I HANTU LORD KIYORI

  I HANTU LORD KIYORI

  1860, Kastel Awan Burung Gereja di Wilayah Akaoka tidak berubah sedikit pun selama bertahun-tahun sejak Lord Kiyori

Lady Shizuka

  

mengenalnya. Kulitnya sehalus porselen paling berkualitas dari Dinasti Ming, dengan

kepucatan sempuma seorang wanita istana dari kamar dalam. Tak terkerutkan oleh

berlalunya waktu, tak terusakkan oleh paparan sinar matahari dan penderitaan, tanpa

tanda-tanda yang mengungkapkan perbuatan, pemikiran, atau perasaan tak patut.

Mata Shizuka, ketika tidak sedang mengamati Kiyori—dengan malu-malu atau dengan

sengaja atau dengan memperdayakan, tergantung keadaan—menerawang jauh,

dengan ekspresi seolah-olah sedang menantikan kejutan menyenangkan yang akan

segera terjadi, sebuah ekspresi yang diperkuat oleh alisnya yang tinggi dan sangat rapi,

bagaikan semut beriring. Rambutnya tidak ditata bergaya modem dengan segala

kerumitan lipatan, gelungan, sasakan, dan aksesorinya, tetapi hanya dibelah dua dan

diikat longgar dengan pita biru menjadi ekor kuda di bahunya, dan dari sana

rambutnya tergerai di punggung hingga ke lantai., hitam bersinar dan anggun.

Gaunnya, dari sutra tipis mengkilap dengan tekstur kontras, juga bermodel klasik,

longgar di tubuh dan berlapis-lapis dengan nuansa biru, lengkap dari cerahnya biru

danau di gunung tinggi hingga biru gelap langit malam. Lady Shizuka adalah

gambaran tepat seorang putri dari zaman Heian. Sebuah zaman, dia mengingatkan diri

  

sendiri, yang sudah lewat berabad-abad lalu. Salah satu zaman keemasan kuno di

Jepang pada sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11 Masehi, saat perdamaian dan

keamanan sangat dijamin oleh penguasa saat itu, Dinasti Heian.

  Di luar ruang ini, kekuatan perkasa militer bangsa-bangsa asing mengepung

Jepang. Kapal-kapal perang raksasa bertenaga uap milik Amerika, Inggris, Prancis,

dan Rusia sekarang dengan bebas measuki pelabuhan-pelabuhan Jepang. Di atas

kapal-kapal itu, ada meriam yang dapat melontarkan peluru sebesar pria dewasa jauh

melewati pantai, bahkan melampaui pegunungan dan hutan-hutan di pedalaman, dan

menghancurkan pasukan yang bersembunyi sebelum mereka cukup dekat untuk

mengetahui siapa yang membunuh mereka. Lautan yang memisahkan kepulauan

Jepang dari bagian lain dunia tidak lagi menjadi pertahanan. Angkatan laut pihak luar

memiliki ratusan kapal pembawa meriam yang menyemburkan asap seperti itu, dan

kapal-kapal itu tidak hanya mampu membombardir dari lnuh. Dari daratan yang jauh,

mereka dapat membawa puluhan ribu pasukan yang dipersenjatai dengan lebih

banyak meriam, dan juga senapan, dan mendaratkan mereka di pantai Jepang dalam

beberapa bulan saja. Namun, di ruangan ini, di menara tertinggi Kastel Awan Burung

Gereja, Jepang kuno tetap hidup. Ia bisa berpura-pura, setidaknya untuk sesaat, inilah

dunia seutuhnya.

  Shizuka melihat Kiyori sedang memandanginya. Shizuka tersenyum. Ekspresinya

polos sekaligus penuh rahasia. Bagaimana dia bisa melakukannya? Geisha paling

cerdas sekalipun belum tentu mampu memadukan keduanya dalam satu ekspresi.

Malu-malu, Shizuka me-rendahkan pandangannya dan menutupi senyum kekanak-

kanakannya dengan lengan kimononya yang lebar, sebuah kimono antik dari zaman

Heian.

  "Anda membuatku jengah, Tuanku. Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" "Bagaimana mungkin?" tanya Kiyori. "Kau adalah wanita cantik paling sempurna di seluruh kekaisaran, dan akan selalu begitu." Ekspresi menggoda berkilat di mata Shizuka.

  "Begitulah kata Anda, berulang-ulang. Tetapi, kapan terakhir kali Anda memberiku ke-hormatan dengan mengunjungiku di kamarku?" "Aku sudah memintamu, jangan pernah mengatakan itu lagi." Kiyori tahu dari

rasa panas di wajahnya bahwa dia bersemu merah. Betapa memalukannya bagi

seorang pria—dengan harga diri dan usia lanjut seperti dirinya—untuk bersikap

seperti pemuda yang sedang jatuh cinta. "Bahwa itu terjadi saja sudah merupakan

kesalahan yang patut di sesali." "Karena perbedaan usia kita?"

  Siapa pun yang melihat Lady Shizuka akan meiigira dia berusia tak lebih dari

delapan belas atau sembilan belas tahun, seorang gadis yang baru mulai mekar,

berdarah bangsawan tanpa diragukan lagi, barangkali bahkan masih perawan.

