peserta BPJS
http://www.starjogja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di-daerah-istimewa-yogyakartaKesehatan,
jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017
Hal demikian serupa dengan penjelasan umum dari Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai
negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem
hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi
dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus dilakukan beradasarkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan.20 Penjelasan Pasal 5 tersebut, Asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. Asas kesesuain antara jenis, hierarki, dan materi
muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai jenis dan hierarki peraturan perundangundangan. Asas dapat dilaksanakan adalah setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundangan-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Dan asas keterbukaan
adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka.
Berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
penyusunan kebijakan terkait pekerja rumahan/buruh rumahan memiliki kejelasan tujuan
yaitu sebagai solusi atas permasalahan di bidang ketenagakerjaan terutama yang menimpa
pekerja rumahan/buruh rumahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk
20
undangan.
Ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-
mengupayakan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh rumahan. 21 Asas
selanjutnya mengenai bahwa peraturan yang disusun harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Undangundang Ketenagakerjaan tidak memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah provinsi
untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai materi yang diaturnya. Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12, tenaga
kerja merupakah urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Akan
tetapi, berdasarkan Pasal 24 Undang-undang Pemerintahan Daerah, dalam melaksanakan
urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar Kementerian atau
Lembaga pemerintah nonkementerian bersama, Pemerintah Daerah melakukan pemetaan
urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan
pemerintahan pilihan yang menjadi prioritas setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut, maka Pemerintah daerah terkait
Urusan Wajib Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar hanya
menunggu/pasif dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian melakukan
pemetaan.
Undang-undang No. 23 Tahun 1948 Jo. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan
Perburuhan memberikan kewenangan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk mengawasi
berlakunya Undang-Undang dan peraturan perburuhan pada khususnya, mengumpulkan
bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan
dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturanperaturan perburuhan lainnya; dan menjalankan pekerjaan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Tetapi mengenai kewenangan kedua belum ada peraturan pelaksana
yang jelas yang mengatur bagaimana kewenagan tersebut dilaksanakan. Dengan demikian,
Pemerintah Provinsi Daerah DI Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah mempunyai kewenangan untuk mengurusi masalah tenaga kerja selama urusan tersebut
menjadi prioritas Provinsi DI Yogyakarta.
Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan. Berdasarkan asas tersebut,
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah mengatur mengenai jenis peraturan
perundangan seperti apa yang dapat mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan materi muatan, materi muatan suatu peraturan
daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten atau kota berisi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.22
Kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan ini dapat diatur dengan Peraturan Gubernur
karena Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengganggap ini adalah
kewenangan Pemerintah untuk mengatur daerahnya. Dengan demikian, karena adanya potensi
21
Sekretariat Daerah, Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, 2017, Kerangka
Acuan Kerja: Program Penyusunan Kebijakan Pembangunan, Hlm. 1.
22 Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
permasalahan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan maka Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta
dapat menyusun Kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan.
Asas dapat dilaksanakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di masyarakat. Setelah
mengadakan beberapa kali Focus of Discussion, salah satu hal yang menjadi perhatian dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan adalah kesiapan pemerintah dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan tersebut, terutama kesiapan lembaga dan masyarakat yang
akan menjadi sasaran dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana
disampaikan, bahwa isu mengenai Pekerja/Buruh Rumah belum banyak tersentuh oleh
pengambil kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari ketiadaan data statistik resmi, kurangnya
informasi tentang kondisi Pekerja/Buruh Rumahan, serta belum adanya kesamaan kesepakatan
bersama diantara pengambil kebijakan tentang status buruh rumahan yang sering kali rancu
dengan pekerja mandiri, pekerja rumah tangga atau bahkan orang yang melakukan kegiatan
untuk mengisi waktu.23
Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan, bahwa peraturan perundang-undangan
dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat. Pada prinsipnya penyusunan kebijakan
Pekerja/buruh Rumahan memang sangat dibutuhkan karena selama ini hak-hak Pekerja/Buruh
Rumahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan belum sepenuhnya
dipenuhi.24 Dengan tersusunnya kebijakan tersebut maka kebijakan tersebut dapat bermanfaat
bagi Pekerja/Buruh Rumahan. Dengan demikian, Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan dari
kebijakan tersebut terpenuhi.
