PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN
PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN TUMPANGSARI HUTAN JATI MUDA
Husin M Toha
Staf Peneliti Ekofisiologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
ABSTRAK
Secara umum pertanaman padi gogo di Indonesia terdapat pada tiga sub ekosistem, yaitu: a) pada lahan
datar termasuk bantaran sungai; b) pada lahan perbukitan daerah aliran sungai (DAS); dan c) sebagai tanaman
tumpangsari pada pertanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Batas naungan maksimum
pada budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan tanaman keras adalah sampai naungan tanaman
pokok mencapai 50%, untuk selebihnya perlu diseleksi varietas yang tahan naungan. Naungan tanaman karet dan
kelapa sawit mencapai 50% pada umur 3-4 tahun tergantung jarak tanamnya, demikian juga untuk hutan tanaman
industri (jati, Acasia mangium, sengon dan mahoni). Bila siklus tanaman karet, kelapa sawit dan juga hutan jati
klon unggul, sengon dan A. Mangium adalah 25 tahun sekali, maka luasan areal yang dapat ditumpangsarikan dapat
mencapai 16% areal. Sedangkan untuk perkebunan kelapa dalam, pertanaman tumpangsari dapat dilalakukan pada
peremajaan sampai tahun ke empat dan setelah umur 25 tahun, mahkota tanaman kelapa akan mengecil lagi dan
sangat leluasa untuk pertanaman tumpangsari. Secara potensi luas areal yang dapat ditanami tanaman pangan
khususnya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat mencapai lebih dari 2 juta ha. Rata-rata hasil 12 varietas
padi gogo yang ditanam bersamaan dengan tanaman jati klon unggul mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75
t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Pada percobaan lain dari 12 galur harapan dan 2 varietas, rata-rata
mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1). Hasil
pertanaman pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami) dengan vegetasi semak belukar dan alang-alang, dari 12
varietas yang diuji rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan kisaran 3,21 (Cirata) sampai 4,98 (Jatiluhur).
Sedangkan dari 12 galur harapan yang diuji pada areal yang sama, rata-rata mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27
t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Penelitian berkelanjutan tumpangsari padi gogo
dengan hutan jati muda di Desa Sanca (Gantar-Indramayu), pada tahun kedua (jati 1 tahun), rata-rata hasil 8
varietas mencapai 5,53 tha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 (Situ Patenggang). Pada tahun
ketiga (Jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 (Danau Gaung) sampai 4,37 (Towuti).
Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata 8 varietas mencapai 3,22 t/ha dengan kisaran 2,14 t/ha (C
22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi). Dampak positif dari pertanaman tumpangsari padi gogo (pola tanam
tumpangsari), selain ada tambahan hasil tanaman pangan, pertumbuhan pohon jati juga menjadi lebih baik yang
tercermin dari pertumbuhan diameter batang pada pola tanam intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan dengan pola
tanam kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm.
Kata kunci : padi gogo, tumpangsari, jati muda,
PENDAHULUAN
Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat mengingat banyaknya lahan
irigasi subur yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian dan penduduk terus bertambah. Menururt
Irawan et al., (2001) dalam kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan seluas 1,6 juta ha, sekitar 1
juta ha diantaranya terjadi di P Jawa. Bila diasumsikan produktivitas lahan sawah sebesar 6 t/ha GKP, maka
kehilangan produkasi dapat mencapai 9,6 juta ton GKP (Agus et al., 2004). Pada pihak lain, laju pertambahan
produktivitas lahan sawah juga semakin menurun akibat diterapkan teknologi yang semakin intensif, tetapi
pupuk yang diberikan tidak seimbang dengan hara yang terangkut panen serta jerami padi banyak yang
diangkut ke luar petakan atau dibakar. Dengan semakin menciutnya luas lahan sawah irigasi akibat
pengalihan fungsi dan menurunnya tingkat produktivitas lahan, maka lahan kering untuk pengembangan
pertanian harus segera dikembangkan dan dimanfaatkan. Peluang pengembangan pertanian di lahan kering
cukup besar baik dari segi potensi sumber daya lahan, maupun peningkatan produktivitasnya melalui
penerapan paket-paket teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Suwarno et al., 2005).
Luas panen padi gogo saat ini sekitar 1,12 juta ha atau sekitar 10% luas panen padi nasional dengan
produksi 2,88 juta ton atau sekitar sekitar 5% dari produksi padi nasional. Tingkat produktivitas padi gogo
rata-rata baru mencapai 2,58 t/ha atau 45% dari tingkat prduktivitas padi sawah yang telah mencapai 5,68
t/ha (BPS, 2005). Secara potensi padi gogo pernah mencapai 7,2 t/ha di Peru (de Datta, 1975) dan penelitian
di Boyolali varietas Poso pernah mencapai 6,8 t/ha (Toha dan Hawkins, 1990). Penelitian lain di Garut
selatan, varietas Cirata pennah mencapai hasil 6,7 t/ha (Permadi dan Toha, 1996) dan varietas Jatiluhur yang
ditanam secara tumpangsari dengan hutan jati muda di KPH Purwakarta mencapai 5,5 t/ha (Guswara dan
Toha, 1995)
Luas lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi
gogo ada sekitar 5,1 juta ha (Tim Badan Litbang, 1998). Budidaya padi gogo umumnya dilakukan pada; a)
areal datar yang terletak dibantaran sungai atau sekitar halaman rumah, b) disekitar perbukitan daerah alirang
sungai (DAS), dan c) sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda
(Toha, 2005). Budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari terbatas sampai naungan mencapai 50%
(Sopandie et al., 2003; 2005). Untuk tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit masing-masing sampai
umur 3 dan 4 tahun, kelapa dalam sampai 4 tahun dan setelah umur 25 tahun mahkotanya mengecil dan
seterusnya dapat diusahakan tanaman tupangsari lagi (Toha dan Hasanuddin, 1997). Sedangkan untuk hutan
jati muda mulai tahun pertama sampai 3 tahun tergantung populasi tanaman pokoknya (Toha, 2005).
Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, akhir-akhir ini makin sering terdengar adanya
penjarahan hutan. Tanaman kehutanan (jati, mahoni, dll) sebelum umur panen, sudah dijarah masyarakat
sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin. Untuk mengembalikan fungsi hidrologi hutan, hutan yang
rusak perlu segera direhabilitasi atau direboisasi. Pada pihak lain, program peremajaan hutan yang rutin ada
sekitar 50.000-200.000 ha/tahun (BPS 2005). Untuk mengurangi terjadinya penjarahan hutan, maka program
perhutanan sosial perlu lebih dikembangkan agar petani merasa lebih memiliki dan memelihara hutan
(Bratamiharja (1996). Petani dapat menarik manfaat dengan diikut sertakan menanam tanaman tumpangsari
diantara tanaman pokok hutan. Akhir-akhir ini juga telah dilontarkan program pengelolaan sumberdaya hutan
bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat sekitar hutan diikut sertakan dalam pengelolaan hutan
dengan ketentuan masyarakat boleh menanam tanaman semusim diantara tanaman hutan sepanjang masih
memungkinkan dan pada pihak lain masyarakat juga berkewajiban memelihara tanaman pokok hutan.
Sedangkan pihak Perhutani mempunyai kewajiban membina petani tersebut dan mengawasi tanaman
pokoknya (Perhutani, 2004).
Berdasarkan besarnya naungan yang ada, pada pola peremajaan tanaman hutan atau perkebunan,
pengusahaan tanaman tumpangsari terbatas sampai tahun ke tiga atau ke empat. Batasannya sampai naungan
mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005), tanaman karet sampai tahun ke tiga, kelapa sawit dan kelapa
dalam sampai tahun ke empat. Khusus untuk tanaman kelapa dalam setelah umur di atas 25 tahun,
mahkota/tajuknya mengecil lagi dan penetrasi cahaya dapat mencapai diatas 80% (Toha, 2005), sistem tanam
tumpangsari dapat diusahakan lagi. Bila peremajaan tanaman karet dan kelapa sawit, tiap 25 tahun sekali dan
tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ke empat, maka secara potensi pengusahaan tanaman
tumpangsari dapat mencapai 16% dari luasan lahan perkebunan yang ada (Toha dan Hasanuddin, 1997).
