Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer Kontemporer

ISSN : 2338-0357
Volume III, NOMOR III, April 2014

Syahadah
Jurnal Keislaman dan peradaban

Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum.
Corak Teologis-Filosofis dalam Penafsiran Al-Qur’an
Ridhoul Wahidi, M.A. dan Amaruddin Asra, M.A.
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep
Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah
Abdul Rahman Bint al-Syati’
Fadhli Lukman
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih
(Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im)
Muhammad Makmun-Abha
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
Abd. Halim, M.Hum
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI)
Universitas Islam Indragiri Tembilahan

Indragiri Hilir – Riau
Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200
Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444
Email : journal_syahadahfiai@yahoo.com

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Fadhli Lukman

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:
Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an
al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’
Fadhli Lukman
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alumnus Ponpes Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang Karakteristik Tafsir Sastra
Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an alKarim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’. Diantara karakteristi tafsir ini adalah Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang
Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai
akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap
makna terdalam dari bayan Alquran. Tafsir bagi Bint Syati’ adalah

upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana
orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Metode
yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan
akal pada posisi yang seimbang.

A. Pendahuluan
Tafsir memiliki umur setua Alquran. Karena manusia diberi
otoritas untuk menafsir Alquran, maka ia terus berkembang sepanjang zaman. Saat ini bisa diidentifikasi sejumlah aliran tafsir, yang
informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam diskursus sejarah
tafsir. Abdul Mustaqim memberikan klasifikasi periodik untuk
mengidentifikasi keragaman tafsir tersebut, mulai dari era formatif
dengan nalar quasi-kritis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan
era reformatif dengan nalar kritis. Dengan klasifikasi ini, Mustaqim
mengidentifikasi karakteristik paling menonjol pada masing-masing
periode.1
Perkembangan tafsir dalam dialektikanya dengan perkembangan situasi empiris berperan besar dalam pergeseran dan keragaman tafsir. Jika pada periode awal para sahabat enggan menafsirkan
Alquran menggunakan ra’y, secara perlahan-lahan tafsir bi al-ra’y hid1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), hal.
31.

41


up dan berkembang luas yang dibuktikan dengan kategorisasi lanjutan dari para mufassir, yaitu kategori mazmum (tafsir yang tercela)
dan mahmud (tafsir yang terpuji). Pada era afirmatif, keragaman tafsir
dibentuk oleh perbedaan mazhab yang menajam, sementara era reformatif bergerak berlawanan, menghindari bias-bias mazhab ini.2
‘Aisyah ‘Abd al-Rahman Bint al-Syati’ (selanjutnya: Bint Syati’) telah muncul menjadi tokoh penting dalam sejarah tafsir kontemporer, atau era reformatif jika menggunakan klasifikasi Abdul
Mustaqim. Dengan dua jilid al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim
maka nama Bint Syati’ adalah nama yang tidak boleh diabaikan.
Kitab ini berawal dari kegelisahannya tentang sedikitnya upaya para
ulama untuk melakukan karya komprehensif terhadap Alquran yang
menekankan kearabannya, dalam artian penggunaan pendekatan
sastra yang lebih mumpuni. Tafsir-tafsir terdahulu ia klaim tidak begitu berhasil mengungkap bayan dari Alquran. Ketika para pakar sastra disibukkan dengan mengkaji sya’ir-sya’ir klasik Arab, mereka justru meninggalkan Alquran yang notabene kitab sastra Arab terbesar.
Dari pengakuan tersebut, maka tafsir Bint Syati’ dapat digolongkan
kepada tafsir kontemporer dengan kecenderungan sastra.3
Artikel ini akan membahas pemikiran Bint Syati’ terkait konsep-konsep inti seputar Alquran dan tafsir. Untuk itu, artikel ini akan
difokuskan pada pemikiran Bint Syati’ pada empat hal: Alquran,
Tafsir, Takwil, dan posisi akal terhadap wahyu. Metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Deskriptif digunakan untuk memaparkan apa yang dikatakan oleh Bint Syati’ seputar tema terkait,
dan analitis untuk mengungkap hal-hal terdalam dari hal tersebut.
Pada beberapa hal, Bint Syati’ tidak mendeklarasikan secara eksplisit
apa bagaimana pandangannya seputar tema-tema yang diinginkan.
Untuk itu, penulis akan menganalisis pernyataan-pernyataan Bint

Syati’ untuk kemudian dikaitkan dengan tema yang diinginkan.
Menimbang minimnya data biografi dibutuhkan dalam tema dan
metode yang digunakan artikel ini, maka riview biografi Bint Syati’
2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hal. 65.
3 Kolega Bint Syati’ sesama didikan Amin Khulli bahkan menilai bahwa metode
sastra adalah satu-satunya metode yang paling relevan untuk menafsirkan
Alquran. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas (Beirut: Markaz al-Saqafi
al-‘Arabi, 2000), hal. 24.

