DEKONTRUKSI Hadits-Hadits Bias Gender

DEKONTRUKSI
Hadits-Hadits Bias Gender

2

DEKONTRUKSI
Hadits-Hadits Bias Gender
Oleh: Enjang

A. Pendahuluan
Diantara issu global yang sempat menjadi agenda persoalan dewasa ini adalah masalah
gender.1 Merebaknya masalah perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan bahkan
kekerasan terhadap kaum perempuan, pada dasarnya merupakan konstruksi sosial dan budaya
yang terbentuk melalui proses yang panjang. Salah satu faktor penyebab – yang tidak dapat
dipungkiri- yang melanggengkan konstruksi sosial-kultural yang mengakibatkan ketidak adilan
gender adalah pemahaman agama.
Agama Islam dengan ketentuan normatifnya (syari‟ah) dituding ikut bertanggung jawab
terhadap ketidak adilan gender. Kaum feminisme di dalam mengkritik aspek Islam atau pun
masyarakat Islam berdasarkan posisi mereka pada sebuah pandangan yang secure radikal asing
bagi pandangan dunia Islam dan secure tipikal bercorak moral. Mereka menuntut pembaruan
dengan standar barat Modern, yang berarti ada sebuah idealitas abstrak yang bisa dipahami dan

harus dipaksakan dengan meruntuhkan tatanan lama yang sudah dianggap mapan. Akan tetapi
kritik yang mereka lontarkan tidak ditujukan kepada sumber warisan intelektual Islam yaitu alQur‟an dan sunnah melainkan terhadap warisan intelektual (tafsir) yang tentunya sangat relatif
hasilnya dan subjektif sifatnya. Dari satu kurun waktu, intelektual yang lebih dominan dan pada
kurun yang lain justru emosional yang lebih ditonjolkan.2
Para feminis Muslim menyadari bahwa kondisi yang menimpa kaum perempuan
khususnya di negara-negara Islam adalah akibat dari penafsiran terhadap al-Qur‟an dan hadits
yang tidak mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut persoalan dan kepentingan kaum
perempuan. Hal ini sebagai akibat dari faktor masyarakat Islam yang menganut sistem patriarkhi,

1

Gender adalah perbedaan antara pria dan wanita yang bukan berdasarkan pada faktor biologis, bukan berdasarkan
jenis kelamin (sex) sebagai kodrat Tuhan yang secure permanen berbeda, tetapi behavior differences antara pria dan
wanita yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Lebih lanjut lihat, Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1,
1996, hal. 8-9.
2
Lihat, Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan MS Nasrullah, Bandung: Mizan, 1996, hal. 24.

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits


3
disamping aspek internal para penafsir yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Sebagaimana
dikatakan Riffat Hasan:
Setelah menggaris bawahi pentingnya al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber utama tradisi
Islam, perlu ditunjukkan bahwa selama berabad-abad sejarah Islam, sumber-sumber ini
hanya ditafsirkan oleh laki-laki muslim yang tidak bersedia melaksanakan tugaas-tugas
mendefiniskan status ontologis, teologis, sosiologis, dan eskatologis perempuan muslim.3

Permasalahan gender khususnya yang berkaitan dengan upaya perubahan atau
transformasi pranata sosial yang adil dan egaliter dimana lelaki dan perempuan dipandang
memiliki kesederajatan (equality) dan mempunyai hak yang sama atas sumberdaya ekonomi,
pendidikan, politik, dan budaya, merupakan isu penting dalam wacana pemikiran Islam
kontemporer, bahkan menjadi tuntutan secara luas di seluruh kawasan global. Tuntutan
perubahan tersebut umumnya banyak disuarakan oleh kaum perempuan yang secara defacto
tersubordinasi di bawah sistem sosial berdasarkan ideologi patriarki. Oleh karena itu, sudah
saatnya untuk kembali mengadakan reinterpretasi, revitalisasi, dekonstruksi bahkan rekonstruksi
terhadap pemahaman teks al-Qur‟an dan Hadits, dan akan lebih membanggakan apabila
penafsiran teks sumber (al-Qur‟an dan hadits) dilakukan dan atau dihasilkan oleh kaum
perempuan yang dianggap selama ini memiliki potensi reflektif (quwwah al-ta‟aquul) lebih

rendah dari laki-laki (nishf al-„aql).