Selain peremajaan tanaman perkebunan, peremajaan hutan setiap tahunnya mencapai antara 50.000-200.000
ha. Potensi tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda dapat mencapai lebih
dari 2,0 juta ha/tahun (Toha, 2005).
Sedangkan untuk peremajaan hutan yang dikaitkan dengan program pengelolaan hutan bersama
masyarakat (PHBM) tanaman tumpangsari dapat diusahakan 2 sampai 5 tahun tergantung jarak tanamnya.
Khusus untuk RPH Sanca (KPH Indramayu), dimana solum tanahnya dalam, dapat diusahakan pertanaman
hutan jati jenis (klon) unggul yang umur panennya lebih genjah. Jenis jati lokal umur panennya dapat di atas
40 tahun, sedangkan jati unggul hanya sekitar 25 tahun dan dapat ditanam lebih jarang. Jarak tanam jati lokal
biasanya (3,0 x 3,0) meter, sedangkan jati unggul jarak tanam antar baris 6 meter dan didalam barisan antara
1-2 meter. Berdasarkan jarak tanam seperti ini, tanaman tumpangsari bisa diusahakan lebih lama dapat
mencapai 6-7 tahun. Bila di hitung dengan masa persiapan panen (1-2 tahun) dan persiapan tanam 1 tahun,
maka usaha tanaman tumpangsari secara total dapat mencapai 7-9 tahun atau sekitar 25% dari potensi hutan
jati yang diusahakan.
Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo,
kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari,
sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang
hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang
tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara
berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan (Oldeman,
1975). Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan sebaiknya
menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan
dilakukan pada akhir musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman kedua
dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan
pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan
demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat diminimalkan. Berdasarkan
pengalaman (hasil penelitian sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG,
kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara gabah,
penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak
kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).
Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan
yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi
dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah
meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi
pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi
masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).
Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan
arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam
pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif
dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum
Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan
dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan
akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).
BAHAN DAN METODA.
Penelitian lapang terdiri dari 5 (lima) unit kegiatan yang semuanya dilakukan di Kecamatan Gantar
pada kawasan KPH Indramayu dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Penelitian unit 1 dan 2 dilakukan
di Desa Bantarwaru, sebagai tanaman kedua setelah penebangan hutan, tetapi bersamaan dengan penanaman
hutan jati klon unggul pada MH 2004/2005. Penelitian unit 3 dan 4 dilakukan di Desa Sanca, sebagai
tanaman kedua yang sebelumnya merupakan lahan tidur (semak belukar dan penuh vegetasi alang-alang),
pada lokasi ini belum ada perencanaan tanam ulang. Sedangkan unit 5 dilakukan selama 3 tahun berurutan
dari MH 2004/2005 sampai MH 2005/2006 di Desa Sanca sebagai penanaman ketiga, keempat dan kelima.
Penelitian di Desa Bantarwaru (2 unit) mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3
(tiga) ulangan secara tersarang. Perlakuan pada unit pertama adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo
termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 1). Perlakuan pada unit kedua adalah menguji 12 galur
harapan padi gogo ditambah 2 varietas kontrol (Tabel 2). Varietas kontrol adalah varietas Towuti (asal padi
gogo) dan varietas Ciherang (asal padi sawah) tetapi umum ditanam petani setempat.
Penelitian di Desa Sanca (3 unit) juga mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3
(tiga) ulangan. Perlakuan pada unit ketiga adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol
varietas lokal Seratus Malam (Tabel 3). Perlakuan pada unit keempat adalah menguji 12 galur harapan padi
gogo (Tabel 4). Sedangkan perlakuan pada unit kelima menguji 8 varietas (tahun pertama), 10 varietas (tahun
kedua) dan 7 varietas (tahun ketiga) yang dilakukan secara berurutan (Tabel 5).
Pengaturan pertanaman di lapangan dengan melibatkan petani pesanggem, tetapi di bawah
pengaturan peneliti. Tiap varietas atau galur harapan ditanam dalam satu lorong, lebar 6 meter dan panjang
50 meter. Sedangkan ulangan dibuat secara tersarang, didalam petak besar (6 m x 50 m) ditentukan secara
acak 3 petak khusus dengan ukuran (6 m x 5 m) yang selanjutnya dijadikan ulangan. Padi gogo untuk semua
unit kegiatan ditanam secara tugal 4-5 butir/lubang dengan jarak tanam sistem jajar legowo (30 x 20 x 10)
cm. Pelaksanaan tanam dilakukan pada awal musim hujan, setelah curah hujan agak kerep atau telah
mencapai 60 mm/10 harian (dekade).
Pemupukan dilakukan 3 kali pada: 15 hari setelah tumbuh (HSTbh), 35 HSTbh dan saat primordia
bunga. Cara pemupukan pertama dan kedua dengan dilarik pada barisan ganda (20 cm), setelah pupuk dialur
dalam larikan segera ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan secara larikan akan lebih efisien dan bila
dibandingkan dengan cara sebar lansung dapat meningkatkan hasil gabah dari 4,1 menjadi 4,7 t/ha GKG
(Pirngadi et al., 2001). Sedangkan untuk pemupukan ketiga dilakukan dengan disebar merata, karena
tanaman sudah menutup. Pupuk pertama terdiri dari campuran 50 kg Urea dan seluruh pupuk SP-36 dan KCl.
Pupuk kedua dan ketiga hanya pupuk urea, masing-masing 75 kg/ha. Jadi secara keseluruhan pertanaman
dipupuk 200 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Pengendalian gulma dilakukan pada umur 10-14
HSTbh dan 30-34 HSTbh (sebelum pemupukan pertama dan kedua) dengan cara dikored. Pengendalian
hama dilakukan pada umur 30 HSTbh (hama belalang dan penggerek) dan saat bunting serta pada matang
susu untuk pengendalian penggerek batang dan walang sangit.
Pelaksanaan panen dilakukan bila penampakan gabah pada malai sudah masak lebih dari 90% dan
panen tidak serempak antar varietas yang dicoba tergantung keserempakan masak masing-masing varietas.
Petak ubinan untuk menduga hasil dilakukan pada masing-masing ulangan dengan ukuran (2 x 5) meter. Pada
petak ubinan tersebut terdiri dari 8 barisan (4 barisan ganda) dengan panjang 5 meter (50 rumpun), total
ubinan secara potensi terdiri dari 400 rumpun. Cara panen dengan arit, kemudian dirontokan (digebot), lalu
dibersihkan dan ditimbang. Untuk menyeragamkan data hasil ubinan, selesai ditimbang lalu diukur kadar
airnya dengan 3 ulangan. Hasil gabah kering panen (GKP) dapat diketahui langsung, sedangkan untuk hasil
gabah kering giling (GKG) dapat diketahui berdasarkan perhitungan (dikonversi) dengan kadar air 14%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan hutan jati
klon unggul rata-rata mencapai 5,82 t/ha GKP atau 5,41 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 4,03
(Sentani) sampai 6,58 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,76 t/ha GKP tidak
berbeda nyata dengan varietas Sentani dan Situ Patenggang serta Way Rarem, sedangkan dengan
varietas lainnya berbeda nyata (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul
di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. *)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Varietas
Hasil t/ha GKP
Batu Tegi
6,04 a
Cirata
6,58 a
C 22
6,50 a
Danau Gaung
5,96 a
Limboto
6,10 a
Seratus Malam
4,76 bc
Sentani
4,03 c
Situ Bagendit
6,44 a
Situ Patenggang
5,77 ab
Towuti
6,25 a
Way Rarem
5,77 ab
Jatiluhur
6,50 a
Rata-rata
5,82
k k (%)
12,2
*)
Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.
Hasil t/ha GKG
5,594 a
6,12 a
6,06 a
5,54 a
5,67 a
4,43 bc
3,75 c
5,99 a
5,36 ab
5,81 a
5,37 ab
6,06 a
5,41
12,2
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata
hasil GKG mencapai 5,41 t/ha dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Hasil varietas
lokal (Seratus Malam) mencapai 4,43 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani, Situ Patenggang
maupun Way Rarem. Dari 12 varietas yang diuji, varietas Jatiluhur, C 22 dan Cirata mencapai hasil GKG
lebih dari 6 t/ha. Masing-masing mencapai: 6,06; 6,06 dan 6,12 t/ha GKG (Tabel 1).
Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas unggul padi gogo/sawah sebagai kontrol pada
pertanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 6,43 t/ha GKP atau 5,93 t/ha
GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,61 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 7,49 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil
varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 6,24 t/ha GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi
sawah) mencapai 6,10 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata dengan hasil galur harapan lainnya (Tabel 2).
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan dan varietas (kontrol)
yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 5,93 t/ha dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1)
sampai 6,97 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 5,52 t/ha
GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah) mencapai 5,39 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata
dengan hasil galur harapan lainnya kecuali dengan galur terbaik BP606C-18-9-6 (Tabel 2). Galur harapan
yang hasilnya mencapai lebih dari 6 t/ha GKG adalah: B9071F-TB-7, BP720C-5-Si-1-1, TB47H-MR-10,
BP760F-2-2-Pn-1 dan BP606C-18-9-6 masing-masing mencapai: 6,38; 6,47; 6,48; 6,91 dan 6,97 t/ha GKG
(Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon
Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. *)
No.
Galur Harapan
Hasil t/ha GKP
Hasil t/ha GKG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
TB203C-Cky-1-13
6,37 abc
BP606D-18-13-1
5,61 c
B9071F-TB-7
6,85 abc
B8503E-TB-19-13
6,00 bc
TB47H-MR-10
6,97 abc
IR30176-1-B-Mr
6,17 abc
Bio 511-61-2-3-1
5,85 c
BP606C-18-9-6
7,49 a
BP720C-5-Si-1-1
6,95 abc
BP785C-12-4-1
6,07 abc
BP760F-2-2-Pn-1
7,42 ab
S4849-1-1G-1-1-3-3
5,96 c
Ciherang
6,10 abc
Towuti
6,24 abc
Rata-rata
6,43
k k (%)
13,3
*)
Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.
5,93 ab
5,22 b
6,38 ab
5,58 b
6,48 ab
5,51 b
5,44 b
6,97 a
6,47 ab
5,65 b
6,91 a
5,54 b
5,39 b
5,52 b
5,93
13,1
Pemanfaatan lahan tidur dalam kawasan hutan untuk tanaman pangan juga dapat berpengaruh positif
bagi masyarakat sekitar hutan dan juga bagi pengelola hutan (Perhutani). Proses terjadinya lahan terlantar
akibat penjarahan yang tidak terkendali dan belum bisa ditanami ulang (perencanaan tanam ulang masih
terbatas). Kalau tidak ditanami, lahan tersebut dijadikan padang pengembalaan ternak yang bila dibiarkan
terus akan menjadi lahan kritis. Sambil menunggu giliran tanam ulang, lahan tersebut dapat diusahakan oleh
petani sekitar hutan untuk budidaya tanaman semusim. Keuntungan dari kebijaksanaan tersebut, dapat
memudahkan untuk perencanaan tanam dan petani penggarap dapat dijadikan petani kooperator program
PHBM seterusnya.
Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo termasuk varietas lokal (Seratus Malam) sebagai
kontrol rata-rata mencapai 4,32 t/ha GKP atau 3,98 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,49 (Cirata)
sampai 5,35 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 3,66 t/ha GKP tidak berbeda
nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas terbaik Jatiluhur (Tabel 3).
Tabel 3.
N0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan
Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan
Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.
Varietas
Batu Tegi
Cirata
C 22
Danau Gaung
Limboto
Seratus Malam
Sentani
Situ Bagendit
Situ Patenggang
Towuti
Way Rarem
Jatiluhur
Rata-rata
k k (%)
Rata-rata hasil (t/ha)
GKP
4,69 ab
3,49 b
4,81 ab
4,17 ab
4,67 ab
3,66 b
4,03 ab
4,32 ab
4,25 ab
4,13 ab
4,29 ab
5,35 a
4,32
16,0
GKG
4,36 ab
3,21 b
3,81 ab
4,19 ab
4,34 ab
3,36 b
3,75 b
4,02 ab
3,89 ab
3,85 ab
4,06 ab
4,98 a
3,98
14,7
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata
hasil GKG mencapai 3,98 t/ha dengan kisaran 3,21 t/ha (Cirata) sampai 4,98 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas
lokal (Seratus Malam) mencapai 3,36 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan
varietas terbaik Jatiluhur. Dari 12 varietas yang diuji, varietas yang hasil dapat mencapai diatas 4,0 t/ha pada
lahan tidur adalah: Situ Bagendit, Danau Gaung, Limboto, Batu Tegi dan Jatiluhur, masing-masing mencapai:
4,02; 4,19; 4,34; 4,36 4,98 t/ha GKG (Tabel 3).
Hasil uji adaptasi 12 galur harapan rata-rata mencapai 4,42 t/ha GKP atau 4,11 t/ha GKG. Kisaran
hasil GKP antara 3,51 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 5,28 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Sejalan dengan hasil
GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai
4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Galur harapan
yang hasilnya mencapai di atas 4,0 t/ha adalah: BP785C-12-4-1; TB47H-MR-10; IR30176-1-B-Mr; B9071FTB-7; Bio511-61-2-3-1 dan BP720C-5-Si-1-1 masing-masing mencapai: 4,20; 4,26; 4,59; 4,60; 4,82 dan 4,91
t/ha GKG (Tabel 4).
Tabel 4.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas
Hutan Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi,
Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.
Galur Harapan
TB203C-Cky-1-13
BP606D-18-13-1
B9071F-TB-7
B8503E-TB-19-13
TB47H-MR-10
IR30176-1-B-Mr
Bio 511-61-2-3-1
BP606C-18-9-6
BP720C-5-Si-1-1
BP785C-12-4-1
BP760F-2-2-Pn-1
S4849-1-1G-1-1-3-3
Rata-rata
k k (%)
Rata-rata hasil (t/ha)
GKP
3,51 d
4,25 abcd
4,94 abc
3,77 cd
4,58 abcd
4,94 abc
5,18 ab
4,10 abcd
5,28 a
4,51 abcd
3,89 bcd
4,13 abcd
4,42
15,4
GKG
3,27 d
3,95 abcd
4,60 abc
3,50 cd
4,26 abcd
4,59 abc
4,82 ab
3,78 abcd
4,91 a
4,20 abcd
3,62 bcd
3,84 abcd
4,11
15,5
Untuk melihat bagaimana renspon hasil beberapa varietas unggul padi gogo sebagai tanaman
tumpangsari jati klon unggul, telah dilakukan penelitian adaptasi padi gogo secara berurutan selama 3 tahun
dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Adapun pada pertanaman MH 2003/2004 tanaman jati sudah
memasuki tahun kedua dan pertanaman padi gogo merupakan pertanaman ketiga (sebelumnya pertanaman
padi gogo oleh petani sudah 2 kali tanam). Hasil pertanaman uji adaptasi 8 varietas unggul padi gogo
sebagai pertanaman tumpangsari dengan hutan jati 1 tahun di Desa Sanca pada MH 2003/2004 rata-rata
mencapai 5,90 t/ha GKP atau 5,53 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,36 t/ha (Batu Tegi) sampai 7,08 t/ha
(Limboto). Berbeda dengan hasil GKP, hasil GKG tertinggi dicapai oleh varietas Situ Patenggang (6,01 t/ha)
dan hasil terrendah oleh varietas Cirata (4,69 t/ha) sedangkan secara rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG.
Varietas padi gogo yang hasilnya mencapai lebih dari 5,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari dengan jati
klon unggul umur 1 tahun adalah: C 22; Limboto; Towuti; Situ Bagendit dan Situ Patenggang, masingmasing mencapai: 5,51; 5,52; 5,64;5,90 dan 6,01 t/ha (Tabel 5).
Hasil pertanaman MH 2004/2005 atau pertanaman penelitian tahun kedua dan tanaman jati sudah
umur 2 tahun, hasil rata-rata 10 varietas yang diuji mencapai 3,26 t/ha GKP atau 3,26 t/ha GKG. Kisaran
hasil GKP antara 2,61 t/ha (C22) sampai 4,68 t/ha (Towuti). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,36
(Limboto) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Varietas yang hasilnya mencapai lebih dari 3,5 t/ha pada pertanaman
tumpangsari padi gogo dengan hutan jati umur 2 tahun adalah: Jatiluhur, Situ Patenggang, Situ Bagendit,
Way Rarem, dan Towuti, masing-masing mencapai: 3,54; 3,64; 3,67; 3,72 dan 4,37 t/ha GKG (Tabel 5).