Asas Kejelasan Rumusan, kebijakan Pekerja/Buruh Rumahan disusun dengan
memperhatikan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Beberapa Peraturan Perundang-undangan
yang menjadi acuan utama antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Asas Keterbukaan, selama ini pembahasan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan belum
dibahas secara komprehensif yang melibatkan semua stakeholder yang akan terkena dampak
dari kebijakan ini. Selain itu, diperlukan perencanaan dan kajian yang lebih mendalam
mengenai permasalahan Pekerja/Buruh Rumahan. Selama ini belum ada kajian yang secara
menyeluruh yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya apabila kebijakan ini telah didukung dengan kajian yang komprehensif maka perlu
diperhatikan proses pengesahan atau penetapan, pengundangan harus transparan dan terbuka.
23
24
Sekretariat Daerah, op.cit.
Ibid.
Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan yang dikemukakan, maka
Undang-undang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa kebijakan tenaga kerja sebagai urusan
wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar belum dapat dilaksanakan
karena Pemerintah Daerah hanya pasif menunggu pemetaan dari kementerian atau lembaga
pemerintahan non kementerian. Selain itu, tidak ada pendelegasian atau pemandatan kepada
pemerintah daerah terkait penyusunan peraturan perundang-undangan di bawah undangundang berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan, memberikan wewenang kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk
mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturanperaturan perburuhan lainnya, akan tetapi belum ada pengaturan lebih lanjut terkait wewenang
tersebut. Berdasarkan Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik
maka penyusunan Kebijakan Pekerja Rumahan belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan
oleh tidak terpenuhinya Asas Dapat Dilaksanakan dan Asas Keterbukaan. Akan tetapi
berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah, dapat menyusun
Kebijakan Daerah mengenai Pekerja/Buruh Rumahan dalam bentuk Peraturan Gubernur
karena Pemerintah Daerah dapat mengganggap hal ini merupakan kewenangan daerah untuk
mengatur daerahnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis bahwa Undang-Undang Ketengakerjaan belum dapat
memberikan perlindungan kepada Pekerja/buruh rumahan dan berdasarkan Pasal 14 UndangUndang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pemerintah daerah dapat menyusun
kebijakan mengenai pekerja/buruh rumahan berdasarkan tugas penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan terutama dalam rangka menampung kondisi khusus daerah.
Penyusunan kebijakan harus melibatkan sebanyak mungkin pihak yang akan terkena dampak
dari kebijakan tersebut dan dalam proses penyusunannya, pemerintah harus memperhatikan
syarat formil dan syarat materil pembentukan suatu peraturan perundang-undangan serta
memperhitungkan dampak sosial yang mungkin timbul dari kebijakan tersebut.
Acknowledgment
Penulisan artikel ini didukung oleh Arif Hartono, S.E., M.HRM., Ph. D dan A.B. Widyanta, S.Sos.,
M.A. Pendanaan dilakukan oleh Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan. Staf Dinas Tenaga kerja dan
Transmigrasi DIY Angga Suanggana, S.H. sebagai pihak yang menghubungkan para pihak dalam
penelitian kepada pihak Penulis dan sebagai narasumber.
Daftar Pustaka
APINDO DAN ILO Jakarta, 2013, Panduan Praktik yang Baik untuk Mempekerjakan Pekerja
Rumahan bagi Pengusaha , ILO Jakarta, Jakarta;
Iriani, N.I. & Wiyanto, H.S.L. (2016). Pemberdayaan Kelompok Pekerja: Rumahan Melalui
Pembinaan Kewirausahaan dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan. JISIP: Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 5 Nomor 3;
Proyek ILO MAMPU, 2015, Akses ke lapangan kerja dan pekerjaan yang layak untuk perempuan,
ILO Jakarta, Jakarta;
Sekretariat Daerah Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, 2017, Kerangka
Acuan Kerja : Program Penyusunan Kebijakan Pembangunan, Sekretaris Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta;
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta;
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , Liberty, Yogyakarta;
Apindo & ILO, 2013, Panduan Praktik yang baik untuk mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi
Pengusaha , e-book, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/--ilo-jakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf, diakses 7 September 2017;
Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah Istimewa Yogyakarta jadi Peserta
BPJS Kesehatan, http://www.starjogja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di-daerahistimewa-yogyakarta-jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang No. 23 Tahun 1948 Jo. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan
(Lembaran Negara RI Tahun 1951 No. 4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003
No. 39, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4279);
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara RI Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5234);
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2014 No. 244, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5587);
Penyusunan Kabijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Susilo Andi Darma
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Justisia No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta
+62274 512781 ext. 2205, [email protected]
Abstrak
Pekerja/Buruh rumahan juga merupakan warga negara yang berhak atas kehidupan dan
penghidupan yang layak. Praktik kerja rumahan muncul karena globalisasi dan perkembangan
industrialitasi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apakah dapat
melindungi kepentingan pekerja/buruh rumahan? Walaupun istilah Pekerja/Buruh tidak membedabedakan pekerja/buruh itu sendiri. Berdasarkan kondisi tersebut, menarik untuk mengkaji
bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja/buruh rumahan. Penulisan ini dibuat dari proses
penyusunan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulisan ini merupakan penelitian
Normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Penelitian Normatif
dilaksanakan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah
hukum, dan perbandingan hukum. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Undang-Undang
Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja/buruh rumahan
dan berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan mengenai pekerja/buruh rumahan berdasarkan tugas
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan terutama dalam rangka menampung
kondisi khusus daerah
Kata Kunci: Pekerja/buruh rumahan; Penyusunan; Perlindungan hukum.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila merupakan Dasar
Negara Republik Indonesia yang melandasi semua aspek dari kehidupan berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam Pancasila yaitu Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Berdasarkan esensi tersebut sudah
seharusnya manusia sebagai mahluk Tuhan mendasarkan segala perbuatannya pada apa yang
tercantum di dalam Pancasila. Manusia seharusnya merasa selalu diawasi oleh Tuhan Yang
Maha Esa, semua tindak tanduknya harus berperi-kemanusiaan, mengedepankan Persatuan,
mengedepankan kepentingan banyak orang (Rakyat) dan Keadilan.
