SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI SEBAGAI BANGUNA

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017

ISSN : 2355-9284

SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI
SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA
DI KOTA DENPASAR
Freddy Hendrawan, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: freddy_hendrawan@yahoo.co.id

Abstrak
Adanya intervensi Belanda dalam membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan
membuat aturan tata ruang Kota Denpasar salah satunya menciptakan permukiman untuk
para pedagang, terutama para pedagang China. Dalam perkembangannya Kota Denpasar
menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat kemodernan dan mulai banyak didatangi oleh
wisatawan domestik dan mancanegara, sedangkan penginapan atau hotel yang ada di sekitar
wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali Hotel yang didirikan tahun 1927. Kemudian
dibangunlah penginapan yang dinamakan Losmen Puri pada tahun 1956 dan berlokasi di
Jalan Arjuna di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen ini memiliki gaya atau langgam
arsitektur Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan Bali Hotel. Bangunan ini pun memuat

beberapa signifikansi yang memberikan bukti sebagai bangunan bersejarah dan telah
melewati kurun waktu cukup panjang dalam eksistensinya sebagai bangunan publik dengan
fungsinya yang sesuai hingga saat ini. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai
bentuk signifikansi Losmen Puri sebagai bangunan Cagar Budaya di Kota Denpasar.
Sehingga nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah upaya yang tepat untuk melestarikan
bangunan Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah sesuai aturan pelestarian oleh pihakpihak yang berkompeten dan relevan dalam pelestarian bangunan Cagar Budaya.
Kata Kunci: cagar budaya, Kota Denpasar, Losmen Puri, sejarah

Abstract
The intervention of Netherland in build government’s buildings and creating the regulation of
Denpasar landuse has created a settlement for traders from China. The development of
Denpasar City has made this city became the centre of crowd and modernization, and also
became tourist destination locally and internationally. However, the facilities of homestay or
hotel around Denpasar City just only Bali Hotel that established in 1927. Furthermore, there
was built Losmen Puri in 1956 and located in Jalan Arjuna on Puri Anyar Jambe land. This
losmen has Colonial style architecture, similar with Bali Hotel style. The building has some
significance that has given prove as a historical building and has passed many decades in
existence as a public facility. In this research, will be analyzing the form of significant in
Losmen Puri building as Cultural Heritage in Denpasar City. Thus, it expects will be obtain
an effort in preserving Losmen Puri building based steps in preserving regulation by

competent and relevan stakeholders.
Keywords: cultural heritage, Denpasar City, Losmen Puri, history

1

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
PENDAHULUAN
Kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain
nilai atau norma, perilaku dan wujud fisik
seperti arsitektur. Sebagai bagian dari tradisi
yang diwariskan secara turun temurun,
kebudayaan memiliki peranan di dalam
mengidentifikasi sejarah perkembangan kota
dan arsitekturnya. Seperti halnya Kota
Denpasar memiliki bentuk kebudayaan yang
mampu menciptakan karakteristik sejarah
sebagai sebuah kota dan arsitekturnya yang
khas. Hal ini memiliki kaitan erat dengan
suatu tempat dan sejarah, karena suatu tempat
adalah sumber memori individu dan memori

kolektif. Dengan demikian suatu tempat atau
kota juga memberi kontribusi pada identitas
individu dan kolektif, karena karakter dan
kepribadian tempat atau kota itu sendiri yang
membedakannya dari tempat atau kota lain,
dan masyarakat yang tinggal di dalamnya
mempunyai rasa memiliki dan keterikatan
dengan tempat atau kota tersebut.
Latar belakang perkembangan kota Denpasar
(Bappeda, 2009) yang pada mulanya sebagai
pusat istana atau puri kemudian berkembang
sebagai pusat kota modern dapat dilihat
melalui ciri fisik, yaitu adanya bangunanbangunan tradisional seperti pura (bangunan
suci bagi umat Hindu di Bali), puri (tempat
kediaman bagi bangsawan Bali) dan
bangunan-bangunan lain yang berfungsi untuk
kepentingan pemerintah, umum, maupun yang
dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat.
Adanya intervensi Belanda dalam membangun
bangunan-bangunan

pemerintahan
dan
membuat aturan tata ruang Kota Denpasar
salah satunya menciptakan permukiman untuk
para pedagang, terutama para pedagang China
yang secara historis telah mendapat
kepercayaan dari pemerintah Belanda. Para
pedagang China yang sebelumnya berlokasi di
sebelah selatan Jro Dauh Kalangan atau sekitar
kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) sampai
sebagian kantor Walikota Denpasar sekarang,
kemudian dipindahkan ke sebelah barat yang
kemudian dikenal dengan nama Kampung
China atau Jalan Gajah Mada sekarang.

