MENGKAJI ULANG KEBERLANGSUNGAN OTONOMI D (1)

MENGKAJI ULANG KEBERLANGSUNGAN OTONOMI
DAERAH PADA MASA ORDE BARU HINGGA REFORMASI1
Oleh: Ferdy Yudha Pratama2

Pendahuluan
Secara etimologis, otonomi daerah merupakan serapan bahasa asing yaitu
berasal dari bahasa Yunani. Auto artinya ‘sendiri’ dan namous berarti ‘hukum’.
Berarti otonomi daerah adalah kawasan yang memiliki hukum tersendiri.
Kemudia pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), otonomi daerah adalah
diberi pengertian sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Otonomi daerah seluas-luasnya merupakan istilah yang sering disuarakan
oleh banyak orang terutama para akademisi. Otonomi daerah bukan hal baru bagi
Indonesia. Jika melihat catatan sejarah, dapat terlihat perjalanan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah dari masa kolonial
Belanda hingga Indonesia merdeka. Berikut perjalanan peraturan otonomi daerah
di Indonesia dari masa ke masa (Banjarnahor, 2013, hlm 102).

No.

Masa/Era


Undang-undang

Tentang

Pemerintahan
1.

Kolonial Belanda

Regulasi 1903

Decentralisatie wet

2.

Kolonial Belanda

Bestuurshervormings


Peraturan Dasar

wet 1922

Ketatanegaraan Hindia
Belanda

3.

Revolusi Fisik

UU No. 1/1945

1

Kedudukan Komite

Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Orde Baru dan
Reformasi yang diampu oleh Andi Suwirta, S.Pd. M.Hum di Departemen Pendidikan Sejarah –
Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2015.

2
Ferdy Yudha Pratama adalah mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah – Universitas
Pendidikan Indonesia angkatan 2012. Pernah menjabat sebagai Ketua Biro Penelitian dan
Pengembangan, Bidang Pendidikan di Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah –
Universitas Pendidikan Indonesia periode 2014/2015.

[1]

Nasional Daerah
4.

Revolusi Fisik

UU No.22/1948

Pemerintahan sendiri di
daerah dan hak mengatur
dan mengurus rumah
tangga sendiri


5.

Demokrasi

UU No.1/1957

Parlementer
6.

Demokrasi

Pemerintahan Daerah
UU No.18/1965

Terpimpin
7.

Orde Baru

Pokok-pokok


Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah

UU No.5/1974

Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah

8.

Reformasi

UU No.22/1999

Pemerintahan Daerah

10.

Reformasi


UU No.32/2004

Pemerintahan Daerah

Jika kita lihat tabel tersebut, menurut Amrin Banjarnahor (2013), kolonial
Belanda memberikan wewenang pada beberapa daerah untuk mengatur rumah
tangganya sendiri, terutama untuk daerah-daerah jajahan di Pulau Jawa. Setelah
Indonesia merdeka, penggunaan sistem parlementer dan multipartai, posisi daerah
memiliki kwewnangan luas untuk mengatur rumah tangga sendiri. Pada masa
demokrasi parlementer sejak 1950, dinamika politik semakin dinamis ditandai
dengan jatuh-bangunnya kabinet-kabinet, namun daerah tetap diberi otonomi luas.
Otonomi daerah mendapat sorotan ketika di Indonesia berlaku sistem demokrasi
terpimpin. Kendali politik di tangan Soekarno menjadikan pemberian wewenang
terbatas bagi daerah atau otonomi terbatas. Namun sejak lama otonomi daerah
diterapkan di Indonesia, pada masa pemerintahan Soeharto merupakan masa
paling kelam dan menyakitkan bagi daerah. Pemerintahan yang tirani-otoriter
menjadikan daerah sebagai sapi perahan dan ditelantarkan secara sistematis atas
nama pembangunan dan Pancasila. Pada kenyataannya otonomi daerah baru dapat
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh pada era reformasi. Reformasi merupakan

masa terang bagi masa depan otonomi daerah. Karena pada masa ini otonomi luas
telah dimiliki kembali oleh daerah-daerah.

