Bisnis Prostitusi dan Pesta Bikini Tren

Bisnis Prostitusi dan Pesta Bikini, Tren Baru?
Oleh: Ali Thaufan DS
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang patut direnungkan bersama.
Pertanyaan pertama adalah terkait bisnis prostitusi, yakni: jika anda seorang pekerja seks komersil (PSK),
apa jawaban anda ketika ditanyai motif menjadi PSK?; Bagaimana posisi anda dalam keluarga, sedangkan
keluarga anda mengetahui bahwa anda seorang PSK?; Seperti apa perlakukan anda terhadap tetangga
atau teman anda yang menjadi PSK, apakah jika ia mati anda akan mengutuknya? Pertanyaan kedua
menyangkut isu pesta bikini yang akan digelar oleh beberapa sekolah tingkat atas pasca ujian nasional,
yakni: mengapa kelulusan UN harus disukuri dengan pesta bikini. Inilah beberapa pertanyaan yang patut
direnungi karena PSK juga manusia, ia tidak boleh diabaikan haknya untuk hidup “normal”; PSK
memerlukan perhatian dari berbagai pihak untuk membantu “meluruskan” hidupnya; serta anak-anak
yang akan menggelar pesta bikini, bagaimanapun adalah generasi bangsa, jangan dibenci, jangan
dibiarkan, mereka harus “diluruskan”.
Pada pertengahan hingga akhir April 2015, publik diramaikan dengan perbincangan mengenai
pembunuhan Deudeuh Alfisahrin –yang akrab disapa Empi-, perempuan yang diduga sebagai PSK dan
rencana pesta bikini anak-anak sekolah tingkat atas sebagai perayaan pasca UN. Pembunuhan terhadap
Empi oleh seorang pelanggannya cukup menyita perhatian. Hal ini turut membuka tabir bisnis prostitusi
via media sosial. Sebetulnya, bisnis “umbar nafsu” bukan hal baru. Gang Dolly yang terletak di Surabaya
adalah bukti kongkrit bisnis menjamurnya tersebut. Untuk memberantasnya bukan perkara mudah. Caracara kekerasan dan persuasif tampaknya gagal.
Beberapa lembaga dan yayasan melakukan survei terkait dengan motif pada PSK. Hasilnya hampir sama,
para PSK “menjual” dirinya demi kepentingan atau karena terdesak ekonomi. Kondisi ini tentu sangat

memprihatinkan, demi uang mereka melakukan pekerjaan yang beresiko –baik dilihat dari sisi sosial dan
agama. Motif PSK yang dikarenakan tuntutan ekonomi juga terkonfirmasi oleh beberapa surat para PSK
yang pernah dikirim kepada presiden Susilo Bambang Yodhoyono para tengah 2014 lalu. Surat tersebut
berisi keluhan tentang tuntutan ekonomi mereka. Jelas, motif utama PSK adalah tuntutan ekonomi.
Mereka umumnya hidup pada garis kemiskinan sehingga melalukan hal apa saja untuk dapat memenuhi
hajat hidup. Memang, pada awal 2015 lalu, badan pusat statistik (BPS) membenarkan bahwa angka
kemiskinan terus meningkat.
Selanjutnya adalah terkait rencana pesta bikini yang digelar oleh siswa SMA pasca UN. Setidaknya
rencana tersebut meski akhirnya dibatalkan, menunjukkan adanya model perayaan UN yang jauh dari
nilai-nilai “ketimuran” dan keagamaan. Rencana pesta bikini memperlengkap buramnya wajah
pendidikan di Indonesia. Seperti kasus yang sudah-sudah, pelajar seringkali terlibat tawuran
antarsekolah, kekerasan, hingga kasus asusila yang dilakukan oleh pelajar dan bahkan seorang guru. Ini
seharusnya menjadi perhatian baik orang tua murid, guru dan pemerintah. Mengapa harus dengan cara
pesta bikini dalam merayakan UN? Padahal pengumuman kelulusan pun belum disampaikan. Budaya apa
yang sedang digandrungi oleh anak-anak sekolah saat ini?
Melihat dua peristiwa di atas, negara harus hadir turut menyelesaikan. Peristiwa di atas bukan hal remeh
karena menyangkut hajat hidup seseorang, sisi kemanusiaan dan generasi penerus dan pembaru bangsa.
Perlu ada tindakan guna meredam tingginya angka perkembangan PSK dan pemantauan sistem

pendidikan formal dan non formal. Bisnis protitusi dan rencana pesta bikini yang menjadi tren baru saat

ini harus diutamakan penanganannya.