Demokrasi dalam Kata dan Tindakan

Demokrasi dalam Kata dan Tindakan
Dr Edy Suhardono (Executive Director)*

I
Diskusi seputar praktek demokrasi di Indonesia menjadi hal yang tak kunjung surut, kalau tak boleh
dikatakan makin marak. Ada pihak yang berkukuh, praktek demokrasi substansial, mutlak dan universal adanya;
pihak lain bertahan pada posisi bahwa praktek demokrasi sangat fakultatif, relatif, partikular, atau bahkan
situasional. Pandangan pertama berpangkal pada anggapan, demokrasi adalah satu-satunya cara yang sudah teruji
dalam mencapai sebuah kehidupan ketatanegaraan yang tertib, tanpa harus mengambil tumbal berupa hilangnya
jaminan terhadap hak-hak azasi perorangan. Pengalaman di pelbagai pelosok dunia menunjukkan, sistem
demokrasi lebih kedap uji bagi kelangsungan sebuah pemerintahan negara. Maka, demokrasi bahkan memiliki
kebolehjadian sebagai tujuan dari kehidupan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat. Pandangan kedua
tetap kukuh pada anggapan, demokrasi hanyalah cara belaka. Karena cara, praktek demokrasi bersifat relatif,
regional, partikular, dan "tak boleh meninggalkan jati diri bangsa sendiri."

1

II
Belajar dari salah satu adagium dalam psiko-linguistik, makna suatu pem-bahasa-an baru terjadi apabila
2


suatu kata (misalkan, "demokrasi") mengandung di dalamnya suatu "representational distal object,"

dan

3

"idiosyncretic phenomenological product." Jadi, analog dengan makna "kambing" (yang manakala diucapkan, baik
pada bayangan mental [mental imagery] si pembicara maupun lawan bicara muncul seekor binatang kambing),
dalam "demokrasi" pun hendaknya terkandung bayangan tentang binatang "demokrasi" itu. Berpijak dari batasan
ini, demokrasi ---berikut tali-temalinya--- tak bakal dijumpai dalam latar sosial-budaya yang dalam perbendaharaan
bahasanya tidak menyediakan kosa kata "demokrasi".
4

Argumentasi ini disangkal oleh Hockett, bahwa pem-bahasa-an terhadap suatu realitas pun dapat
memiliki unsur "salah tempat (displacement)." Dalam contoh, sebutan orang Turki terhadap warna yang memiliki
campuran biru diungkapkan dengan "Bayangkan suatu dunia tanpa anjing." Atau, bagi orang Jawa Tengah,
memasak air diungkapkan dengan nggodog wedang. Dengan demikian, dapat saja perilaku yang tidak mewakili
kesejatian (dalam arti utterance) realitas demokrasi justru dianggap sebagai demokrasi, dan sebaliknya.

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]


Page

Simak pernyataan KSAD Wismoyo Arismunandar, "Demokrasi hendaknya jangan diidentikkan dengan Kontradiksi."
(Kompas, 27 April 1993).
2
Martin Fishbein & Icek Ajzen, Belief, Attitude, Intention and Behavior (London, 1975), hal. 166.
3
Marvin E. Shaw & Philips R. Costanzo, Theories of Social Psychology, 2'nd. ed. (Tokyo, 1982), hal. 185.
4
C. F. Hockett (1960), The origin of speech. Scientific American, 203, hal. 89-96.