Pekerja rumahan/buruh rumahan juga merupakan warga negara yang berhak atas
kehidupan dan penghidupan yang layak. Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal tersebut diwujudkan
dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Penjelasan umum Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan
yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat
mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Hak-hak dan
perlindungan tersebut juga semestinya diberikan kepada Pekerja/Buruh Rumahan.
Globalisasi menyebabkan memunculkan berbagai macam sifat dari pekerjaan.
Pekerjaan-pekerjaan yang telah ada sebagian sekarang dikerjakan di rumah. Praktik kerja
rumahan belakangan ini semakin marak seiring dengan perkembangan industrialisasi di
Indonesia. Praktik ini berlangsung dalam sistem yang dikenal dengan istilah putting out system.
Pekerja melakukan kerja-kerja yang merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi
barang atau jasa. Akan tetapi, bedanya pekerja melakukan pekerjaan tersebut di rumahnya.
Pekerjaan yang diperoleh biasanya melalui perantara ataupun dapat secara langsung dari
Pemberi Kerja. Pekerja/Buruh yang melakukan Praktik sedemikian rupa dapat disebut sebagai
Pekerja/Buruh Rumahan.1
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdapat
Pekerja/Buruh Rumahan. Berdasarkan Hasil Survei yang dilakukan oleh salah satu LSM di
Yogykarta di 2 (dua) kabupaten dan 1 (satu) kota, jumlah Pekerja/Buruh Rumahan sebanyak
1.243 (seribu dua ratus empat puluh tiga)2. Apabila berdasarkan sektor kegiatan/industri, hasil
survei yang dilakukan oleh ILO di Yogyakarta, Pekerja/Buruh Rumahan terdapat di sektor
pengolahan makanan, tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan), pakaian jadi (menjahit baju),
kulit, barang kulit dan alas kaki, pengolahan kayu, bambu dan rotan, furnitur, dan manufaktur
lain.3
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak secara spesifik mengatur mengenai pekerja
rumahan. Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur mengenai ketenagakerjaan kecuali yang
diamanatkan melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal
12 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan urusan
wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Selanjutnya Pasal 24 untuk
melaksanakan urusan wajib pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar,
Kementerian atau Lembaga pemerintah non kementerian bersama Pemerintah Daerah
melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
dan urusan pemerintahan pilihan yang menjadi prioritas setiap daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota. Selain itu, pembentukan/penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Konvensi
ILO mengenai Kerja Rumahan No. 177 Tahun 1996 (Konvensi 177) salah satu aturan yang
1
APINDO DAN ILO Jakarta, 2013, Panduan Praktik yang Baik untuk Mempekerjakan Pekerja Rumahan
bagi Pengusaha, ILO Jakarta, Jakarta.
2 Hasil Penelitian yang dilakukan oleh YASANTI, tahun 2017 di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul,
dan Kota Yogyakarta.