        
42

Jurnal Syahadah
Vol. 2, No. 1, April 2014

 

       

tidak akan dilakukan.


          

B. Alquran menurut Bint Syati’

Bagaimanakah pandangan Bint Syati’ mengenai Alquran? Untuk menjelaskan hal ini, klasifikasi bisa dimanfaatkan antara Bint
 akademisi.
  Dalam
 pengantar
 
Syati’ sebagai Muslim dan dia sebagai
4
al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, ia menyebut :

‫ ألفت منذ الصغر‬, ‫ذالك ألني بحكم نشأتي في بيت علم و دين‬
‫ وان أتلو آياته في تاثير‬, ‫أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن‬
‫وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في‬
… ‫دراسة النصوص‬
Pernyataan Bint Syati’ di atas memperlihatkan bagaimana ia
‫وبعد وقبل فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير‬

tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Ia terbiasa membaca
Alquran
dengan
penuh
dan‫تقديم‬
kekhusyu’an.
Itu berarti,
seb‫الكلمة‬
‫تقوم مقام‬
‫ان‬perasaan
‫كلمة يمكن‬
‫يعني بحال ما‬
‫هي أنه ال‬
agai seorang Muslim Bint Syati’ memandang Alquran sebagai kitab
‫القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف فهيهات لبشر‬
liturgis, kitab ibadah dalam Agama. Oleh sebab itu, Alquran men‫القرآن‬posisi
‫مثل هذا‬
‫بآية‬bagi
‫يأتي‬umat
‫ان‬

jadi sebuah kitab suci yang menempati
yang‫من‬
khas
Muslim, dan diperlakukan secara khas pula. Ia berbeda dari kitabkitab lainnya. Para ulama telah mengonsep adab dan tata tertib untuk mendekati Alquran. Ia harus ditempatkan di tempat yang layak,
dihormati, dijaga, dan dibaca dalam kondisi fisik yang bersih. Sejumlah hadis melaporkan fadilah membaca Alquran, motivasi membaca
atau menghafal Alquran, dan sebagainya. Tema ini ditemukan dalam
sejumlah literatur, seperti tulisan al-Nawawi yang berjudul al-Tibyan
fi Adabi Hamalat al-Qur’an. Dalam buku ini, al-Nawawi menuliskan
sejumlah hadis yang bersandar kepada Rasulullah, dan beberapa diantaranya kepada Sahabat atau Ulama kenamaan, yang menjelaskan
cara terbaik untuk berinteraksi dengan Alquran.5
Bint Syati’ dalam hal ini meyakini bahwa Alquran adalah
kitab wahyu. Perilaku khas yang ditunjukkan oleh Muslim terhadap Alquran, sebagaimana Bint Syati’ juga mengakuinya, dilatar4

Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Ma’arif,
1990), hal. 1: 14.

5 Al-Nawawi, al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an (Jeddah: Haramayn, t.t)

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Fadhli Lukman


43

belakangi oleh keyakinan bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Ia
adalah kalam Tuhan, dan karena itu ia harus dihormati sebagaimana
manusia menghormati Tuhan. Sebagai wahyu dan kalam Tuhan,
Alquran adalah kitab yang dibaca ketika shalat dan doa. Ia sendiri
juga menekankan dirinya sebagai kitab yang dibaca pada ayat yang
pertama diturunkan.
Dengan demikian, Bint Syati’ sangat meninggikan makna dari
Alquran. Pandangannya mengenai makna Alquran sejalan dengan
teori noumena dan phenoumena dalam ranah filsafat, bahwasanya
makna Alquran adalah noumena dan tafsir adalah phenoumena. Itu
berarti bahwa tafsir tidak akan pernah menyamai Alquran. Bagi Bint
Syati’, penjelasan dari tafsir hanya menempati syarh dan taqrib, bukan mumasalah atau taraduf terhadap Alquran.6
Hal ini sejalan dengan pandangan fenomenologi tentang
Alquran yang menyatakan Alquran sebagai scripture, kitab suci. Wilfred Cantwel Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi
scripture dengan memandang hubungan antara kitab terkait dengan
manusia yang meyakininya, yang dalam hal ini hubungan Alquran
dengan Muslim umumnya atau Bint Syati’ khususnya. Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi suci tergantung kepada