[2]

Penerapan Otonomi Daerah Masa Orde Baru
Masa Orde Baru dikatakan merupakan masa paling kelam bagi
perkembangan daerah-daerah. Hal tersebut dikarenakan sistem yang dianut oleh
pemerintah Orde Baru adalah sistem sentralistik. Menurut Selo Soemardjan
(1976, hlm. 131), pemerintah menerapkan sistem sentralistik dengan dalih “guna
mencegah bangsa jatuh pada gerakan-gerakan separatis, dirasa perlu akan adanya
satu sumber tunggal yang menafsirkan semua persoalan politik. Sumber itu adalah
Presiden di Jakarta.” Hal tersebut dapat terlihat dalam peraturan UU No.5 Tahun
1974. Menurut Amrin Banjarnahor, sentralisasi dapat diartikan sebagai kekuasaan
atau kewenangan yang terpusat di pusat pemerintahan pada sebuah negara. Pada
sebuah negara yang menerapkan sistem yang bersifat sentralistis, kekuasaan
berada dalam kekuasaan segelintir orang yang terdapat di pusat (ibukota)
pemerintahan (2013, hlm. 104). Oleh karena itu sebuah negara yang menganut
sistem yang sentralistis berpotensi besar terdapat kesenjangan pada berbagai
aspek kehidupan bernegara. Kesenjangan tersebut dikarenakan sangat panjangnya

garis koordinasi dari lembaga-lembaga pemerintah pusat hingga pemerintah
terendah di daerah. Jika terdapat kebijakan, akibat panjangnya rantai koordinasi
itu suatu kebijakan akan memakan waktu lama hingga dapat diterima oleh daerah.
Pada akhirnya yang menjadi korban adalah daerah-daerah yang tidak dapat
menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut dengan optimal dan efektif.
Kesenjangan yang paling kentara adalah dalam aspek infrastruktur atau
kesenjangan pembangunan di Indonesia selama 32 tahun. Terdapat perbedaan
antara wilayah Barat dan Timur, juga antara Jawa yang terang benderang dan luar
Jawa yang gelap gulita. Ketika di pusat orang-orang sudah memiliki taraf hidup
yang modern, maka di daerah, terutama di Timur kita masih dapat menemukan
masyarakat yang berburu dan meramu makanan ala manusia pra-sejarah.
Pada UU Nomor 22 tahun 1974, asas desentralisasi dan pembinaan
otonomi kepada daerah dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi.
Hal tersebut berarti bahwa penampilan pemerintah daerah tidaklah didominasi
oleh aspirasi otonomi. Jika dalam UU Nomor 18 Tahun 1965 dirumuskan sebagai
“otonomi yang seluas-luasnya”, maka UU Nomor 5 Tahun 1974 dirumuskan
sebagai “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Akan tetapi dalam

[3]


realitasnya, pemerintah lebih menitikberatkan sentralisasi daripada prinsip
otonomi dan desentralisasi. (Santoso, P, 1993: 66).
Menurut Syaukani, dkk (dalam Kustiawan, TT: 316-317) terdapat
beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan
UU Nomor 5 Tahun 1974,
Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang
bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah
diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat
II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa
provinsi, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I
maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan
Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebihlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung
terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat
terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada
Kepala Daerah. Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya
dengan undang- undang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga
mendapat bantuan dari pemerintahan Pusat berupa “Pemberian
Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati
pemerintahan di Jakarta.”

Karaktristik pemerintah Ode Baru selain militeristik dan Golkar, juga
berkarakter pembanguan dan ekonomi sebagai panglima. Orde baru memang
mampu membangun ekonomi Nasional tetapi tidak mampu meningkatkan taraf
pendidikan dan kesejahteraan. Sebagian besar pembangunan ekonomi Nasional
bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil pada
industri pribumi. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan
militer ditangan segelinitir elite dalam pemerintahan soeharto juga mungkin lebih
besar daripada dalam pemerintahan Belanda (Ricklefs, 2009, hlm. 588). Ekonomi
Orde Baru pun sangat mengandalkan peran orang-orang peranakan Tionghoa.
Pemerintah lebih sering memberikan peluang yang besar bagi para Tonghoa da
non-pribumi lannya dalam bidang ekonomi. Menurut Ariel Heryanto, birokrasi
Orde Baru lebih suka memberi kemudahan ekonomi kepada mereka yang
dipandang sebagai ‘Indonesia-Tionghoa’ dan orang asing, dengan mengorbankan
rekan-rekan mereka yang dipandang berasal dari komunitas ‘pribumi’ (2015, hlm.
208). Sehingga tidak aneh lagi jika pada masa Orde Baru, pengangguran dan
kekurangan pekerjaan semakin meningkat. Dan informasi tentang penyalahgunaan