3 Proyek ILO MAMPU, 2015, Akses ke lapangan kerja dan pekerjaan yang layak untuk perempuan,
ILO, Jakarta, Hlm. 28-29.
mengatur mengenai Pekerja/Buruh Rumahan. Akan tetapi Konvensi 177 ini belum diratifikasi
oleh Indonesia, sehingga tidak mengikat bagi Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berusaha untuk
mengantisipasi permasalahan Praktik Pekerja/Buruh Rumahan dengan menyusun kebijakan
mengenai Pekerja/Buruh Rumahan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah.4 Pertanyaan yang kemudian timbul
adalah bagaimanakah perlindungan hukum bagi pekerja/buruh rumahan, belajar dari proses
penyusunan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
METODE
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.5
Berdasarkan dari sudut tujuan penelitian hukum, penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif. Penelitian normatif dilaksanakan untuk meneliti asas-asas hukum,
sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.6 Penelitian
ini meneliti mengenai sinkronisasi hukum dengan teori yang ada dan perbandingan hukum
untuk memberikan gambaran nyata terhadap hubungan kausalitas antara subjek hukum dengan
penjatuhan sanksi pidana terhadapnya di beberapa peraturan perundang-undangan.
Secara umum, di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat yang disebut sebagai data primer dan bahan pustaka yang
disebut sebagai data sekunder.7 Berdasarkan sifat dan tujuan penelitian, maka penelitian ini
merupakan penelitian yang hanya menggunakan data sekunder sebagai sumbernya.
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum
sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder.8
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan konvensi ILO no 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan menyatakan
bahwa “Kerja rumahan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, yang kemudian
4
Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
5 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Hlm.43
6 Ibid. hlm. 51.
7 Ibid.
8 Ibid, hlm. 51-52.
disebut sebagai buruh rumahan, (i) di rumahnya atau tempat lain pilihannya, selain tempat
kerja pemberi kerja; (ii) untuk mendapatkan upah; (iii) yang menghasilkan suatu produk atau
jasa sebagaimana yang ditetapkan oleh pemberi kerja.
Definisi yang diberikan oleh ILO tersebut dapat ditarik pola hubungan antara pemberi
kerja dan pekerja adalah sebatas pemberian pekerjaan dan upah kepada seorang pekerja yang
kemudian dilaksanakan di luar perusahaan pemberi pekerjaan. Dengan demikian proses
produksi barang atau jasa tersebut dilakukan tanpa adanya supervisi dan pengawasan dari
pemberi kerja. Kriteria dan kualitas pekerjaan didasarkan atas kesepakatan pemberi kerja dan
pekerja, sementara bagaimana dan dimana mengerjakannya terserah dari pekerja tersebut
(biasanya di rumah masing-masing; oleh karena kenapa kemudian disebut pekerja/ buruh
rumahan).
Pekerjaan rumahan muncul karena adanya tuntutan efisiensi dari sisi perusahaan,
sementara disisi lain terdapatnya angkatan kerja (terutama wanita ibu rumah tangga) yang bisa
flesibel bekerja di waktu luang. Dua situasi ini yang kemudian mendorong perkembangan
munculnya angkatan pekerja rumahan. Demikian secara filosofis bahwa relasi pengusaha
dengan pekerja rumahan merupakan simbiose mutualisme. Oleh karena mereka harus samasama menjaga prinsip itu sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Oleh karenanya
penting untuk menghindarkan satu pihak mengambil keuntungan dalam relasi tersebut,
sementara pihak yang lainnya dirugikan (simbiose parasitisme).
Pada prinsipnya Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada
semua pekerja/buruh yang ada. Pasal 1 angka 3, menyebutkan bahwa Pekerja/Buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Memang
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak secara eksplisit menyebut istilah Pekerja/Buruh
Rumahan, akan tetapi berdasarkan pengertian tersebut, Pekerja/Buruh Rumahan termasuk di
dalam istilah Pekerja/Buruh yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan
demikian, sudah seharusnya Pekerja/Buruh rumahan juga memiliki hak-hak ketenagakerjaan
dasar seperti: Perjanjian kerja, jam kerja, upah, usia minimum, keselamatan dan kesehatan
kerja, perlindungan dan jaminan sosial, perlakuan setara dan non diskriminatif, kebebasan
berorganisasi dan membuat kesepakatan kerja bersama, dan lain sebagainya. Jika publik saja
tidak melihat keberadaan Pekerja/Buruh rumahan, maka hampir bisa dipastikan bahwa
mayoritas hak-hak dasar mereka sebagai pekerja masih banyak terabaikan.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah perlindungan hukum yang diberikan oleh UndangUndang Ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dalam konteks Pekerja/Buruh Rumahan?