ISSN : 2355-9284

Bersamaan dengan itu pasar yang ada di
sebelah timur dari komplek pertokoan China
atau di sebelah selatan dari Puri Denpasar,

kemudian dipindahkan ke pasar dekat Tukad
Badung yang kemudian dikenal dengan nama
Pasar Badung. Pengaturan tata ruang dan
permukiman seperti itu menjadikan kampung
China semakin berkembang dan sejalan
dengan itu kampung Arab juga ikut
mengalami perkembangan sehingga akhirnya
menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat
kemodernan.
Kesempatan inilah yang digunakan oleh A.A
Ngurah Alit untuk membangun sebuah
penginapan atau losmen karena pada saat itu
Kota Denpasar mulai banyak didatangi oleh
wisatawan domestik dan mancanegara, dan
penginapan atau hotel yang ada di sekitar
wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali
Hotel yang didirikan tahun 1927. Penginapan
yang dinamakan Losmen Puri ini didirikan
pada tahun 1956 dan berlokasi di Jalan Arjuna
di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen

ini dibangun bukan oleh seorang arsitek, tetapi
oleh seorang tukang bangunan yang berasal
dari Bali. Gaya atau langgam arsitektur
Losmen Puri pun mengikuti langgam yang
sedang tren saat itu, yaitu langgam arsitektur
Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan
Bali Hotel.
Dalam perkembangannya, saat ini kondisi fisik
eksterior dan interior bangunan Losmen Puri
telah berumur lebih dari 55 tahun dan masih
terlihat keasliannya seperti pada awal saat
dibangun. Bangunan ini pun memuat beberapa
signifikansi yang memberikan bukti sebagai
bangunan bersejarah dan telah melewati kurun
waktu cukup panjang dalam eksistensinya
sebagai bangunan umum dengan fungsinya
yang sesuai hingga saat ini. Berdasarkan
kriteria-kriteria tersebut, maka bangunan
Losmen Puri ini dapat dikatakan sebagai
bangunan Cagar Budaya yang patut dijaga

kelestariannya sebagai upaya memberikan
bukti perjalanan sejarah perkembangan dan
arsitektur kota Denpasar. Pelestarian bangunan
2

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
maupun arsitektur perkotaan merupakan salah
satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan
terpeliharanya bangunan kuno atau bersejarah
pada suatu kawasan akan memberikan ikatan
kesinambungan yang erat antara masa kini dan
masa lalu.
Berdasarkan UU. RI No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena

memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau
kebudayaan melalui proses penetapan. Selain
itu, yang dimaksud sebagai bangunan Cagar
Budaya adalah susunan binaan yang terbuat
dari benda alam atau benda buatan manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding
dan atau tidak berdinding, dan beratap.
Terkait dengan lingkup Pelestarian Cagar
Budaya dalam UU. RI No. 11 Tahun 2010
yang meliputi Pelindungan, Pengembangan
dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di
air, keberadaan Losmen Puri hingga saat ini
memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam
menjaga keberlanjutannya sebagai objek
bersejarah. Oleh karena itu di dalam penelitian
ini akan dilakukan analisis pula mengenai
bentuk strategi pelestarian yang tepat pada
bangunan Losmen Puri sebagai bangunan
Cagar Budaya di kota Denpasar. Sehingga

nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah
upaya yang tepat untuk melestarikan bangunan
Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah
sesuai aturan pelestarian oleh pihak-pihak
yang berkompeten dan relevan dalam
pelestarian bangunan Cagar Budaya. Bahkan
dalam perkembangan berikutnya diharapkan
pula dapat menjadi sumbangan informasi
dalam mengidentifikasi bangunan atau bendabenda Cagar Budaya di Kota Denpasar.

ISSN : 2355-9284
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu dengan melakukan observasi
langsung terhadap bangunan arsitektur dan
interior Losmen Puri di Kota Denpasar.
Analisa akan dilakukan secara deskriptif
dengan didasarkan pada tinjauan teori yang
relevan.
TINJAUAN TEORI

1. Definisi Pelestarian
Budiharjo dalam Prasetyowati (2008:216)
menyatakan bahwa konservasi merupakan
istilah yang menjadi payung dari semua
kegiatan
pelestarian
sesuai
dengan
kesepakatan
internasional
yang
telah
dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981.
Beberapa batasan pengertian tentang istilahistilah dasar yang disepakati dalam Piagam
Burra
adalah
Konservasi,
Preservasi,
Restorasi, Rekonstruksi, Adaptasi, dan
Demolisi. Sedangkan istilah lain menurut

Fielden dalam Samodra (2008:1), Pelestarian
Pusaka merupakan upaya untuk mencegah
kerusakan
dan
mengatur
dinamika
perubahannya. Hal tersebut mencakup semua
kegiatan yang memperpanjang umur kekayaan
kultural dan natural, sehingga dapat dinikmati
saat ini. Kesepakatan dunia untuk memelihara
kawasan lama salah satunya ada pada Venice
Charter tahun 1964, bagian satu Piagam
Charter
yang
memberikan
panduan
terminologi konservasi sebagai berikut:
”Konsep bangunan bersejarah mencakup tidak
hanya dari satu bangunan tunggal akan tetapi
juga setting kota atau pedesaan dimana
ditemukan
bukti
bagian
peradaban,
pembangunan yang signifikan dan kejadian
bersejarah”.
2. Lingkup Pelestarian
Menurut Shankland dalam Muchamad
(2004:96)
kebendaan
dalam
kegiatan
pelestarian dapat dibedakan atas desa dan kota
kecil bersejarah, kawasan bersejarah dalam
kota besar, kota bersejarah, dan kelompok
bangunan bersejarah. Jika dilihat dari lingkup
konservasi dalam suatu kota, maka obyek dan
3

