Tulisan Untuk Diskusi Kebijakan Publik Demokrasi Kekuasaan dan Habitus 844374542
Demokrasi, Habitus dan Pembangunan Institusi
Oleh Haryatmoko Demokrasi biasanya dikaitkan dengan sistem representasi, pengaturan pembagian kekuasaan dan pengawasannya, metode mengorganisir kepentingan-kepentingan dan pengaturan hukum atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada kewarganegaraan (L.Diamond, 2009: 91).
Dalam demokrasi, legitimitas politik mencari pembenarannya melalui persetujuan warganegara. Persetujuan ini dilandaskan pada komunikasi (J.Habermas, 1981). Tidak ada norma atau nilai yang tidak dapat diperdebatkan, dipertanyakan atau dikritik. Argumentasi menjadi cara mencari dasar persetujuan tindakan kolektif. Apakah prosedur demokrasi membantu warganegara lebih memiliki komitmen etis (komponen utama identitas naratif)? Acuan ke identitas naratif bisa menjadi ukuran sejauh mana keputusan Mahkamah Konstitusi (anggota legislatif dipilih suara terbanyak) mampu membuka dinamika politik baru.
Dilema dan Solidaritas
Model tindakan komunikatif itu dilematis. Di satu sisi, tindakan komunikatif sering dikritik terlalu ideal sehingga syarat-syaratnya (tulus, benar, tepat, menunda kepentingan masing-masing peserta) sulit dipenuhi. Di sisi lain, upaya mewujudkan tuntutan itu bisa menjadi latihan untuk membentuk orang yang terbuka dan memiliki komitmen. Seringnya perjumpaan, dalam kerangka diagnostik masalah dan upaya-upaya kolektif, akan menumbuhkan saling kepercayaan.
Demokrasi deliberatif, yang memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap alasan- alasannya, menjadi tempat persemaian bagi tumbuhnya saling pengertian. Oleh karena itu, diskusi jangan dibatasi oleh urgensi untuk segera mengambil keputusan atau segera bertindak. Peserta dituntut bisa menahan diri untuk menunda kepentingan masing-masing. Tuntutan ini dalam realita politik sulit dipenuhi karena masing-masing pihak sudah memiliki prioritas, motivasi dan tujuan. Terkurasnya energi karena konflik kepentingan ini bila diarahkan oleh politik budaya yang multikultural bisa memancing kesadaran rasa kebangsaan. Mengapa?
Ketika pilihan rasional masing-masing pihak berkutat pada kepentingan sendiri, dorongan menghadapi konflik dan ketidakpastian. Maka tindakan yang hanya ditentukan oleh logika ekonomi dipertanyakan. Orang mencari kerjasama. Pertaruhannya adalah identitas dan komitmen. Komitmen merupakan dimensi moral yang menandai identitas naratif.
Identitas Naratif
Identitas naratif lahir dari pemahaman kehidupan dalam bentuk kisah yang disatukan oleh tujuan hidup baik sehingga memungkinkan setiap orang menunjukkan kualifikasi etisnya (P.Ricoeur, 1990:187). Tanda identitas naratif ialah meski selalu diterpa perubahan, tetap bisa dipercaya dan diperhitungkan. Jadi identitas naratif ditandai oleh kemampuannya untuk menepati janji. Kemampuan menepati janji merupakan identitas yang lebih tinggi karena, meskipun ada perubahan-perubahan, masih tetap bisa diandalkan. Kemampuan menepati janji berasal dari kesetiaan kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Dari tepat janji ini akan tumbuh solidaritas. Jadi identitas naratif suatu bangsa ditandai oleh komitmen, kesatuan, dan kohesi yang teruji oleh waktu.
Identitas merupakan hasil proses identifikasi dan distinction yang membantu suatu kelompok sosial membangun kohesinya atau menetapkan posisinya berhadapan dengan bangsa lain. Konsep bangsa, menurut E.Gellner, mengandaikan, pertama, adanya acuan ke “budaya yang sama”, dalam arti suatu sistem gagasan, tanda, dan cara bertindak dan berkomunikasi. Tuntutan ini tidak mungkin dipenuhi kalau penafsirannya hanya menjadi alat legitimasi dan hanya dikuasai oleh kalangan elite terbatas. Budaya yang menjadi dasar kekuasaan tidak bisa hanya milik kelompok tertentu saja. Dalam hal ini, multikulturalisme menjadi relevan karena memberi pembatasan terhadap pengertian dasar acuan yang bisa diterima semua kelompok etnis, agama, atau minoritas; kedua, bangsa merupakan bangunan keyakinan, loyalitas dan solidaritas anggota-anggotanya. Dalam konteks ini, multikulturalisme dimaksudkan mendorong tumbuhnya identitas, solidaritas dan kohesi sebagai bangsa. Ketiga, bangsa terbentuk bila anggota-anggota masyarakat saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status mereka sama (E.Gellner, 1983:7). Jadi bangsa menuntut bentuk organisasi sosial yang didasarkan pada budaya inklusif yang memungkinkan setiap komunitas mampu mengenali diri sebagai bagiannya.