[4]

kekuasaan untuk keuntungan pribadi oleh para pemimpin rezim semakin besar.

Minyak merupakan fokus utama kebijakan ekonomi pemerintahan.

Otonomi Daerah Masa Reformasi dan Kasus Otonomi Khusus Aceh
Pada bagian sebelumnya telah dikatakan bahwa, masa reformasi
merupakan masa terang bagi perkembangan daerah-daerah. Pada masa ini
diterapkan kebijakan desentralisasi, yang sebenarnya bukan hal baru bagi
Indonesia. Pada tabel tercantum bahwa pemerintah kolonial Belanda menerapkan
kebijakan desentralisasi bagi tanah jajahannya. Desentralisasi merupakan antitesis
dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis. Artinya sistem ini memberikan
penekanan terhadap pembagian kekuasaan dan wewenang antara pusat dan
daerah. Bentuk implementasi dari otonomi daerah pada masa reformasi dipayungi
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kuatnya kekuasaan pusat atas daerah pada masa orde baru menciptakan
pembangunan di tiap-tiap daerah tidak merata dalam berbagai bidang, baik bidang
ekonomi, sosial, maupun politik. Hal tersebut yang nantinya diperbaiki oleh
sistem otonomi daerah, karena pada dasarnya otonomi daerah berusaha
menciptakan kemerataan bagi tiap-tiap daerah dengan membantu proses
pembangunan pada level daerah. Menurut Mas’ud Said, otonomi daerah diartikan
sebagai proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan
provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh UU (Said,
2008: 6). Otonomi daerah dianggap mampu menciptakan sistem pemerintahan
yang efektif dan efisien, sehingga kualitas pelayanan publik menjadi lebih baik
dan mempercepat perluasan serta peningkatan kesejahteraan.
Namun hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai
hal yang termuat pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah memang cukup
memberi harapan, tapi kesulitan terletak pada pelaksanaannya di lapangan yang
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Inkonsistensi pemerintah terhadap
pelaksanaan kebijakan membuat otonomi daerah pada akhirnya memunculkan

[5]

para konglomerat baru di level daerah. Berbagai masalah timbul seiring
kurangnya pengawasan dari pusat, seperti desentralisasi fiskal dan kewenangan
pemilihan kepala daerah yang diindikasikan marak terjadi penyimpangan.
Pemilihan kepala daerah begitu sarat diwarnai rumor politik uang. Mas’ud Said
mengemukakan penyimpangan kebijakan keuangan dan pembangunan yang
melenceng:
“Pungutan-pungutan baru yang menciptakan ekonomi biaya tinggi, alokasi
anggaran yang tidak secara langsung ditujukan bagi penyediaan
infrastruktur sosial dan ekonomi, penggelembungan anggaran, percalonan
anggota DPRD dalam penetapan penerima proyek, penetapan prioritas
pembangunan yang keliru, dan kebocoran anggaran...” (Said, 2008: ix-x).
Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus hukum yang melibatkan
para pejabat daerah, terutama yang terkait dengan masalah uang. Berbagai
kesulitan dalam pelaksanaan otonomi daerah terebut dialami oleh banyak daerah
di Indonesia, tidak terkecuali Nangroe Aceh Darussalam.
Setelah penandatanganan kesepakatan damai atau Memorandum of
Understanding di Helsinski, Finlandia, kemudian dibentuklah UU No. 11 Tahun
2006 tentang pemberian otonomi khusus bagi provinsi Aceh. Sebenarnya tujuan
dari otonomi khusus tersebut sangat baik. Tujuan diberikannya otonomi khusus
kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diharapkan dapat
mewujudkan rasa keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi
manusia, percepatan pembangunan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat (Angkat, 2010: 4). Namun tetap saja Aceh pun tidak luput dari wabah
penyakit otonomi daerah yang melanda kebanyakan daerah di Indonesia, termasuk
masalah korupsi. Pemberian kekhususan pada otonomi daerah di Aceh tidak serta
merta juga membuat kinerja pemerintahan daerah di Aceh menjadi bagus.
Menurut Hikmawan seorang pekerja media massa, aceh.com mencatat kasus
korupsi di Serambi Mekah itu mencapai 141 kasus yang masih mengambang di
kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap penuntutan dan 54 lainnya tahap
penyidikan (Putra, 2012). Kasus korupsi di Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai
faktor, antara lain faktor pengawasan pusat yang kurang, penegakkan hukum yang
tidak menunjukkan keseriusan, dan Qanun (Peraturan Daerah Aceh) yang tidak
efektif. Menurut Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar bahwa korupsi lahir