bagaimana umatnya bertindak terhadapnya.7 Pandangan ini menilai
kitab suci dari dua arah, dari kitab terkait dan dari manusia penganutnya. Maka, dalam konsepsi itu, Bint Syati’ telah memperlihatkan
bahwa ia meyakini Alquran sebagai sebuah scripture, kitab suci.
Namun begitu, Bint Syati’ dalam kutipan di atas juga menyebut bahwa ia belum memahami bayan Alquran hingga dia terlibat
dalam kajian tentang nusus. Bagian ini adalah bagaimana Bint Syati’
memandang Alquran dalam kompetensinya sebagai akademisi. Sebagai akademikis, dalam pengantar tafsirnya, Tafsir al-Bayan, Bint
Syati’ menyebut Alquran adalah kitab bahasa Arab terbesar (al-kitab
al-‘arabiyah al-akbar).8 Frasa tersebut sepertinya berasal dari Amin alKhulli, guru sekaligus suaminya, yang oleh M. Nurchalis Setiawan
6 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9.
7 Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama terj. Dede Iswadi (Jakarta:
Teraju, 2005), p. 12-23
8 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal 13.

44

Jurnal Syahadah
Vol. 2, No. 1, April 2014

diterjemahkan dengan ‘kitab sastra Arab terbesar’.9
Cara

pandang
 Bint
Syati’
 terhadap
  Alquran
 sebagai
 akademisi,
 
dari kutipan di atas, terlihat melengkapi cara pandangnya sebagai
seorang Muslim. Sebagai seorang Muslim, hal yang terpenting dalam
 
 kitab
 untuk
 ibadah,
untuk
diresapi
 dalam

Alquranadalah
sebagai

rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, sebagai akademisi orientasi pengungkapan bayan lah yang menjadi cirikhasnya.

Itu berarti cara akademik ini berkaitan dengan bagaimana cara Bint
Syati’ mengungkap bayan tersebut. Pembicaraan ini kemudian akan
berkaitan
 dengan
  aktifitas
 menafsirkan
  ayat
Alquran.
  
Sebagaimana disampaikan di awal pendahuluan al-Tafsir alBayani li al-Qur’an, metode yang digunakan oleh Bint Syati’ adalah
 studi
 sastra
metode sastra. Pada satu sisi ia melihat perkembangan
Arab pada ranah sya’ir-sya’ir klasik, akan tetapi pada sisi lain metode
yang sama cenderung mengabaikan Alquran sebagai kitab berbahasa
Arab terbesar.        

C. Tafsir dan Takwil

Syati’
 terkesan
acak
  
   
tafsir
 dan
 ta’wil

Bint
menggunakan
istilah
dalam tafsirnya. Mengenai metode penafsiran yang ia tempuh dalam
al-Tafsir al-Bayani, ia menggunakan istilah tafsir, sementara untuk
     
menjelaskan makna ayat dalam penjelasan demi penjelasan ia terkadang menggunakan istilah ta’wil. Oleh sebab itu, dalam hal ini
penulis
bergerak
bahwa‫بحكم‬
bagi Bint
‫الصغر‬
‫ منذ‬lebih
‫ ألفت‬lanjut
‫و دين‬dari
‫علم‬pandangan
‫نشأتي في بيت‬
‫ألني‬Syati’,
‫ذالك‬
tafsir dan ta’wil adalah dua hal yang sama, dan oleh sebab itu untuk
‫ في تاثير‬penulisan,
‫وان أتلو آياته‬
‫القرآن‬
‫وجداني هذا‬hanya
‫أصغي بكل‬
‫أن‬
kesederhanaan
penulis
menggunakan
kata tafsir
saja dalam
‫ في‬makalah
‫تخصصي‬ini.‫وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد‬
Dalam pandangannya mengenai tafsir, Bint Syati’ mengemu‫دراسة النصوص‬
kakan10:

9

‫ فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير‬,‫وبعد وقبل‬
‫هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة‬
‫ فهيهات لبشر‬.‫القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف‬
‫(مثل هذا‬Yogyakarta:
‫يأتي بآية من‬
‫ان‬
Nur Khalis Setiawan, Al-Qur’an Kitab‫القرآن‬
Sastra Terbesar
eLSAQ,
2006), hal. 3.

