MAQASID AL-SYARI’AH DALAM PERSPEKTIF SYATIBI

Tujuan Umum Pelembagaan Hukum Islam

dalam melembagakan hukum untuk menuntut taklif; Intensinya dalam memasukkan mukallaf di bawah naungan hukum itu. Aspek pertama

Intelektual hukum Islam telah sepakat bahwa tujuan mengendepankan

pelembagaan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia problematikanya, seperti pengertian, tingkatan, karakteristik dan

persoalan

maslahah dengan

berbagai

sekaligus untuk menghindari mafsadat, di dunia dan akhirat. relativitas atau keabsolutannya. Aspek kedua membicarakan dimensi

Terealisasinya tujuan ini amat bergantung kepada tingkat pemahaman linguistik dari problem taklif yang diabaikan para intelektual Islam.

terhadap pesan$pesan moral yang dikandung dalam al$Qur'an dan Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua

Sunnah. Berdasarkan penelitian para ahli teori hukum Islam terdapat subjeknya, tidak saja dalam kata$kata dan kalimat tetapi juga dalam

lima hal pokok yang harus diwujudkan, yaitu terpeliharanya pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Problem ini

kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Artinya dibicarakan dengan dua istilah; al dalalah al asliyah (pengertian esensial)

mukallaf (subyek hukum) akan memperoleh kemaslahatan kalau dan al ‘umumiyyah (yang bisa dipahami oleh orang awam). Sementara

mampu memelihara kelima hal itu, sebaliknya akan merasakan itu, aspek ketiga menganalisa pengertian taklif (kewajiban) dalam

mafsadat jika tidak mampu memelihara kelima unsur tersebut. hubungannya dengan qudrah (kemampuan), masyaqqah (kesulitan) dan

Kemaslahatan yang menjadi intensi legislasi menurut al$Syâtibî sebagainya. Dan aspek keempat mendeskripsikan huzuz (ketertarikan

adalah maslahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia, dan dan keinginan) dalam hubungannya dengan nafsu dan ta’abbud.

pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas$kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Sedangkan pada level kedua yaitu tahap mukallaf al$Syâtibî 32 Di samping itu dalam

biasanya membicarakan problematika kehendak dan perbuatan$ maslahah juga terkandung kepentingan$kepentingan, 33 artinya dalam perbuatan yang menisbahkan kepada manusia itu sendiri sebagai

makna negatif intensi legislasi bertujuan menghindarkan unsur apapun subyek hukum.

yang secara aktual atau potensial merusak kemaslahatan. Meskipun maksud legislator tersebut terpolarisasi menjadi empat

Untuk kepentingan penetapan hukum al$Syâtibî mempolarisasi aspek, namun al$Syâtibî berpendapat keempat aspek itu sebagai satu

maslahah sebagai intensi legislasi menjadi tiga tingkatan; maqasid al kesatuan yang harus ada secara keseluruhan, artinya keempat aspek

tersebut hanya dapat dibedakan secara teoritis, tetapi dalam

31 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid…, hlm.71 29 Abu Ishaq al$Syâtibî, al Muwafaqat…., II, hlm. 2 32 Ibid., hlm. 25

30 Ibid 33 Ibid., hlm. 8 30 Ibid 33 Ibid., hlm. 8

imperatif terhadap kerusakan maslahah lain secara mutlak; 3) sebaliknya Tujuan primer (daruriyyai) merupakan pemeliharaan terhadap

kerusakan maslahah lain (haji dan tahsini) belum tentu kerusakan kebutuhan$kebutuhan yang bersifat esensial, di mana jika tidak

terhadap daruri itu sendiri; 4) Proteksi terhadap haji dan tahsini terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima unsur pokok di atas dan

merupakan keharusan untuk mencari daruri. 36 .

akan merusak kehidupan manusia di dunia dan akhirat sekaligus. Artinya, struktur ketiga tingkatan tersebut tidak dapat dipisahkan, Sedangkan tujuan sekunder (hajiyyat) tidak termasuk kebutuhan

karena tingkat hajiyyat penyempurnaan bagi daruriyyat dan tingkata esensial, tetapi termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan

tahsiniyyat penyempurnaan bagi hajiyyat, sedangkan tingkatan daruriyyat manusia dari kesulitan dalam kehidupannya. Di mana kalau tidak

menjadi pokok hajiyyat dan tahsiniyyat.

terpenuhi kebutuhan sekunder ini tidak akan mengancam eksistensi Lebih lanjut al$Syâtibî berpendapat bahwa tujuan legislasi (tasyri’) manusia. Sedang kebutuhan dalam kelompok komplementer

adalah untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Kemaslahatan di sini (tahsiniyyat) adalah kebutuhan pelengkap (tersier) yang menunjang

harus mutlak, karena syari’ah yang telah dilembagakan harus abadi peningkatan martabat manusia dalam masyarakat dan dihadapan

(eternal), universal dan umum, dalam hubungannya dengan segala Tuhannya sesuai dengan kepatutan.