B. Ragam Permasalahan
Di dalam Islam, pranata sosial yang adil dan egaliter dimana laki-laki dan perempuan
memiliki kesederajatan (equality) atas sumberdaya ekonomi, pendidikan, politik dan budaya,
sama sekali bukan merupakan gagasan yang asing. Dalam berbagai tempat al-Qur‟an
menyatakan kesejajaran atau kesederajatan (equality, egalitarian) antar kaum laki-laki dan kaum
perempuan.4

3

Fatma Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di hadapan Tuhan, terj. Team, LSPPA, Yogyakarta: Yayasan Prakasa,
1995, hal. 70.
4
Misalnya QS. Al-Ahzab [33]: 35; Ali Imran [3]: 195; An-Nahl [16]: 97; An-Nisa [4]: 32 dan 124: At-Taubah [9]:
40 dsb.

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

4

Namun sebagaimana yang disinyalir oleh Iqbal, terdapat suatu kesalahan yang dilakukan
oleh para ulama dalam memberikan penafsiran terhadap teks keagamaan (terutama al-Qur‟an).5
Produk penafsiran para ulama mengenai teks-teks yang berkaitan dengan poligami, kesaksian
wanita dan warisan, seakan-akan memberikan kesan bahwa al-Qur‟an mengsubordinasikan dan
mendiskriminasikan kaum perempuan. Demikian pula teks-teks keagamaan (al-Qur‟an dan
Hadits) yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan wanita, ruang gerak perempuan (karir
publik), wanita dan mesjid, aqiqah, keamanan wanita, ibadah, akal dan keagamaan, wanita dan
neraka, wanita dan seni-budaya serta teks yang berkaitan dengan penciptaan atau asal kejadian
perempuan, ditafsirkan oleh kebanyakan ulama dengan kesimpulan yang sama bersifat
diskriminatif dan subordinatif.
Kecenderungan ini, selain disebabkan oleh ketidakmemadaian metodologis dalam
penafsiran teks-teks keagamaan, juga karena dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat yang
didominasi laki-laki (androsentris) dan nilai-nilai sosial yang didasarkan pada idiologi patriarki.
Sehingga cenderung merupah pesan unuversal al-Qur‟an tentang masyarakat yang secara gender
adil dan egaliter. Karenanya, imperiorisasi, eksploitasi, penindasan dan perendahan harkat
perempuan, seakan mendapat legitimasi agama. Dengan kata lain, atas nama agama, hak-hak
ekonomi, pendidikan, politik dan budaya mereka dipasung. Bahkan dalam wacana pemikiran
Islam kontemporer, masih banyak dari kalangan ulama yang memberi fatwa larangan wanita
untuk menjadi presiden.
Kenyataan ini membawa implikasi sosio-politis yang selalu membatasi ruang gerak

perempuan. Secara propetis, kehidupan politik atau penyelenggaraan kekuasaan yang
menempatkan wanita secara tidak proporsional, menurut Iqbal tidak akan pernah mencapai
kebaikan dan kesempurnaan. Iqbal menyatakan bahwa sendi bangsa dan negara adalah keluarga.
Selama nilai wanita yang sesungguhnya belum dapat dipahami, maka kehidupan berbangsa tetap
tidak akan sempurna. Dan selama wanita dianggap separuh laki-laki dalam harta pusaka
(warisan), serta perempat laki-laki dalam perkawinan, baik keluarga maupun negara tidak akan
dapat diperbaiki.6
Oleh karena itu, diperlukan upaya dekontruksi dan rekontruksi teerhadap pemikiran
keagamaan yang cenderung diskriminatif, androsentris dan misoginis, sehingga pesan
5

Dr. Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah (et.al.), (Jakarta:
Tintamas, 1966), hal. 157
6
Ibid., hal. 157

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

5
keagamaan tentang masyarakat yang secara gender adil dan egaliter menjadi pertimbangan

dalam merumuskan kebijakan aktual, khususnya yang berkenaan dengan pemberdayaan kaum
perempuan.
Berikut ini beberapa penafsiran baru terhadap teks-teks keagamaan (al-Qur‟an dan alHadits) yang berkaitan dengan masalah poligami, kesaksian wanita, waris, kepemimpinan,
penciptaan dan ruang geraknya.