Identitas naratif lemah ketika warganegara tidak mampu mengenali diri dan mengenali bentuk kerjasama dan persaingan dalam pertaruhan simbolis dan material, menuntut syarat adanya dialektika identifikasi dan pengakuan ini. Maka menjadi penting teori identitas dan pengakuan (D.Cefaï, 2007:215). Identitas dan pengakuan diperoleh melalui keikutsertaan dalam tindakan dan upaya nyata, baik sendiri maupun kolektif, dan dalam proses kerjasama dan komunikasi dengan sesamanya.
Dalam konteks ini, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan terpilihnya anggota legislatif atas dasar suara terbanyak bisa membuka dinamika politik baru. Di satu sisi, keputusan itu memperlemah daya tawar partai politik dan kecenderungan berkembangnya rasa kedaerahan. Di sisi lain, keterwakilan konstituen semakin diperhatikan meskipun disertai kekhawatiran merebaknya politik uang dan dipertanyakannya kualitas caleg.
Ada dua implikasi politik, pertama, partai politik semakin dituntut profesional dalam manajemen organisasi, termasuk dalam penunjukkan calon legislatif. Kedua, menghadapi primordialisme kedaerahan dan agama, pemerintah pusat harus mempunyai politik budaya yang tegas. Alasannya, pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif; kedua, dasar identitas bangsa; ketiga, politik budaya berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas (L.Bonet, 2007). Dengan demikian, keputusan MK itu bisa membuka dinamika kebangsaan baru asal mengarahkan ke universalitas kongkrit. Universalitas kongkrit sebagai bentuk komitmen etis merupakan komponen utama identitas naratif.
Universalitas Kongkrit
Universalitas kongkrit bisa diilustrasikan dalam karya seni. Karya seni yang berhasil ialah objek kongkrit yang hampir semua orang menghargainya. Kekaguman terhadap karya seni merupakan bentuk universalitas itu. Jarang ada komentar yang mengatakan bahwa karya- karya Mozart tidak bermutu. Universalitas kongkrit ini didefinisikan sebagai rekonsiliasi antara yang partikular dan yang universal (L. Ferry, 1998:246). Partikularitas ini berlaku bagi suatu budaya (agama), ketika ia membuka makna bagi seluruh kemanusiaan. Pemeluk agama- agama dipanggil untuk menjadi karya seni, artinya ambil bagian dalam kehidupan bersama dan memberi makna bagi semua. Panggilan ini berarti masuk ke pemikiran yang diperluas, maksudnya akses ke yang universal melalui otentifikasi partikularitas. Semakin mendalam
Keterbukaan ini adalah buah kebebasan yang mampu melepaskan diri dari partikularisme (agama) untuk membuka diri bagi semua golongan. Orang bisa memahami makna karya seni ketika melihat pribadi Mahatma Gandhi, Ibu Teresa dari Calcutta, Muhammad Iqbal, Muhammad Hatta, Romo Mangun. Para tokoh ini adalah ungkapan universalitas kongkrit. Universal karena mereka berjasa dan diterima oleh semua golongan, sekaligus kongkrit karena mengakar pada partikularitas agama masing-masing. Komitmen untuk kemanusiaan yang mengatasi sekat agama menandai identitas naratif mereka. Universalitas kongkrit mengikis primordialisme agama karena ukuran penerimaan bukan kepemilikan pada kelompok, tetapi pada jasa, sumbangan dan prestasi untuk masyarakat.
Politik Kewarganegaraan
Prinsip tindakan yang menggerakan manusia demokrasi adalah individualisme dalam arti cara bertindak yang terpikirkan dan damai yang tidak terseret oleh massa. Jadi individualisme mempunyai asumsi bahwa mencukupi diri dan berusaha agar tidak menderita pengaruh dari pihak lain serta tidak menginginkan pihak lain menderita dari pengaruhnya karena prinsip kesetaraan (Perre Manent, 1993: 82). Maka demokrasi seharusnya lebih berorientasi pada politik kewarganegaraan dari pada politik partisan atas dasar kelompok. Politik partisan cenderung memperlakukan warganegara secara tidak setara sehingga menjadi sumber diskriminasi. Kondisi sosial demokrasi memperlakukan warganegara di depan hukum bukan atas dasar kepemilikan pada suatu kelompok, tetapi karena dia warganegara seperti yang lain. Seperti dikatakan Gellner bahwa bangsa terbentuk bila anggota-anggota masyarakat saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status mereka sama.