macam kewajiban (taklif), subyek hukum (mukallaf) dan kondisi$ Pada hakekatnya, baik kelompok primer, sekunder, maupun

kondisi (ahwali). 37

komplementer bertujuan untuk memelihara kelima unsur pokok di Jadi, ketiga karakter di atas menuntut kemaslahatan tersebut atas. Hanya saja peringkat kepentingannya yang berbeda. Untuk itu

harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti kemaslahatan tersebut dalam aplikasinya terutama tatkala terjadi benturan antara ketiga

tidak boleh bersifat subyektif dan relatif. Karena kenisbian didasarkan struktur tersebut digunakan skala prioritas. Artinya, kebutuhan primer

pada sikap menyamakan suatu kemaslahatan dengan salah satu kondisi lebih di dahulukan dari kebutuhan sekunder dan tersier atau

tertentu, seperti kesenangan$kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, (komplementer). Demikian juga kebutuhan sekunder lebih

pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan$kepentingan individu. diutamakan dari kebutuhan komplementer.

Sedang keuniversalan maslahah berarti tidak dipengaruhi oleh takhalluf Syâtibî memandang bahwa pembagian intensi legislasi dalam

(memperkecil) unsur$unsur partikularnya, misalnya pelaksanaan konteks maslahat di atas, sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga

hukuman untuk mencegah orang dari berbuat jahat, kendatipun masih tingkatan, yang satu dengan yang lain saling berhubungan. Ia merinci

ada orang yang melakukan kejahatan, hal itu tidak mempengaruhi dan analisa yang menjelaskan dua aspek dari hubungan ketiganya satu

menegasikan validitas ketentuan umum tentang hukuman. sama lain.

Di lain pihak, al$Syâtibî tidak menjelaskan secara rinci tentang Pertama, setiap tingkatan secara terpisah menuntut

kemaslahatan dunia dan akhirat, namun dari statemennya dapat penggabungan unsur tertentu yang melengkapi tingkatan ini; kedua,

dipahami bahwa keduanya ibarat dua sisi mata uang yang hanya dapat

dibedakan tetapi tidak mungkin untuk dipisah$pisahkan. Dalam antara ketiga tingkatan tersebut dirangkum sebagai berikut: 1) Daruri

masing$masing terkait dengan yang lain. 35 Hubungan keterkaitan

merealisasikan kemaslahatan akhirat, penegakan kemaslahatan dunia (kemaslahatan primer) merupakan basis dan urat nadi segala

tidak dapat dihindarkan.

34 Ibid 36 Ibid., hlm. 16$7 35 Ibid., hlm. 6 37 Ibid.,hlm. 37

Jalan jalan Mengetahui Intensi Legislasi

yang telah ditetapkan Legislator, kecuali jika tujuan hukum dapat diprediksikan akan tercapai maka ta’addi dibenarkan. 40

Al$Qur'an dan Sunnah sebagai sumber pedoman dan pegangan Asafri Jaya Bakri berpendapat bahwa perbedaan metode

hidup komunitas Islam diyakini sebagai sumber pertama dan utama pertama (analisa perintah dan larangan) dengan metode kedua (‘illah

dalam legislasi Islam. Untuk itu, teks$teksnya tersebut harus bisa perintah dan larangan) tersebut terletak pada orientasi (obyek

dipahami sehingga pesan$pesan moralnya dapat membumi dan permasalahan). 41 Metode pertama berkaitan dengan masalah$masalah

diaplikasikan dalam setiap segmen kehidupan manusia. Dalam ibadah yang immutable, baku dan eternal, yang tidak berbuka celah

pengertian yang lebih spesifik lagi, pemahaman terhadap nas secara untuk mengutak$atiknya atau harus bersikap taken for granted,

tekstual dan kontekstual akan mengantarkan pada pemahaman sedangkan metode kedua berkaitan dengan masalah$masalah

terhadap intensi legislasi, karena intensi legislasi secara substansi dapat mu’amalah yang fleksibel dan kondisional yang senantiasa membuka

diidentifikasi dalam al$Qur'an dan Sunnah. peluang perubahan hukum sesuai dengan perubahan masa, tempat dan

Untuk melacak dan mengidentifikasi intensi legislasi dalam teks$

keadaan manusia.

teks al$Qur'an dan Sunnah dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu:

3. Analisa terhadap sikap diamnya Legislator dalam pensyari’atan

1. sesuatu. Analisa Lafal perintah (amr) dan larangan (nahy) Di sini, al$Syâtibî mendeskripsikan intensi legislasi dengan

Di sini, al$Syâtibî menelaah dan mengelaborasi aspek perintah memahami problematika hukum yang tidak disebutkan status

(al amr) dan larangan (al nahy) dalam kedua sumber tekstual (al Qur'an hukumnya oleh nas (al$Qur'an dan Sunnah). Untuk itu, al$Syâtibî

dan Sunnah ) tersebut. Perintah dan larangan dalam suatu ayat dan hadis

mempolarisasinya menjadi dua kelompok:

dipahami sesuai dengan yang diperintahkan dan yang dilarang tersebut. Artinya, realisasi isi, esensi dan substansi perintah tersebut

a. Diamnya Legislator karena tidak ada motif atau tidak ada dan keharusan meninggalkan dan menjauhi perbuatan yang dilarang

faktor yang mendorong$Nya dalam melembagakan hukum. merupakan tujuan (intensi legislasi) yang dikehendaki Legislator (Syari:

