Azab Kubur Dan Nikmat Kubur Di Alam Barz

AZAB DAN SENGSARA, MERARI SIREGAR

Judul : Azab dan Sengsara
Penulis : Merari Siregar
Jumlah Halaman : 163 hlm.
Genre : Roman Klasik
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1920
Harga : Rp. 50.000 (Balai Pustaka Online untuk terbitan baru)
Three words about this book : Sad Beautiful Tragic (mumpung lagi marakmaraknya anything about Taylor Swift. Hehehe...)
“Diamlah Tuan, janganlah tuan terlampau amat bercintakan hal yang
belum kejadian. Siapa tahu malang yang tuan sangkakan itu menjadi
mujur kesudahannya." Kata lampu.
***
Mariamin dan Aminu’ddin bukanlah sepasang kekasih yang baru dirundung cinta kemarin
sore. Mereka sudah bersama sejak kecil, tak lain dan tak bukan karena ibu Aminu’ddin
merupakan saudara kandung dari ayah Mariamin—Sultan Baringin. Di masa kanak-kanak,
Aminu’ddin selalu menempatkan dirinya sebagai pelindung Mariamin. Bahkan saat
Mariamin terjatuh ke sungai yang tengah banjir, tanpa mempedulikan keselamatannya,
Aminu’ddin langsung menyeburkan dirinya ke dalam air bah. Karena fikirnya, lebih baik ia
berbagi kuburan dengan Mariamin di sungai itu daripada ia harus hidup tanpa Mariamin.

Syukurnya, mereka berdua selamat dan sejak saat itu Mariamin menaruh simpati berlebih
pada sepupunya itu.
Saat dewasa, merekapun menjelma menjadi sepasang kekasih. Namun, Mariamin harus
menghadapi kenyataan pahit ketika Aminu’ddin memutuskan untuk merantau ke Medan.
Alasannya tidak muluk, ia hanya ingin dapat mempersunting Mariamin dengan uangnya
sendiri, meskipun sang ayah justru seorang kepala kampung dengan status sosial tinggi.

Tiga bulan berlalu, Mariamin mendapat surat dari sang kekasih bahwa ia telah mendapat
pekerjaan dan bersiap untuk melamar Mariamin. Aminu’ddin-pun telah melayangkan surat ke
orangtuanya, yang mana ia ingin agar ibu ayahnya mempersunting Mariamin untuk dirinya.
Namun, sang ayah nampaknya agak tidak sepaham dengan kehendak sang anak. Ia berfikiran
bahwa ada ketimpangan jika Aminu’ddin yang berderajat tinggi harus menikah dengan
Mariamin yang kini jatuh miskin akibat ketamakan Sultan Baringin, ayahnya. Ayah
Aminu’ddin-pun memutuskan untuk mencarikan perempuan lain untuk anaknya, namun sang
istri tak setuju. Mencoba mengambil jalan tengah, Ayah Aminu’ddin meminta saran seorang
dukun untuk membaca nasib Aminu’ddin jika harus menikah dengan Mariamin, dan ternyata
perkawinan mereka justru akan dirundung petaka. Sang ibu-pun mengalah dan akhirnya
menuruti kehendak suaminya untuk mencarikan calon yang lebih setara buat sang anak.
Di lain tempat, Mariamin justru telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut
kedatangan orangtua Aminu’ddin. Namun orang yang ditunggu tak kunjung datang.

Aminu’ddin yang akhirnya pulang, kaget ketika kedua orangtuanya justru menyodorkan
calon baru untuknya. Kecintaannya pada Mariamin belumlah pudar, tetapi ia juga tak berani
menentang kemauan orangtuanya, dan akhirnya Aminu’ddin-pun menikah dengan pilihan
kedua orangtuanya.
Mariamin yang kini patah hati ternyata tak selamanya sendiri. Beberapa waktu kemudian,
Mariamin akhirnya menikah dengan Kasibun, seorang kerani yang notabene mampu
menghidupi Mariamin dengan layak. Namun, ada hal yang membuat Mariamin selalu
menolak jika diajak berhubungan suami istri oleh Kasibun. Bukan semata karena ia tidak
cinta, tetapi Mariamin takut hubungan itu justru membahayakan nyawanya. Sejak saat itu,
sikap Kasibun dan Mariamin mulai tidak ramah. Puncaknya, ketika Aminu’ddin bertandang
ke rumah Kasibun, dan ia sama sekali tak tahu bahwa Mariamin justru adalah istri orang yang
ia kunjungi.
Mariamin-pun mulai sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Sampai suatu hari ia
berhasil kabur dari rumah, melaporkan sang suami ke polisi dengan cukup bukti, dan
akhirnya mereka-pun resmi bercerai.
Kesengsaraan Mariamin berakhir selama-lamanya.
***
Hal yang paling kental dari roman klasik selain dari penggunaan Bahasa Melayu adalah
deskripsi suasana alam yang benar-benar menggunggah. Hal itupun juga saya temui dalam
novel ini, bahkan sejak novel ini dimulai. Penggambaran suasana senja kampung Sipirok