1

1

5

Sanggahan lain datang dari Wilson. Ia katakan, bahasa pun memiliki produktivitas. Bahasa memberikan
kelonggaran kepada pemakainya untuk memproduk kesejatian baru. Maka, masih ditemukan justifikasi mengapa

ada "demokrasi A," "demokrasi B," sampai "demokrasi XXX."
III
Simpulan sementara itu membawa kita ke pembahasan tentang keberkaitan antara kata dan perbuatan,
6

yang dalam konstelasi teori psikologi sosial dikenal dengan "teori rekayasa perilaku (planned behavior theory)" --suatu teori yang secara optimistik mendukung hubungan kausal-linier antara keyakinan, sikap, niat dan perilaku;
pendeknya, kata-lah penentu perbuatan. Tiga hal yang dipersyaratkan agar kata dapat meramalkan perbuatan,
ialah bahwa (1) faktor lain di luar hubungan antara sikap dan perilaku dapat dikendalikan, (2) sikap dan perilaku itu
bukan umum tetapi spesifik, dan (3) pelaku sadar akan hubungan antara perilaku dan sikapnya, atau sebaliknya.
Jika ketiga syarat ini dipenuhi, niscaya siapapun gerangan yang menganut paham demokrasi, ia pun akan sanggup
berperilaku demokratis. Jika beberapa waktu yang lalu di kawasan elit Pondok Indah Jakarta terbetik berita di
koran: "Seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (secara a priori tentu berpaham demokratisme) tega
menganiaya (tindakan repressive authoritarian) pembantu rumah tangganya" tentu ada salah satu, atau semua,
syarat yang tak terpenuhi sehubungan dengan kaitan antara kata dan perbuatan.
Teori lain tentang hubungan antara kata dan perbuatan adalah teori peran. Secara umum, teori ini justru
berpendapat bahwa perilakulah penentu perbuatan. Dalam contoh, semasa kuliah, dua orang mahasiswa saling
bersahabat kental; dan keduanya sama-sama berprestasi unggul. Setelah keduanya lulus, yang satu bekerja
sebagai birokrat-administrator di lembaga pemerintah yang tergolong basah, sedang yang lain sebagai wartawan
surat khabar. Menurut proposisi teori ini, kedua bersahabat itu akan memiliki sikap yang sama sekali berbeda
ketika, misalnya, menghadapi persoalan penggelapan keuangan di salah satu kantor pemerintah. Sejalan dengan

bergulirnya sang waktu, perbuatan menentukan sikap dan kata seseorang.
Pada penggunaan dari kata demokratis dan perwujudan perbuatan demokratis yang kita kenal, ada
catatan tambahan. Agaknya, perwujudan dari runtutan pertama ---kata menentukan perbu-atan--- selama ini lebih
diupayakan dengan ritus verbalisme yang begitu akrab di bagi kita ketimbang melalui perundangan. Sedang
perwujudan dari runtutan kedua ---perbuatan menentukan kata--- diupayakan dengan menengarai praktek hidup
berbangsa dan bernegara dalam bentuk konsensus dan konvensi. Dari sini lantas pertanyaannya, sejauh manakah
verbalisme, konsensus dan konvensi menjamin praktek perilaku demokrasi? Belum lama berselang hal ini menjadi
polemik seru melalui disertasi Adnan Buyung Nasution.

7

IV
Demokrasi baru dapat terwujud sebagai perilaku bila setiap pelaku yang terlibat merasakan peluang
8

freedom of choice dalam dirinya. Derajat freedom of choice berkorelasi dengan peluang melakukan partisipasi dan
pengambilan keputusan dalam kehidupan sosial seseorang. Sedang derajat partisipasi dan pengambilan keputusan
tergantung pada gaya kepemimpinan yang diberlakukan dalam suatu latar sosial. Dengan ketaat-azasan seorang
ilmuwan yang mengkaji fenomena demokrasi menurut disiplin psikologi sosial, Lewin bersama dengan Lippit dan
White (1939) mengkaitkan kemunculan perilaku demokratik, autoritarian dan laissez-faire dengan gaya

5

Wilson (1975) dalam Colin Martindale, Cognitive Psychology, A Neural-Network Approach (California, 1991),

hal.

204.