Demokrasi yang efektif tergantung pada partisipasi yang terbuka dan kompetitif. Kualitas partisipasi terstruktur dalam politik dan ekonomi di mana institusi-institusi yang sah dan efektif melindungi serta mengendalikan kegiatan-kegiatan di arena tersebut dengan melalui penentuan batas-batas dan pintu aksesnya (F.Lordon, 2008:7). Uang menjadi motivasi logika waktu pendek dan uang dicari untuk menopang konsumsi massa. Uang tentu juga mengarahkan sistem demokrasi. Dalam konteks ini, korupsi bisa dilihat sebagai akibat liberasisasi ekonomi dan liberalisasi institusi-institusi publik dan politik yang tidak terselesaikan (ibid., 2). Maka perbaikan sektor publik sebaiknya bukan hanya menekankan
Isu-isu yang diusung dalam pemilu jarang mengacu ke perbaikan institusi-institusi politik dan ekonomi ini. Maka yang dibutuhkan ialah demokratisasi yang mendalam, bukan hanya pemilihan umum, tetapi perdebatan yang serius tentang masalah-masalah riil rakyat. Demokratisasi ini mengandaikan adanya kelompok yang mampu mengusung masalah- masalah itu dan menjanjikan untuk menyelesaikan secara politik tanpa mengabaikan kepentingan kelompok tersebut. Maka hubungan antara partisipasi dan penguatan institusi politik dan ekonomi menjadi isu yang menentukan karena pertaruhannya ialah masalah keadilan. Seperti diingatkan oleh Rawls (1971) bahwa masalah keadilan terkait erat dengan struktur dasar masyarakat, dalam arti bahwa pertama, dalam struktur masyarakat sudah terkandung berbagai posisi sosial. Posisi dan harapan masa depan ditentukan sebagian oleh sistem politik, kondisi ekonomi dan sosial; kedua, lembaga-lembaga sosial mendefinisikan hak dan kewajiban sehingga mempengaruhi masa depan, cita-cita dan kemungkinan tercapai cita-cita tersebut. Jadi lembaga-lembaga itu sudah merupakan sumber kepincangan dan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka menciptakan institusi-institusi yang adil tidak bisa dilepaskan dari upaya mengefektifkan demokrasi.
Partisipasi dan Institusi Politik-Ekonomi
Pembangunan sektor publik bukan hanya masalah memperbaiki manajemen publik, tetapi juga memperjuangkan masalah keadilan yang hanya mungkin bila demokrasi efektif. Demokrasi dikatakan berdaya bila perkembangan pasar ikut ditentukan oleh partisipasi yang terbuka dan kompetitif, yang terstruktur dalam politik-ekonomi dan dilindungi serta dikendalikan oleh institusi yang sah serta efektif. Dalam konteks ini, menjadi penting partisipasi yang terbuka dan kompetitif, yaitu ketika rakyat bisa mengungkapkan pilihan- pilihannya secara bebas dan diperhitungkan oleh para pengambil keputusan. Partisipasi itu akan efektif bila rakyat memiliki kekuatan tawar yang riil, artinya mampu memberi imbalan kepada pemerintah yang efektif dan bisa juga menjatuhkan pemerintah yang tidak kompeten atau yang menyalahgunakan kekuasaan (F.Lordon, 2008:7).
Dalam kenyataan di negara-negara berkembang, di satu sisi, partisipasi lemah, terbatas dan mudah dimanipulasi; di lain sisi, institusi-institusi kaku atau terlalu mudah diakses dan jelek koordinasinya. Hubungan kedua hal ini akan mempengaruhi bentuk korupsi. Korupsi beragam: pertama civil society dan partai-partai politik lemah, tapi luasnya jaringan hubungan
patron-client mendominasi politik dan ekonomi; kedua, pengadilan dan polisi mungkin tidak
efektif, sementara premanisme merajalela dan menguasai di banyak segi kehidupan; ketiga, korupsi dijalankan dalam rangka mencari pengaruh birokrasi atau badan legislatif, sedangkan pejabat pemerintah dan militer mengambil porsi penting ekonomi, tanpa takut terkena sanksi.