Rata-rata hasil 7 varietas padi gogo pada pertanaman penelitian tumpangsari tahun ketiga (MH
2005/2005) mencapai 3,49 t/ha GKP atau 3,22 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 2,31 (C 22) sampai
4,60 t/ha (Batu Tegi). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,14 t/ha (C 22) sampai 4,41 t/ha (Batu
Tegi). Varietas yang hasilnya dapat mencapai 3,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari jati klon
unggul umur 3 tahun adalah: Jatiluhur, Limboto dan Batu Tegi, masing-masing mencapai 3,84; 3,97 dan
4,41 t/ha GKG (Tabel 5).
Tabel 5.
No.
Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon
Unggul (Umur 1, 2 Dan 3 Tahun) di Desa Sanca, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu *)
Varietas
Jati 1 tahun
(MH 2003/2004)
GKP
GKG
Jati 2 tahun
(MH 2004/2005)
GKP
GKG
Jati 3 tahun
(MH 2005/2006)
GKP
GKG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
*)
Batu Tegi
5,36
4,97
3,59
3,35
4,60
4,41
C 22
5,54
5,51
2,62
2,39
2,23
2,14
Cirata
5,38
4,69
3,54
3,16
Towuti
6,00
5,64
4,68
4,37
2,43
2,20
Way Rarem
5,22
5,28
4,55
3,72
3,48
3,19
Limboto
7,08
5,52
2,61
2,36
4,25
3,97
Situ Patenggang
6,67
6,01
4,14
3,64
Situ Bagendit
5,96
5,90
3,99
3,67
Danau Gaung
2,65
2,44
3,10
2,81
Jatiluhur
3,55
3,54
4,35
3,84
Rata-rata
5,90
5,53
3,59
3,26
3,49
3,22
Padi gogo penelitian mulai tanam akhir Oktober 2003, jati klon unggul tanam akhir Nopember 2002. Pertanaman padi
gogo petani tahun pertama MH 2001/2002 dan tahun kedua MH 2002/2003 umumnya menggunakan varietas lokal
(Midun dan Umbul-umbul) serta sebagian varietas Ciherang. Jarak tanam Jati unggul (6 x 2) m dan padi gogo
(30x20x10) cm. Pertanaman penelitian padi gogo mulai MH 2004/2005 (jati 1 tahun) seluruhnya dilakukan oleh
petani tetapi diberikan benih dan pupuk sebanyak 200 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Khusus untuk
pertanaman kedua petani hanya memupuk Urea dan SP-36 masing-masing 150 dan 50 kg/ha.
Untuk lebih menyakinkan bahwa pertanaman tumpangsari tanaman pangan khususnya padi
gogo mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati klon unggul telah dilakukan
pengukuran diameter batang pokok jati pada tahun ke empat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
bila tanaman pangan diusahakan lebih intensif, pertumbuhan jati juga lebih baik. Diameter batang pada
pertanaman pangan yang intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan pada pola yang kurang intensif hanya
mencapai 4,81 cm (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti bahwa dengan penerapan pola tanam yang intensif
residu pupuk dan limbah (jerami) tanaman pangan juga lebih banyak yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman jati. Selain itu pertumbuhan gulma pada pola tanam yang lebih intensif juga lebih sedikit, baik
gulma rumput maupun yang merambat ke pokok jati.
Tabel 6. Pengaruh pertanaman tumpangsari (padi gogo dan kedelai) terhadap perumbuhan (diameter
batang) jati
umur 4 tahun di Desa Sanca (Dusun Salp) Kecamatan Gantar, KPH Indramayu.
No.
Pola Tanam Intensip (peneliti)
Petani
Diameter (cm)
No.
Pola tanam biasa (petani)
Petani
Diameter (cm)
I
II
II
IV
Padi gogo- kedelai
6,09
V
Padi gogo- kedelai
4,82
Padi gogo- kedelai
6,51
VI
Padi gogo- kedelai
5,15
Padi gogo- kedelai
6,59
VII
Padi gogo- bera
4,92
Padi gogo- bera
6,48
VIII
Bera
4,33
Rata-rata
6,42
Rata-rata
4,81
Keterangan : 2001/2002 dan 2002/2003 pertanaman padi gogo pertama dan kedua oleh petani umumnya menggunakan
varietas lokal, 2003/2004 penelitian tahun pertama, 2004/2005 penelitian tahun kedua, dan 2005/2006
penelitian tahun ketiga.
Kelompok I s/d IV penerapan pola tanam oleh peneliti
Kelompok V s/d VIII penerapan pola tanam oleh petani (kontrol)
Tanam Jati Nopember 2002, pengukuran diameter batang Maret 2006.
KESIMPULAN
1.
Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unggul, ratarata mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata).
2.
Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas padi gogo/sawah yang ditanam secara tumpangsari
dengan klon jati unnggul, rata-rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1)
sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1).
3.
Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan
vegetasi sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang), rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan
kisaran 3,21 t/ha (Cirata) samapai 4,98 t/ha (Jatiluhur).
4.
Hasil pengujian 12 galur harapan yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan vegetasi
sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang) rata-rata mencapai 4,11 t/ha GKG dengan kisaran
3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1).
5.
Penelitian berkelanjutan selama 3 tahun, pada tahun kedua (jati 1 tahun) dari 8 varietas, rata-rata
mencapai 5,53 t/ha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 t/ha (Situ Patenggang), pada
tahun ketiga (jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 t/ha (Danau Gaung)
sampai 4,37 t/ha (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata mancapai 3,22 t/ha
GKG dengan kisaran 2,14 t/ha (C22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi).
6.
Pertanaman tumpangsari padi gogo dan penerapan pola tanam yang intensif berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan diameter batang pohon jati. Pada pola tanam yang lebih intensif diameter batang pada
tahun keempat mencapai 6,42 cm, sedang pola tanam yang kurang intensif hanya mancapai 4,81 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah. Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Badan Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal 305- 328.
BPS, 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 604 p.
Bratamiharja, M., 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina Swadaya, Badan Pengembangan
Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) : 14-19.
De Datta, S.K., 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in Uplad Rice. The International Rice
Research Institute, Los Banos, Philippines. p: 1-11.
Guswara, A. dan H. M. Toha, 1995. Perbaikan budidaya padi gogo tingkat petani peserta perhutanan sosial.
Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Irawan B., S Priyanto, A Supriyanto, I S Anugrah, N A Kirom, B Rahmanto dan B Wiryono. 2001.
Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Oldeman. L.R., 1975. Agroclimatic map of Java. Contr. Centr. Res. Inst. for Agriculture, Bogor Indonesia.
17:1-22.
Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH
Indramayu. 17 hal.
Permadi, P dan H. M. Toha, 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan
pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengambangan Wilayah Lahan Kering. No. 18: 27-39. Lembaga
Penelitian UNILA.
Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi dan A. Guswara, 2001. Cara tanam dan pemupukan terhadap hasil padi
gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi dan Hasil
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 14-15 Nopember 2001. 14 hal.
Sopandie, D., M.A. Chosim, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi, 2003. Toleransi terhadap naungan
pada padi gogo. Hayati 10 : 71-75.
Sopandie, D., N. Khumaida dan S. Yahya, 2005. Pemberdayaan Aspek Fisiologi Fotosintesis Tanaman Padi
dalam Upaya Peningkatan Produksi: Adaptasi terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 211- 227.
Suwarno, H.M. Toha dan Ismail B P., 2005. Ketersediaan Teknologi dan Peluang Pengembangan Pado Gogo.
Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 129-143.
Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Peenelitian Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya
Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor. 386p.
Toha, H.M. dan Hawkins, 1990. Potensi peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui perbaikan
variertas dan pemupukan di DAS Jratunseluna bagian hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 103p.
Toha, H.M. dan A. Hasanuddin, 1997. Kemungkinan penerapan sistem usaha pertanian padi gogo pada
tanaman perkebunan muda dan Hutan Tanaman Industri. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi
Teknologi Budidaya Padi Gogo di Propinsi Sulawesi Utara, IP2TP Kalasey-Manado, 17-19
Nopember 1997. 17 p.
Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.
Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.
Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela
hutan jati muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan
Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.
Husin M Toha
Staf Peneliti Ekofisiologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
ABSTRAK
Secara umum pertanaman padi gogo di Indonesia terdapat pada tiga sub ekosistem, yaitu: a) pada lahan
datar termasuk bantaran sungai; b) pada lahan perbukitan daerah aliran sungai (DAS); dan c) sebagai tanaman
tumpangsari pada pertanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Batas naungan maksimum
pada budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan tanaman keras adalah sampai naungan tanaman
pokok mencapai 50%, untuk selebihnya perlu diseleksi varietas yang tahan naungan. Naungan tanaman karet dan
kelapa sawit mencapai 50% pada umur 3-4 tahun tergantung jarak tanamnya, demikian juga untuk hutan tanaman
industri (jati, Acasia mangium, sengon dan mahoni). Bila siklus tanaman karet, kelapa sawit dan juga hutan jati
klon unggul, sengon dan A. Mangium adalah 25 tahun sekali, maka luasan areal yang dapat ditumpangsarikan dapat
mencapai 16% areal. Sedangkan untuk perkebunan kelapa dalam, pertanaman tumpangsari dapat dilalakukan pada
peremajaan sampai tahun ke empat dan setelah umur 25 tahun, mahkota tanaman kelapa akan mengecil lagi dan
sangat leluasa untuk pertanaman tumpangsari. Secara potensi luas areal yang dapat ditanami tanaman pangan
khususnya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat mencapai lebih dari 2 juta ha. Rata-rata hasil 12 varietas
padi gogo yang ditanam bersamaan dengan tanaman jati klon unggul mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75
t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Pada percobaan lain dari 12 galur harapan dan 2 varietas, rata-rata
mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1). Hasil
pertanaman pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami) dengan vegetasi semak belukar dan alang-alang, dari 12
varietas yang diuji rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan kisaran 3,21 (Cirata) sampai 4,98 (Jatiluhur).
Sedangkan dari 12 galur harapan yang diuji pada areal yang sama, rata-rata mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27
t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Penelitian berkelanjutan tumpangsari padi gogo
dengan hutan jati muda di Desa Sanca (Gantar-Indramayu), pada tahun kedua (jati 1 tahun), rata-rata hasil 8
varietas mencapai 5,53 tha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 (Situ Patenggang). Pada tahun
ketiga (Jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 (Danau Gaung) sampai 4,37 (Towuti).
Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata 8 varietas mencapai 3,22 t/ha dengan kisaran 2,14 t/ha (C
22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi). Dampak positif dari pertanaman tumpangsari padi gogo (pola tanam
tumpangsari), selain ada tambahan hasil tanaman pangan, pertumbuhan pohon jati juga menjadi lebih baik yang
tercermin dari pertumbuhan diameter batang pada pola tanam intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan dengan pola
tanam kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm.
Kata kunci : padi gogo, tumpangsari, jati muda,
PENDAHULUAN
Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat mengingat banyaknya lahan
irigasi subur yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian dan penduduk terus bertambah. Menururt
Irawan et al., (2001) dalam kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan seluas 1,6 juta ha, sekitar 1
juta ha diantaranya terjadi di P Jawa. Bila diasumsikan produktivitas lahan sawah sebesar 6 t/ha GKP, maka
kehilangan produkasi dapat mencapai 9,6 juta ton GKP (Agus et al., 2004). Pada pihak lain, laju pertambahan
produktivitas lahan sawah juga semakin menurun akibat diterapkan teknologi yang semakin intensif, tetapi
pupuk yang diberikan tidak seimbang dengan hara yang terangkut panen serta jerami padi banyak yang
diangkut ke luar petakan atau dibakar. Dengan semakin menciutnya luas lahan sawah irigasi akibat
pengalihan fungsi dan menurunnya tingkat produktivitas lahan, maka lahan kering untuk pengembangan
pertanian harus segera dikembangkan dan dimanfaatkan. Peluang pengembangan pertanian di lahan kering
cukup besar baik dari segi potensi sumber daya lahan, maupun peningkatan produktivitasnya melalui
penerapan paket-paket teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Suwarno et al., 2005).
Luas panen padi gogo saat ini sekitar 1,12 juta ha atau sekitar 10% luas panen padi nasional dengan
produksi 2,88 juta ton atau sekitar sekitar 5% dari produksi padi nasional. Tingkat produktivitas padi gogo
rata-rata baru mencapai 2,58 t/ha atau 45% dari tingkat prduktivitas padi sawah yang telah mencapai 5,68
t/ha (BPS, 2005). Secara potensi padi gogo pernah mencapai 7,2 t/ha di Peru (de Datta, 1975) dan penelitian
di Boyolali varietas Poso pernah mencapai 6,8 t/ha (Toha dan Hawkins, 1990). Penelitian lain di Garut
selatan, varietas Cirata pennah mencapai hasil 6,7 t/ha (Permadi dan Toha, 1996) dan varietas Jatiluhur yang
ditanam secara tumpangsari dengan hutan jati muda di KPH Purwakarta mencapai 5,5 t/ha (Guswara dan
Toha, 1995)
Luas lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi
gogo ada sekitar 5,1 juta ha (Tim Badan Litbang, 1998). Budidaya padi gogo umumnya dilakukan pada; a)
areal datar yang terletak dibantaran sungai atau sekitar halaman rumah, b) disekitar perbukitan daerah alirang
sungai (DAS), dan c) sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda
(Toha, 2005). Budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari terbatas sampai naungan mencapai 50%
(Sopandie et al., 2003; 2005). Untuk tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit masing-masing sampai
umur 3 dan 4 tahun, kelapa dalam sampai 4 tahun dan setelah umur 25 tahun mahkotanya mengecil dan
seterusnya dapat diusahakan tanaman tupangsari lagi (Toha dan Hasanuddin, 1997). Sedangkan untuk hutan
jati muda mulai tahun pertama sampai 3 tahun tergantung populasi tanaman pokoknya (Toha, 2005).
Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, akhir-akhir ini makin sering terdengar adanya
penjarahan hutan. Tanaman kehutanan (jati, mahoni, dll) sebelum umur panen, sudah dijarah masyarakat
sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin. Untuk mengembalikan fungsi hidrologi hutan, hutan yang
rusak perlu segera direhabilitasi atau direboisasi. Pada pihak lain, program peremajaan hutan yang rutin ada
sekitar 50.000-200.000 ha/tahun (BPS 2005). Untuk mengurangi terjadinya penjarahan hutan, maka program
perhutanan sosial perlu lebih dikembangkan agar petani merasa lebih memiliki dan memelihara hutan
(Bratamiharja (1996). Petani dapat menarik manfaat dengan diikut sertakan menanam tanaman tumpangsari
diantara tanaman pokok hutan. Akhir-akhir ini juga telah dilontarkan program pengelolaan sumberdaya hutan
bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat sekitar hutan diikut sertakan dalam pengelolaan hutan
dengan ketentuan masyarakat boleh menanam tanaman semusim diantara tanaman hutan sepanjang masih
memungkinkan dan pada pihak lain masyarakat juga berkewajiban memelihara tanaman pokok hutan.
Sedangkan pihak Perhutani mempunyai kewajiban membina petani tersebut dan mengawasi tanaman
pokoknya (Perhutani, 2004).
Berdasarkan besarnya naungan yang ada, pada pola peremajaan tanaman hutan atau perkebunan,
pengusahaan tanaman tumpangsari terbatas sampai tahun ke tiga atau ke empat. Batasannya sampai naungan
mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005), tanaman karet sampai tahun ke tiga, kelapa sawit dan kelapa
dalam sampai tahun ke empat. Khusus untuk tanaman kelapa dalam setelah umur di atas 25 tahun,
mahkota/tajuknya mengecil lagi dan penetrasi cahaya dapat mencapai diatas 80% (Toha, 2005), sistem tanam
tumpangsari dapat diusahakan lagi. Bila peremajaan tanaman karet dan kelapa sawit, tiap 25 tahun sekali dan
tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ke empat, maka secara potensi pengusahaan tanaman
tumpangsari dapat mencapai 16% dari luasan lahan perkebunan yang ada (Toha dan Hasanuddin, 1997).