Tetapi bukan berarti bahwa persoalan tersebut tidak Allah SWT). 38 mengandung dampak positif. Untuk itu, tatkala kebutuhan

atau dampak positifnya menemukan élan vitalnya di belakang

2. Penelaahan illah (ratio legis) perintah dan larangan. hari (pasca pelembagaan tasyri’), dapat ditetapkan hukumnya

‘Illah (ratio legis) hukum itu ada yang termaktub secara eksplisit dan dampak positif itu sendiri merupakan tujuan hukum

dalam nas, ada juga yang tidak (implisit). Jika ‘Illah itu tertulis secara Islam (intensi legislasi). Seperti pengumpulan mushaf yang

eksplisit dan dapat diidentifikasi, harus mengikuti yang tertulis itu, baru dirasakan kebutuhannya pada masa Khalifah Abu Bakar,

dengan demikian tujuan hukum dapat dicapai. Jika ‘illah tersebut tidak ditetapkanlah hukum kebolehannya, meskipun belum

termaktub secara tertulis maka kita harus bersikap tawaqquf

ditetapkan pada masa Nabi. 42 (menyerahkan pada Legislator). 39 Sikap tawaqquf ini dikedepankan atas

b. dasar tidak boleh melakukan ta’addi (perluasan cakupan) terhadap apa Diamnya Legislator meskipun ada motif. Artinya, meskipun terdapat faktor yang mendorong lahirnya hukum, namun

40 Ibid 38 Ibid., hlm. 275 41 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid…, hlm. 95$6

39 Ibid., hlm. 276 42 al$Syâtibî, al Muwafaqat….,II, hlm. 287$8

Legislator tetap tidak melembagakan hukumnya. Hal ini, agar

Dinamika Hukum Islam dan Pembaharuan Metodologis

tidak terjadi penambahan dan pengurangan terhadap apa Penggalian hukum Islam terhadap maslahah dilakukan melalui

yang telah ditetapkan Legislator, dan inilah yang menjadi ijtihad, yang salah satunya dengan menggunakan metode maslahah

tujuan hukum itu sendiri. Contohnya adalah tidak mursalah. Analisis konsep dan metode ini diarahkan pada penggalian

disyari’atkannya sujud syukur dalam Mazhab Maliki. 43 Di sini,

hukum terhadap berbagai problematika umat yang kasusnya tidak sujud syukur tidak diwajibkan dan tidak menjadi imperatif

termaktub secara eksplisit dalam nas.

untuk dilakukan, padahal motif atau faktor pendukung Dari pemaparan tentang intensi legislasi, jelaslah bahwa dalam

dilembagakan hukum di masa Nabi tersebut ada. rangka pengembangan pemikiran hukum yang kasusnya tidak diatur

4. Mempertimbangkan makna asliyyat (asal) dan makna tabi’iyyat secara eksplisit dalam nas, maka pemahaman terhadap maslahah sebagai

(pendamping). 44 intensi legislasi menjadi urgen. Lebih dari itu adalah untuk mengetahui Makna asal dimaksudkan untuk memelihara maksud primer

apakah terhadap suatu kasus, hukum tersebut masih bisa diterapkan, (daruriyyat), yaitu kemaslahatan yang tidak dibatasi oleh ruang dan

jika situasi dan kondisi sosiologis komunitas Islam telah berubah. waktu. Sedangkan makna pendamping (tabi’iyyat) dimaksud kan untuk

Dengan demikian, pengetahuan tentang intensi legislasi menjadi kunci memelihara kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan

keberhasilan seorang mujtahid dalam ijtihadnya. 46

komplementer (tahsiniyyat), yaitu maksud$maksud (intensi) yang Dari analisanya terhadap konsep maslahah al Syatibi, Muhammad memperhatikan kepentingan umum, seperti bersenang$senang dengan

Khalid Mas`ud sampai pada kesimpulan bahwa untuk merealisasikan makanan yang enak dan lezat, dan memakai pakaian yang indah.

maslahah sebagai intensi legislasi, al$Syatibi telah berupaya Maksud tabi’iyyat pada prinsipnya sebagai pelengkap maksud asliyyat.

membebaskan operasi teori hukum Islam dari sejumlah faktor Namun Asafri Jaya Bakri berkomentar bahwa poin keempat ini

deterministik dan rigiditas yang diakibatkan oleh pertimbangan lebih tepat sebagai sifat intensi legislasi. Sehingga dalam uraian

teologis dan metodologis. Dalam realitasnya konsep maslahah nya selengkapnya Asafri Jaya Bakri tidak memasukkannya dalam salah satu

menyediakan suatu koreksi bagi banyak kesalahpahaman tradisional

dan modern terhadap konsep ini. bagi al$Syatibi, maslahah bukanlah karakteristik intensi legislasi.

cara mengetahui intensi legislasi, 45 tetapi hanya sebagai sifat dan

suatu prinsip yang benar$benar relatif, tetapi tidak juga secara ketat Dari deskripsi di atas terlihat, al$Syâtibî dalam mengidentifikasi

terikat dengan qiyas dan teks$teks hukum spesifik syari`ah. 47 intensi legislasi dalam al$Qur'an dan Sunnah memakai pendekatan