Korupsi harus dilihat bukan hanya dari sudut pandang hukum, tetapi harus ikut dipertimbangkan juga makna sosial serta ukuran budaya. Dengan standar ini, apa yang dipertaruhkan menyangkut nilai-nilai kepemimpinan, kewarganegaraan, representasi, dan akuntabilitas (ibid.,11). Lalu kelihatan bahwa korupsi bukan hanya masalah penyalahgunaan kepercayaan oleh kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi korupsi menjadi cara yang dipakai elite untuk membangun dukungan politik dari masyarakat serta untuk memenangkan kerjasama dengan lembaga legislatif dan birokrasi (ibid.23).
Akibat korupsi dalam jangka panjang menjadi berat karena korupsi menunda dan membelokkan perkembangan ekonomi dan politik. Uang sogok yang dibayarkan ke birokrat ternyata tidak akan memecahkan kemacetan administrasi, tetapi justru menular ke pejabat lain. Korupsi seperti ini memberitahukan kepada pejabat lain bahwa dengan memperlambat prosedur administrasi akan mendapat uang. Korupsi yang mempengaruhi pengambilan keputusan menyebabkan nilai-nilai demokratis menjadi tidak relevan. Kesempatan yang seharusnya untuk banyak orang yang membutuhkan, akhirnya disangkal. Korupsi lalu menjadi insentif jangka pendek yang membebani ongkos jangka panjang, bukan untuk tujuan politik kesejahteraan bersama, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian korupsi berarti mengabaikan pilihan-pilihan politik (F.Lordon, 2008:24-25).
Tiadanya transparansi dan akuntabilitas merupakan penghambat terbentuknya institusi pasar dan politik yang kuat dan efektif. Padahal kedua unsur ini penting di dalam pembangunan etika politik, yaitu sebagai aspek polity (bdk.tiga dimensi etika politik). Kedua hal itu mengaburkan batas-batas antara politik dan ekonomi, kepentingan publik dan privat. Lalu akses ke pengambil keputusan dijadikan komoditi. Korupsi semakin memperlemah partisipasi dan institusi-institusi politik dan ekonomi karena memberikan imbalan kepada tiadanya efisiensi. Kontrak atau perjanjian yang korup akan menempatkan pembayar di luar demokrasi yang memungkinkan masyarakat bisa memiliki alternatif riil dalam hal politik dan ekonomi membantu menghindarkan masyarakat dari eksploitasi dan ketergantungan. Kompetisi politik memperlemah kemampuan kepentingan ekonomi atau faksi politik untuk mendominasi arena. Ada kaitan antara tingginya korupsi dan rendahnya tingkat kompetisi.
Ada hubungan langsung antara korupsi dan implikasinya bagi perkembangan politik. Korupsi bisa merugikan proses politik yang terbuka dan kompetitif melalui pemilu misalnya. Monopoli politik oleh jaringan kelompok tertentu, meski melalui prosedur yang sah, melalui pemilihan umum (yang penuh rekayasa) biasanya tidak mentolerir gagasan yang berlawanan.
Dampaknya, mengabaikan transparansi. Lemahnya transparansi dalam kebijakan akan cenderung mengutamakan kelompok atau warganegara tertentu tanpa ada kontrol. Dalam iklim yang korup, kebebasan untuk memilih, membentuk organisasi-organisasi mandiri dan kompetisi dalam mencari dukungan bisa saja tidak dijamin karena pejabat-pejabat yang korup dan klien-kliennya (F.Lordon, 2008:29). Interaksi politik semacam itu akan membentuk habitus yang tidak akan mudah diubah atau diperbaiki.
Akuntabilitas dan Transparansi: Membangun Habitus Demokrasi Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus
selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: 9, 16-17, 96-126, 138-155, 169-173). Dalam proses perolehan ketrampilan itu, struktur-struktur yang dibentuk berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Dalam penguasaan bahasa, penulisan atau pemikiran, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kreatifnya. Mereka tidak lagi menyadari gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebasan kreatif sebetulnya merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadi habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.
Habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas dan sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur obyektif.
Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan berfungsinya habitus sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan modalitas praktiknya mengandalkan
Tekanan pada nilai atau norma menggarisbawahi habitus yang berupa etos, yaitu prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktikkan, bentuk moral yang diinteriorisir dan tidak mengemuka dalam kesadaran, namun mengatur perilaku sehari hari. Misalnya sifat orang rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, cekatan, murah hati.
Etika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggungjawab pelayanan publik. Jadi etika publik bukan pertama-tama sibuk dengan merumuskan norma, tetapi membangun sistem atau prosedur yang memudahkan norma-norma etika publik bisa dilaksanakan untuk mencegah konflik kepentingan dan korupsi. Maka sebagai sarana utama untuk mencapai tujuan pelayanan publik yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan publik diperlukan akuntabilitas, transparansi dan netralitas.