10 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9. 2: 9.

‫أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن وان أتلو آياته في تاثير‬
‫وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في‬
‫دراسة النصوص‬
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...

45

‫وبعد وقبل فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير‬
‫هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة‬
‫ فهيهات لبشر‬.‫القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف‬
‫ان يأتي بآية من مثل هذا القرآن‬
Fadhli Lukman

Sahiron Syamsuddin, dalam tesisnya menyebutkan bahwa pernyataan di atas adalah definisi Bint Syati’ terhadap tafsir. Ia menyebutkan bahwa “Bint Syati’ defines tafsir as an attempt to understand the
Qur’an that consist in explaining and claryfing the text by using interpretive
as opposed to synonymous language.”11 Namun begitu, penulis lebih menilai hal itu adalah penjelasan Bint Syati’ mengenai ontologi tafsir.
Sebagaimana yang disampaikan di atas, bahwa Bint Syati’ begitu meninggikan makna Alquran, dan manusia hanya bisa mencapai makna tafsir. Dalam pandangannya, tafsir tidak akan menempati makna
Alquran ‘ala wajh al-mumusalah wa al-taraduf, melainkan hanya sebagai penjelas dan pengungkapan makan terdekat.
Dengan pernyataan tersebut, Bint Syati’ telah membuka relativitas kebenaran tafsir. Ia seakan menyatakan bahwa kebenaran utama ada pada Alquran, sementara tafsir tidak akan mencapai makna
hakikat dari Alquran. Dalam konteks relativitas tersebutlah kiranya
Bint Syati’ mengapresiasi sekaligus mengkritisi setumpuk tafsir yang
telah diwarisi oleh generasi pendahulu.

‫وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم‬
‫الذين بذلوا في خدمة القرآن جهودا جليلة و تركوا آثارهم زادا‬
‫لما بعدهم‬
Demikianlah Bint Syati’ menghargai peninggalan dari para

12
‫أستاذي هو‬
‫تلقيته‬hal‫كما‬itu dibuktikan
‫هذا التفسير‬dengan
‫في منهج‬
‫و األصل‬ia
pendahulu.
Lebih‫عن‬
lanjut,
banyaknya
merujuk
pendapat
para mufassir
tersebut
al-Tafsir al-Bayani-nya.
‫الواحد فيه‬
‫الموضوع‬
‫الدراسة‬
‫يفرغ‬dalam
‫الموضوعي الذي‬
‫التناول‬
Namun begitu, ia mengkritisi tafsir-tafsir tersebut. Ia secara tegas me‫استعماله لأللفاظ‬
‫بمألوف‬ia ‫ويهتدي‬
‫القرآن منه‬
‫ما في‬dari
‫ كل‬mufassir
‫فيجمع‬
nyebutkan
bahwa sesekali
harus menolak
pandangan
klasik tersebut.
Dalam
of Bint‫تحديد‬
Syati’’s
of Inter‫وهو منهج‬
‫ذاك‬An‫لكل‬Examination
‫الداللة اللغوية‬
‫بعد‬Method
‫واألساليب‬
preting the Qur’an, Sahiron Syamsuddin merinci poin-poin kritik Bint
‫سورة سورة‬
‫القرآن‬klasik,
‫تفسير‬yang
‫ في‬secara
‫المعروفة‬
‫والطريقة‬
‫يختلف‬
Syati’ terhadap
kitab tafsir
umum
bisa dijelaskan
‫يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله‬
11 Sahiron‫أللفاظه‬
Syamsuddin,
An Examination
Syati’’s‫إلي‬
Method
Interpreting
‫القرآنية‬
‫إلي الداللة‬of Bint
‫اإلهتداء‬
‫معه‬of ‫السبيل‬
‫مما‬the
Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hal. 8.
‫أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية‬
12 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 16.

          

46

Jurnal Syahadah

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...