yang tenteram begitu meneduhkan perasaan. Rasanya saya ikut terbawa ke
dalam setting cerita. Duduk di pinggiran sawah yang membentang hijau sementara langit di
atas bersaput jingga. Dihibur dengan cicit burung yang terbang pulang ke sarang, dan tak
lama kemudian dipanggil untuk segera pulang oleh kumandang adzan maghrib yang
bersahutan dari langgar ke langgar. Suasana langka yang sudah pasti sulit ditemui di kota
besar, bahkan di Banjarmasin di tempat saya berdiam saat ini. Namun kalau direnungi betulbetul, deskripsi alam yang dituliskan oleh Merari Siregar sebenarnya tidak terlalu istimewa.
Pun tidak terlalu detail sekaligus artistik seperti yang dituliskan Ahmad Tohari di Bekisar
Merah. Walau begitu, penggunaan Bahasa Melayu-lah yang membuat paragraf deskripsi
tersebut terdengar begitu membuai.
Membicarakan roman klasik, tentu tak bisa dilepaskan dari beberapa hal yang sepertinya
menjadi pakem para penulis saat itu. Sebut saja kisah cinta tak sampai, kisah cinta berbumbu
adat-istiadat atau status sosial, karakter tokoh yang santun dan religius, alur cerita tragis (you
name it, kill the protagonist), dan tentu saja, penggunaan Bahasa Melayu.

Oh ya, sebelumnya cerita ini beralur maju-mundur-maju. Bagian pertama, menceritakan
tentang perpisahan Mariamin dengan Aminu’ddin, yang juga menyinggung tentang kondisi
keluarga Mariamin yang jatuh miskin dengan ibunya yang tengah sakit-sakitan. Bab
selanjutnya, cerita mundur ke masa kecil Mariamin dan Aminu’ddin dimana Aminu’ddin
pernah sangat berjasa menyelamatkan nyawa Mariamin yang terpeleset ke sungai yang
tengah banjir. Bagian selanjutnya, masih berupa peristiwa di masa lampau, dimana

diceritakan kondisi keluarga Mariamin yang masih kaya raya. Namun, karena ketamakan
sang ayah, akhirnya mereka-pun jatuh miskin, sementara Sultan Baringin, ayah Mariamin,
meninggal dunia. Jujur, bagian yang menceritakan tentang ayah Mariamin ini menurut saya
adalahlowest point dari novel ini. Saya nyaris saya skipped this part, karena ceritanya terlalu
panjang. Hampir 50 persen dari keseluruhan isi novel. Dan bagian terakhir adalah saat cinta
Mariamin dan Aminu’ddin akhirnya benar-benar terhalang karena masing-masing dari
mereka tak pernah bersatu.
Oke, kembali ke pakem roman klasik yang akan saya bahas satu-persatu.
Kisah cinta tak sampai. Jika membaca dari sinopsis di atas, sudah jelas bahwa cinta
Mariamin dan Aminu’ddin akhirnya tidak dipersatukan. Adapun penyebabnya akan dibahas
dalam pakem no 2.
Kisah cinta berbumbu adat-istiadat dan status sosial. Seperti yang saya tulis di sinopsis,
status sosial menjadi faktor utama mengapa Aminu’ddin akhirnya gagal bersatu dengan
Mariamin dalam biduk pernikahan. Tetapi, dalam novel ini juga disinggung norma adat
lainnya (dalam hal ini adat Batak) dimana sepasang manusia yang bermarga sama juga tidak
diperbolehkan untuk menikah. Selain itu, juga disinggung tentang sere atau boli, yaitu salah
satu syarat perkawinan dalam adat Batak. Penulis novel ini sepertinya ingin mengeritik
tentang budaya sere atau boli yang ia anggap justru memberatkan salah satu pihak (dalam hal
ini pihak laki-laki) yang ingin menikah. Sere atau bolisendiri ialah emas kawin yang besarnya
ditentukan oleh orangtua pihak wanita dan harus dipenuhi oleh pihak laki-laki. Dalam cerita