Kalau berbicara tentang etika publik, tidak bisa hanya berhenti pada norma moral dan subyek moral, namun harus memperhitungkan dimensi-dimensinya. Etika publik memiliki tiga dimensi yang digambarkan dalam segitiga yang mengacu ke tujuan, sarana dan tindakan.
PELAYANAN PUBLIK YANG BERKUALITAS & RELEVAN TUJUAN
ETIKA PUBLIK MODALITAS TINDAKAN AKUNTABILITAS
[Skema baru ini hasil modifikasi Segitiga Etika Politik B. Sutor, Politische Ethik, 1991:86]
Etika publik adalah bagian dari etika politik. Etika politik didefinisikan sebagai “upaya hidup baik (memperjuangkan kepentingan publik) untuk dan bersama orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi- institusi yang lebih adil” (P.Ricoeur, 1990). Tiga dimensi etika politik adalah tujuan (policy), sarana (polity) dan aksi politik (politics) (B. Sutor, 1991: 86). Dari definisi itu, penulis menerjemahkan ke dalam versi tiga dimensi etika publik: (i) tujuan “upaya hidup baik” diterjemahkan menjadi “mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan publik yang berkualitas dan relevan”; (ii) sarana: “membangun institusi-institusi yang lebih adil” dirumuskan sebagai “membangun infrastruktur etika dengan menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi, dan netralitas pelayanan publik”; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai “integritas publi k” untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan relevan. Tantangan berat etika publik ialah konflik kepentingan, terutama yang menyeret ke korupsi dalam bentuk korupsi kartel-elite.
Modalitas Etika Publik: Akuntabilitas dan Pengawasan
Modalitas di dalam interaksi kekuasaan ialah fasilitas. Fasilitas yang membantu agar tercipta budaya etika di dalam organisasi pelayanan publik berupa infrastruktur etika seperti akuntabilitas, transparansi, netralitas, E-governance dan tiga kompetensi pejabat publik (teknis, leadership dan etika). Sedangkan untuk mendapatkan legitimasi, suatu tindakan atau kebijakan harus mengacu ke modalitasnya yaitu norma. Norma di dalam etika publik bisa berupa kode etik, hukum yang mencegah konflik kepentingan dan korupsi, tuntutan integritas publik, tujuan pelayanan publik yang relevan dan responsif atau nilai-nilai agama.
Modalitas etika publik ini sebetulnya merupakan suatu sistem atau prinsip-prinsip dasar organisasi pelayanan publik yang mengarahkan upaya untuk menciptakan infrastruktur etika. Tulang punggung infrastruktur etika ini adalah akuntabilitas dan transparansi. Ada tiga pengertian akuntabilitas menurut Guy Peeters (2007: 16-17): (i) Akuntabilitas disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Harus ada laporan terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) yang dipublikasikan. Pengertian akuntabilitas yang pertama itu menekankan pentingnya institusi yang adil untuk mendorong pemerintah mengidentifikasi, mempertanyakan dan mengoreksi apa yang sudah dilakukan atau terjadi.
(ii) Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggungjawab, yaitu menjamin perilaku pejabat agar sesuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan publik. Akuntabilitas jenis ini lebih menekankan nilai-nilai yang telah dibatinkan sebagai pelayan publik sesuai tuntutan etis. Akuntabilitas ini menolong mempertajam makna tanggung jawab. Bentuk ini mengandaikan adanya sistem pelayanan publik yang telah terlembagakan secara baik. Dari sisi deontologis ini, akuntabilitas hanya mungkin bila pelayan publik bisa dipercaya, sadar akan tanggungjawabnya terhadap publik. (iii) Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespon kebutuhan publik atau kemampuan pelayan publik bertanggungjawab terhadap pimpinan politiknya. Dua tuntutan ini sering bisa bertentangan, artinya upaya untuk menjawab kepentingan publik bisa saja bertentangan dengan kehendak atasan politiknya, atau hasrat untuk menjawab tuntutan atasannya berlawanan dengan kebutuhan publik .
Akuntabilitas perlu untuk menjamin integritas publik dan pelayanan publik. Maka di setiap organisasi pemerintah dibutuhkan komisi etika untuk: (i) mengawasi sistem transparansi dalam penyingkapan keuangan publik; (ii) memeriksa laporan kekayaan, sumber pendapatan dan hutang sebelum jabatan publik; (iii) memeriksa laporan hubungan-hubungan beresiko untuk meminimalisir konflik kepentingan; (iv) di setiap pertemuan staf dan pengambilan keputusan, komisi etika diikutsertakan untuk mengangkat masalah etika, memfasilitasi audit dan evaluasi kinerja untuk identifikasi dimensi-dimensi etika.