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
lingkup pelestarian dapat digolongkan dalam
beberapa luasan, antara lain:
a. Satuan Areal, yaitu berupa sub kota atau
bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan
sebagai suatu sistem kehidupan. Keadaan
seperti ini bias terjadi pada suatu kota
yang mempunyai cirri-ciri atau nilai yang
khas.
b. Satuan Pandangan/View, yaitu suatu
satuan berupa aspek visual yang dapat
memberikan bayangan mental (image)
yang khas tentang suatyu lingkungan kota,
seperti path, edge, node, district, dan
landmark.
c. Satuan Fisik, yaitu satuan yang berwujud
bangunan, kelompok atau deretan
bangunan-bangunan, rangkaian bangunan
yang membentuk ruang umum atau
dinding jalan, dan apabila dikehendaki
lebih jauh lagi dapat diperinci pada unsurunsur bangunan, baik unsur fungsional,
struktur
atau
estetis
ornamental.
Sedangkan
secara
umum,
bentuk
konservasi meliputi kota dan desa, distrik,
lingkungan perumahan, garis cakrawala
wajah jalan dan bangunan.
3. Prinsip Konservasi
Menurut Prof. Eko Budihardjo dalam
Prasetyowati (2008:220), beberapa prinsip
konservasi yang perlu diperhatikan adalah:
a. Konservasi dilandasi atas penghargaan
terhadap keadaan semula dari suatu tempat
dan sesedikit mungkin melakukan
intervensi fisik bangunannya, supaya tidak
mengubah bukti-bukti sejarah yang
dimilikinya.
b. Maksud dari konservasi adalah untuk
menangkap kembali makna kultural dari
suatu tempat dan harus bisa menjamin
keamanan dan pemeliharaannya di masa
mendatang.
c. Konservasi
suatu
tempat
harus
dipertimbangkan segenap aspek yang
berkaitan dengan makna kulturalnya tanpa
menekankan pada salah satu aspek saja
dan mengorbankan aspek yang lain.

ISSN : 2355-9284
d. Suatu bangunan atau suatu hasil karya
bersejarah harus tetap berada pada lokasi
historisnya. Pemindahan seluruh atau
sebagian dari suatu bangunan atau hasil
karya tidak diperkenankan kecuali bila hal
tersebut merupakan satu-satunya cara guna
menjamin kelestariannya.
e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar
visual yang cocok seperti bentuk, skala,
warna, tekstur, dan bahan pembangunan.
Setiap perubahan baru yang akan
berakibat negatif terhadap latar visual
tersebut harus dicegah.
f. Kebijaksanaan konservasi yang sesuai
untuk suatu tempat harus didasarkan atas
pemahaman terhadap makna kultural dan
kondisi fisik bangunannya.
4. Konsep Pelestarian
Menurut Bagoes P. Wiryomartono dalam
Musadad (2005:304), beberapa butir tentang
pelestarian bangunan lama antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Pelestarian bangunan-bangunan kuno di
Indonesia menuntut pemikiran kembali
hakikat
keberadaannya
di
tengah
kehidupan komunitas sekarang. Dengan
demikian yang perlu dilestarikan bukan
hanya bangunannya saja tetapi keterkaitan
antara bangunan tersebut terhadap
kehidupan komunitas di sekelilingnya.
b. Sejarah bangunan hingga saat ini masih
merupakan sesuatu sumber penting bagi
pelestarian bangunan-bangunan lama.
Kelangsungan suatu bangunan mungkin
menantang sejarah apabila tidak mampu
menjawab masalah-masalah yang muncul
yang meliputi kehidupan ekonomi
komunitas, kebanggaan lokalitas dan
masalah-masalah sosial setempat.
c. Sejarah bangunan memiliki bobot
tersendiri untuk membangun struktur
makna edukatif yaitu relevansinya dengan
kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Dikatakan pula oleh Musadad (2005:304-305),
bahwa konservasi lingkungan dan bangunan
kuno tidak hanya penting dilihat dari segi
4

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
sosial budaya saja melainkan dari segi sosial
ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan
peningkatan pendapat dan perluasan lapangan
kerja. Misalnya pemanfaatan lingkungan
tradisional yang tertata baik sebagai objek
wisata atau revitalisasi bangunan kuno dengan
menambahkan fungsi baru yang bersifat
komersial. Nilai spesifik dari rona arsitektur
kota didasari oleh karakter perilaku perubahan
sosial budaya masyarakat kota yang dapat
dijadikan dasar dalam menentukan kriteria
spesifik untuk wilayah yang bersangkutan.
Demikian pula dengan bangunan yang
mempunyai peran terhadap kawasan dan dapat
menjadi orientasi terhadap kawasan sekitar.
5. Cagar Budaya
UU. RI No. 11 Tahun 2010 Bab I, pasal 1 juga
memaparkan bentuk pelestarian yang disebut
Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya,
dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau
di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan
atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Selain itu dalam Undang-undang ini juga
memuat beberapa hal dan ketentuan mengenai
Cagar Budaya, seperti benda, bangunan, atau
struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau
Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi
kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia
50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa.
Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan
atau benda buatan manusia, baik bergerak
maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-