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]

Page

Fishbein dan Ajzen, Op. cit., hal. 1 et seq..
Franz Magnis-Suseno (1993), Reevaluasi Konstituante? Refleksi sekitar disertasi Adnan Buyung Nasution. Basis, April,
XLII, No. 4, hal. 122-129.
8
Kurt Lewin dalam Edward G. Sampson, Social Psychology and Contemporary Society (Toronto: 1976), hal. 317.
7

2


6

kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang dibawakan seseorang berperan utama bagi pembentukan perilaku
demokratis para pengikutnya.
9

Melalui pembuktian eksperimental pada beberapa kelompok berumur rata-rata 11 tahun, gaya
kepemimpinan demokratis terbukti mampu menaikkan freedom of choice para pengikutnya. Hal ini terlihat dari
keberhasilan pemimpin dalam memperlancar formulasi aneka alternatif yang akhirnya terbuka bagi pengikut. Hal
ini memungkinkan para anggota menemukan pilihan yang lebih sesuai dengan kebutuhan aktual. Gaya
kepemimpinan autoritarian ditandai dengan peranan pemimpin dalam mencanangkan kebijakan umum,
memformulasikan alternatif-alternatif bagi pengikut, dan membuat keputusan berkenaan dengan pilihan di antara
alternatif-alternatif itu. Anggota tak diperkenankan (1) memformulasikan alternatif yang sebenarnya ada, (2)
memilih di antara alternatif-alternatif itu, dan (3) mengambil keputusan secara aktif terhadap pilihan-pilihan yang
ada. Para anggota hampir tak tak melakukan hal lain kecuali menerima definisi yang dibuat pemimpin tentang
situasi mereka. Sedang pemimpin laissez-faire cenderung memainkan peran pasif, hanya menanggapi bila ditanya,
dan tidak pernah mengambil prakarsa untuk memperlancar aktifitas kelompok atau membantu anggota
mengklarifikasi tujuan dan alternatif mereka kecuali bertanya.
10


Lippit dan White lebih jauh menengarai adanya reaksi-reaksi khas dari kelompok atas gaya
kepemimpinan autoritarian dan demokratik. Pada kelompok yang mendapatkan perlakukan gaya kepemimpinan
autoritarian, ditemukan adanya reaksi umum berupa sikap pasif dan tergantung, menunjukkan tingkat ketegangan
dan frustrasi yang rendah ; pada kelompok eksperimental lain malahan ditemukan reaksi agresif, menunjukkan
kekecewaan dan frustrasi terhadap pemimpin. Pada kelompok autoritarian ini terjadi pula ketidakpuasan umum.
Terdapat usaha keras untuk merebut perhatian dari orang dewasa; kurang terjadi percakapan yang bersifat
pribadi, ramah dan intim di antara anggota selain terjadi permusuhan dan ketegangan antar kelompok.

11

Penggambaran eksperimen yang rinci ini penulis maksudkan untuk membawa ke permukaan sebuah
miniatur fenomena demokrasi yang laik-rampat (generalisable), kendatipun dibangun dari konteks laboratoris.
Pengambilan sampel anak-anak berumur rata-rata 11 tahun, waktu eksperimen yang cukup lama, dan metoda
pengukuran yang komprehensif serta kadar mundanae realisme yang memadai dari eksperimen ini, kiranya,
memungkinkan eksperiman ini diangkat ke konteks lebih makro. Gaya kepemimpinan sebagaimana ditampilkan
dalam eksperimen diatas mewakili kenyataan, bahwa intervensi pengasuhan terhadap anak seperti pelatih-an
kepemimpinan, pembiasaan-pembiasaan (makan, bekerja dsb.), produksi kerja, kriminalitas, alkoholisme,
prasangka dan sebagainya, kesemuanya mengubah perilaku individu melalui wadah kelompok (entah keluarga,
sekolah, masyrakat dsb.). Dan sebagaimana pandangan umum yang dikukuhi psikologi dalam menjelaskan

kenyataan sosial, Lewin pun menganggap, ada saling tawar antara individu dan kelompok, antara individu dan
masyarakat yang hadir dalam wujud kelompok.
12