Agar pengawasan lebih efektif perlu mekanisme whistle-blowing dengan memberi perlindungan hukum terhadap whistle-blower, menyediakan sarana komunikasi, hotlines, komunikasi konfidensial dan petunjuk pelaporan yang bisa dipercaya. Untuk mengorganisir tanggungjawab, sanksi atau insentif harus terumus dalam hukum atau undang-undang. Maka mendesak dibuat undang-undang anti-konflik kepentingan.
Meningkatkan efektivitas pengawasan perlu melibatkan masyarakat melalui jaringan di daerah-daerah. Pembentukan jaringan dimulai dengan pelatihan, seminar, workshop untuk mendiskusikan konflik kepentingan dan korupsi (sebab, mekanisme, korban, kerugian).
Modalitas etika publik merupakan dimensi kedua etika publik. Yang dimaksud dengan modalitas ialah semua prosedur atau syarat kemungkinan bagi penerapan norma-norma etika ke dalam tindakan atau kebijakan publik. Di dalam interaksi sosial, modalitas berperan penting karena menentukan kualitas struktur yang dibentuk baik pemaknaan, dominasi maupun legitimasi (A.Giddens, 1991). Modalitas di dalam komunikasi ialah kerangka penafsiran. Dalam etika publik, kerangka penafsiran ini berupa prinsip-prinsip keadilan, subsidiaritas dan solidaritas. Selain itu, teori-teori etika juga akan membantu di dalam membuat pertimbangan-pertimbangan di dalam kebijakan publik.
Syarat-syarat kemungkinan implementasi etika ini sebetulnya dimaksudkan untuk membangun budaya etika di dalam organisasi. Maka peran pimpinan menjadi sangat vital karena sebagai fasilitator untuk membangun bentuk-bentuk komunikasi baru. Oleh karena itu, pimpinan dituntut memiliki beberapa ketrampilan atau kemampuan. Pertama, kemampuan membangun konsensus moral di lembagana; kedua, kemampuan memberdayakan staf untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi etika dari masalah-masalah yang dipertaruhkan; ketiga, ketrampilan untuk mendorong semua pihak yang terlibat di dalam pelayanan publik untuk bisa mengkomunikasikan secara efektif gagasan dan kepentingan mereka agar bisa didengar dan dipahami. Asumsinya, komunikasi yang baik bisa menghindarkan dilema moral dan membantu dalam menjamin integritas publik.
Integritas Publik dan Pendidikan Karakter Integritas pribadi dalam pelayanan publik adalah landasan utama etika publik.
Integritas semacam itu tumbuh dari pendidikan keluarga, berkembang di sekolah, lingkungan masyarakat dan teruji dalam kehidupan professional, terutama keterlibatannya di berbagai organisasi. Jadi integritas publik adalah hasil pendidikan, pelatihan dan pembiasaan tindakan yang diarahkan ke nilai-nilai etika publik. Dari perspektif ini, nampak bahwa pembentukan
habitus moral bukan sekedar masalah niat baik, tetapi harus ditopang oleh lingkungan dan
pengalaman, terutama yang menyediakan infrastruktur etika.Tiga kriteria bisa untuk mengukur integritas publik pejabat (Kolthoff, 2007:40): a) mandiri karena hidupnya mendasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang stabil dan mempunyai visi karena mau memperjuangkan sesuatu yang khas; b) jujur terhadap ideal yang
good governance , yang melihat integritas publik sebagai tindakan seorang/lembaga pemegang
kekuasaan yang sesuai dengan nilai, tujuan dan kewajiban yang dipercayakan atau dengan norma yang jabatan kekuasaan yang dipegangnya (A.J. Brown, 2008:4). Jadi integritas publik bukan hanya sekedar tidak korupsi atau tidak melakukan kecurangan.
Memang, integritas publik baru kelihatan ketika harus berhadapan dengan kebijakan publik yang menyangkut pengelolaan kekayaan negara. Integritas publik berkaitan erat dengan penggunaan dana, sumberdaya, aset dan kekuasaan yang sesuai dengan tujuan-tujuan jabatan publik untuk digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik (OECD Principles for
Integrity Public Procurement, 2009: 19). Integritas publik akan teruji ketika pejabat publik
dihadapkan pada pilihan-pilihan kewajiban yang saling bertentangan, tapi mampu memberi pemecahan dengan mengesampingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Pejabat publik membuktikan diri mempunyai integritas ketika dari sikapnya bisa menunjukkan bahwa menerima jabatan bukan pertama-tama uang dan status sosial, tapi tanggungjawab terhadap pelayanan publik. Maka Fleishman melihat integritas sebagai kejujuran dan kesungguhan untuk melakukan yang benar dan adil dalam setiap situasi sehingga mempertajam keputusan dan tindakannya (1981:53) dalam kerangka pelayanan publik.