Apabila membicarakan mengenai perlindungan hukum, maka tidak terlepas dari pembicaraan
kepentingan. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa setiap orang yang hidup di dalam
masyarakat memiliki kepentingan, kepentingan yaitu tuntutan perorangan atau kelompok yang
diharapkan untuk dipenuhi. Setiap Kepentingan manusia yang dilindungi oleh perturan atau
hukum disebut sebagai hak. Setiap hak mempunyai 4 (empat) unsur yaitu, subjek hukum, objek
hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban, dan perlindungan
hukum. Pada hakekatnya kepentingan mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi
oleh hukum dalam melaksanakannya.9
Berdasarkan pendapat Sudikno, terdapat kepentingan dari kelompok Pekerja/buruh
Rumahan untuk dipenuhinya kepentingannya sehingga perlu untuk diakui. Kembali kepada
pertanyaan di awal, untuk dapat mengetahui apakah Undang-Undang Ketenagakerjaan cukup
untuk memberikan perlindungan. Hasil penelitian yang dilakukan di Daerah Istimewa
Yogyakarta, pola hubungan pekerja/buruh rumahan dengan pemberi kerja10 (pengusaha11 dan
perantara12) dapat terdiri dari beberapa bentuk, pola pertama yaitu pengusaha dengan
pekerja/buruh rumahan dan pola kedua yaitu pengusaha, perantara, dengan pemberi kerja. Dari
pola kedua, perantara bisa terdiri dari satu perantara tetapi bisa lebih dari beberapa perantara.
Apabila mendasarkan pada pengertian hubungan kerja, hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.13 Berdasarkan pengertian tersebut, pola yang terjadi di antara
pengusaha dengan pekerja/buruh rumahan atau pun pola antara pengusaha, perantara, dengan
pekerja/buruh rumahan tetap didasarkan pada suatu perjanjian, baik perjanjian tertulis maupun
perjanjian lisan. Dari hasil penelitian juga menunjukkan, perjanjian yang terjadi antara pemberi
kerja dengan pekerja/buruh rumahan sebagian besar merupakan perjanjian berbentuk lisan.
Apabila berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat secara
tertulis maupun tidak tertulis serta perjanjian kerja yang disyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.14 Terutama perjanjian yang
disyaratkan secara tertulis yaitu perjanjian kerja waktu tertentu. 15 Perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat
(1). Dengan demikian pekerjaan yang menjadi objek dari perjanjian antara pemberi kerja
dengan pekerja/buruh rumahan tidak dapat diperjanjikan secara lisan. Hal ini kontra prestasi
dengan hasil penelitian yang ada, sehingga harus dibuat aturan baru mengenai bentuk dari
perjanjian kerja rumahan.
Selanjutnya membicarakan mengenai jam kerja, upah, dan keselamatan dan kesehatan
kerja. Mengenai jam kerja berdasarkan hasil penelitian pekerja/buruh rumahan bekerja tidak
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (7 jam sehari untuk 6 hari
kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja). Pekerja/buruh rumahan menganggap pekerjaan
rumahan merupakan pekerjaan sampingan. Jam kerja pekerja/buruh rumahan juga tidak tentu,
pekerja/buruh rumahan dapat bekerja kapan pun selama yang bersangkutan dapat
menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktu yang telah ditentukan, sehingga sangat fleksibel.
Sebagai contoh, pekerja/buruh rumahan yang bekerja pada bagian mengemas barang, dapat
9
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 41-43.
Periksa Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
11 Periksa Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
12 Berdasarkan hasil penelitian, perantara dapat orang-perseorangan atau persekutuan sehingga
dapat pula dikualifikasi sebagai pengusaha sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5.
13 Periksa Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
14 Periksa Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
15 Periksa Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
10
dalam satu hari bekerja selama lebih dari 12 jam. APINDO dan ILO telah membuat buku
panduan bagi pengusaha yang akan mempekerjakan pekerja/buruh rumahan. Berdasarkan
buku panduan tersebut, waktu kerja yang direkomendasikan yaitu ekuivalen dengan 40 jam
per minggu, dan apabila melebihi waktu kerja (lembur) maka tidak boleh lebih dari 14 jam per
minggu. Sehingga dalam seminggu beban kerja maksimal seorang pekerja rumahan adalah
setara dengan 54 jam kerja (termasuk lembur).16 Rekomendasi yang disampaikan oleh
APINDO dan ILO dapat menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan pertama yaitu terkait
lamanya waktu kerja karena terkesan tidak terdapat batasan bekerja dalam satu hari kemudian
permasalahan selanjutnya yaitu apabila melewati batas waktu kerja (lembur), belum terdapat
mekanisme atau tata cara perhitungan upah lembur. Dengan demikian masih perlu
dipertimbangkan mengenai jam kerja yang proporsional dan sesuai dengan karakteristik
pekerjaan rumahan.