Dengan demikian maslahah itu bukanlah bentuk khusus dari tekstual dan kontekstual, dengan keyakinan bahwa penggabungan

analogi, tetapi juga bukan metode kesesuaian hukum yang luar biasa kedua pendekatan tersebut tidak menimbulkan pertentangan.

dalam menyediakan suatu area fleksibilitas dan adaptabilitas dalam Pendekatan melalui kedua metode tersebut dianut oleh mayoritas

penalaran hukum. Bagi al$Syatibi kemaslahatan yang menjadi intensi ulama komtemporer, terutama dikalangan ulama pembaharu

legislasi itu harus memiliki dan memenuhi beberapa kriteria dan pemikiran Islam dan dianggap sebagai pandangan masyarakat

persyaratan, seperti kemaslahatan itu harus universal, mutlak, dan profesional dan matang kualitas intelektualitasnya.

termasuk salah satu dari tiga kategori (primer, sekunder atau

43 Ibid 46 Satria Effendi M. Zein, “Maqasid Syari`at dan Perubahan Sosial”, dalam 44 Ibid., hlm. 278 Dialog (Badan Litbang Depag, Nomor 33 Tahun XV, Januari 1999), hlm. 29 45 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid…,hlm.92 47 Muhammad Khalid Mas`ud, Filsafat …, hlm. 337$8 43 Ibid 46 Satria Effendi M. Zein, “Maqasid Syari`at dan Perubahan Sosial”, dalam 44 Ibid., hlm. 278 Dialog (Badan Litbang Depag, Nomor 33 Tahun XV, Januari 1999), hlm. 29 45 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid…,hlm.92 47 Muhammad Khalid Mas`ud, Filsafat …, hlm. 337$8

dalam periode ini, dan ambigiutas$ambigiutas yang ditimbulkan oleh Menurut hemat penulis, dengan ini al$Syatibi telah berupaya

batasan ini, mungkin membantu untuk merevisi dan merekonstruksi menempatkan antara konsepsi hukum sebagai warisan intelektual

argumentasi al$Syatibi dalam mengadaptasikan hukum Islam dengan masa lalu dan modernitas sebagai tuntutan masa kini dalam bingkai

perubahan sosial, sebagai kunci bagi kesuksesan adaptasi hukum Islam dan proporsi yang sesuai dan pada posisi yang selayaknya. Karena al$

dengan kondisi kekinian (kontemporer). 49

Syatibi tidak memandang konsepsi hukum Islam para ortodoks masa Lebih spesifik lagi menurut hemat penulis bahwa konsepsi al$ silam sebagai warisan yang baku, mapan, immutable dan tidak dapat

Syatibi tentang intensi legislasi ini lebih mengarah ke pragmatisme dirubah dan diutak$atik lagi, karena telah dilekatkan kepadanya sifat

positif (positivisme pragmatis). 50 Karena bagi al$Syatibi tujuan abadi (eternal). Sebaliknya, al$Syatibi juga tidak menempatkan

pelembagaan hukum dalam Islam adalah untuk kebahagiaan atau modernitas sebagai pemegang otoritas mutlak dalam menilai warisan

kemaslahatan seluruh masyarakat. Di sini, konsepsi intensi legislasi al$ intelektual masa silam. Bagi al$Syatibi keduanya harus disikapi secara

Syatibi telah mengandung unsur “fleksibilitas dan perubahan”, sebagai adil, tanpa mengorbankan salah satu, untuk kemudian mengagungkan

ciri utama dinamika hukum dalam merespon isu$isu kontemporer. yang lain.

Wael B. Hallaq, lebih jauh, melihat bahwa konsep intensi legislasi Barang kali al$Syatibi sangat menyadari, jika warisan intelektual

al$Syatibi tidak hanya didorong oleh keinginan kuat untuk masa silam dipakai dalam menilai modernitas, akan melahirkan sikap

menciptakan seperangkat teoritis yang dapat meningkatkan fundamentalis dan konservatif. Demikian juga sebaliknya, jika

fleksibilitas dan adaptabilitas hukum Islam. Lebih dari itu adalah untuk modernitas dipakai untuk menilai warisan intelektual masa silam, tentu

mengembalikan hukum Islam ke dalam bangunannya yang asli dan akan melahirkan sikap apologetik dan apatisme agama yang

substantif. 51

berimplikasi kepada keringnya relung kehidupan umat Islam dari dimensi spritual (agama) dan akan melahirkan leberalis$liberalis model

baru. hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical Terlepas dari adanya statemen tentang kegagalan konsep intensi system ). Hukum secara tegas harus dipisahkan dari moral, yaitu tidak didasarkan

legislasi al$Syatibi, para ulama kontemporer memandang bahwa pada pertimbangan dan penilaian baik buruk. Lihat Lili Rasjidi, Filsafat Hukum: konsep yang ditawarkan al$Syatibi ini telah maju ketimbang ulama