Dalam tanggungjawab pelayanan publik, integritas pribadi sangat dituntut karena menjadi dasar integritas publik. Integritas publik mengandaikan adanya kejujuran dalam pelaksanaan tugas pelayanan publik yang berarti menghindari konflik kepentingan dan korupsi. Integritas publik dipahami sebagai tindakan atau perilaku pejabat publik atau lembaga kekuasaan yang sesuai dengan nilai-nilai, tujuan dan tanggungjawab yang dituntut oleh norma-norma jabatan tersebut (Brown, 2008: 4). Jadi integritas publik menuntut dua bentuk pelatihan, pertama, berhubungan dengan suatu ketrampilan yang membentuk sikap yang disebut habitus moral; kedua, menuntut pembentukan budaya etika di dalam organisasi pelayanan publik sehingga ada sistem yang menjamin integritas publik. Untuk tujuan ini, pemberdayaan civil society untuk bisa ambil bagian di dalam pengawasan kebijakan publik dan evaluasinya menjadi sangat relevan.
Kebijakan publik merupakan upaya pemerintah melalui keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya untuk menghadapi masalah-masalah dan keprihatinan pelayanan publik sebagai kriteria dan acuan di dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik. Pada prinsipnya, semua warganegara setara di muka hukum, ketidaksamaan harus menguntungkan semua terutama mereka yang paling lemah atau yang paling terpinggirkan (Rawls, 1971). Prinsip etika publik semacam itu sangat membantu memberi landasan pertimbangan etis pejabat publik dalam menentukan kebijakan publik karena dalam masyarakat selalu ada “pihak yang paling tidak diuntungkan”, bisa kaum miskin, yang tersingkir/kalah di dalam persaingan, kelompok gender atau kelompok minoritas. Dengan demikian kemampuan teknis untuk menganalisa masalah masih perlu dilengkapi dengan kemampuan menangkap pertaruhan etis yang biasanya tidak lepas dari masalah keadilan. Kemampuan ini mengandaikan kompetensi etika. Maka pejabat publik diandaikan juga memiliki kompentensi etika.
Kompetensi etika itu meliputi kemampuan di dalam manajemen nilai, ketrampilan di dalam penalaran moral, termasuk penguasaan teori-teori etika, moralitas individual dan publik, serta etika organisasi (J.S.Bowman, 2010: 67). Kepemimpinan yang efektif harus memudahkan perilaku yang bertanggunjawab. Salah satu caranya adalah dengan mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan untuk mendorong inisiatif, kreativitas dan produktivitas. Dengan pendelegasian itu, menajemen nilai menjadi nyata karena tanggungjawab pribadi ditekankan sehingga tidak ada alasan untuk mengalihkan tanggungjawab ke pihak lain atau bersembunyi di balik alasan “kepatuhan”. Pengakuan akan nilai-nilai etika merupakan dasar tindakan di dalam strategi etika publik untuk mendukung pelayanan publik yang relevan dan bertanggungjawab. Jadi etika menyumbang mempertajam pertimbangan kebijakan publik.
Integritas publik yang mengandalkan pada kejujuran pejabat publik berarti memprioritaskan kepentingan publik dari pada kepentingan pribadi atau kelompok. Integritas semacam ini, menurut Dobel, hanya akan dijamin bila pejabat publik membiasakan diri dengan (1999: 3-4): pertama, konsitensi di dalam kebijakan publik dan tindakannya dengan melibatkan keberanian moral untuk komit demi kepentingan umum, bahkan kalau konsekuensinya berat; kedua, mereka harus membiasakan diri dengan refleksi etika, memahami pendasaran rasional, konsekuensi-konsekuensinya dan tujuan-tujuan norma etika. berpikir yang kritis; ketiga, integritas publik mengandaikan upaya terus menerus untuk mengintegrasikan moralitas pribadi ke dalam moralitas di dalam kehidupan publik. Ketiga kebiasaan tersebut akan membantu mencegah pencampuradukan kepentingan pribadi dengan kepentingan publik.