Lewin merumuskan pandangannya dalam 5 butir: (1) kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap dan semacamnya

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]

Page

Mereka dimasukkan dalam suatu program, yang memungkinkan mereka ditangani oleh pemimpin (orang dewasa)
dengan gaya kepemimpinan masing-masing yang berganti setiap tujuh minggu sekali. Dengan demikian eks-perimen ini
berlangsung selama 21 minggu atau sekitar 5 bulan. Urut-urutan perlakuan pada kelompok pertama: kepemimpinan
demokratik, otoriter dan terakhir laissez-faire. Urutan yang berlawanan diterapkan terhadap kelompok kedua, sedang urutan
lain pada kelompok ketiga, dan seterusnya. Pengukuran dilakukan baik melalui rekaman observasional, maupun wawancara
dengan para partisipan, orang-tua mereka, maupun guru-guru kelas mereka. Simak Lewin dalam Sampson, op. cit., hal 318.
10
R. Lippit & R.K. White., An experimental study of leadership and group life dalam E.E. Maccoby, T.M. Newcomb, &
E.L. Hartley (Eds.), Readings in social psychology (3'rd ed.) (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1958).
11

Pada kelompok laissez-faire permusuhan dan ketegangan ini justru terjadi di antara sesama anggota kelompok.
12
Kurt Lewin (1947), Frontiers in group dynamics: Concept, method and reality in social science: Social equilibria and
social change. Human Relations, 1, 5-41.

3

9

terjadi dalam suatu konteks sosial, (2) konteks itu, biasanya berupa kelompok-kelompok yang kita gabungi,
mendukung keberlangsungan kebiasaan, keyakinan atau sikap-sikap kita itu, (3) penyimpangan dari tingkat
kebiasaan kelompok biasanya disusul dengan sanksi, (4) proses perubah-an individu harus melampaui patokan
kelompok yang mendukung perubahan perilaku itu pada tingkat (minimal) tertentu; dan (5) jika seseorang dapat
mengubah patokan kelompok, ia akan mampu juga menciptakan perubahan perilaku dari anggota kelompok yang
lain.
Tampak bahwa kondisi tidak adanya peluang freedom of choice pada kelompok autoritarian, yaitu berupa
ketiadaan kesempatan untuk memformulasikan alternatif yang sebenarnya ada, melakukan pilihan terhadap
alternatif-alternatif itu, dan mengambil keputusan secara aktif terhadap pilihan-pilihan yang ada bukan
sepenuhnya menjadi beban yang harus dipikul pihak pemegang tampuk kepemimpinan. Pada dasarnya, anggota
(baca:warga negara) masih memiliki pelu-ang untuk mengubah keadaan itu. Yang diperlukan untuk itu adalah

13

intervensi sistematik sebagaimana diusulkan oleh Dorwin Cartwright, bahwa kelompok sendiri harus melakukan
proses perubahan. Caranya, kelompok itu sekaligus harus menjadi medium, sasaran, sekaligus agen dari
14

perubahan. Nampak di sini, betapa mendesaknya keperluan akan komunikasi antar kelompok dan kaderi-sasi
bagi calon agen pengubah. Namun perlu diwaspadai, intervensi semacam ini perlu mengimplementasikan adanya
keberagaman kelompok-kelompok dalam masyarakat ---apakah antar mereka terjadi kerukunan atau
pertentangan--- yang tak jarang, disengaja atau tidak, dimanfaatkan oleh pihak penguasa manapun justru untuk
melegitimasikan tindakannya.
V
Akhir-akhir ini, kita masih dirisaukan dengan tragedi praktek demokrasi yang cukup serius lagi
memprihatinkan. Masih terang dalam ingatan kita, di sekitar pelaksanaan SU MPR yang baru saja lalu, seorang
perwira tinggi militer tanpa tedeng aling-aling mengeluarkan pernyataan di pers, "siapa pun yang mau
menggagalkan pencalonan Pak Try, tak saduk!"; juga cercaan "DPR goblog" oleh seorang mantan Kapolri
sehubungan dengan reaksi keras masyarakat terhadap akan diberlakukannya "komputerisasi STNK yang disertai
dengan pembengkakan biaya"; atau tragedi "petrus" di dasawarsa delapan-puluhan. Fakta ini benar-benar
mengikis rasa optimisme kita perihal sudah bekerjanya demokrasi sehingga wajar bila muncul sebuah pertanyaan
yang mengusik: apakah demokrasi dapat bersemai subur di tanah air tercinta ini?