ini disebutkan bahwa besar sere adalah 200 sampai 400 rupiah. Jumlah ini merupakan jumlah
pertengahan karena ada pula pihak yang hanya bisa memenuhi kurang dari 200 atau lebih dari
400. Dalam adat saya sendiri, Banjar, budaya ini juga ada, dan masih dipraktekkan sampai
sekarang. Bahkan jujuran (sere atau boli dalam adat Batak) ini menjadi titik awal apakah
pernikahan jadi dilanjutkan atau tidak. Besar jujuran dalam adat Banjar sebenarnya
ditentukan oleh masing-masing pihak, namun yang saya dengar, trend saat ini minimal adalah
20 juta (pandang jumlah ini dari kacamata rakyat biasa, bukan orang berduit. Hehe...). Dan
jumlah ini ternyata bisa menyusut maupun bertambah, tergantung dari suku mana perempuan
yang akan dinikahi tersebut berasal. Sejujurnya, saya-pun juga pihak yang kontra dengan
adanya budaya seperti ini karena selain tidak diatur dalam agama (note it, jujuran itu bukan
mas kawin. Jadi, pihak laki-laki juga tetap harus menyediakan mas kawin, tidak lepas tangan
begitu saja), budaya seperti ini juga terkesan menukar pihak perempuan dengan uang, karena
apabila pihak laki-laki tidak bisa memenuhi jumlah jujuranyang ditawarkan orangtua
perempuan, maka pernikahan tidak akan dilangsungkan.
Karakter tokoh yang santun dan religius. Digambarkan dengan sangat sempurna oleh
tokoh Mariamin yang begitu santun, murah hati, dan juga religius. Aminu’ddin pun tak kalah
sempurna. Santun, taat beragama, pekerja keras, juga patuh pada orangtua bahkan dalam
urusan pasangan hidup sekaligus. Hal ini sebenarnya merupakan gambaran konkret orangorang jaman dulu yang masih tidak direcoki modernitas-modernitas yang setuju tidak setuju,
telah mengikis moral bangsa Indonesia yang pada dasarnya merupakan manusia dengan rasa
sosial yang tinggi, humanis, religius, ramah, pekerja keras, santun, dan berbagai sifat-sifat


terpuji lainnya. Saya sendiri-pun merasakan sekali bagaimana berbedanya karakter orangorang jaman saya kecil dulu (kalau baca buku PPKN atau Bahasa Indonesia pasti tahu
bagaimana santunnya gambaran orang Indonesia) dengan orang-orang jaman sekarang yang
lebih individualis dan apatis. Rasanya saya nyaris tak mendengar ada gotong royong yang
dilakukan untuk membersihkan kampung atau membangun rumah.
Alur cerita yang tragis. Hal ini sudah bisa dibaca dari judul novel. Azab dan Sengsara.
Tidak adahappy ending, as usual. Penulis dengan santainya membunuh karakter utama yang
saat ini justru diharamkan dalam dunia ‘pernovelan’. Hehe.... Oh ya, satu hal yang saya kritisi
dari judul novel adalah ketidakterkaitannya dengan isi yang, sebut saja, masa Mariamin si
perempuan baik-baik itu dapat azab? Kalau sengsara sih iya. Dan selain azab yang menimpa
ayah Mariamin, tidak ada lagi azab-azab lain yang terkait dengan tokoh utama dalam novel
ini. hehehe....
Penggunaan Bahasa Melayu. Hal ini tak terlepas dari banyaknya penulis zaman tersebut
yang berasal dari Sumatera, sebut saja Merari Siregar, HAMKA, Tulis Sutan Sati, dan Marah
Roesli. Dibanding Sitti Nurbaya, Bahasa Melayu yang dipakai dalam Azab dan
Sengsara lebih mudah difahami. Dan saya mencatat, hanya sedikit kosakata Bahasa Melayu
yang (menurut saya) jarang dalam Bahasa Indonesia saat ini (kecuali dalam bahasa daerah).
Seperti: Masygul (murung, susah), ruyup (mengantuk, hari yang beranjak malam), bengkalai
(terlantar), ranggah (memetik buah dengan tongkat/sampai habis), Tuhan sarwa sekalian alam
(Tuhan seru sekalian alam), lamun (namun), fiil (perbuatan), khizit, pokrol bambu (pembela