Vol. 2, No. 1, April 2014

dengan istilah penggunakan materi extra Qur’an dalam tafsir.13 Bint
Syati’ terlihat sangat menekankan peran tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.
Lebih lanjut, Syamsuddin membagi kritik Bint Syati’ terhadap
tafsir klasik kepada dua kelompok besar, yaitu tendentious interpretation (penafsiran tendensius) pada satu kelompok dan tafsir al-mutakallaf serta i’jaz-misoriented interpretation pada kelompok lain. Untuk kelompok pertama, terdapat beberapa poin turunan yaitu penggunaan
isra’iliyat, orientasi teologis, mistik, filosofis, dan tafsir saintis.14
Meskipun penyebaran Isra’iliyat15 telah dilarang pertengahan
abad kedua hijriah oleh sejumlah tabi’in seperti A’masy dan Sufyan
al-Tawri, penggunaannya alih-alih berkembang justru semakin populer. Sejumlah tafsir bi al-riwayat tidak bersih dari pengaruh isra’iliyat.
Bint Syati’ termasuk sarjana kontemporer yang mengkritisi penggunaan riwayat isra’iliyat. Ia menegaskan bahwa tidaklah tepat untuk
menafsirkan Alquran dengan basis isra’iliyat. Ia, menurut catatan Sahiron Syamsuddin, memperluas cakupan makna dari isra’iliyat, bukan terbatas kepada informasi dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang
masuk kepada tafsir, melainkan setiap informasi detail tafsir yang
tidak ada di dalam Alquran. Sebagai contoh, detail informasi mengenai ‘Ad dan Samud tidak ditemukan dalan Bible dan Taurat, namun
Bint Syati’ masih menyebutnya sebagai isra’iliyat. Bagi Syamsuddin,
tanggapan Bint Syati’ ini merupakan upayanya untuk menjaga konsistensi terhadap penggunaan metode sastra (literary analysis) untuk
menafsirkan Alquran.16
Mengenai orientasi teologis, Bint Syati’ menyayangkan masuknya perdebatan teologis dalam penafsiran Alquran. Mazhab
teologis yang ia kritisi diantaranya qadariyah dan jabariyah yang bertolakbelakang dalam menafsirkan Alquran. Mereka mengutip argumen-argumen, baik yang rasional maupun skriptural, yang sesuai
dengan pandangan sekte teologis mereka. Pada sisi lain, jika men13 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal 8.

Fadhli Lukman

47

emukan ayat yang bertentangan dengan pandangan teologis mereka,
dianggap mutasyabih dan oleh sebab itu dita’wil supaya menghasilkan
kesimpulan yang kembali mendukung pandangan masing-masing
mazhab. Bint Syati’ menyebut bahwa tidak layak untuk menerima
beberapa ayat dan menolak ayat lainnya, karena sesungguhnya kesatuan Alquran berasal dari Allah.17
Kritik lainnya juga disampaikan Bint Syati’ terhadap tafsir
isyari yang termanifestasi pada tafsir sufi dan tafsir falsafi. Tafsir simbolik (al-tasir al-isyari), yaitu upaya hermeneutis yang bergantung kepada upaya untuk memahami isyarat yang tersembunyi dari ekspresi
Alquran, adalah topik yang diperdebatkan. Tafsir model ini dikembangkan oleh mufassir yang memiliki kepakaran dalam pengetahuan
dan pengalaman mistik maupun dalam pemikiran filsafat. Pendekatan ini berasal dari luar Islam, dan oleh sebab itu ia juga bersifat
extra-Qur’ani. Dalam bentuk yang lebih modern, pendekatan extraQur’ani lainnya juga digunakan oleh tafsir saintifik (tafsr al-‘ilmi) seperti yang diperkenalkan oleh Tantawi Jawhari, Hanafi Ahmad, dan
Mustafa Mahmud. Bint Syati’ dalam hal ini percaya bahwa Alquran
adalah buku keagamaan, bukan buku filsafat atau sains. Oleh sebab
itu, ia menekankan bahwa setiap ayat Alquran hanya memiliki satu
makna, dan harus ditafsirkan sesuai dengan bagaimana bangsa Arab
pada masa Rasulullah memahaminya. Dengan itu, ia lantas menolak
penafsiran simbolik terhadap Alquran.18
Mengkritisi tafsir-tafsir terdahulu dalam beberapa aspek, Bint
Syati’ menawarkan metode penafsiran sekaligus produk tafsirnya, yaitu al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Sebagaimana disampaikan
di muka, tafsir Bint Syati’ adalah tafsir sastra (literary analysis) dengan
bertumpu pada keyakinan bahwa setiap ayat Alquran saling menafsirkan dan oleh sebab itu memasukkan hal ekstra-Qur’ani adalah terlarang. Pendekatan ini dilatarbelakangi pandangannya bahwa sejauh
ini para ahli sastra Arab disibukkan mempelajari sya’ir-sya’ir klasik,
namun melupakan kitab sastra Arab terbesar, yaitu Alquran.19