Refleksi etika dan pelatihan etika berperan penting di dalam mengembangkan kesadaran moral. Kesediaan untuk berdiskusi dan berinteraksi bisa mengubah pola pikir dan perilaku seseorang. Keterbukaan dan sikap kritis ini memungkinkan orang mengambil jarak terhadap kebiasaan yang jelek dan membawa orang untuk bisa bela rasa terhadap korban atau yang terpinggirkan. Jadi perkembangan kesadaran moral membutuhkan baik pengetahuan maupun pengalaman karena, di satu pihak, pertimbangan moral dalam keputusan berkembang bukan hanya karena pengaruh lingkungan, tapi juga merupakan hasil dari reorganisasi cara berpikir dan pemahaman; di lain pihak, perkembangan kesadaran moral dari tahap satu ke tahap lain dicapai melalui praktik dan pengalaman, bukan hanya belajar teori atau pengetahuan kognitif. Bourdieu menggunakan istilah habitus, yaitu hasil pembiasaan dari mengamati, meniru, mengalami, memecahkan masalah dan membiasakan diri pada yang baik. Cara menghadapi masalah-masalah menunjukkan tingkat kesadaran moral seseorang.
Manajemen nilai tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesadaran moral seseorang. Menurut L. Kohlberg, perilaku etis seseorang tergantung pada pemahaman moral dan kemampuan mengidentifikasi serta menalar dalam berhadapan dengan dilema moral. Jadi tindakan etis tidak hanya masalah melakukan yang baik dan benar. Keputusan untuk melakukan sesuatu tergantung pada bagaimana seseorang merumuskan dilema moral di dalam suatu visi etika tertentu (1981: Vol.I,17-28). Tiga tingkat kesadaran moral dalam teori Kohlberg menunjukkan bahwa pejabat publik dituntut bisamencapai pada tingkat ketiga, yaitu paska-adat. Tingkat paska-adat ini ditandai dengan hormat pada nilai-nilai sosial, komitmen untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan setia pada janji terhadap persetujuan yang dibuat bahkan bila bertentangan dengan kepentingan kelompok.
Etika bukan sekedar pemikiran, namun pengalaman. Pengalaman etika muncul dalam gerak kepedulian menuju ke pihak lain, menuju alteritas, yaitu kebaikan. Perjumpaan dengan pihak lain atau “penampakkan wajah” (Levinas) merupakan bentuk hubungan yang ditandai
Daftar Pustaka
Bishop, Patrick (ed.), 2003, Management Organisation, and Ethics in the Public Sector, Burlington: Ashgate Boisvert,Yves, Crise de confiance et crise de legitimité:
de l’éthique gouvernementale á l’éthique publique, dans: Revue internationale d’éthique sociétale et gouvernementale, vol. 4, no 1, Printemps 2002, 19-31.
Bowman, James S., 2010: Achieving Competencies in Public Services. The Professional
Edge, Second Edition, Armonk N.Y.: M.E.Sharpe
Cochran, Charles L., & Malone, Eloise F., 2005: Public Policy: Perspectives and Choices, Colorado: Lynne Rienner Collovald, Annie et Gaïti, Brigitte, 2006: La démocratie aux extrêmes, Paris: La Dispute Dahl, R. A., 2003: The Democracy. Source Book, Cambridge, Massachussets: MIT Press Diamond, L., 2009: Democracy. A Reader, Baltimore: The John Hopkins University Press Dobel, Patrick J., 1999: Public Integrity, Baltimore: Johns Hopkins University press Giddens, Anthony, 1993: New Rules of Sociological Method, Cambridge: Polity Press Kohlberg, Lawrence, 1981: Essays on Moral Development, Vol.I, The Philosophy of Moral
, San Francisco: Harper & Row
Development, Moral Stages and the Idea of Justice
Kolthoff, Emile, 2007, Ethics and New Public Management, Den Haag: BJU Le Goff, Jean-Pierre, 2002: La démocratie post-totalitaire, Paris: La Decouverte Lévinas, Emmanuel, 1971: Totalité et Infini.
Essai sur l’extériorité, Nijhoff: La Haye, Martinus ------------------------, 1982 : Ethique et Infini, Paris : Fayard.
Libois, Boris, 1994:
Ethique de l’information, Bruxelles: Ed.de L’Université de Bruxelles
Manent, Pierre, 1993: Tocqueville et la nature de la démocratie, Paris: Gallimard Peeters, B.Guy, 2007, Performance-Based Accountability, dalam: Shah, Anwar, Performance Accountability and Combating Corruption, Washington DC: The World Bank, hlm.15-32 Rawls, John, 1971, A Theory Justice, The Belknap Press of Harvard University Press.
Shapiro, Ian, 2001:
Democracy’s Value, Cambridge: Cambridge University Press