Upah merupakan isu yang sensitif untuk diperbincangkan. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Kuloprogo, sebagian besar pekerja/buruh rumahan diupah di
bawah ketentuan upah minimum. Berdasarkan Pasal 91 ayat (1) Undang-undang
Ketengakerjaan, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Studi dari Iriyani dan Wiyanto17
menemukan fakta bahwa pekerja rumahan sebagai salah satu wujud pemberdayaan SDM yang
dianggap efisien bagi perusahaan kecil seperti UMKM, tapi itu kurang manusiawi kepada
pekerja atau buruh sendiri karena sistem ini jauh dari layak untuk kesejahteraan para pekerja
ini. Sistem yang dianggap ekonomis untuk pengusaha adalah pengusaha tidak perlu
mengeluarkan uang untuk agama tunjangan hari raya (THR), Jamsostek, gaji tetap, tunjangan
kesehatan, dan tunjangan lain seperti yang harus diberikan kepada karyawan resmi. Penulis
ingin menggarisbawahi sistem yang dianggap ekonomis, dengan adanya pekerja/buruh
rumahan pengusaha setidaknya diuntungkan dari kesempatan membayar upah di bawah
ketentuan dan keuntungan lain sebagaimana disebutkan dari studi tersebut. Dengan demikian
perlu dipikirkan formulasi upah yang tepat bagi pekerja/buruh rumahan.
Sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian kerja rumahan yang diberikan oleh
ILO, salah satu ciri kerja rumahan adalah pekerjaan dikerjakan tidak di perusahaan melainkan
di rumah dari pekerja atau tempat lain selain tempat yang disediakan oleh pengusaha.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada kewajiban dari pemberi kerja yang secara a contrario dapat
ditemukan pada Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-undang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut
menyebutkan setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan: a.
16 Apindo & ILO, 2013, Panduan Praktik yang baik untuk mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---iloPengusaha,
e-book,
jakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf, Hlm. 7, diakses 7 September 2017
17 Iriani, N.I. & Wiyanto, H.S.L. (2016). Pemberdayaan Kelompok Pekerja: Rumahan Melalui Pembinaan
Kewirausahaan dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 5(3): 104108.
keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kebanyakan
pekerja/buruh rumahan mengerjakan pekerjaannya tanpa menggunakan alat perlindungan diri,
bekerja seadanya sesuai dengan kebiasaan yang ada. Kondisi ini muncul karena kekurang
pahaman pekerja/buruh rumahan terhadap arti pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Diperparah lagi dari kurangnya kepedulian pengusaha menjadikan persoalan ini belum
dianggap penting. Terkait hal tersebut, Pemerintah DIY dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja
berusaha memfasilitasi dengan pemberian pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Kondisi
seperti ini, pemerintah daerah harus mengambil kebijakan untuk dapat mengatasi
permasalahan. Sebagaimana diketahui, bahwa pemerintah sebagai penyeimbang kedudukan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha sudah seharusnya memberikan perlindungan hukum
bagi para pihak khususnya bagi pekerja/buruh. Dengan demikian, kebijakan mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja yang seharusnya menjadi kewajiban dari pemberi kerja
dilaksanakan oleh pemerintah.
Begitu pula untuk permasalahan tidak diberikannya jaminan sosial terhadap
pekerja/buruh rumahan pemberi kerja. Permasalahan jaminan sosial timbul karena ada belum
adanya keseragaman program yang diikuti dan masih banyaknya masyarakat yang belum
menjadi peserta dari jaminan sosial yang ada. Belum adanya keseragaman dikarenakan masih
terdapat program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang sifatnya
cuma-cuma.18 Kepesertaan dari jaminan sosial yang ada, dalam hal ini BPJS Kesehatan,
menunjukkan sudah sebagian besar masyarakat DIY menjadi peserta BPJS Kesehatan.19
Permasalahan mengenai kepesertaan BPJS ini juga bermuara pada hubungan kerja yang
terjalin di antara para pihak cenderung sementara, sehingga hal ini dapat menjadi kerugian bagi
pemberi kerja. Selain itu, apa bila pekerja/buruh rumahan tidak bekerja lagi maka siapa yang
berkewajiban meneruskan iuran kepesertaan. Berdasarkan hasil penelitian, pekerja/buruh
rumahan berasal dari masyarakat yang kualifikasikan pada peserta penerima bantuan iuran.
Berdasarkan beberapa hal yang menjadi objek perlindungan di atas, dapat dirumuskan
bahwa, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum melindungi pekerja/buruh rumahan. Dengan
demikian Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengaturnya dalam
suatu peraturan daerah (Pergub atau Perda).
Pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan tidaklah tanpa menggunakan
suatu pedoman. Apabila menilik pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, oleh sebab itu semua produk hukum
yang merupakan dasar dari pelaksanaan suatu kewenangan pemerintah haruslah berdasarkan
hukum. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pedoman dalam membuat suatu produk hukum.
18 Masih ada Balai Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Gubernur No. 97 Tahun 2015 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata
Kerja Unit Pelaksanan Teknis pada Dinas Kesehatan.
19 Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warfa di Daerah Istimewa Yogyakarta jadi Peserta BPJS
http://www.starjogja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di-daerah-istimewa-yogyakartaKesehatan,
jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017
Hal demikian serupa dengan penjelasan umum dari Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai
negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem
hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi
dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus dilakukan beradasarkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan.20 Penjelasan Pasal 5 tersebut, Asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. Asas kesesuain antara jenis, hierarki, dan materi
muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai jenis dan hierarki peraturan perundangundangan. Asas dapat dilaksanakan adalah setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundangan-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Dan asas keterbukaan
adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka.
Berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
penyusunan kebijakan terkait pekerja rumahan/buruh rumahan memiliki kejelasan tujuan
yaitu sebagai solusi atas permasalahan di bidang ketenagakerjaan terutama yang menimpa
pekerja rumahan/buruh rumahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk
20
undangan.
Ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-
mengupayakan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh rumahan. 21 Asas
selanjutnya mengenai bahwa peraturan yang disusun harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Undangundang Ketenagakerjaan tidak memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah provinsi
untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai materi yang diaturnya. Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12, tenaga
kerja merupakah urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Akan
tetapi, berdasarkan Pasal 24 Undang-undang Pemerintahan Daerah, dalam melaksanakan
urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar Kementerian atau
Lembaga pemerintah nonkementerian bersama, Pemerintah Daerah melakukan pemetaan
urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan
pemerintahan pilihan yang menjadi prioritas setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut, maka Pemerintah daerah terkait
Urusan Wajib Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar hanya
menunggu/pasif dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian melakukan
pemetaan.
Undang-undang No. 23 Tahun 1948 Jo. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan
Perburuhan memberikan kewenangan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk mengawasi
berlakunya Undang-Undang dan peraturan perburuhan pada khususnya, mengumpulkan
bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan
dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturanperaturan perburuhan lainnya; dan menjalankan pekerjaan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Tetapi mengenai kewenangan kedua belum ada peraturan pelaksana
yang jelas yang mengatur bagaimana kewenagan tersebut dilaksanakan. Dengan demikian,
Pemerintah Provinsi Daerah DI Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah mempunyai kewenangan untuk mengurusi masalah tenaga kerja selama urusan tersebut
menjadi prioritas Provinsi DI Yogyakarta.
Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan. Berdasarkan asas tersebut,
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah mengatur mengenai jenis peraturan
perundangan seperti apa yang dapat mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan materi muatan, materi muatan suatu peraturan
daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten atau kota berisi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.22
Kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan ini dapat diatur dengan Peraturan Gubernur
karena Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengganggap ini adalah
kewenangan Pemerintah untuk mengatur daerahnya. Dengan demikian, karena adanya potensi
21
Sekretariat Daerah, Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, 2017, Kerangka
Acuan Kerja: Program Penyusunan Kebijakan Pembangunan, Hlm. 1.
22 Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
permasalahan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan maka Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta
dapat menyusun Kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan.
Asas dapat dilaksanakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di masyarakat. Setelah
mengadakan beberapa kali Focus of Discussion, salah satu hal yang menjadi perhatian dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan adalah kesiapan pemerintah dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan tersebut, terutama kesiapan lembaga dan masyarakat yang
akan menjadi sasaran dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana
disampaikan, bahwa isu mengenai Pekerja/Buruh Rumah belum banyak tersentuh oleh
pengambil kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari ketiadaan data statistik resmi, kurangnya
informasi tentang kondisi Pekerja/Buruh Rumahan, serta belum adanya kesamaan kesepakatan
bersama diantara pengambil kebijakan tentang status buruh rumahan yang sering kali rancu
dengan pekerja mandiri, pekerja rumah tangga atau bahkan orang yang melakukan kegiatan
untuk mengisi waktu.23
Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan, bahwa peraturan perundang-undangan
dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat. Pada prinsipnya penyusunan kebijakan
Pekerja/buruh Rumahan memang sangat dibutuhkan karena selama ini hak-hak Pekerja/Buruh
Rumahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan belum sepenuhnya
dipenuhi.24 Dengan tersusunnya kebijakan tersebut maka kebijakan tersebut dapat bermanfaat
bagi Pekerja/Buruh Rumahan. Dengan demikian, Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan dari
kebijakan tersebut terpenuhi.