14 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 13.
15 Isra’iliat secara massif mempengaruhi kitab-kitab tafsir klasik seperti tafsir alTabari dan tafsir Muqatil bin Sulayman. Lihat Fadhli Lukman, “The Rising of
Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu AlQur’an dan Hadis edisi Juli 2010.

17 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 19.

16 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 17.

19 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 13-14.

18 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 25.

48

Jurnal Syahadah

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...

Vol. 2, No. 1, April 2014

Fadhli Lukman

D. Posisi Akal terhadap Wahyu
Berkaitan dengan posisi akal dari wahyu, Bint Syati’ sendiri
tidak menjelaskan bagaimanakah konsepsinya mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, dalam hal ini digunakan bagaimana cara dia
melakukan penafsiran sebagai alat ukur. Untuk itu, bagian ini pertama sekali akan meriview metode penafsiran yang ia lakukan dan
menganalisis bagaimana dia menempatkan akal terhadap wahyu.
Dalam tesisnya, Sahiron Syamsuddin menggunakan dua kata
kunci untuk menjelaskan metode penafsiran Alquran. Kedua kata
kunci tersebut adalah tafsir al-mawdu’i (cross-referential interpretation)20
dan irtibat al-ayat wa al-suwar (interconnection between verses and
chapters).21 Terkait irtibat, pandangan Bint Syati’ sejalan dengan pan‫وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم‬
dangan Mustansir Mir dengan ide bahwa satu surat memiliki satu
‫آثارهم‬
‫جهودا جليلة‬
‫القرآن‬
‫بذلوا في‬
ide ‫زادا‬
(the sura
as a‫تركوا‬
unity).‫ و‬Sebagai
contoh,
surat‫خدمة‬
al-‘Adiyat
bagi‫الذين‬
Bint
Syati’ membicarakan satu tema dan setiap ayat membicarakan tema
‫لما بعدهم‬
tersebut.22 Terkait tafsir mawdu’i, ia menyatakan23:

‫و األصل في منهج هذا التفسير –كما تلقيته عن أستاذي—هو‬
, ‫التناول الموضوعي الذي يفرغ الدراسة الموضوع الواحد فيه‬
‫ ويهتدي بمألوف استعماله لأللفاظ‬, ‫فيجمع كل ما في القرآن منه‬
‫ وهو منهج‬.‫ بعد تحديد الداللة اللغوية لكل ذاك‬, ‫واألساليب‬
, ‫يختلف والطريقة المعروفة في تفسير القرآن سورة سورة‬
, ‫يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله‬
, ‫مما السبيل معه إلي اإلهتداء إلي الداللة القرآنية أللفاظه‬
‫أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية‬
Pernyataan Bint Syati’ di atas secara jelas memperlihatkan bahwa metode yangia
gunakan
al-mawdu’i.
  adalah
 tafsir
 
   Tema
 tersebut
 
membicarakan satu tema tema dengan mekanisme mengumpulkan
semua ayat yang terkait. Hanya saja, metode ini tidak sama dengan
20 Sahiron
An Examination
40. 
Syamsuddin,
 
 ofBint
Syati’’s,
 hal.

21 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 68.



    

22 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 74.
23 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 17.