Apakah Hukum itu? (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 42 sebelumnya. Muhammad Khalid Mas`ud misalnya berpendapat, 49 Muhammad Khalid Mas`ud, Filsafat …, hlm. 342

konsepsi al$Syatibi menandai suatu kecenderungan ke arah positivisme 50 Aliran ini digagas oleh Gerakan Realis Amerika yang merupakan antitesis terhadap aliran positivisme analitisnya Austin. Aliran ini berpendapat

hukum. 48 Pemahaman yang tepat terhadap zona$zona batasannya, bahwa hukum positif sebagai perintah penguasa untuk mempertahankan

“Peraturan dan stabilitas”, sekarang direduksi ke dalam posisi “Hukum dalam 48 Positivisme hukum merupakan suatu aliran dalam filsafat hukum yang

keadaan yang terus$menerus berubah”. Aliran ini dikatakan menggunakan mencoba memisahkan antara hukum dengan moral. Aliran ini dalam

pendekatan pragmatis terhadap hukum, karena aliran ini lebih mementingkan perkembangannya terbagi dua, yaitu aliran positivisme analitis yang dipelopori oleh

tujuan akhir hukum yang semata$mata untuk memuaskan kebutuhan$kebutuhan John Austin dan aliran positivisme murni yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.

masyarakat yang berbeda$beda. Lihat W. Friedmen, Legal Theory (New York: Aliran positivisme mengartikan hukum sebagai a command of the lawgiver (perintah

Columbia University Press, 1970), hlm. 296

dari pembuat hukum atau perundang$undangan), yaitu suatu perintah dari mereka 51 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni yang memegang kekuasaan tertinggi dan kedaulatan hukum. Aliran ini memandang

Usul al Fiqh (New York: Cambridge University Press, 1997), hlm. 163

Secara teoritis ungkapan senada dengan statemen di atas adalah tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sejak awal hukum Islam hanya bertujuan merealisasikan kemaslahatan

sekali. 55

manusia. Ungkapan standar bahwa hukum Islam dicanangkan demi Maslahah dipandang oleh kelompok dinamisme dalam hukum kebahagiaan manusia, lahir batin, duniawi ukhrawi, memperkuat

Islam sebagai prinsip adaptabilitas. Untuk itu, ia harus merespon dan asumsi tersebut. Akan tetapi keterikatan berlebihan terhadap nas,

mengakomodir setiap perubahan sosial yang melayani tujuan ini. seperti ditunjukkan paham ortodoksi khususnya dikalangan teolog

Konsep pokok dalam konsep ini adalah hukum Islam, sebagaimana dalam mengaitkan pembahasan intensi legislasi dalam pembahasan

hukum$hukum lain, bisa dirubah, direformasi dan dikodifikasi oleh ilmu kalam, telah membuat prinsip kemaslahatan hanya sebagai jargon

legislasi negara, sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat. 56 Hal ini kosong dan utopis. 52 tentu saja secara terang$terangan mempertanyakan ide keabadian Dalam usul al fiqh, logika berfikir dan metode penalaran berbeda

hukum Islam.

dengan ilmu kalam. Pemikiran hukum mengharuskan kehendak bagi Adaptabilitas hukum Islam sebagai wadah dinamika hukum tindakan$tindakan sukarela dihubungkan dengan manusia itu sendiri,

Islam, dapat dibedakan menjadi dua pengertian; 1) Perubahan dengan jika ia secara hukum harus bertanggung jawab terhadap tindakannya

cara dimodifikasi agar sesuai dengan kondisi$kondisi sosial masyarakat; tersebut. Karena ketaatan terhadap perintah Tuhan tergantung kepada

2) Kemungkinan perluasan kumpulan hukum yang telah ada. 57 kehendak manusia, maka perintah itu harus terlihat dimotivasi oleh

Kedua pengertian di atas dapat diterapkan intelektual hukum kepentingan$kepentingan manusia. Di sinilah konsep intensi legislasi

Islam dalam menyelesaikan problematika hukum kontemporer, selama menemukan élan vitalnya.

persoalan tersebut berkisar dalam masalah mu`amalah. Masalah Atas dasar itulah ibn al$Qayyim, sebagaimana yang dikutip Yusuf

mu`amalah dapat diketahui makna dan rahasianya oleh manusia al$Qardawi berpendapat bahwa intensi legislasi dapat dijadikan dasar

selama masalah itu reasonable, maka penelusuran terhadap masalah$ bagi para mufti dalam memberikan fatwa, yang membuka peluang bagi

masalah mu`amalah menjadi urgen dan signifikan. Artinya, sepanjang berubahnya hukum seiring dengan perubahan zaman, lingkungan dan

persoalan tersebut masih dalam koridor kajian mu`amalah dan tidak kondisi manusia. 53 termasuk lingkup ibadah murni, maka ia menjadi lapangan dan obyek

Konsep intensi legislasi al$Syatibi telah memilih maslahah yang

ijtihad.

diabaikan oleh nas untuk mencakup semua tindakan yang memberikan Hanya saja dalam tataran aplikatif, langkah awal yang harus

diperhatikan adalah apa hakikat atau substansi dari masalah tersebut. pembahasan maslahah sebagai intensi legislasi sering memungkinkan

keuntungan (profit, benefit) bagi masyarakat. 54 Ijtihad atas dasar

Penelitian terhadap kasus yang akan diterapkan hukumnya sama tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya (tekstual),

pentingnya dengan penelitian terhadap sumber$sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, dalam menerapkan nas terhadap kasus baru, kandungan nas harus diteliti dengan cermat termasuk meneliti