1. Masalah Poligami
Tentang hak poligami, Fazlur Rahman mengomentarinya bahwa para ulama cenderung
lebih menekankan aspek legal formalnya dalam mengambil kesimpulan dan mengabaikan ideal
moral sebagai pesan universalnya. Menurut Rahman, legal formal spesifiknya memang
menunjukkan kebolehan untuk melakukan poligami, tetapi ideal moralnya adalah keadilan.
Lebih lanjut Rahman menjelaskan bahwa secara sosio-historis ayat poligami berkaitan
dengan masalah para pengampu anak yatim yang mengalahgunakan kekayaan mereka, sehingga
al-Qur‟an mengecam dengan menuntut untuk memberikan harta anak yatim tersebut dan tidak
menukar yang baik dengan yang buruk serta tidak memakan harta mereka.

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, janganlah kamu menukar yang
baik denga yang buruk dan janganlah kamu memakan harta bersama hartamu. Sesungguhnya
hal itu merupakan dosa yang besar”.7
Dalam Surat yang sama ayat 126, al-Qur‟an menyatakan bahwa para pengnampu ini lebih
baik mengawini gadis-gadis yatim itu jika mereka telah dewasa daripada mengembalikan

kekayaan mereka lantaran ingin menikmatinya. Jadi dalam ayat 3 surat An-Nisa‟, al-Qur‟an
menyatakan bahwa jika para pengampu ini tidak dapat berlaku adil terhadap kekayaan gadisgadis yatim dan mereka bersikeras untuk mengawininya, maka mereka boleh mengawininya
sampai empat, dengan syarat mereka dapat berlaku adil terhadap istri-istri mereka. Tetapi jika
mereka tidak berlaku adil, hendaklah mengawini seorang saja dari gadis-gadis itu.

7

QS. An-Nisa‟ [4]: 2

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

6

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut untuk berlaku tidak adil, maka kawinilah seorang saja…”
Namun dalam ayat 129 surat an-Nisa‟, dinyatakan secara tegas ketidakmungkinan untuk
dapat berlaku adil diantara para istri.

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berkalu adil diantara istri-istrimu walaupun

kamu sangat berkeinginan keras untuk berbuat demikian…”
Pernyataan al-Qur‟an tersebut tampak seakan bertentangan atau kontradiktif. Disatu sisi
ada izin untuk menikahi gadis-gadis itu hingga empat dengan syarat adil, disisi lain ada semacam
deklarasi kategoris (pernyataan keniscayaan) bahwa keadilan diantara istri-istri tidak akan
sanggup dilaksanakan.
Terhadap masalah ini, para fuqaha hanya mengambil legal formal atau hukum
spesifiknya yaitu izin poligami, sementara menurut Rahman, berlaku adil sebagai prinsip
universal (ideal moral) harus mendapat perhatian dan memiliki kepentingan yang lebih mendasar
ketimbang legal spesifik yang mengizinkan poligami. Sama halnya dsengan masalah institusi
perbudakan dalam al-Qur‟an, memang al-Qur‟an menerimanya karena tidak mungkin
dihilangkan dengan begitu saja. Tetapi al-Qur‟an sangat menyarankan untuk mencapai ideal
moralnya (berlaku adil) yang harus diperjuangkan masyarakat seperti menyarankan untuk
pembebasan budak.8