Penulis mencoba menghubungkan fakta ini dengan dugaan hipotetis dari T.W. Adorno, Else FrenkelBrunswik, Daniel J. Levinson dan R. Nevitt Sanford dalam buku hasil penelitian mereka yang terkenal, The
15

Authoritarian Personality (1950). Dengan menggunakan kedua pendekatan: clinical case history dan model
pengukuran sikap dan opini seperti yang biasa ditempuh dalam kajian psikologi sosial, mereka menggarap
penelitian yang beranjak dari anggapan, pandangan politis, ekonomi dan sosial seseorang membentuk sebuah pola
yang luas dan utuh yang mencerminkan kecenderungan kepribadiannya. Mereka mencoba menguji hipotesis,
paham anti-Semitisme yang mewarnai rejim Nazi, pada dasarnya bukan suatu keyakinan yang terisolasi, tetapi
13

D. Cartwright (1951), Achieving change in people: Some applications of group dynamics theory. Human Relations, 4,

381-392.

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]

Page

4

14

Kelompok sebagai medium berarti, kelompok pada dirinya memiliki kemampuan untuk mencengkeramkan
pengaruhnya pada kelompok, apakah untuk konform atau bertahan terhadap perubahan yang datang dari mana pun. Sebagai
sasaran berarti, patokan kelompok dapat menjadi sasaran perubahan yang diusahakan oleh agen pengubah. Bila agen dapat
mengubah patokan kelompok, dan kelompok itu memiliki pengaruh terhadap anggota-anggotanya, agen dapat lebih mudah
merealisasikan perubahan itu. Kelompok sebagai agen perubahan berarti, kelompok itu secara keseluruhan menjadi agen
pengubah melalui kerja-sama dengan kelompok-kelompok lain.
15
Simak T.W. Adorno, Else Frenkel-Brunswik, Daniel J. Levinson & R. Nevitt Sanford, The Authoritarian Personality
(New York: The Norton Library, 1950).