52 Masdar F. Mas`udi, “Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan tujuan dilembagakannya suatu hukum. Setelah itu perlu dilakukan Syari`ah”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur`an, No.3 Vol. VI Tahun

1995, hlm. 94

53 Yusuf al$Wardawi, Al Marji`iyyah al `Ulya fi al Islam li al Qur`an wa al 55 Ahmad Azhar Basyir, Pokok pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam

Sunnah (Kairo: Maktabah Wahhab, tt), hlm. 234$5 (Yogyakarta: FH$UII, 1984), hlm. 31$2

54 Muhammad Hasim Kamali, Source, Nature Objektives of Syari`ah”,

56 Muhammad Khalid Mas`ud, Filsafat …, hlm. 27 dalam Islamic Quarterly, Vol.33/4 1989, hlm. 215 57 Ibid., hlm. 44 56 Muhammad Khalid Mas`ud, Filsafat …, hlm. 27 dalam Islamic Quarterly, Vol.33/4 1989, hlm. 215 57 Ibid., hlm. 44

berkomentar bahwa orang yang beranggapan tindakan Umar kasus baru yang mirip dengan kasus hukum yang terdapat dalam al$

tersebut sebagai tindakan yang meninggalkan nas, demi kemaslahatan Qur`an dan Sunnah, padahal setelah diadakan penelitian secara

dan keuntungan individual, merupakan ungkapan yang kurang tepat seksama, ternyata kedua kasus itu berbeda. Konsekuensinya, kasus

dan tidak didukung dengan alasan yang kuat dan mendasar. Dalam hal tersebut tentu tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang

ini, justru Umar telah menerapkan nas tersebut secara baik dengan ada pada kedua atau salah satu sumber tersebut. Sehingga

pemahaman yang kreatif$konstruktif, serta tanpa ragu$ragu, dalam

Fathurrahman Djamil 58 berpendapat, di sinilah letak urgensinya

rangka implementasi terhadap intensi legislasi.

pengetahuan tentang intensi legislasi, sebagaimana yang telah Uraian di atas mengindikasikan bahwa kondisi dan diterapkan para teoritis hukum Islam.

perkembangan sosiologis masyarakat merupakan proses yang berjalan Dalam rangka merealisir intensi legislasi itulah hukum Islam

terus$menerus dan berkesinambungan. Hal ihwal alam dan manusia, dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi komunitasnya. `Abd

beserta adat dan peradabannya, tidak selamanya dalam gerak dan jalan al$Wahhab Khallaf mengatakan bahwa tujuan syara` adalah

yang tetap. Akan tetapi akan senantiasa berubah secara sunatullah. 63 kemaslahatan, dimana terdapat maslahah di situlah hukum Islam. 59 Kondisi ini nampaknya sulit berubah, karena hal itu merupakan watak Sebagai contoh, Khalifah Umar dan Usman menetapkan hukuman

alam yang diciptakan Allah. Realitas yang bersifat alamiah ini, yang di cambuk bagi peminum khamar dengan 80 kali cambuk, sedangkan

dalamnya include segala aspek dan aktifitas manusia akan senantiasa pada masa Nabi belum ada ketentuan bakunya. Abu Bakar

mengalami perubahan. Fenomena ini sudah menjadi kelaziman yang

masuk akal, sehingga bila terjadi perubahan hukum karena situasi dan peminum khamar dari 40 kali cambuk menjadi 80 dilakukan karena

menetapkan empat puluh kali cambuk. 60 Perubahan hukuman bagi

kondisi serta pengaruh dari gejala$gejala kemasyarakatan, bukan dengan 40 kali cambuk saat itu tidak mampu merubah orang dari

sesuatu yang asing lagi dalam Islam.

perbuatan itu. 61 Hal ini menurut hemat penulis, harus menjadi pertimbangan atau Kebijakan Umar dan Usman tersebut tidak berarti bertentangan

bagi para intelektual hukum Islam, terutama di era post$ dengan ketetapan Nabi dan Abu Bakar sebelumnya, akan tetapi

blue print

modern ini, agar hukum Islam itu mempunyai arti dan berfungsi di sebagai upaya mencari ketentuan hukum yang mampu merealisir

tengah$tengah masyarakat, sehingga mampu merealisir intensi legislasi, kemaslahatan manusia, yang menjadi tujuan pelembagaan hukum

yaitu untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan menepis (intensi legislasi), dalam hal ini berarti proteksi terhadap akal manusia.

kemafsadatan.