2. Masalah Kesaksian Wanita
Masalah kesaksian bagi perempuan juga, harus dilihat dari latar sosiologis dan
historisnya. Al-Qur‟an menyebutkan kesaksian bagi perempuan dua orang (untuk saksi) agar
saling mengingatkan jika lupa,9 karena didasarkan pada latar sosiologis perempuan ketika itu
yang tidak terbiasa dengan urusan utang piutang atau transaksi-transaksi keuangan. Maka
QS. Al-Balad [90]: 13; Al-Ma‟idah [5]: 89 dan Al-Mujadalah [58]: 3. Lihat, Fazlur Rahman, Tema Pokok AlQur‟an terj. Anas Mahyuddin, (Bandung, Pustaka, 1983), hal. 60-70

9
QS. Al-Baqarah [2]: 282

8

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

7
perubahan masayarakat sekarang di mana perempuan banyak yang terjun dan menggeluti
masalah-masalah transaksi keuangan, dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian laki-laki.
Bahkan mungkin lebih profesional ketimbang laki-laki yang tidak pernah menggeluti masalah
transaksi keuangan. Di samping itu, latar sosiologis perempuan pada era Islam awal tidak banyak
dilibatkan dalam masalah kesaksian, jadi sebenarnya dengan adanya gagasan kesaksian
perempuan, al-Qur‟an sekaligus mengangkat martabat perempuan.
3. Masalah Waris
Fenomena hak waris juga mirip dengan fenomena kesaksian dalam al-Qur‟an. Secara
sosio-kultural, pada masa pra Islam perempuan itu tidak pernah mendapat bagian warisan (harta
pusaka) karena kedudukannya yang sangat hina dan dipandang merendahkan martabat keluarga.
Jika mendengar kelahiran anaknya adalah perempuan, maka muka mereka merah padam karena
malu dan terkadang mengubur hidup-hidup.10 Selain itu, secara historis dalam sistem kesukuan

(kabilah) bangsa Arab, perempuan tidak menerima waris karena dipandang akan mengakibatkan
disequilibrium ekonomi di kalangan kabilah yang mempunyai anak perempuan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem kabilah atau kesukuan Arab, hubungan antar
kabilah sangat mendapat perhatian untuk memperkuat posisi kekuatan kabilahnya. Untuk itu,
suatu kabilah selalu menikahkan anak perempuannya dengan kabilah yang lain. Pada saat ayah
perempuan tersebut meninggal, anak perempuan tidak mendapat hak waris karena kabilah yang
mempunyai harta akan dirugikan dan menguntungkan kabilah suaminya. Oleh karenanya,
pemberian waris dapat menngakibatkan disequilibrium ekonomi dalam suatu kabilah.
Dengan kehadiran Islam, perempuan diangkat harkat kemanusiaannya melalui pemberian
hak waris, separuh bagian laki-laki. Gagasan yang dapat diambil dari pemberlakuan hak waris ini
adalah prinsip atau semangat moral universal al-Qur‟an tentang keadilan dan egalitarianisme.
Dengan demikian, baik hak waris maupun kesaksian harus dipertimbangkan secara moral,
intelektual dan kultural pada masyarakat yang terus mengalami percepatan transformasi sosiobudaya.