perkara dalam pengadilan yang tidak menempuh pendidikan tinggi), garipir, kudung
(terpotong pada ujungnya, kerudung), tiris (bocor), berabung, malap (cahaya yang tidak
terang), pimping, salaian (para-para di atas dapur, alat untuk menyalakan tungku), juadah
(penganan dari ketan), air kahwa (kopi), kerani (pegawai rendah), gamit (menyentuh dengan
ujung jari), cambung (mangkuk cekung), setelempap (ukuran selebar telapak tangan), sebulu,
bumiputra (pribumi), jaiz (boleh), bidai (jalinan bidai/bambu), dan bang (adzan). Selain itu,
tentu saja penggunaan syair dan pantun juga merupakan ciri khas karya sastra berbahasa
Melayu yang juga terdapat dalam novel ini meskipun tidak banyak seperti yang ada pada
novel Sitti Nurbaya.
Saya fikir review saya kali ini sudah cukup panjang. Maka dari itu, ada baiknya saya akhiri
sekarang karena dikhawatirkan ulasan saya untuk novel selanjutnya malah tidak jadi ditulis
karena semua fikiran sudah terkuras untuk review Azab dan Sengsara. Hehe... Yang jelas,
novel-novel Indonesia klasik amat baik untuk dikonsumsi semua golongan karena berisi
nilai-nilai kebaikan yang saat ini sudah terkikis dan nyaris habis. Marilah kembali menjadi
masyarakat Indonesia yang menjunjung norma, budaya, dan sikap ketimuran tanpa out of
date terhadap perkembangan jaman modern. ^_^
Oh ya, sebelum kelupaan, ada satu kutipan favorit saya di novel ini yang berupa monolog
cukup panjang.
"Pada waktu dahulu sudah tentu saya mendapat pemeliharaan yang senang, kalau saya
sakit," kata perempuan itu dalam hatinya. "Akan tetapi sekarang, aduh, siapakah yang

kuharapkan lagi? Seorang pun tak ada yang melihat saya, demikianlah rupanya manusia
itu di dunia ini. Kalau kita dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat; bila kita jatuh
miskin, seorang pun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum yang karib itu menjauhkan
dirinya. Akan tetapi Allah pengiba, anakku sudah besar dan cakap memelihara saya
pada waktu sakit. Cinta orang tua yang kusimpan baginya, dibalasnya dengan kasih
sayang anak kepada orang tuanya. Demikianlah cinta Riam kepada saya. Kalau ia pergi
ke ladang atau ke sawah, selamanya ia mencari pembawaan akan menyenangkan
hatiku, meskipun yang dibawanya itu tiada seberapa harganya; seperti tadi cuma kol
dan sayur-sayuran yang dibawa untuk saya, karena telah lama tak ada nafsuku makan.

Sayur yang direbus anakku itu, tentu lebih sedap nanti kumakan, lebih sedap dari sup
daging atau ayam waktu hari kesukaanku, sungguhpun tak enak dirasa lidahku nanti,
akan tetapi lezat juga pada perasaan hatiku. Mariamin, Mariamin, doakanlah kepada
Allah, biar saya lekas sembuh dan lama hidup, supaya saya dapat menyenangkan
hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada supaya saya dapat menyenangkan hidupmu
dengan adikmu. Kalau tiada demikian, siapakah yang akan mencarikan nafkah untukmu
berdua? Kalau induk ayam itu mati, siapakah lagi yang mengaiskan makanan untuk
anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari hujan, sayap siapakah lagi tempat mereka
berlindung, supaya jangan mati kedinginan?"