Upaya rekonstruksi metodologis dan reinterpretasi rasional, sebagai wujud pembaharuan bukanlah wujud nyata dari pembatalan 58 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:

(naskh) terhadap sumber hukum Islam. Perubahan hukum tidak dapat Logos Publishing House 1995), hlm. 37 diidentikkan dengan pembatalan hukum dalam konsepsi hukum Islam,

59 `Abd al$Wahhab Khallaf, Al Siyasat al Syar`iyyat aw Nizam al Dawlat al karena kedua komponen tersebut memiliki perbedaan prinsipil dan Islamiyyat fi al Syu`un al Dusturiyyat wa al Khairiyyat wa al Maliyyat (Ttp: Dar al$Ansar,

tt), hlm. 8

60 Al$Syatibi, Al I`tisam …, hlm. 118$9 62 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Mazahib al Islamiyyah (Mesir: Dar al$ 61 Ibn Taymiyah, Al Siyasat al Syar`yyat fi Islah al Ra`i wa al Ra`iyyat (Beirut:

Fikr al$Arabi, tt), hlm. 20

Dar al$Kutub al$`Arabiyat, tt), hlm. 91 63 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Mesir: Dar al$Bayan, tt), hlm. 160 Dar al$Kutub al$`Arabiyat, tt), hlm. 91 63 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Mesir: Dar al$Bayan, tt), hlm. 160

legislasinya juga dalam rangka merealisir kemaslahatan manusia dan sedangkan pembaharuan hukum adalah pengamalan dan penerapan

menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. teks yang sudah ada dengan mempertimbangkan situasi teks tersebut yang dikaitkan dengan kebutuhan atau kemaslahatan manusia.

Bibliografi

Perbedaan lainnya adalah pemegang otoritas mutlak dalam pembatalan Anderson, J.N.D, Law Reform in The Muslim Word, (London: University hukum adalah Allah SWT, sedangkan yang merubah penerapan

of London the Athlon Press, 1976)

hukum adalah mujtahid melalui ijtihadnya, untuk selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan atau kemaslahatan manusia. 64

Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqasid al Syari’ah dalam Pandangan al Syâtibî,

Pembaharuan hukum Islam dilakukan dengan memberikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) interpretasi baru terhadap sumber$sumber tekstual. Interpretasi baru

Basyir, Ahmad Azhar, Pokok pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, memasukkan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan

(Yogyakarta: FH$UII, 1984)

ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai salah satu bahan Cowan, J. Milton (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic, (London: pertimbangan, dalam usaha yang sungguh$sungguh mendekatkan diri

Mac Donald & Evan Ltd., 1980)

kepada kebenaran, dengan tetap berpedoman kepada prinsip$prinsip dasar hukum Islam agar dapat terwujud kemaslahatan yang dihajatkan

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, manusia.

(Jakarta: Logos Publishing House, 1995)

Bila hukum Islam tidak mampu beradaptasi dan mengakomodir Esposito, John L., Women in The Muslim Family Law, (Syracus: Syracuse perkembangan umat, maka hukum Islam itu akan ketinggalan zaman

University Press, 1982)

dan hukum itu akan ditinggalkan masyarakat karena tidak mampu menjawab dan mengatasi problematika yang timbul di tengah$tengah

Friedmen, W., Legal Theory, (New York: Columbia University Press, masyarakat.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al$, Kesimpulan al Mustasfa min ‘Ilm al Usul, (Baghdad: Musanna, 1970)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dinamika hukum Islam Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni itu sebenarnya didasari atas tuntutan dari hukum Islam itu sendiri,

Usul al Fiqh , (New york: Cambridge University Press, melalui statemennya yang menyatakan bahwa Islam itu merupakan

rahmat bagi sekalian alam dalam setiap situasi dan kondisi, karena memang hukum Islam dilembagakan untuk merealisir kemaslahatan

Husaini, al$Syaikh Abd al$Fattah, Fiqh al ‘Ibadat, (Kairo: Maktabah al$ manusia dan untuk menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan

Sa’adah, , 1997)

akhirat. Jadi, pembaharuan hukum Islam melalui adaptabilitas dan Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir: Dar al$Bayan, tt) fleksibilitas sebagai medium dinamika hukum Islam sangat relevan

Ibn Taymiyah, Al Siyasat al Syar`yyat fi Islah al Ra`i wa al Ra`iyyat,

(Beirut: Dar al$Kutub al$`Arabiyat, t.th)

Ibn Qayyim al$Jauziyyah, I`lam al Muwaqqi`in (Beirut: Dar al$Fikr, 1977), hlm. 36

Jauziyyah, Ibn Qayyim al$, I`lam al Muwaqqi`in, (Beirut: Dar al$Fikr, Syâtibi, Abu Ishâq al$, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, (ttp.: Dâr al$ 1977)

Rasyâd al$Hadisah, t.th).

Juwaini, Abd al$Malik ibn Yusuf Abu al$Ma’ali al$, al Burhan fi Usul al Syâtibî, Abu Ishaq al$, al Muwafaqat fi Usul al Ahkam, (ttp: Dar al$ Fiqh, (Kairo: Dar al$Ansar, 1400 H)

Rasyad al$Hadisah, t.th)

Kamali, Muhammad Hasim, Source, Nature Objektives of Syari`ah”, Tahir, Muhammad, Maqâ)id al Syari’ah al Islamiyyah, (Tunisia: Syikat dalam Islamic Quarterly, Vol.33/4 1989

Tunisia, t.th)

Khalid, Mas’ud Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Tufi, Najm al$Din al$, Syarh Hadis Arba’in al Nabawiyyah, dalam Alih Bahasa Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995)

Musfata Zaid, al Maslahat fi al Tasyri’ al Islami wa Najm al Din al Tufi, (Mesir: Dar al$Fikr al$‘Arabi, 1965)