ISSN : 2355-9284
sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan
manusia. Bangunan Cagar Budaya adalah
susunan binaan yang terbuat dari benda alam
atau benda buatan manusia untuk memenuhi
kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak
berdinding, dan beratap. Bangunan Cagar
Budaya dapat berunsur tunggal atau banyak,
dan atau berdiri bebas atau menyatu dengan
formasi alam.
Undang-undang tersebut dipertegas lagi
dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia
2003, yang bertekad untuk bersama-sama
melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa
Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 20042013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai
berikut:
a. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam,
pusaka budaya, dan pusaka saujana.
Pusaka alam adalah bentukan alam yang
istimewa. Pusaka budaya adalah hasil
cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa
dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air
Indonesia, dan dalam interaksinya dengan
budaya
lain
sepanjang
sejarah
keberadaannya. Pusaka saujana adalah
gabungan pusaka alam dan budaya dalam
kesatuan ruang dan waktu.
b. Pusaka
budaya
mencakup
pusaka
berwujud dan pusaka tidak berwujud.
c. Pusaka yang diterima dari generasigenerasi sebelumnya sangat penting
sebagai landasan dan modal awal bagi
pembangunan masyarakat Indonesia di
masa depan, karena itu harus dilestarikan
untuk
diteruskan
kepada
generasi
berikutnya dalam keadaan baik, tidak
berkurang
nilainya,
bahkan
perlu
ditingkatkan untuk membentuk pusaka
masa mendatang.
d. Pelestarian adalah upaya pengelolaan
pusaka melalui kegiatan penelitian,
perencanaan, perlindungan, pemeliharaan,
pemanfaatan,
pengawasan
atau
pengembangan secara selektif untuk
menjaga kesinambungan, keserasian dan
daya dukungnya dalam menjawab
5

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
dinamika jaman untuk membangun
kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.
Hal yang sama juga dikemukakan dalam
Guidelines for Preparing Conservation Plan
(1994) bahwa penentuan apakah suatu
bangunan atau tempat tertentu layak dilindungi
sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh
aspek-aspek non fisik yaitu:
a. Mempunyai
nilai
estetik
yaitu
menunjukkan aspek desain dan arsitektur
suatu tempat.
b. Mempunyai
nilai
edukatif
yaitu
menunjukkan gambaran kegiatan manusia
di masa lalu di tempat itu dan menyisakan
bukti-bukti yang asli. Dapat mencakup
teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat,
selera dan kegunaan sebagaimana halnya
juga teknik atau bahan-bahan tertentu.
c. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan
emosional kelompok masyarakat tertentu
terhadap aspek spiritual, tradisional, politis
atau suatu peristiwa.
d. Nilai historis yaitu asosiasi suatu
bangunan bersejarah dengan pelaku
sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu.
Mencakup analisis tentang aspek-aspek
yang tidak kasat mata (intangible aspects)
dari masa lalu bangunan tersebut.
6. Strategi Pelestarian
Pelestarian Cagar Budaya dalam UU. RI No.
11 Tahun 2010 meliputi Pelindungan,
Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar
Budaya di darat dan di air. Sedangkan di
dalam strategi Pelestarian Pusaka harus dapat
memelihara dan jika memungkinkan tetap
menjaga pesan dan nilai budaya objek
tersebut. Sedangkan persiapan prosedur untuk
melakukan konservasi menurut sumber yang
sama adalah melakukan inventarisasi terhadap
semua objek konservasi, melakukan tinjauan
awal terhadap kawasan dan melakukan
dokumentasi pada objek-objek tersebut
(Fielden dalam Samodra, 2008:1).

ISSN : 2355-9284
Dalam Piagam Burra strategi di dalam usaha
pelestarian dapat berupa (Prasetyowati,
2008:217) :
a. Konservasi adalah segenap proses
pengelolaan suatu tempat agar kandungan
makna kulturalnya terpelihara dengan baik
yang
meliputi
seluruh
kegiatan
pemeliharaan sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat dapat pula mencakup
preservasi,
restorasi,
rekonstruksi,
adaptasi, dan revitalisasi.
b. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat
persis seperti keadaan semula tanpa ada
perubahan, termasuk upaya mencegah
penghancuran.
c. Restorasi/rehabilitasi
adalah
mengembalikan suatu tempat ke keadaan
semula dengan menghilangkan tambahantambahan dan memasang komponen
semula tanpa menggunakan bahan baru.
d. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu
tempat semirip mungkin dengan keadaan
semula dengan menggunakan bahan lama
maupun bahan baru.
e. Adaptasi/revitalisasi adalah merubah
tempat agar dapat digunakan untuk fungsi
yang lebih sesuai. Yang dimaksud dengan
fungsi yang lebih sesuai adalah kegunaan
yang tidak menuntut perubahan drastis
atau yang hanya memerlukan sedikit
dampak minimal.
f. Demolisi adalah penghancuran atau
perombakan suatu bangunan yang sudah
rusak atau membahayakan.
Mengenai tingkat perubahan yang diakibatkan
oleh masing-masing kategori kegiatan tersebut
dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

6

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
Tabel 2.1 Tingkat Perubahan Kegiatan
Konservasi Bangunan
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tingkat Perubahan
Kegiatan
Konservasi
Preservasi
Restorasi/
rehabilitasi
Rekonstruksi
Adaptasi/
revitalisasi
Demolisi

Tidak
Ada
*
*

Sedikit

Banyak

Total

*
-

*
-

*
-

-

*

*

-

-

-

*

*

-

*

-

*

-

-

-

*

Sumber : Dobby, A dalam Prasetyowati, 2008.