merupakan bagian dari apa yang mereka sebut "sistem ideologi fascistik". Untuk menyingkap "ideologi" ini, Adorno
dkk. mengembangkan beberapa sekala kuesioner untuk menaksir komponen-komponen yang berbeda dari apa
yang mereka rasakan sebagai suatu ideologi anti-demokratik. Sekala pertama mencoba menyingkap "sikap
ethnosentrisme" (disebut sekala E), yaitu suatu sekala tentang kecenderungan untuk melihat dan mengevaluasi
segala sesuatu menurut sudut "kelompok dalam," yang senantiasa baik, lawan "kelompok luar", yang senantiasa
ditolak. Sekala kedua berusaha mengungkap konservatisme ekonomi-politik (sekala PEC); sekala ketiga menyingkap sikap anti-Semitisme (sekala A-S); dan sekala keempat menyingkap sikap fascisme (sekala F).
Potret kepribadian autoritarian digambarkan oleh Adorno sebagai suatu "kepribadian seorang
pengendara sepeda: ketika diatas menginjak, ketika di bawah menendang." Kepribadian ini secara umum
menggambarkan aspek kekuasaan dari suatu hubungan, dimana terjadi dominasi dari warna penindasan terhadap
kaum lemah manakala si pribadi sedang berada pada posisi diatas. Kepribadian ini juga digambarkan sebagai
kekakuan dalam pemikiran, yaitu kecenderungan untuk hanya menggunakan stereotipe dalam membaca realitas.
Pandangan seksualnya begitu puritan; nilai seksual konvensional sengaja disakralkan, termasuk tentang hal
bagaimana mestinya menjadi lelaki dan mestinya perempuan. Pandang-an tentang kehidupan, dunia, dan kodrat
manusia begitu pesimistik. Manusia dipandang sebagai makhluk self-centered dan tak dapat dipercaya; manusia
adalah makhluk yang jahat, kotor dan berbahaya. Selain itu pribadi autoritarian sangat haus akan perintah dan
tidak toleran terhadap ambiguitas: semua harus tetap pada tempatnya.
Pendekatan clinical case history berhasil menyingkap dinamika mendasar dari kepribadian autoritarian:
kepribadian yang tidak menyukai introspeksi dan tak berminat mengkaji motif maupun perasaan. Kepribadian ini
juga ditandai dengan mekanisme pertahanan diri berupa penolakan, represi dan proyeksi: mereka berusaha
menolak dorongan-dorongan yang hidup dalam dirinya, terutama dorongan yang berkenaan dengan permusuhan
dan seks; dorongan-dorongan ini begitu ditekan sehingga jenis kepribadian ini hampir tak pernah memberi kesempatan terjadinya kontak emosional. Dorongan-dorongan ini diproyeksikan kepada orang lain berupa reaksi
menolak dan bermusuhan.
Bila kecenderungan demikian menjadi kecenderungan rata-rata orang Indonesia, apalagi ditemui pada
mayoritas pemegang tampuk kekuasaaan pemerintahan, niscaya kapan pun tak akan ada singsing fajar bagi
demokrasi. Karena selagi kita masih diliputi mendung autoritarianisme, upaya demokratis apa pun hanya akan
berhenti dalam verbalisme, kalau tidak malahan menjadi sekadar polesan untuk "men-demi-kan" setiap sepak
terjang bermotifkan kekuasaan.
Paling tidak, dalam aras analisis perilaku, ada tiga gejala yang dapat menjadi kendala utama bagi
transformasi autoritarianisme menuju demokratisme: autorisasi, rutinisasi dan dehumanisasi. Autorisasi dicirikan
dengan upaya menyulap wrongdoings menjadi sebuah misi transenden (demi kepentingan nasional, demi
16

16

Solzhenitsyn (1974) menulis buku berjudul The Gulag Archipelago; uraiannya diperoleh dalam Sampson (1976), op.
cit., hal.393.

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]

Page

Biasanya autorisasi disertai dengan reifikasi, yaitu pengundang-undangan terhadap suatu kelembagaan
atau praktek sosial yang sudah lazim (misalnya: berpakaian, berderma amal sedekah, berpola hidup sederhana)
sehingga menjadi proses yang "serba ditertibkan", absolut, konvensional dan mencerminkan bahwa hal semacam

5

keamanan nasional, dsb.). Dalam tulisan Solzhenitsyn, digambarkan bahwa dalam diri para serdadu Rusia
berlangsung sebuah kesetiaan yang berfungsi sebagai tameng untuk melindungi diri sendiri dari bahaya tuduhan
yang datang dari orang-orang yang mereka kira bakal menuntut mereka untuk mempertanggungjawabkan
tindakan-tindakan pribadi. Jadi ungkapan "menurut petunjuk Bapak X" tak lain merupakan bentuk "barter" antara
kesetiaan dengan kepatuhan demi memperoleh proteksi.