Sebaliknya, siapa pun yang memandang dirinya, akan melihat seorang pria berusia

lanjut, dengan postur tidak terbungkukkan oleh usia atau kekalahan, berdiri dengan

kesiagaan yang luwes, rambutnya yang sudah bercampur uban ditata dalam gaya rumit

seorang bangsawan samurai.

  Perbedaan dalam usia mereka. Ya, itu memang ada, bukan? Itu bukan sesuatu yang pernah dipikirkannya lagi. Kiyori berkata, "Itu tak akan pernah terjadi lagi." "Apakah itu ramalan?" Nada Shizuka menggoda, tetapi tidak kasar, seolah-olah wanita itu mengajaknya berbagi lelucon alih-alih mengejeknya.

  "Kau tahu benar itu bukan ramalan." "Bukankah Anda Okumichi no kami Kiyori, penguasa wilayah Akaoka yang

Agung? Jadi, Anda pastilah seorang peramal, sebagaimana pemimpin klan Anda dari

setiap generasi."

  "Begitulah kata orang." "Orang berkata begitu karena tindakari Anda sering tidak mungkin bisa dijelaskan

kecuali melalui ramalan. Jika Anda bukan peramal, lalu bagaimana Anda dapat

mengetahui masa depan?"

  "Bagaimana, ya?" Selama ini, dia selalu merasakan beban kutukan ramalan, tetapi

  

akhir-akhir ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia mulai merasakan beban

waktu pula. Tujuh puluh sembilan tahun. Menurut catatan-catatan leluhur, pria pada

masa lalu—para pahlawan, orang-orang bijak, dewa-dewa suci—sering hidup sampai

berusia seratus lebih. Dia tidak bisa membayangkannya untuk diri sendiri. Bahkan,

sudah merupakan keajaiban dia bisa hidup selama ini, mengingat segala hal yang

terjadi. Dia menjadi penguasa wilayah pada usia lima belas tahun, menikah pada usia

delapan belas tahun, terlambat mempunyai anak, dan telah kehilangan istrinya pada

usia empat puluh tahun. Sepanjang waktu itu, dia telah menemui Lady Shizuka secara

diam-diam. Sudah berapa lama itu? Sekarang adalah tahun ke-14 Kaisar Komei.

Mereka bertemu pada tahun ke-17 Kaisar Kokaku, yang rezimnya bertahan selama 38

tahun. Setelah dia, Kaisar Ninko berkuasa selama 29 tahun, kemudian digantikan oleh

kekaisaran yang sekarang. Bukankah sudah 64 tahun yang lalu? Di luar kebiasaan, dia

memastikan perhitungannya dengan menggunakan kalender asing. Tahun ke-17

Kaisar Kokaku adalah tahun 1796 M. Sekarang tahun 1860 M. Ya, enam puluh empat

tahun.

  Ketika mereka pertama bertemu dahulu, Shizuka mengatakan usianya enam belas

tahun. Sekarang, dia mengatakan usianya sembilan belas tahun. Di mata Kiyori,

Shizuka tidak pernah berubah sama sekali. Dia menggigil, tetapi bukan disebabkan

oleh udara pagi pada musim dingin.

  "Bagaimana aku tahu?" kata Shizuka. "Andalah yang punya kemampuan melihat masa depan, bukan?" "Aku?" "Tentunya, Anda tidak mengatakan bahwa akulah yang memiliki kemampuan itu?" "Kaulah yang selalu menyatakan hal itu," kata Kiyori.

  "Dan Anda selalu membantahnya," kata Shizuka. Konsentrasi membuat

keningnya berkerut samar. Dia menatap mata Kiyori dengan berani. "Apakah

akhirnya Anda mengakui kemungkinan itu sekarang?" Kiyori tak jadi menjawab segera karena terdengar sebuah suara di luar pintu.

  "Tehnya sudah siap, Tuan." "Masuk." Perhatian Kiyori teralihkan pada gadis pelayan, Hanako, yang dengan pelan

menggeser pintu hingga terbuka, membungkuk, dan sekilas mengamati ruangan, lalu

berhenti. Oh, ceroboh sekali dirinya, pikir Kiyori. Dengan berdiri menganggur dekat

jendela, dia tidak memberi Hanako titik acuan. Hanako tidak akan tahu di mana dia

harus menyediakan tehnya. Namun, sebelum Kiyori sempat mengambil tempat duduk

di seberang Lady Shizuka, Hanako beranjak tepat ke tempat yang akan

ditunjukkannya, di tengah-tengah antara tempatnya berdiri dan tempat seorang tamu

yang punya hubungan akrab dengan Kiyori biasanya duduk. Hanako tidak pernah

berhenti membuatnya terkesan. Sejak Hanako menjadi pelayannya—waktu itu dia

hanyalah gadis kecil yatim piatu berusia sembilan tahun—dia telah menunjukkan

kecerdasan cemerlang dan intuisi kuat yang lebih unggul ketimbang kebanyakan

samurainya.