Eko Budiharjo dalam Prasetyowati (2008
222-224) merumuskan tahapan dalam proses
konservasi, antara lain:

a. Tahap 1. Inventarisasi/ Pengumpulan Data
Pendataan dimulai dengan survey-survey
terhadap dokumen-dokumen Sesudah itu
dilakukan observasi dan wawancara di
lapangan kepada semua pihak yang terkait.
Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu
secara lengkap dan dianalisa agar dapat
disusun secara sistematis arti penting tempat
tersebut hingga inventarisasi kelompokkelompok bukti fisik dan menyusun uruturutan prioritas sesuai dengan artinya,
kelangkaannya, kualitas dan sebagainya.
b. Tahap 2. Penyusunan/ Pengolahan Data dan
Analisa
Dalam tahapan ini dilakukan terlebih dahulu
penyusunan/pengolahan data secara sistematis
untuk kemudian dilakukan analisa terhadap
setiap obyek konservasi. Dari seluruh data
yang diperoleh dilakukan kategorisasi atau
klasifikasi
jenisjenis
bangunan
atau
lingkungan yang diteliti, mulai dari skala
makro sampai mikro.
c. Tahap 3. Pengkajian Makna Kultural

ISSN : 2355-9284
tempat/lingkungan yang menjadi pusat
kegiatan spiritual), nilai ilmiah (manfaat
tempat/lingkungan terhadap pengembangan
ilmu dan jasa informasi), nilai komersial (arti
penting suatu tempat/ lingkungan untuk
kegiatan yang menghasilkan uang).

d. Tahap 4. Penentuan Prioritas dan Peringkat
Dari hasil pengkajian makna kultural dengan
menggunakan pembobotan akan diperoleh
prioritas dan peringkat dari setiap obyek
penelitian. Hasil inilah yang akan dapat
digunakan sebagai dasar untuk merumuskan
kebijakan konservasi dan strategi untuk
implementasinya (tahap 5 dan 6).
e. Tahap 5. Perumusan Kebijakan Konservasi
Alternatif kebijakan meliputi konservasi,
preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi,
adaptasi/revitalisasi
dan
demolisi/penghancuran.

f. Tahap 6. Strategi Implementasi
g. Tahap 7. Program dan Perencanaan
h. Tahap 8. Pembiayaan dan Pelaksanaan di
Lapangan.
PEMBAHASAN
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Kota
Denpasar dengan dasar pertimbangan bahwa
terdapat bangunan bersejarah yang berumur
lebih dari 50 tahun di pusat kota dan memiliki
signifikansi sejarah, arsitektur dan ekonomi.
Lokasi penelitian ini berada tepat di Jalan
Arjuna dengan batas-batasnya adalah sebelah
utara Banjar Lelangon, sebelah timur Bali
Hotel dan Lapangan Puputan Badung, sebelah
selatan Bank BRI, dan sebelah barat Bank
BNI.

Dalam tahapan ini dilakukan pengkajian
makna kultural dengan tolak ukur : estetika,
kejamakan, kelangkaan, peran sejarah,
pengaruh
terhadap
lingkungan
dan
keistimewaan.
Tidak
tertutup
pula
kemungkinan untuk penggunaan tolak ukur
lain seperti misalnya nilai-nilai sosial (kualitas
7

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017

Jl.
Jl. Inna
Bali Hotel

ISSN : 2355-9284
memperbaiki sarana dan prasarana umum
untuk kemajuan masyarakat. Penempatan
berbagai perkantoran, rumah-rumah pejabat
pemerintah, pemukiman penduduk, kawasan
wisata merupakan bagian dari usaha
pemerintah
kolonial
untuk
menata
perkembangan Kota Denpasar (Soenaryo
dalam Ardhana, 2004: 6).

Losmen Puri
BNI’46

Jl.
BPD

Gambar 1. Lokasi Losmen Puri
Jl.
Sumber: Google Earth,
2017
Jl.

Salain (2011:74) menyatakan bahwa Kota
Denpasar kini adalah sebuah kota yang
terbentuk oleh karena waktu, pelaku dan
kekuasaan yang melapisinya. Menurutnya
sejarah, kota Denpasar dibagi menjadi tiga
babak, yaitu kerajaan (tradisi), penjajahan
(kolonial), dan kemerdekaan (kebebasan). Saat
kejayaan Puri Denpasar sirna karena konflik
dengan Pemerintah Kolonial ketika perang
Puputan Badung, mulai mengambil alih serta
menjadikan Puri Denpasar dengan fungsi baru
untuk mendukung simbol pemerintahannya
seperti kantor yang berada di sisi Selatan,
perumahan di sisi Timur dan Utara, serta sisi
Barat dibangun Bali Hotel.
Untuk mengembangkan kebijakannya pun
Pemerintah
Kolonial
berupaya
mengembangkan Kota Denpasar untuk
menjadi kota kolonial (colonial city). Dalam
hal ini diterapkannya sistem birokrasi Kolonial
dimana pemerintah kemudian membangun
kantor-kantor pemerintahan. Selain itu,
Pemerintah Kolonial berusaha membangun
berbagai sarana untuk kepentingan umum
seperti rumah sakit, pos polisi, sarana
pertanian, perdagangan dan sebagainya.
Keadaan
yang
demikian
menuntut
pengembangan kota yang didasari atas
perencanaan pengembangan kota secara lebih
memadai baik dari segi sosial maupun fisik
kota. Dapat dilihat bahwa dari segi sosial
ekonomi diusahakan dengan membangun dan