4. Masalah Kepemimpinan Wanita

10

QS. An-Nahl [16]: 58


Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

8
Mengenai diskursus kepemimpinan perempuan yang bersumber pada teks al-Qur‟an surat
an-Nisa‟ [4]:34 (

), banyak cendikiawan

atau pemikir muslim kontemporer memberikan apresiasi dan penafsiran yang agak berbeda
dengan apresiasi dan penafsiran para ulama klasik. Quraish Shihab misalnya menafsirkan kata
“al-rijal” dalam teks di atas, bukan dalam pengertian laki-laki secara umum, tetapi hanya
ditujukan kepada suami. Karena menurut Quraish Shihab, konsideran perintah tersebut seperti
ditegaskan pada lanjutan ayat di atas adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian
harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata “al-rijal” adalah kaum
laki-laki secara umum, maka konsiderannya tidak demikian.11
Secara linguistik, kata “qawwamuna” dalam teks di atas juga, tidak hanya berarti
pelindung, pemelihara, penanggung jawab, mempunyai sifat lebih unggul, berkuasa dan
pemimpin perempuan tetapi juga dapat diartikan pencari nafkah atau yang menyediakan
kebutuhan hidup. Menurut Riffat Hassan, apa yang dinyatakan dalam ayat di atas adalah bahwa
laki-laki harus mempunyai kemampuan mencari nafkah.12
Kesimpulan yang dapat diambil dari teks di atas juga bahwa, memang secara garis besar
al-Qur‟an menghendaki adanya pembagian kerja dan pembedaan fungsi antara laki-laki dan
perempuan untuk mencari nafkah dan berdiri sendiri di bidang ekonomi; tetapi ayat di atas tidak
menunjuk adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara hakiki. Al-Qur‟an hanya
membedakannya secara fungsional. Sebab jika misalnya seorang istri yang mapan dalam bidang
ekonomi memberikan sumbanngannya untuk kepentingan rumah tangga, maka keunggulan
suami sebagai manusia, ia tidak memiliki keunggulan dibandingnkan dengan istrinya.13
Sememntara tentang hadits yang menyatakan bahwa tidak akan berhasil suatu kaum jika
dipimpin oleh wanita (

) dipandang sebagai bersifat kondisional,

latar sosiologis hadits itu muncul, ketika Rasulullah mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, yang pada suatu saat wanita tersebut pernah
dikirimi surat oleh Rasul untuk masuk Islam, tetapi ia malah merobeknya. Sehingga Rasulullah
bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada

11

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 314
Wardah Hafidz, Islam dan Gerakan Perempuan, dalam jurnal Islamika, kerjasama Mizan dan Missi, No. 6, 1995,
hal. 103
13
Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur‟an, Op. Cit. hal. 71-72

12

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

9
perempuan”. Hadits ini sekali lagi bersifat kondosional yang hanya berlaku pada saat itu atau
pada saat lain dalam kontek yang sama.

5. Masalah Penciptaan Wanita
Teks keagamaan (al-Qur‟an) tentang penciptaan perempuan yang kerapkali dijadikan
rujukan dan menimbulkan pemahaman yang diskriminatif adalah QS. An-Nisa‟ [4]: 1

“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu (nafs wahidah) dan daripadanya, Allah ciptakan pasangannya…”.
Para ulama tafsir seperti Ibnu Abas memahami kata “nafs” dalam teks tersebut adalah
Adam dan “jauzaha” (pasangannya) dengan Hawa.14 Menurut al-Maraghi, mayoritas ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan nafs adalah Adam dan jauzaha adalah Hawa.15 Bahkan
At-Thabari dalam Majma al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an menyebutkan bahwa seluruh ulama tafsir
sepakat mengartikan kata nafs dengan Adam.
Pemahaman tersebut diperkuat oleh beberapa hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang
rusuk Adam yang bengkok. Misalnya hadits yang menyatakan bahwa:

“Allah menciptakan Adam seorang diri di Surga, kemudian Tuhan memberikan kantuk
kepada Adam, lalu Tuhan mengambil salah satu dari tulang rusuk Ada sebelah kiri adam ada
yang mengatakan sebelah kanan dan Allah menciptakan dari tulang rusuk tersebut Hawa”.16
Hadits lalin yang sering dijadikan rujukan juga adalah:

14

Fakhru Razi, Tafsir Fakhru Razi, jil.8, jil. 15 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hal. 90
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jil. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 175
16
Hadits dari Ibnu Abbas, Mujahid, Sadda dan Qatadah. Dikutif dari Abu Hayyan, Bahru al-Mihith fi Tafsir, juz 3,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 495

15

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

10
“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Engkau tidak akan
dapat meluruskannya dengan cara apapun. Apabila engkau ingin menikmatinya, maka
engkau dapat menikmatinya dengan membiarkan bengkok. Dan apabila engkau berusaha
meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan mematahkannya adalah talak”
(HR. Muslim).17