          

49

prinsip al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’da yang lebih identik dengan
tafsir tahlili yang memperlakukan surat demi surat secara atomistik
dan terpisah-pisah. Pada sisi lain, Tafsir Bint Syati’ berusaha mengungkap setiap ayat yang dikumpulkan menjadi satu pada siyaq yang
tepat—untuk itu ia menggunakan pola tartib nuzuli sebagai kerangka
analisis—untuk mengungkap original meaning teks, sebagaimana para
pendengar pertama Alquran ketika ia diwahyukan. Oleh sebab itulah Sahiron Syamsuddin menerjemahkan tanawul al-mawdu’i pada
pernyataan Bint Syati’ di atas dengan objective comprehension dan
membandingkannya dengan pandangan beberapa hermeneut terkait
upaya untuk mengungkap makna original atau makna historis.
Berkaitan dengan itu Nur Kholis Setiawan menyebut bahwa
metode yang digunakan oleh Bint Syati’ bisa dijelaskan dalam dua
langkah penting yang merupakan modifikasi dan pengembangan
model yang di gagas oleh al-Khuli. Kedua hal tersebut adalah penelitian terhadap makna leksikal kosa kata al-Qur’an yang kemudian di
jadikan sebagai sarana untuk mengetahui makna yang di kehendaki
dalam konteks pembicaraan ayat pada satu sisi dan pelibatan semua
ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama pada sisi
lain. Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “kesempatan” agar al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri.24
Oleh sebab itu, dalam tafsirnya, unsur ma hawla al-nas, digunakan mekanisme tartib nuzuli dengan memperhatikan asbab al-nuzul.
Berkaitan dengan sabab al-nuzul, ia berpeganan pada kaidah “al-‘ibrah
bi ‘umum al-lafz, la bi khusus al-sabab, illa an yata’ayyana bi al-khusus
didalilin sarihin aw qarinatin bayyinatin.”25 Sebab turunnya ayat, bagi
Bint Syati’, bukanlah sesuatu yang menyebabkan suatu ayat turun
(bukan tujuan utama diturunkannya ayat), atau bukan merupakan
sebab turunnya sebuah surat dalam pengertian sebab-akibat.26
Sementara dilalat al-alfaz dilandasi dengan kesadaran tinggi
bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab. Karenanya, unsur sense of arabicity (zauq) dalam menentukan makna hakiki dan
24 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 37-39
25 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal. 9
26 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Mansyurah al‘Asr al-Hadis: 1973), hal. 77; al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Dar
al-Fikr: 1979), hal. 104.

50

Jurnal Syahadah

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...

Vol. 2, No. 1, April 2014

majazi adalah hal yang penting. Kemudian, ayat-ayat yang terkumpul disimpulkan secara induktif. Tahap terakhir adalah upaya untuk mendapatkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam objek
kajian. Dengan mengikuti makna implisit dan eksplisit dari sebuah
ayat, ditentukan signifikansi ayat tersebut. Metodenya adalah dengan meneliti kembali pendapat para mufassir, mengadakan seleksi
terhadap pemikiran mereka, menerima yang sesuai dengan tujuan
tersebut, dan mengabaikan yang menjurus kepada israilliyyat, fanatisme madzhab, dan kerancauan penafsiran (bida’ al-ta’wil).27
Selain itu, Bint Syati’ menekankan, sebagaimana penolakannya terhadap tafsir isyari, bahwa setiap kata dalam Alquran hanya
memiliki satu makna. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa kalimat
ataupun frasa dalam Alquran yang secara sepintas telihat sama sebenarnya memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup berarti sesuai
konteksnya. Sebagai contoh kata aqsama dan halafa, keduanya samasama berarti sumpah, akan tetapi ternyata keduanya memiliki implikasi berbeda. Kata aqsama selalu di gunakan untuk sumpah yang
konsisten, sedangkan halafa di gunakan untuk menunjuk sumpah
yang masih di langgar.28
Dalam metode tafsirnya, terlihat Bint Syati’ terobsesi untuk
mengungkap makna objektif dari wahyu. Hal ini terungkap dari beberapa hal yaitu kritik tajamnya terhadap unsur-unsur ekstra-Qur’an
yang masuk kepada tafsir, klaim bahwa setiap kata dalam Alquran
hanya memiliki satu makna sehingga ia menolak sinonimitas dalam
Alquran, penggunaan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, dan penekanan munasabah untuk memahami makna terdalam dari ayat sesuai
dengan yang dipahami oleh audien pertamanya. Beberapa alasan di
atas memperlihatkan bahwa Bint Syati’ benar-benar berusaha memahami wahyu sebagaimana ‘Tuhan menghendakinya.’ Pada sisi
lain, semua itu ia lakukan bukan dengan mengikuti bunyi literal
ayat. Ia melakukan penalaran yang mendalam terhadap ayat. Konsep ‘surah-as-a-unity’, misalnya, memperlihatkan bahwa Bint Syati’
melakukan interpretasi bi al-ra’y untuk mengungkapnya, melalui mekanisme pengumpulan ayat-ayat, menyeleksi riwayat-riwayat untuk
menyusunnya secara tartib nuzuli, dan menemukan bayan terdalam
27 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 11.
28 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra ... hlm. 40