Ardhana dalam Salain (2011:78) menyatakan
arsitektur kota menjadi simbol kekuasaan dari
Raja menuju Kolonial, umum disebut dengan
langgam Arsitektur Kolonial. Simbol-simbol
lainnya adalah penanda waktu berupa jam atau
lonceng yang dipasang di Pempatan Agung,
relokasi pasar menuju Tukad Badung,
membangun sekolah-sekolah dan tempat
budaya seperti Museum Bali pada tahun 1910
yang memadukan Arsitektur Tradisional Bali
(ATB) dengan sentuhan fungsi baru. Ardhana
(2004:7) juga menyatakan peranan puri
tampak masih dominan dalam perkembangan
kota Denpasar. Hal ini terlihat dengan
dominasi dari kalangan kaum bangsawan
terhadap penguasaan tanah maupun dalam
menerima cara produksi baru khususnya
bidang perdagangan. Masuknya cara produksi
baru menyebabkan masyarakat Denpasar
semakin terbuka pula keinginannya untuk
membuka usaha dagang yang sementara ini
hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri
(subsistence). Sebelum sektor perdagangan
masuk dapat dilihat berkembangnya industri
kerajinan tangan, menganyam, menenun,
mengukir, membuat alat rumah tangga,
memelihara ternak dan sebagainya. Salain
(2011:79) juga menyatakan bahwa pada
perkembangan selanjutnya karya arsitektur
menjadi ikon dari kota Denpasar, seperti
Museum Bali, Bali Hotel dan kawasan
pertokoan di sepanjang Jalan Gajah Mada
sebagai gambaran kampung China atau
Pecinan.

8

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017

ISSN : 2355-9284

Gambar 4. Tampak Depan Losmen Puri
Sumber : Dokumentasi 2016

Gambar 2. Bali Hotel
Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di
http://collectie.tropenmuseum.nl

Jl. Gajah Mada

Gambar 3. Jalan Gajah Mada Tahun 1949
Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di
http://collectie.tropenmuseum.nl

2. Objek Penelitian
Objek di dalam penelitian ini adalah bangunan
Losmen Puri yang telah berdiri sejak 1956 di
pusat Kota Denpasar ketika perkembangan
Jalan Gajah Mada sebagai kawasan
perdagangan. Bangunan bersejarah (Heritage
Building) yang telah berumur lebih dari 50
tahun ini dibangun oleh A.A. Ngurah Alit
sebagai upaya untuk memberikan fasilitas
umum untuk memenuhi kebutuhan akan
akomodasi penginapan bagi wisatawan yang
datang ke pusat kota Denpasar. Hingga saat ini
fungsi bangunan masih tetap sama, yaitu
sebagai bangunan penginapan.

Bangunan
berlanggam
kolonial
yang
dipadukan dengan ATB ini dibangun di atas
tanah milik Puri Anyar Jambe. Walaupun
banyak intervensi dari berbagai pihak, baik
dari keluarga dalam puri maupun luar puri
untuk merenovasi dan mengembangkan
Losmen
Puri,
tetapi
pemilik
masih
berkeinginan untuk mempertahankan bentuk
dan fungsi bangunan seperti semula hingga
saat ini. Bangunan dengan luas + 2 are ini
terdiri dari dua lantai dengan menggunakan
material-material bangunan seperti batu bata,
tegel dan kayu jati.
Lingkungan sekitar Losmen Puri yang pada
saat ini dikelola oleh adik kandung A.A.
Ngurah Alit sebagian besar adalah kawasan
perdagangan, permukiman dan perkantoran.
Keberadaan bangunan di pusat Kota Denpasar
ini memberikan karakteristik visual bukti
sejarah terhadap perkembangan kawasan.
Selain itu bangunan ini juga tetap memberikan
dampak nilai komersial baik bagi bangunan itu
sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.
3. Signifikansi Bangunan Losmen Puri
Losmen Puri sebagai salah satu Heritage
Building di tengah Kota Denpasar memiliki
kemampuan
untuk
bertahan
dalam
perkembangan dan perubahan kebudayaan
masyarakat yang semakin mengglobal.
Bangunan penginapan yang memiliki fungsi
sama hingga saat ini turut memberikan
sumbangan terhadap karakteristik visual kota
Denpasar dengan berbagai signifikansinya.

9

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
a. Nilai Historis
Berdasarkan informasi dari A.A. Ketut Oka
selaku salah satu kerabat pemilik Losmen Puri
yang
mengatakan
bahwa
bangunan
penginapan ini dibangun pada saat Kota
Denpasar mulai mengalami perkembangan
terutama kawasan Jalan Gajah Mada sebagai
pusat perdagangan saat itu. Sekembalinya
A.A. Ketut Ngurah sebagai pendiri bangunan
ini dari sekolahnya di Jakarta, dan melihat
perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada
sebagai pusat perdagangan dimanfaatkan
dengan mendirikan bangunan penginapan
yang memang pada saat itu di sekitar wilayah
Kota Denpasar hanya terdapat Bali Hotel yang
berada di Jalan Veteran hingga saat ini. Ide
awal untuk membangun Losmen Puri di atas
tanah milik Puri ini sebelumnya ditentang oleh
adik A.A. Ketut Ngurah dan disarankan lebih
baik untuk mendirikan pabrik tahu. Tetapi
karena pertimbangan lokasi di tengah Kota
Denpasar dengan fasilitas pembuangan limbah
yang kurang memadai, maka ide untuk
mendirikan pabrik tahu tersebut diurungkan.
Bangunan penginapan yang didirikan tahun
1956 ini mendapat respon cukup positif oleh
wisatawan domestik khususnya yang berasal
dari Jawa ketika dibuka untuk pertama
kalinya. Selain itu Losmen Puri ini pun sering
dijadikan sebagai tempat untuk menginap bagi
para pegawai pemerintahan dan tentara dari
Jawa yang sedang berdinas ke Kota Denpasar
pada saat itu.
b. Nilai Arsitektur
Bangunan yang terletak di Jalan Arjuna ini
dibangun oleh tukang berasal dari Bali yang
memiliki kemampuan mengerjakan bangunan
dengan langgam yang sedang tren saat itu,
yaitu langgam Kolonial. Bentuk visual
arsitektur ruang luar dan ruang dalam tidak
mengalami perubahan hingga saat ini.
Perawatan
dilakukan
hanya
dengan
membersihkan dan mengecat dinding.