[6]

dari peraturan yang multi tafsir dan kadang-kadang berbeda antara Qanun di Aceh
dengan aturan pusat.
Selain itu, salah satu yang membedakan otonomi khusus dengan otonomi
yang lainnya adalah “...sumber-sumber pendapatan sebagaimana di atur dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dengan diberikannya Tambahan Dana
Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi serta Dana Otonomi Khusus dalam pelaksanaan
otonomi khusus di Provinsi Aceh” (Angkat, 2008: 6). Namun pada
pelaksanaannya lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang memuaskan, perolehan
dana otonomi khusus seharusnya bisa maksimal dan transparan. Menurut Nur
Aulia Angkat, “...realisasi pelaksanaan dana otonomi khusus Provinsi Aceh pada
tahun 2008 hanya terserap sebesar 37,68%, sedangkan pada tahun 2009 bahkan
lebih buruk dari tahun 2008, dengan realisasi pelaksanaan hanya sebesar 17,90%”
(Angkat, 2008: 8). Hal tersebut makin menambah catatan yang kurang
menggembirakan dari pemberian otonomi khusus di Aceh yang telah bergulir
kurang lebih selama tujuh tahun.
Bila begitu faktanya, tidak mengherankan jika pemberian otonomi khusus
kepada Aceh kini dijadikan bahan perdebatan oleh berbagai pihak. Sangat
disayangkan jika perjuangan masyarakat Aceh selama ini yang mengharapkan
kehidupan yang makmur dan sejahtera malah menjadi sekedar angan-angan
belaka. Masyarakat Aceh yang makmur tidak akan terwujud jika pelaksanaan
otonomi daerah malah tidak sesuai dengan ketentuan yang sejalan dengan tujuan
dari pemberian otonomi khusus atau otonomi istimewa itu sendiri.

[7]

Referensi
Sumber Buku:
Banjarnahor, A. (2013). Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai
Sejarah Politik dan pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.

Ricklefs, M.C. (2010). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.
Said, M. Mas’ud. (2008). Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. Malang:
UMM Press.

Santoso. P. B. 1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif Kultural dan
Struktural. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soemardjan, Selo. (1976). “Ketimpangan-Ketimpangan dalam Pembangunan:
Pengalaman di Indonesia”, dalam Pembangunan Politik dan Perubahan
Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Sumber Online:
Angkat, Nur Aulia. (2010). Analisis Yuridis Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
di Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh. Diakses dari
repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/20216.

Kustiawan. (TT). Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Dalam Bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Diakses dari http://riset.umrah.ac.id/wpcontent/uploads/2013/10/Otonomi-Daerah-dan-Desentralisasi.pdf.

[8]

Putra, Hikmawan Syah., et al. (2012). Meneropong Efektifitas Fungsional DPRA,
Partai Politik Lokal, Pengawasan Qanun, Hingga Korupsi di Aceh.
Diakses dari hikmawansp.wordpress.com/2012/01/29/evaluasi-otonomikhusus-aceh/.

[9]