Serta hadits:

“Saling pesan memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka
diciptakkan dari tulang rusuk (bengkok) yang unggul, apabila engkau berusaha
meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, dan apabila engkau membiarkannya
terus menerus bengkok, maka saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan”
(HR. Bukhari dan Muslim).18
Dari beberapa keterangan teks keagamaan (Qur‟an dan Hadits) di atas, para ulama
menarik kesimpulan bahwa Hawa (kaum perempuan) diciptakan dari Adam (kaum laki-laki).
Kesimpulan ini, kemudian melahirkan cara pandang sekunder terhadap perempuan yang
menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Menanggapi penafsiran terhadap teks-teks
keagamaan yang cenderung diskriminatif di atas, para ulama kontemporer mengambil
pemahaman minoritas ulama tafsir yang memahami teks al-Qur‟an surah al-Nisa‟ [4] : 1 secara
berbeda.
Menurut sebagian ulama, kata nafs dalam ayat tersebut bukan dimaksudkan sebagai
person atau individu tertentu (Adam), tetapi sebagai jenis. Hal ini didasarkan pada ungkapan
Rasulullah bahwa yang dimaksud dengan wa khalaqa minha jauzaha adalah bahwa Allah
menciptakan istri Adam dari jenis manusia yang sama.19
Al-Qaffal yang dikutif oleh Al-Maraghi, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks
al-Qur‟an surah an-Nisa‟[4]: 1 tersebut adalah bahwa Allah menciptakan kamu (manusia) dari
Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, jil. 8, Kitab Nikah, bab al-Washiyat bi al-Nisa‟, hal. 57
Shahih Muslim, ibid, hal. 58; al Qasthalani, Irsyad al-Syarh Shahih Bukhari, Kitab Nikah, bab. Al-Washot bi alNisa‟, (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 509
19
Fakhru Razi, Op. Cit.,hal. 93; Lihat juga, Thabaththaba‟I, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, juz. 4, (Beirut Dar al-Fikr,
tt) hal. 140

17

18

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

11
nafs wahidat dan menjadikan dari jenisnya (yang sama) pasangannya yaitu manusia yang sama
dalam kemanusiaannya.20 Abu Hayyan juga menulis bahwa yang dimaksud dengan dhamir “ha”
dalam teks “minha” bukan kembali kepada nafs, tetapi kembali kepada thin (tanah) sebagai unsur
pembentuk Adam. Dengan demikian, wa khalaqa minha jauzaha artinya bahwa Hawa diciptakan
dari tanah yang dari tanah itu Allah menciptakan Adam.21
Pemahaman di atas diperkuat oleh teks-teks al-Qur‟an yang lain seperti QS. At-Taubah
{9}: 128; An-Nahl [16]: 72; Ar-Rum [30]: 21 dan As-Syura [42]:11. Menurut Ar-Raghib alAsfahani, yang dimaksud dengan min anfusikum dalam teks-teks di atas adalah min jinsikkum
atau dari jenis kamu. Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan nafs dalam teks QS. An- Nisa‟[4]: 1 adalah bukan Adam, tetapi jenis Adam
yaitu manusia.
Terhadap pandangan mayoritas ulama yang memahami kata nafs dengan Adam, AlMaraghi dan Thabaththaba‟i mengomentarinya, bahwa pemahaman tersebut tidak mengambil
alasan (dalil) dari teks keagamaan (al-Qur‟an), melainkan sebagai tasliman, penyelamatan atau
rasionalisasi dari asumsi bahwa Adam merupakan bapak manusia (Abu Basyar) yang juga tidak
terdapat dalam teks keagamaan (al-Qur‟an) melainkan lahir dari tradisi Bibel. Sementara teks
keagamaan yang bersumber pada hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam
sebelah kiri yang bengkok, sebagian ulama mengomentarinya bahwa yang dimaksudkan bukan
makna hakiki melainkan makna majazi. Hal ini dapat dilihat dari teks hadits berikut:
“Sesungguhnya perempuan itu seperti tulang rusuk yang bengkok, apabila engkau hendak
meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Apabila engkau membiarkannya tetap
bengkok, maka engkau akan dapat menikmatinya” (HR. Bukhari, Muslilm dan Turmidzi).22
Dengan demikian, pesan moral yang dapat diambil adalah bahwa laki-laki harus bersifat
hormat dan santun atau bijaksana terhadap kaum perempuan karena memiliki karakter dan
kecenderungan yang berbeda, yang jika tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum laki-laki
20