ISSN : 2355-9284

Gambar 5. Ruang Dalam di Lantai Dasar
Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 6. Ruang Dalam di Lantai Satu
Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 7. Ruang Terbuka di Tengah Bangunan
Sumber: Dokumentasi 2016

Langgam
arsitektur
kolonial
yang
dipadupadankan dengan art work berupa
patung tradisional Bali dan tugu pada
bangunan ini tidak mengalami perubahan
hingga saat ini. Tiga buah pilar yang terdapat
pada bagian depan bangunan memiliki
kemiripan dengan pilar yang terdapat pada
bangunan Bali Hotel. Demikian pula dengan
10

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017

ISSN : 2355-9284

jendela dan pintu yang berjeruji dan bersekatsekat, serta ventilasi kecil yang dan
memanjang semakin menguatkan langgam
arsitektur kolonial pada bangunan Losmen
Puri ini.

Gambar 8. Patung (Artwork) Tradisional Bali
Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 10. Warung (atas) dan Halaman pada
Losmen Puri (bawah)
Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 9. Pilar di Bagian Luar Bangunan
Sumber: Dokumentasi 2016

Perpaduan warna merah dan krem ini masih
dipertahankan hingga saat ini. Tetapi fungsi
bagian bangunan di bagian utara yang dulunya
merupakan ruang kamar tidur Losmen Puri
telah berubah fungsi menjadi warung menjual
makanan khas Bali. Halaman di depan losmen
ini dulunya cukup luas dan dalam
perkembangannya mulai termakan oleh badan
jalan, sehingga semakin menyempit.

Denah bangunan berbentuk persegi panjang ini
memiliki fasilitas antara lain ruang kamar tidur
berjumlah 18 buah, kamar mandi dua buah,
lobby dan sebuah gudang. Struktur dan
material dinding bangunan berlantai dua ini
menggunakan bata, material lantai satu
menggunakan beberapa tegel dan lantai dua
menggunakan kombinasi papan kayu jati dan
plesteran
semen,
dan
langit-langit
menggunakan anyaman bedek yang difinis cat.
Sebagian besar furnitur termasuk daun pintu,
engsel, stop kontak pada ruangan di dalam
bangunan ini masih digunakan dan dalam
kondisi yang baik hingga saat ini.

11

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017

Gambar 11. Material Lantai, Dinding, dan Ceiling
pada Losmen Puri
Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 12. Stop Kontak, Gagang Pintu dan
Ventilasi pada Losmen Puri
Sumber: Dokumentasi 2016

ISSN : 2355-9284

c. Nilai Ekonomi
Sebelum Losmen Puri ini dibangun,
lingkungan di sekitarnya sebagian besar masih
berupa tanah kosong yang dimiliki oleh Puri.
Seiring dibangunnya bangunan penginapan ini,
fasilitas-fasilitas
perdagangan
mulai
berkembang berbarengan dengan kawasan
perdagangan Jalan Gajah Mada. Tanah yang
dibangun saran perdagangan ini adalah tanah
yang telah dijual oleh pihak puri, dan sebagian
ada juga tanah yang dipinjam oleh pihak
pemerintah dan digunakan sebagai pos
penjagaan. Harga sewa ketika awal dibukanya
Losmen Puri ini adalah sebesar Rp. 50,- dan
hingga saat ini berkembang menjadi Rp.
50.000,- per harinya. Penyewa losmen pada
saat ini sebagian besar adalah pedagang
berasal dari Jawa yang telah berlangganan dan
turun temurun mengetahui bangunan ini sejak
dahulu.
4. Bentuk Pelestarian Bangunan Losmen Puri
sebagai Bangunan Cagar Budaya Saat Ini
Kondisi fisik bangunan Losmen Puri saat ini
masih dapat dipertahankan oleh pemiliknya
dan tidak ada keinginan sedikit pun untuk
merubah bentuk maupun fungsinya, walaupun
intervensi untuk merubah bentuk dan fungsi
bangunan ini sering dilontarkan oleh pihak
keluarga dalam maupun luar Puri Anyar
Jambe ini.
Bentuk pelestarian yang telah dilakukan oleh
pihak internal bangunan Losmen Puri yang
telah berumur lebih dari 55 tahun ini adalah
dengan menjaga fungsi dan bentuk bangunan,
bahkan furnitur ruang dalam bangunan. Selain
itu dilakukan pula perawatan rutin setahun
sekali dengan mengecat kembali dinding dan
plafond dengan warna yang sama seperti awal
bangunan ini berdiri.