Asas Kejelasan Rumusan, kebijakan Pekerja/Buruh Rumahan disusun dengan
memperhatikan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Beberapa Peraturan Perundang-undangan
yang menjadi acuan utama antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Asas Keterbukaan, selama ini pembahasan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan belum
dibahas secara komprehensif yang melibatkan semua stakeholder yang akan terkena dampak
dari kebijakan ini. Selain itu, diperlukan perencanaan dan kajian yang lebih mendalam
mengenai permasalahan Pekerja/Buruh Rumahan. Selama ini belum ada kajian yang secara
menyeluruh yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya apabila kebijakan ini telah didukung dengan kajian yang komprehensif maka perlu
diperhatikan proses pengesahan atau penetapan, pengundangan harus transparan dan terbuka.
23
24
Sekretariat Daerah, op.cit.
Ibid.
Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan yang dikemukakan, maka
Undang-undang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa kebijakan tenaga kerja sebagai urusan
wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar belum dapat dilaksanakan
karena Pemerintah Daerah hanya pasif menunggu pemetaan dari kementerian atau lembaga
pemerintahan non kementerian. Selain itu, tidak ada pendelegasian atau pemandatan kepada
pemerintah daerah terkait penyusunan peraturan perundang-undangan di bawah undangundang berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan, memberikan wewenang kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk
mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturanperaturan perburuhan lainnya, akan tetapi belum ada pengaturan lebih lanjut terkait wewenang
tersebut. Berdasarkan Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik
maka penyusunan Kebijakan Pekerja Rumahan belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan
oleh tidak terpenuhinya Asas Dapat Dilaksanakan dan Asas Keterbukaan. Akan tetapi
berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah, dapat menyusun
Kebijakan Daerah mengenai Pekerja/Buruh Rumahan dalam bentuk Peraturan Gubernur
karena Pemerintah Daerah dapat mengganggap hal ini merupakan kewenangan daerah untuk
mengatur daerahnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis bahwa Undang-Undang Ketengakerjaan belum dapat
memberikan perlindungan kepada Pekerja/buruh rumahan dan berdasarkan Pasal 14 UndangUndang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pemerintah daerah dapat menyusun
kebijakan mengenai pekerja/buruh rumahan berdasarkan tugas penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan terutama dalam rangka menampung kondisi khusus daerah.
Penyusunan kebijakan harus melibatkan sebanyak mungkin pihak yang akan terkena dampak
dari kebijakan tersebut dan dalam proses penyusunannya, pemerintah harus memperhatikan
syarat formil dan syarat materil pembentukan suatu peraturan perundang-undangan serta
memperhitungkan dampak sosial yang mungkin timbul dari kebijakan tersebut.
Acknowledgment
Penulisan artikel ini didukung oleh Arif Hartono, S.E., M.HRM., Ph. D dan A.B. Widyanta, S.Sos.,
M.A. Pendanaan dilakukan oleh Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan. Staf Dinas Tenaga kerja dan
Transmigrasi DIY Angga Suanggana, S.H. sebagai pihak yang menghubungkan para pihak dalam
penelitian kepada pihak Penulis dan sebagai narasumber.
Daftar Pustaka
APINDO DAN ILO Jakarta, 2013, Panduan Praktik yang Baik untuk Mempekerjakan Pekerja
Rumahan bagi Pengusaha , ILO Jakarta, Jakarta;
Iriani, N.I. & Wiyanto, H.S.L. (2016). Pemberdayaan Kelompok Pekerja: Rumahan Melalui
Pembinaan Kewirausahaan dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan. JISIP: Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 5 Nomor 3;
Proyek ILO MAMPU, 2015, Akses ke lapangan kerja dan pekerjaan yang layak untuk perempuan,
ILO Jakarta, Jakarta;
Sekretariat Daerah Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, 2017, Kerangka
Acuan Kerja : Program Penyusunan Kebijakan Pembangunan, Sekretaris Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta;
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta;
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , Liberty, Yogyakarta;
Apindo & ILO, 2013, Panduan Praktik yang baik untuk mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi
Pengusaha , e-book, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/--ilo-jakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf, diakses 7 September 2017;
Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah Istimewa Yogyakarta jadi Peserta
BPJS Kesehatan, http://www.starjogja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di-daerahistimewa-yogyakarta-jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang No. 23 Tahun 1948 Jo. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan
(Lembaran Negara RI Tahun 1951 No. 4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003
No. 39, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4279);
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara RI Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5234);
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2014 No. 244, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5587);