Fadhli Lukman

51

dari masing-masing ayat. Hal ini berarti bahwa meskipun Bint Syati’
terobsesi mengungkap makna original dari wahyu, ia sama sekali tidak meninggalkan akal. Pada sisi lain, ia juga tidak menempatkan
penalarannya mengalahkan makna wahyu, karena ia berpandangan
al-’ibrah bi ‘umum al-lafz. Itu berarti, Bint Syati’ menempatkan akal
dan wahyu secara sejajar.

E. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan sederhana di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, Bint Syati’ sebagai seorang
Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap makna terdalam dari bayan Alquran. Kedua,
Tafsir bagi Bint Syati’ adalah upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya.
Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data
ekstra-Qur’ani. Ketiga, dalam metode yang ia gunakan terlihat bawa
Bint Syati’ menempatkan wahyu dan akal pada posisi yang seimbang.

Daftar Pustaka
Lukman, Fadhli. “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and
the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis edisi Juli
2010.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS,
2010
Al-Nawawi. al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. (Jeddah: Haramayn,
t.t
al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Mansyurah al-‘Asr al-Hadis: 1973.
Setiawan, Nur Khalis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ. 2006.
al-Shati’, Bint. al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Cairo: Dar alMa’arif. 1990.
Smith, Wilfred Cantwell. Kitab Suci Agama-agama, terj. Dede Iswadi.

52

Jurnal Syahadah
Vol. 2, No. 1, April 2014

Jakarta: Teraju, 2005.
al-Suyuti. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Dar al-Fikr: 1979.
Syamsuddin, Sahiron. An Examination of Bint Syati’’s Method of Interpreting the Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1999.
Yusran, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras. 2006.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nas. Beirut: Markaz al-Saqafi al‘Arabi. 2000

POLA BARU DALAM CORAK TAFSIR FIKIH
(Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An
Na’im)
Muhammad Makmun-Abha
Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

A. Pendahuluan
Kajian kritis yang dilakukan oleh para pemikir-pemikir Islam
kontemporer terhadap Islam dan sumber-sumbernya mendapatkan
sambutan yang beragam dari beberapa akademisi baik muslim maupun non-muslim. Sebenarnya penerimaan atau penolakan terhadap
pemikiran yang baru tidaklahterlalu signifikan jikalau ummat Islam
atau sedikitnya diantara mereka mau membuka mata dan berpikir
lebih dewasa melihat realitas dan problem-problem yang dihadapi
umat islam yang sebagian besar tidak sama dengan masa lalu.
Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh semakin kompleksnya kasus-kasus (waqi’ah) dalam masyarakat modern yang membutuhkan
jawaban yang komprehensif. Jika metode pemahaman akan sumber
hukum Islam yang dalam hal ini adalah al Qur’an dan Hadits tidak
lagi mampu dan memiliki relevansi dengan zaman sekarang maka
secara otomatis dibutuhkan ijithad dan pemikiran-pemikiran terobosan yang mampu mencerahkan kembali kondisi ummat Islam.
Dalam kondisi kemandegan inilah muncul sosok pembaharu
dalam corak penfasiran yang bercorak fikih yaitu Prof. Dr. Abdullah
Ahmad an Na’im. Beliau lahir dengan sejumlah pemikirannya yang
ingin melakukan perombakan terhadap metode dan rumusan para
ulama’ fikih klasik. Salah satu konsepnya yang terkenal liberal yakni
konsep nasikh mansukh dimana ia berpendapat bahwa ayat al Qur’an
yang awal me-nasakh ayat yang turun kemudian (dalam hal ini hukum ayat Makkah mengganti Hukum ayat yang turun di Madinah).
Ayat Makkiyah dipandang sebagai ayat universal yang kekal dan ayat
Madaniyah merupakan ayat bersifat diskriminatif dan temporal. Hal
inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengupas pola pembaharuan dalam corak tafsir fikih yang ditawarkan oleh Prof. Dr.
Abdullah Ahmad an Na’im.