Khallaf, Abd al$Wahhab, Al Siyasat al Syar`iyyat aw Nizam al Dawlat al Islamiyyat fi al Syu`un al Dusturiyyat wa al Khairiyyat wa al

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al Mazahib al Islamiyyah, (Mesir: Dar Maliyyat , (ttp: Dar al$Ansar, t.th)

al$Fikr al$Arabi, t.th)

Khudri, Ahmad al$Hijji al$, al Madkhal al Fiqh al Qawa’id al Kuliiyah, Zein, Satria Effendi M., “Maqasid Syari`at dan Perubahan Sosial”, (ttp: Dar al$Ma’arif, 1979)

dalam Dialog, Badan Litbang Depag, Nomor 33 Tahun XV, Januari 1999

Ma’luf, Louis, al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Beirut: Dar al$ Masyriq, 1986)

Zuhaili, Wahbah al$, Usul al Fiqh al Islami, (Beirut: Dar al$Fikr al$

Mu’asir, 1986)

Mas`udi, Masdar F., “Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari`ah”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur`an, No.3 Vol. VI Tahun 1995

Paret, Rudi, Istihsan and Istislah Shorter Encyclopaedea of Islam, (Leiden: EJ. Brill, 1961)

Qardawi, Yusuf al$, Al Marji`iyyah al `Ulya fi al Islam li al Qur`an wa al Sunnah (Kairo: Maktabah Wahhab, t.th)

Rahman, Fazlur, Islam, Alih Bahasa: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994)

Raisuni, Ahmad al$, Nazariyyah al Maqasid ‘inda al Syâtibî, (Riyad: al$ Dar al$‘Alamiyyah al$Kitab al$Islamiyyah, 1992)

Salam, Izz al$Din ‘Abd al$, Qawa’id al Ahkam fi Masalih al Anam, (Kairo: Al$Istiqamat, t.th)

Dokumen yang terkait

KEMAMPUAN SISWA SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI PENGGUNAAN HURUF KAPITAL DAN TANDA BACA YULINA Guru SD Negeri 002 Muara Lembu Kecamatan Singingi anayuli.teachergmail.com ABSTRAK - KEMAMPUAN SISWA SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI PENGGUNAAN HURUF KAPITAL DAN TAND

0 0 6

PENGEMBANGAN KREATIVITAS SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN DI KELAS II SMP NEGERI 3 ROKAN IV KOTO KENEDI kenedi656gmail.com ABSTRAK - PENGEMBANGAN KREATIVITAS SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN DI KELAS II SMP NEGERI 3 ROKAN IV KOTO

0 0 20

PENGGUNAAN ALAT PERAGA DALAM PEMAHAMAN KONSEP BILANGAN PECAHAN DAN PENGGUNAAN METODE DISKUSI DALAM MEMBUAT RINGKASAN CERITA MARIANIS Guru SD Negeri 001 Teluk Beringin Kecamatan Gunung Toar marianis.telukberingingmail.com ABSTRAK - PENGGUNAAN ALAT PERAGA D

0 0 6

PEMBERIAN REWARD UNTUK MENINGKATKAN KEDISIPLINAN GURU DALAM MENGAJAR DI KELAS SLB Mastur Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri Bangkinang Kota slbn.bangkinanggmail.com ABSTRAK - PEMBERIAN REWARD UNTUK MENINGKATKAN KEDISIPLINAN GURU DALAM MENGAJAR DI KELAS SLB

0 0 8

PENERAPAN METODE COOPERATIVE SCRIPT DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SD PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA Hasnibeti Guru SDN 012 Lebuh Lurus Kecamatan Inuman hasnibetti592gmail.com ABSTRAK - PENERAPAN METODE COOPERATIVE SCRIPT DALAM MENINGKATK

0 1 10

MODEL PENDEKATAN BERMAIN DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEBUGARAN JASMANI SISWA TUNARUNGU Maidar Guru SLB Negeri Kota Dumai slbdumaigmail.com ABSTRAK - MODEL PENDEKATAN BERMAIN DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEBUGARAN JASMANI SISWA TUNARUNGU

0 0 14

PENGGUNAAN METODE DEMONTRASI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DALAM PEMBELAJARAN IPA DAN IPS SISWA SEKOLAH DASAR Neng Elita Guru SD Negeri 004 Koto Kombu elita561gmail.com ABSTRAK - PENGGUNAAN METODE DEMONTRASI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DALAM PEMBELAJARAN

0 2 6

AKTIVITAS ORANG TUA DALAM PROSES PENDIDIKAN AKHLAK ANAK-ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA MASYARAKAT KASANG Lastini Guru SD Negeri 012 Kasang Kecamatan Kuantan Mudik lastini059gmail.com ABSTRAK - AKTIVITAS ORANG TUA DALAM PROSES PENDIDIKAN AKHLAK ANAK-ANAK DI L

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PERBEDAAN PROGRAM FIFA 11+ DENGAN CORE STABILITY EXERCISE DAN PLIOMETRIK DALAM MENGURANGI RISIKO CEDERA PADA PEMAIN SEPAK BOLA DI JAKARTA

0 2 10

KONSEP HARGA PASAR DALAM ISLAM (DHAMAN AL-MITHL)

0 0 12