Gambar 13. Furnitur pada Losmen Puri
Sumber: Dokumentasi 2016

Perubahan fungsi hanya terjadi pada bagian
utara bangunan yang dijadikan sebagai warung
makanan khas Bali sebagai fasilitas tambahan
dari bangunan losmen ini. Lingkungan di
12

ISSN : 2355-9284

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017
sekitar Losmen Puri ini dikatakan cukup
banyak mengalami perkembangan dan
perubahan. Mulai banyak berdiri bangunanbangunan tinggi dan ruang terbuka semakin
hilang.
Dari pihak eksternal, sebagian masyarakat
banjar Lelangon cukup memiliki kesadaran
untuk mendukung keberadaan Losmen Puri ini
agar dapat bertahan dengan kondisi fisik
seperti pada awal bangunan ini berdiri.
Berdasarkan informasi dikatakan pula bahwa
Losmen Puri ini telah diinventarisasi oleh
pihak Pemerintah Kota Denpasar sebagai
benda Cagar Budaya. Tetapi tahapan
bangunan ini sebagai benda cagar budaya
hanya sebatas inventarisasi dan belum ada
tahap atau tanggapan terhadap bentuk
pelestariannya.
5. Strategi Pelestarian Bangunan Losmen Puri
sebagai Bangunan Cagar Budaya
Strategi di dalam pelestarian bangunan
Losmen Puri yang telah memenuhi persyaratan
sebagain benda Cagar Budaya adalah sesuai
dengan signifikansi dan kondisi fisik bangunan
yang masih terjaga keasliannya hingga saat ini
adalah preservasi, yaitu
mempertahankan
bentuk dan fungsi bangunan Losmen Puri ini
dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan
dan mencegah adanya kehancuran. Perubahan
fungsi yang terjadi pada bagian utara
bangunan ini dapat menjadi nilai tambah
dalam memperkaya dan melestarikan budaya
Bali dalam lingkup kuliner.

budaya, khususnya keberadaan Losmen Puri
ini oleh pemilik, masyarakat dan pemerintah
Kota Denpasar.
Simpulan
Pelestarian bangunan bersejarah merupakan
suatu pendekatan yang strategis di dalam
pembangunan
kota
karena
pelestarian
menjamin
kesinambungan
nilai-nilai
kehidupan dalam proses pembangunan yang
dilakukan
oleh
aktor
pembangunan
(stakeholder). Upaya pelestarian yang telah
dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya
mempunyai tujuan yang sama, yaitu
pelestarian demi kepentingan penggalian nilainilai budaya dan proses-proses yang pernah
terjadi pada masa lalu. Pelestarian pun harus
dilakukan dengan melakukan identifikasi dan
analisa terhadap objek oleh pihak-pihak yang
berkompeten sebagai upaya menentukan jenis
pelestarian yang tepat untuk dilakukan
sehingga prinsip dan tujuan pelestarian dapat
tercapai.
Saran
Pentingnya peran serta semua komponen di
dalam suatu kota, khususnya Kota Denpasar
dalam melakukan pelestarian terutama
memberikan pemahaman terhadap definisi
sebuah pelestarian terhadap benda cagar
budaya. Oleh karena itu, diperlukan lebih
banyak lagi kajian mengenai pelestarian benda
cagar budaya dan realisasinya terkait
perkembangan sebuah kota.
Daftar Pustaka

Peran pemerintah dan masyarakat dalam
menerapkan strategi ini juga sangat dituntut
untuk aktif. Karena jika hanya proses
pelestarian
hanya
dilakukan
melalui
inventarisasi dan tidak dilakukan pengawasan
terhadap kondisi bangunan ini secara intensif
sangat memungkinkan terjadi intervensi yang
mampu menghilangkan salah benda cagar
budaya Kota Denpasar. Pengesahan Perda
tentang benda cagar budaya juga sangat
dinanti dan diperlukan sebagai upaya
mengatur secara hukum eksistensi benda cagar

Ardhana. 2004. Denpasar: Perkembangan
Dari Kota Kolonial Hingga Kota Wisata.
Dalam: Prosiding Konferensi International I
Sejarah Kota (The First International
Conference on Urban History), Universitas
Airlangga, Surabaya, 23-25 Agustus 2004.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Bappedda. 2009. Penelusuran Sejarah Kota
Denpasar. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.

13

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017

ISSN : 2355-9284

International Council of Monuments and Sites.
1999. Burra Charter. Australia: Autralia
ICOMOS Inc.
Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia. 2003.
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata RI.
Muchamad, Bani Noor, Ira Mentayani. 2004.
Model Pelestarian Arsitektur Berbasis
Teknologi Informasi, Studi Kasus: Arsitektur
Tradisional Suku Banjar. Dalam: Dimensi
Teknik Arsitektur, Jurusan Teknik Arsitektur,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Volume 32 Nomor 2, Desember 2004.
Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Musadad. 2005. pengelolaan Stasiun Jebres
dan Kwasannya dalam Upaya Pelestarian
Sumber Daya Arkeologi. Dalam: Jurnal
Humanika Program Studi Arkelologi, Sekolah
Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Nomor
18, Volume 2, April 2005. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Pemerintah
Republik
Indonesia.
2010. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Jakarta.
Salain, Putu Rumawan. 2011. “Arsitektur
Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di
Kota Denpasar (Perspektif Kajian Budaya)”
(tesis). Denpasar: Program Studi Kajian
Budaya. Universitas Udayana.
Samodra, F.X. Teddy Badai. 2008. Tanggap
Lingkungan Pelestarian Pusaka Tampang
Arsitektur Kolonial. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan
dalam Mewujudkan Arsitektur Kota Tropis.
Semarang : Universitas Diponegoro.

Sumber Website:
Anonim. 1971. De entree van het Balihotel.
Available
from:
URL:
http://collectie.tropenmuseum.nl

14