Al-Maraghi, Op. Cit., hal. 175
Abu Hayyan, Op. Cit., hal. 495
22
Redaksi hadits dari Muslim, Bukhari, dan Tirmidzi meriwayatkannya dalam redaksi yang sedikit agak berbeda.
Lihat, Shohih Muslim, Op. Cit., hal. 56; al-Qasthalani, Irsyad al-Sarh Shohih Bukhari, Op. Cit., hal. 568; al-Mubar
Kafury, Tuhfat al-Ahwadi bi al-Syarh Jami‟ al-Tirmidzi, jil. 4 Kitab Nikah, bab Ma Ja-a fi al-Mudarah al-Nisa‟,
(Beirut: Dar al-Fikr), hal. 367

21

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

12
bersifat tidak wajar.23 Bahkan menurut M. Abduh dan Riffat Hassan, hadits tentang penciptaan
Hawa dari tulang rusuk Adam yang bengkok bertentangan dengan al-Qur‟an tentang penciptaan
manusia dan lebih mirip dengan kitab kejadian 2:18-33; 3:20 yang berkembang dalam tradisi
Bibel. Abduh menyatakan: “Andaikan kisah kejadian Adam dan Hawa tersebut tidak tercantum
dalam kitab perjanjian lama, maka pasti pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan
dari tulang rusuk Adam, tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang muslim.24
Disamping kritik matan terhadap teks hadits di atas, pemikir Islam kontemporer Fatima
Mernisi melakukan kritik sanad dengan mengatakan bahwa munculnya hadits-hadits semacam
itu, sangat dipengaruhi oleh bias kultural patriarkis yang melekat pasca masyarakat Islam awal.
Fatima Mernisi mengajukan kritik terhadap Abu Hurairah yang dipandang terpengnaruhi bias
kultural tersebut. Pijakan yang dijadikan dasar kritik Fatima adalah pertama, dalam masyarakat
Islam awal yang demikian (patriarkis), Abu Hurairah justru tidak memiliki pekerjaan yang
menunjukkan maskulinitas (kelelakiannya). Ia mengisi sebagian waktunya untuk membantu di
rumah-rumah para wanita. Dengan demikian, ketidaksukaan Abu Hurairah terhadap wanita
mendapat penjelasannya.
Kedua, Abu Hurairah terbukti pernah meriwayatkan hadits secara salah. Kritik ini
pertama kali justru datang dari „Aisyah istri Rasulullah yang keccerdasanya diakui sendiri oleh
Rasulullah. Ketika Abu Hurairah meriwayatkan hadits yang berbunyi: “Tiga hal yang membawa
bencana yaitu, rumah, wanita, dan kuda”, menurut „Aisyah, Abu Hurairah tidak mendengar
ucapan Rasulullah secara lengkap. Abu Hurairah masuk ke dalam mesjid persis pada waktu
Rasulullah mengucapkan kalimat di atas, yang sebenarnya merupakan kalimat terakhir. Padahal
menurut „Aisyah, konteks kalimat tersebut sangat berbeda. Rasulullah saat itu sedang
menggambarkan betapa salahnya pendapat kaum Yahudi yang mengatakan bahwa tiga hal
tersebut (rumah, wanita dan kuda) menjadi sebab terjadinya bencana.25

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Op. Cit., hal. 300
Lihat, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,(Mesir al-Qahirah Dar al-Manar, 1367 H.), jil. IV, hal. 33; dan lihat juga
tulisan Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar dihadapan Allah?, Jurnal UQ, vol. 1 th.
1990, hal. 53
25
Fatima Mernisi, Wanita Menurut Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 979