Selain peremajaan tanaman perkebunan, peremajaan hutan setiap tahunnya mencapai antara 50.000-200.000
ha. Potensi tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda dapat mencapai lebih
dari 2,0 juta ha/tahun (Toha, 2005).
Sedangkan untuk peremajaan hutan yang dikaitkan dengan program pengelolaan hutan bersama
masyarakat (PHBM) tanaman tumpangsari dapat diusahakan 2 sampai 5 tahun tergantung jarak tanamnya.
Khusus untuk RPH Sanca (KPH Indramayu), dimana solum tanahnya dalam, dapat diusahakan pertanaman
hutan jati jenis (klon) unggul yang umur panennya lebih genjah. Jenis jati lokal umur panennya dapat di atas
40 tahun, sedangkan jati unggul hanya sekitar 25 tahun dan dapat ditanam lebih jarang. Jarak tanam jati lokal
biasanya (3,0 x 3,0) meter, sedangkan jati unggul jarak tanam antar baris 6 meter dan didalam barisan antara
1-2 meter. Berdasarkan jarak tanam seperti ini, tanaman tumpangsari bisa diusahakan lebih lama dapat
mencapai 6-7 tahun. Bila di hitung dengan masa persiapan panen (1-2 tahun) dan persiapan tanam 1 tahun,
maka usaha tanaman tumpangsari secara total dapat mencapai 7-9 tahun atau sekitar 25% dari potensi hutan
jati yang diusahakan.
Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo,
kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari,
sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang
hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang
tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara
berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan (Oldeman,
1975). Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan sebaiknya
menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan
dilakukan pada akhir musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman kedua
dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan
pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan
demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat diminimalkan. Berdasarkan
pengalaman (hasil penelitian sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG,
kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara gabah,
penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak
kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).
Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan
yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi
dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah
meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi
pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi
masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).
Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan
arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam
pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif
dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum
Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan
dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan
akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).
BAHAN DAN METODA.
Penelitian lapang terdiri dari 5 (lima) unit kegiatan yang semuanya dilakukan di Kecamatan Gantar
pada kawasan KPH Indramayu dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Penelitian unit 1 dan 2 dilakukan
di Desa Bantarwaru, sebagai tanaman kedua setelah penebangan hutan, tetapi bersamaan dengan penanaman
hutan jati klon unggul pada MH 2004/2005. Penelitian unit 3 dan 4 dilakukan di Desa Sanca, sebagai
tanaman kedua yang sebelumnya merupakan lahan tidur (semak belukar dan penuh vegetasi alang-alang),
pada lokasi ini belum ada perencanaan tanam ulang. Sedangkan unit 5 dilakukan selama 3 tahun berurutan
dari MH 2004/2005 sampai MH 2005/2006 di Desa Sanca sebagai penanaman ketiga, keempat dan kelima.
Penelitian di Desa Bantarwaru (2 unit) mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3
(tiga) ulangan secara tersarang. Perlakuan pada unit pertama adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo
termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 1). Perlakuan pada unit kedua adalah menguji 12 galur
harapan padi gogo ditambah 2 varietas kontrol (Tabel 2). Varietas kontrol adalah varietas Towuti (asal padi
gogo) dan varietas Ciherang (asal padi sawah) tetapi umum ditanam petani setempat.
Penelitian di Desa Sanca (3 unit) juga mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3
(tiga) ulangan. Perlakuan pada unit ketiga adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol
varietas lokal Seratus Malam (Tabel 3). Perlakuan pada unit keempat adalah menguji 12 galur harapan padi
gogo (Tabel 4). Sedangkan perlakuan pada unit kelima menguji 8 varietas (tahun pertama), 10 varietas (tahun
kedua) dan 7 varietas (tahun ketiga) yang dilakukan secara berurutan (Tabel 5).
Pengaturan pertanaman di lapangan dengan melibatkan petani pesanggem, tetapi di bawah
pengaturan peneliti. Tiap varietas atau galur harapan ditanam dalam satu lorong, lebar 6 meter dan panjang
50 meter. Sedangkan ulangan dibuat secara tersarang, didalam petak besar (6 m x 50 m) ditentukan secara
acak 3 petak khusus dengan ukuran (6 m x 5 m) yang selanjutnya dijadikan ulangan. Padi gogo untuk semua
unit kegiatan ditanam secara tugal 4-5 butir/lubang dengan jarak tanam sistem jajar legowo (30 x 20 x 10)
cm. Pelaksanaan tanam dilakukan pada awal musim hujan, setelah curah hujan agak kerep atau telah
mencapai 60 mm/10 harian (dekade).
Pemupukan dilakukan 3 kali pada: 15 hari setelah tumbuh (HSTbh), 35 HSTbh dan saat primordia
bunga. Cara pemupukan pertama dan kedua dengan dilarik pada barisan ganda (20 cm), setelah pupuk dialur
dalam larikan segera ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan secara larikan akan lebih efisien dan bila
dibandingkan dengan cara sebar lansung dapat meningkatkan hasil gabah dari 4,1 menjadi 4,7 t/ha GKG
(Pirngadi et al., 2001). Sedangkan untuk pemupukan ketiga dilakukan dengan disebar merata, karena
tanaman sudah menutup. Pupuk pertama terdiri dari campuran 50 kg Urea dan seluruh pupuk SP-36 dan KCl.
Pupuk kedua dan ketiga hanya pupuk urea, masing-masing 75 kg/ha. Jadi secara keseluruhan pertanaman
dipupuk 200 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Pengendalian gulma dilakukan pada umur 10-14
HSTbh dan 30-34 HSTbh (sebelum pemupukan pertama dan kedua) dengan cara dikored. Pengendalian
hama dilakukan pada umur 30 HSTbh (hama belalang dan penggerek) dan saat bunting serta pada matang
susu untuk pengendalian penggerek batang dan walang sangit.
Pelaksanaan panen dilakukan bila penampakan gabah pada malai sudah masak lebih dari 90% dan
panen tidak serempak antar varietas yang dicoba tergantung keserempakan masak masing-masing varietas.
Petak ubinan untuk menduga hasil dilakukan pada masing-masing ulangan dengan ukuran (2 x 5) meter. Pada
petak ubinan tersebut terdiri dari 8 barisan (4 barisan ganda) dengan panjang 5 meter (50 rumpun), total
ubinan secara potensi terdiri dari 400 rumpun. Cara panen dengan arit, kemudian dirontokan (digebot), lalu
dibersihkan dan ditimbang. Untuk menyeragamkan data hasil ubinan, selesai ditimbang lalu diukur kadar
airnya dengan 3 ulangan. Hasil gabah kering panen (GKP) dapat diketahui langsung, sedangkan untuk hasil
gabah kering giling (GKG) dapat diketahui berdasarkan perhitungan (dikonversi) dengan kadar air 14%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan hutan jati
klon unggul rata-rata mencapai 5,82 t/ha GKP atau 5,41 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 4,03
(Sentani) sampai 6,58 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,76 t/ha GKP tidak
berbeda nyata dengan varietas Sentani dan Situ Patenggang serta Way Rarem, sedangkan dengan
varietas lainnya berbeda nyata (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul
di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. *)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Varietas
Hasil t/ha GKP
Batu Tegi
6,04 a
Cirata
6,58 a
C 22
6,50 a
Danau Gaung
5,96 a
Limboto
6,10 a
Seratus Malam
4,76 bc
Sentani
4,03 c
Situ Bagendit
6,44 a
Situ Patenggang
5,77 ab
Towuti
6,25 a
Way Rarem
5,77 ab
Jatiluhur
6,50 a
Rata-rata
5,82
k k (%)
12,2
*)
Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.
Hasil t/ha GKG
5,594 a
6,12 a
6,06 a
5,54 a
5,67 a
4,43 bc
3,75 c
5,99 a
5,36 ab
5,81 a
5,37 ab
6,06 a
5,41
12,2
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata
hasil GKG mencapai 5,41 t/ha dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Hasil varietas
lokal (Seratus Malam) mencapai 4,43 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani, Situ Patenggang
maupun Way Rarem. Dari 12 varietas yang diuji, varietas Jatiluhur, C 22 dan Cirata mencapai hasil GKG
lebih dari 6 t/ha. Masing-masing mencapai: 6,06; 6,06 dan 6,12 t/ha GKG (Tabel 1).
Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas unggul padi gogo/sawah sebagai kontrol pada
pertanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 6,43 t/ha GKP atau 5,93 t/ha
GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,61 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 7,49 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil
varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 6,24 t/ha GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi
sawah) mencapai 6,10 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata dengan hasil galur harapan lainnya (Tabel 2).
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan dan varietas (kontrol)
yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 5,93 t/ha dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1)
sampai 6,97 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 5,52 t/ha
GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah) mencapai 5,39 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata
dengan hasil galur harapan lainnya kecuali dengan galur terbaik BP606C-18-9-6 (Tabel 2). Galur harapan
yang hasilnya mencapai lebih dari 6 t/ha GKG adalah: B9071F-TB-7, BP720C-5-Si-1-1, TB47H-MR-10,
BP760F-2-2-Pn-1 dan BP606C-18-9-6 masing-masing mencapai: 6,38; 6,47; 6,48; 6,91 dan 6,97 t/ha GKG
(Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon
Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. *)
No.
Galur Harapan
Hasil t/ha GKP
Hasil t/ha GKG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
TB203C-Cky-1-13
6,37 abc
BP606D-18-13-1
5,61 c
B9071F-TB-7
6,85 abc
B8503E-TB-19-13
6,00 bc
TB47H-MR-10
6,97 abc
IR30176-1-B-Mr
6,17 abc
Bio 511-61-2-3-1
5,85 c
BP606C-18-9-6
7,49 a
BP720C-5-Si-1-1
6,95 abc
BP785C-12-4-1
6,07 abc
BP760F-2-2-Pn-1
7,42 ab
S4849-1-1G-1-1-3-3
5,96 c
Ciherang
6,10 abc
Towuti
6,24 abc
Rata-rata
6,43
k k (%)
13,3
*)
Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.
5,93 ab
5,22 b
6,38 ab
5,58 b
6,48 ab
5,51 b
5,44 b
6,97 a
6,47 ab
5,65 b
6,91 a
5,54 b
5,39 b
5,52 b
5,93
13,1
Pemanfaatan lahan tidur dalam kawasan hutan untuk tanaman pangan juga dapat berpengaruh positif
bagi masyarakat sekitar hutan dan juga bagi pengelola hutan (Perhutani). Proses terjadinya lahan terlantar
akibat penjarahan yang tidak terkendali dan belum bisa ditanami ulang (perencanaan tanam ulang masih
terbatas). Kalau tidak ditanami, lahan tersebut dijadikan padang pengembalaan ternak yang bila dibiarkan
terus akan menjadi lahan kritis. Sambil menunggu giliran tanam ulang, lahan tersebut dapat diusahakan oleh
petani sekitar hutan untuk budidaya tanaman semusim. Keuntungan dari kebijaksanaan tersebut, dapat
memudahkan untuk perencanaan tanam dan petani penggarap dapat dijadikan petani kooperator program
PHBM seterusnya.
Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo termasuk varietas lokal (Seratus Malam) sebagai
kontrol rata-rata mencapai 4,32 t/ha GKP atau 3,98 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,49 (Cirata)
sampai 5,35 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 3,66 t/ha GKP tidak berbeda
nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas terbaik Jatiluhur (Tabel 3).
Tabel 3.
N0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan
Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan
Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.
Varietas
Batu Tegi
Cirata
C 22
Danau Gaung
Limboto
Seratus Malam
Sentani
Situ Bagendit
Situ Patenggang
Towuti
Way Rarem
Jatiluhur
Rata-rata
k k (%)
Rata-rata hasil (t/ha)
GKP
4,69 ab
3,49 b
4,81 ab
4,17 ab
4,67 ab
3,66 b
4,03 ab
4,32 ab
4,25 ab
4,13 ab
4,29 ab
5,35 a
4,32
16,0
GKG
4,36 ab
3,21 b
3,81 ab
4,19 ab
4,34 ab
3,36 b
3,75 b
4,02 ab
3,89 ab
3,85 ab
4,06 ab
4,98 a
3,98
14,7
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata
hasil GKG mencapai 3,98 t/ha dengan kisaran 3,21 t/ha (Cirata) sampai 4,98 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas
lokal (Seratus Malam) mencapai 3,36 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan
varietas terbaik Jatiluhur. Dari 12 varietas yang diuji, varietas yang hasil dapat mencapai diatas 4,0 t/ha pada
lahan tidur adalah: Situ Bagendit, Danau Gaung, Limboto, Batu Tegi dan Jatiluhur, masing-masing mencapai:
4,02; 4,19; 4,34; 4,36 4,98 t/ha GKG (Tabel 3).
Hasil uji adaptasi 12 galur harapan rata-rata mencapai 4,42 t/ha GKP atau 4,11 t/ha GKG. Kisaran
hasil GKP antara 3,51 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 5,28 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Sejalan dengan hasil
GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai
4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Galur harapan
yang hasilnya mencapai di atas 4,0 t/ha adalah: BP785C-12-4-1; TB47H-MR-10; IR30176-1-B-Mr; B9071FTB-7; Bio511-61-2-3-1 dan BP720C-5-Si-1-1 masing-masing mencapai: 4,20; 4,26; 4,59; 4,60; 4,82 dan 4,91
t/ha GKG (Tabel 4).
Tabel 4.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas
Hutan Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi,
Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.
Galur Harapan
TB203C-Cky-1-13
BP606D-18-13-1
B9071F-TB-7
B8503E-TB-19-13
TB47H-MR-10
IR30176-1-B-Mr
Bio 511-61-2-3-1
BP606C-18-9-6
BP720C-5-Si-1-1
BP785C-12-4-1
BP760F-2-2-Pn-1
S4849-1-1G-1-1-3-3
Rata-rata
k k (%)
Rata-rata hasil (t/ha)
GKP
3,51 d
4,25 abcd
4,94 abc
3,77 cd
4,58 abcd
4,94 abc
5,18 ab
4,10 abcd
5,28 a
4,51 abcd
3,89 bcd
4,13 abcd
4,42
15,4
GKG
3,27 d
3,95 abcd
4,60 abc
3,50 cd
4,26 abcd
4,59 abc
4,82 ab
3,78 abcd
4,91 a
4,20 abcd
3,62 bcd
3,84 abcd
4,11
15,5
Untuk melihat bagaimana renspon hasil beberapa varietas unggul padi gogo sebagai tanaman
tumpangsari jati klon unggul, telah dilakukan penelitian adaptasi padi gogo secara berurutan selama 3 tahun
dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Adapun pada pertanaman MH 2003/2004 tanaman jati sudah
memasuki tahun kedua dan pertanaman padi gogo merupakan pertanaman ketiga (sebelumnya pertanaman
padi gogo oleh petani sudah 2 kali tanam). Hasil pertanaman uji adaptasi 8 varietas unggul padi gogo
sebagai pertanaman tumpangsari dengan hutan jati 1 tahun di Desa Sanca pada MH 2003/2004 rata-rata
mencapai 5,90 t/ha GKP atau 5,53 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,36 t/ha (Batu Tegi) sampai 7,08 t/ha
(Limboto). Berbeda dengan hasil GKP, hasil GKG tertinggi dicapai oleh varietas Situ Patenggang (6,01 t/ha)
dan hasil terrendah oleh varietas Cirata (4,69 t/ha) sedangkan secara rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG.
Varietas padi gogo yang hasilnya mencapai lebih dari 5,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari dengan jati
klon unggul umur 1 tahun adalah: C 22; Limboto; Towuti; Situ Bagendit dan Situ Patenggang, masingmasing mencapai: 5,51; 5,52; 5,64;5,90 dan 6,01 t/ha (Tabel 5).
Hasil pertanaman MH 2004/2005 atau pertanaman penelitian tahun kedua dan tanaman jati sudah
umur 2 tahun, hasil rata-rata 10 varietas yang diuji mencapai 3,26 t/ha GKP atau 3,26 t/ha GKG. Kisaran
hasil GKP antara 2,61 t/ha (C22) sampai 4,68 t/ha (Towuti). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,36
(Limboto) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Varietas yang hasilnya mencapai lebih dari 3,5 t/ha pada pertanaman
tumpangsari padi gogo dengan hutan jati umur 2 tahun adalah: Jatiluhur, Situ Patenggang, Situ Bagendit,
Way Rarem, dan Towuti, masing-masing mencapai: 3,54; 3,64; 3,67; 3,72 dan 4,37 t/ha GKG (Tabel 5).