itu bukan lagi merupakan produk dari perilaku manusiawi yang lazim.
Rutinisasi adalah dijadikannya rutin hal-hal yang sebenarnya sangat membutuhkan pertimbangan motif
dan perhatian. Rutinisasi sebagai kendala bagi pertanggungjawaban tindakan terjadi, karena bersamaan dengan
makin suatu aktifitas menjadi kebiasaan, makin sedikit kemungkinan terjadinya usaha pemikiran sebelum aktifitas
itu dilakukan. Bila pelayanan umum berubah menjadi bentuk rutinisasi, sebuah mala petaka sedang dan akan
aterus terjadi (uang semir, komisi dsb.). Hal ini pada akhirnya akan menurunkan derajat kepentingan umum
menjadi sekadar hal-hal nir-manusiawi. Biasanya sejalan dengan bergulirnya waktu, rutinisasi akan bergeser
menjadi dehumanisasi.
Transformasi dari perilaku autoritarian menuju perilaku demokratik, sebagaimana diajukan oleh Milgram
17

yang dikutip dalam Sampson (1976), dapat dihadang melalui beberapa penghilangan kondisi-kondisi sebagai
berikut: (1) kondisi yang memudahkan berkembang dan terpeliharanya kesediaan untuk hanya patuh; (2) kondisikondisi yang mengembangkan dan menegaskan kebijakan yang memberi tempat bagi para pejabat "tengah
tangga," yang hanya siap menjalankan perintah tanpa mau bertanggungjawab; dan (3) kondisi yang dapat
mengurangi daya tolak yang normal terhadap tindakan tak manusiawi.
Simpulan dari ulasan ini: (1) deprivasi akan adanya praksis demokrasi salah satunya dapat ditelusur dari
tiadanya kata yang mendukung kesejatian realitasnya; (2) verbalisme, konsensus dan konvensi perlu dikaji-ulang
berkenaan dengan pertanyaan sejauh mana ketiga hal itu mampu menjaminan praksis demokrasi; (3) perwujudan
praksis perilaku demokrasi tidak tergantung semata pada prakarsa pihak penguasa, asalkan dapat diciptakan suatu
pola komunikasi antar kelompok dalam masyarakat (sebagai "gugusan sapu lidi"), dan kaderisasi yang sistematik
terhadap para calon agen pengubah; dan (4) transformasi dari kepribadian autoritarianisme menuju demokratisme, selain melalui pengikisan terhadap autorisasi, reifikasi dan dehumanisasi, perlu juga dirangsang melalui
pelatihan moral tanggungjawab pribadi (jadi bukan langsung moral tanggungjawab sosial). Tanggungjawab sosial
muskil terwujud tanpa dilandasi tanggungjawab pribadi dalam bertindak.
***

Page

6

Surabaya, 10 Mei 1993

17

Ibid., hal 386.

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adorno, T. W., Frenkel-Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, N., The Authoritarian Personality. New York: The
Norton Library, 1950.
Cartwrigh, D., "Achieving change in people: Some applications of group dinamics theory." Human Relations, 4, 381392.
Fishbein, M., & Ajzen, I., Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. London:
Addison-Wesley, Reading, Mass., 1975.
Lewin, K., "Frontiers in group dynamics: Concept, method and reality in social science: Social equibria and social
change (1947). Human Relations, 1, 5-41.
Hocket, C. F., "The origin of speech" (1960). Scientific American, 203, hal. 89-96.
Maccoby, E. E., Newcomb, T. M., & Hartley, E. L. (Eds.), Readings in Social Psychology (3'rd ed.). New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1958.
Magnis-Suseno, F., "Reevaluasi Konstituante? Refleksi sekitar disertasi Adnan Buyung Nasution" (1993). Basis,
April, XLII, 4, hal. 122-129.
Martindale, C., Cognitive Psychology, A Neural-Network Approach (1'st ed.). California: University of California
Press, 1991.
Sampson, E. G., Social Psychology and Contemporary Society. Toronto: McGraw-Hill, 1976.

Page

7

Shaw, M. E., & Costanzo, P. R., Theories of Social Psychology (2'nd. ed.). New York: McGraw-Hill, 1982.

http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]