23

24

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

13
Dalam konteks yang lain, „Aisyah juga pernah menngkritik Abu Hurairah karena
melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits tentang perempuan yang diadzab karena
kucinng. „Aisyah menganggap Abu Hurairah tidak menghapalnya secara tepat.26
6. Masalah Ruang Gerak Wanita
Teks al-Qur‟an yang sering dijadikan rujukan sebagai ayat yang membatasi ruang gerak
perempuan hanya di rumah saja adalah surat al-Ahjab[33]: 33 yang berbunyi:

“Dan hendaklah kamu (wanita) tetap di rumah-rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu”.
Menurut Sayyid Qutb istilah “wa qama” dalam teks wa qama fi buyutikunna wa tabarruj
al jahiliyat berarti “berat”, mantap dan menetap. Menurutnya, ayat ini bukan berarti mereka tidak
boleh meninggalkan rumah, tetapi hanya mengisyaratkan bahwa rumah tangga merupakan tugas
pokoknya.
C. Penutup
Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan,
akan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak lainnya. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dimaksudkan untuk mendukung misi ajaran, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari
rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dilingkungan sebagai cikal bakal terwujudnya
komunitas ideal dilingkungan.
Oleh karena itu, kualitas individual antara laki-laki dan perempuan dihadapan Tuhan
tidak dibedakan karena jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan). Karena keduanya
dihadapan Tuhan sama-sama berpotensi untuk memperoleh derajat kesadaran manusia yang
paripurna (takwa), maka spesifikasi biologis dan anatomis (sex) yang bersifat kodrati tidak dapat
dijadikan alasan untuk

membeda-bedakan,

apalagi

dijadikan alat untuk

26

melakukan

Lihat, Dr. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung:
Karisma, 1994), hal. 43-45

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

14
pendiskriminasian perempuan atas laki-laki menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan.
Wallahu a‟lam.

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

15
Daftar Pustaka

1. Abu Hayyan, Bahru al-Mihith fi Tafsir, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
2. Al-Qasthalani, Irsyad al-Syarh Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr
3. Al-Mubar Kafury, Tuhfat al-Ahwadi bi al-Syarh Jami‟ al-Tirmidzi, jilid 4, Beirut: Dar alFikr
4. Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di hadapan Tuhan, terj. Team, LSPPA,
Yogyakarta: Yayasan Prakasa, 1995.
5. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur‟an terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.
6. Fakhru Razi, Tafsir Fakhru Razi, jilid.8 dan jilid. 15, Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
7. Fatima Mernisi, Wanita Menurut Islam, Bandung: Pustaka, 1994.
8. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. ke-1, 1996.
9. Muhammad Iqbal, Dr., Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali
Audah (et.al.), Jakarta: Tintamas, 1966
10. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 1998.
11. Wardah Hafidz, Islam dan Gerakan Perempuan, dalam jurnal Islamika, kerjasama Mizan
dan Missi, No. 6, 1995.
12. Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
13. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Mesir al-Qahirah Dar al-Manar, jilid IV,
14. Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar dihadapan Allah?,
Jurnal UQ, vol. 1 th. 1990.
15. Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan MS Nasrullah, Bandung:
Mizan, 1996.
16. Shohih Muslim
17. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, jilid 8

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

16
18. Thabaththaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, juz. 4, Beirut: Dar al-Fikr, tt,.
19. Yusuf Qardhawi, Dr., Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, terj. Muhammad AlBaqir, Bandung: Karisma, 1994.

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

17

DEKONTRUKSI
Hadits-Hadits Bias Gender

MAKALAH
Disusun Sebagai Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Ulum al-Hadits

Oleh
ENJANG

Dosen Pembimbing
DR. AHMAD LUTFI FATULLAH, MA.

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits

18
PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI STUDI MASYARAKAT ISLAM
IAIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2003

Makalah disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Ulum-al-hadits