Rata-rata hasil 7 varietas padi gogo pada pertanaman penelitian tumpangsari tahun ketiga (MH
2005/2005) mencapai 3,49 t/ha GKP atau 3,22 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 2,31 (C 22) sampai
4,60 t/ha (Batu Tegi). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,14 t/ha (C 22) sampai 4,41 t/ha (Batu
Tegi). Varietas yang hasilnya dapat mencapai 3,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari jati klon
unggul umur 3 tahun adalah: Jatiluhur, Limboto dan Batu Tegi, masing-masing mencapai 3,84; 3,97 dan
4,41 t/ha GKG (Tabel 5).
Tabel 5.
No.
Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon
Unggul (Umur 1, 2 Dan 3 Tahun) di Desa Sanca, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu *)
Varietas
Jati 1 tahun
(MH 2003/2004)
GKP
GKG
Jati 2 tahun
(MH 2004/2005)
GKP
GKG
Jati 3 tahun
(MH 2005/2006)
GKP
GKG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
*)
Batu Tegi
5,36
4,97
3,59
3,35
4,60
4,41
C 22
5,54
5,51
2,62
2,39
2,23
2,14
Cirata
5,38
4,69
3,54
3,16
Towuti
6,00
5,64
4,68
4,37
2,43
2,20
Way Rarem
5,22
5,28
4,55
3,72
3,48
3,19
Limboto
7,08
5,52
2,61
2,36
4,25
3,97
Situ Patenggang
6,67
6,01
4,14
3,64
Situ Bagendit
5,96
5,90
3,99
3,67
Danau Gaung
2,65
2,44
3,10
2,81
Jatiluhur
3,55
3,54
4,35
3,84
Rata-rata
5,90
5,53
3,59
3,26
3,49
3,22
Padi gogo penelitian mulai tanam akhir Oktober 2003, jati klon unggul tanam akhir Nopember 2002. Pertanaman padi
gogo petani tahun pertama MH 2001/2002 dan tahun kedua MH 2002/2003 umumnya menggunakan varietas lokal
(Midun dan Umbul-umbul) serta sebagian varietas Ciherang. Jarak tanam Jati unggul (6 x 2) m dan padi gogo
(30x20x10) cm. Pertanaman penelitian padi gogo mulai MH 2004/2005 (jati 1 tahun) seluruhnya dilakukan oleh
petani tetapi diberikan benih dan pupuk sebanyak 200 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Khusus untuk
pertanaman kedua petani hanya memupuk Urea dan SP-36 masing-masing 150 dan 50 kg/ha.
Untuk lebih menyakinkan bahwa pertanaman tumpangsari tanaman pangan khususnya padi
gogo mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati klon unggul telah dilakukan
pengukuran diameter batang pokok jati pada tahun ke empat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
bila tanaman pangan diusahakan lebih intensif, pertumbuhan jati juga lebih baik. Diameter batang pada
pertanaman pangan yang intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan pada pola yang kurang intensif hanya
mencapai 4,81 cm (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti bahwa dengan penerapan pola tanam yang intensif
residu pupuk dan limbah (jerami) tanaman pangan juga lebih banyak yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman jati. Selain itu pertumbuhan gulma pada pola tanam yang lebih intensif juga lebih sedikit, baik
gulma rumput maupun yang merambat ke pokok jati.
Tabel 6. Pengaruh pertanaman tumpangsari (padi gogo dan kedelai) terhadap perumbuhan (diameter
batang) jati
umur 4 tahun di Desa Sanca (Dusun Salp) Kecamatan Gantar, KPH Indramayu.
No.
Pola Tanam Intensip (peneliti)
Petani
Diameter (cm)
No.
Pola tanam biasa (petani)
Petani
Diameter (cm)
I
II
II
IV
Padi gogo- kedelai
6,09
V
Padi gogo- kedelai
4,82
Padi gogo- kedelai
6,51
VI
Padi gogo- kedelai
5,15
Padi gogo- kedelai
6,59
VII
Padi gogo- bera
4,92
Padi gogo- bera
6,48
VIII
Bera
4,33
Rata-rata
6,42
Rata-rata
4,81
Keterangan : 2001/2002 dan 2002/2003 pertanaman padi gogo pertama dan kedua oleh petani umumnya menggunakan
varietas lokal, 2003/2004 penelitian tahun pertama, 2004/2005 penelitian tahun kedua, dan 2005/2006
penelitian tahun ketiga.
Kelompok I s/d IV penerapan pola tanam oleh peneliti
Kelompok V s/d VIII penerapan pola tanam oleh petani (kontrol)
Tanam Jati Nopember 2002, pengukuran diameter batang Maret 2006.
KESIMPULAN
1.
Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unggul, ratarata mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata).
2.
Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas padi gogo/sawah yang ditanam secara tumpangsari
dengan klon jati unnggul, rata-rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1)
sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1).
3.
Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan
vegetasi sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang), rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan
kisaran 3,21 t/ha (Cirata) samapai 4,98 t/ha (Jatiluhur).
4.
Hasil pengujian 12 galur harapan yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan vegetasi
sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang) rata-rata mencapai 4,11 t/ha GKG dengan kisaran
3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1).
5.
Penelitian berkelanjutan selama 3 tahun, pada tahun kedua (jati 1 tahun) dari 8 varietas, rata-rata
mencapai 5,53 t/ha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 t/ha (Situ Patenggang), pada
tahun ketiga (jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 t/ha (Danau Gaung)
sampai 4,37 t/ha (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata mancapai 3,22 t/ha
GKG dengan kisaran 2,14 t/ha (C22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi).
6.
Pertanaman tumpangsari padi gogo dan penerapan pola tanam yang intensif berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan diameter batang pohon jati. Pada pola tanam yang lebih intensif diameter batang pada
tahun keempat mencapai 6,42 cm, sedang pola tanam yang kurang intensif hanya mancapai 4,81 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah. Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Badan Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal 305- 328.
BPS, 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 604 p.
Bratamiharja, M., 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina Swadaya, Badan Pengembangan
Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) : 14-19.
De Datta, S.K., 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in Uplad Rice. The International Rice
Research Institute, Los Banos, Philippines. p: 1-11.
Guswara, A. dan H. M. Toha, 1995. Perbaikan budidaya padi gogo tingkat petani peserta perhutanan sosial.
Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Irawan B., S Priyanto, A Supriyanto, I S Anugrah, N A Kirom, B Rahmanto dan B Wiryono. 2001.
Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Oldeman. L.R., 1975. Agroclimatic map of Java. Contr. Centr. Res. Inst. for Agriculture, Bogor Indonesia.
17:1-22.
Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH
Indramayu. 17 hal.
Permadi, P dan H. M. Toha, 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan
pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengambangan Wilayah Lahan Kering. No. 18: 27-39. Lembaga
Penelitian UNILA.
Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi dan A. Guswara, 2001. Cara tanam dan pemupukan terhadap hasil padi
gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi dan Hasil
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 14-15 Nopember 2001. 14 hal.
Sopandie, D., M.A. Chosim, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi, 2003. Toleransi terhadap naungan
pada padi gogo. Hayati 10 : 71-75.
Sopandie, D., N. Khumaida dan S. Yahya, 2005. Pemberdayaan Aspek Fisiologi Fotosintesis Tanaman Padi
dalam Upaya Peningkatan Produksi: Adaptasi terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 211- 227.
Suwarno, H.M. Toha dan Ismail B P., 2005. Ketersediaan Teknologi dan Peluang Pengembangan Pado Gogo.
Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 129-143.
Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Peenelitian Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya
Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor. 386p.
Toha, H.M. dan Hawkins, 1990. Potensi peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui perbaikan
variertas dan pemupukan di DAS Jratunseluna bagian hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 103p.
Toha, H.M. dan A. Hasanuddin, 1997. Kemungkinan penerapan sistem usaha pertanian padi gogo pada
tanaman perkebunan muda dan Hutan Tanaman Industri. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi
Teknologi Budidaya Padi Gogo di Propinsi Sulawesi Utara, IP2TP Kalasey-Manado, 17-19
Nopember 1997. 17 p.
Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.
Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.
Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela
hutan jati muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan
Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.