  "Terima kasih, Hanako. Kau boleh pergi." "Ya, Tuanku." Hanako membungkuk. Berjalan mundur agar tidak memunggungi tuannya, dia mulai mengundurkan diri dari ruangan itu.

  "Apakah Anda tidak melupakan sesuatu?" kata Shizuka, suaranya begitu lemah menyerupai bisikan yang terdengar dalam khayalan. "Hanako. Sebentar." Apa yang telah dilupakannya? Oh, ya. "Kalau si kurir

kembali ke Edo besok, kau akan menemaninya. Di sana kau akan bergabung dengan

staf rumah tangga Lord Genji di Istana Bangau yang Tenang." "Baik, Tuanku." Meskipun perintah itu datang tiba-tiba, Hanako tidak

menunjukkan tanda-tanda terkejut. Dia menurut tanpa bertanya, yang merupakan

tanggapan semestinya terhadap tuannya.

  "Kau sudah melayaniku dengan sangat baik, Hanako. Orangtuamu pasti bangga

dengan-mu." Kiyori, tentu saja, tidak meminta maaf atau memberikan penjelasan

karena mengirim-nya pergi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

  "Terima kasih, Tuan. Anda telah bermurah hati menerima ketidakbecusan saya selama ini." Kiyori mengabaikan pernyataan kerendah-hatian yang diucapkan dengan resmi itu. "Aku akan sangat berterima kasih kalau kau melayani cucuku juga." "Ya, Tuan. Saya akan melakukannya sebaik mungkin."

  Sepeninggal Hanako, Kiyori berkata, "Mengapa aku mengirimnya ke Istana Bangau yang Tenang?" "Anda bertanya kepadaku, Tuanku?" "Aku hanya menyuarakan pikiranku keras-keras," kata Kiyori. "Kebiasaan buruk yang telah nlemberiku reputasi sebagai orang aneh lebih dari yang layak kuterima." "Sungguh bagus Anda telah memikirkan masaIah itu, karena keputusan ada di tangan Anda." Shizuka berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Bukankah begitu?" Kiyori tersenyum kecut. Dia selalu mendapati dirinya berada di posisi yang sama

setiap kali melakukan percakapan dengan Shizuka. Apa pun alasan yang dia berikan,

tak peduli betapa pun logisnya, hampir selalu salah. Seperti itulah perbedaan antara

logika dan bimbingan ramalan.

  Katanya, "Aku mengirim Hanako kepada cucuku karena sekarang dia

melaksanakan sebagian besar tugas resmi Bangsawan Agung wilayah kita, dia lebih

membutuhkan pelayan yang bisa diandalkan daripada aku. Apalagi karena ada tiga

orang misionaris Kristen yang dijadwalkan tiba di Edo hari-hari ini dan mereka akan

tinggal di Jepang dalam pelindungan kami. Kehadiran mereka akan memicu krisis

yang akan menentukan masa depan klan kita. Di luar masalah mendesak itu, aku

berharap tumbuhnya perasaan saling mencinta antara Hanako dan Genji. Dialah

wanita yang tepat untuk berada di sampingnya di masa berbahaya ini."

  "Betapa konsistennya Anda, Tuanku. Pemikiran yang jernih, selalu." "Kuanggap itu artinya aku salah dimengerti, seperti biasa." Kiyori menuangkan

teh untuk mereka berdua, sekadar formalitas kesopanan, karena Shizuka, seperti biasa,

tidak meminum tehnya.

  "Perbedaan besar dalam status mereka tidak menjadi hambatan?" "Karena masa depan akan membawa kekacauan, karakter jauh lebih penting ketimbang status." "Betapa bijaknya," kata Shizuka, "betapa merdeka dari batasan-batasan buatan tradisi sosial, dengan mengikuti perubahan zaman." "Kau tidak setuju?"

  "Tidak sepenuhnya. Pandanganku sudah kuno, dan aku tidak banyak tahu tentang

dunia luar. Tetapi, bahkan bagi orang dengan keterbatasan pemahaman seperti itu,

jelas bahwa sekarang karakter bawaan jauh lebih berharga daripada status warisan." "Kau setuju, tetapi tampaknya kau geli mendengar kata-kataku. Kuanggap itu artinya Hanako dan Genji tidak ditakdirkan untuk bersatu." "Selalu ada hal yang tidak kita ketahui," kata Shizuka. "Hal itu harus diketahui atau tidak adalah masalah lain. Apakah Anda ingin tahu lebih banyak?" "Aku hanya ingin tahu apa yang harus kuketahui untuk memastikan kesejahteraan klan kita." "Kalau begitu, pengetahuan Anda sudah cukup," kata Shizuka.

  Kiyori menghirup tehnya. Ekspresinya tenang, menyembunyikan kekesalan besar

yang dirasakannya karena Lady Shizuka gagal memuaskan rasa ingin tahunya yang

begitu jelas. Akankah Hanako dan Genji saling jatuh cinta? Dia tidak bisa bertanya

kepada Shizuka, bukan karena pertanyaan itu tidak pantas—ini menyangkut

pewarisan kemampuan melihat masa depan kepada generasi setelah Genji, suatu hal

yang sangat penting, dan bukan sekadar spekulasi romantis—melainkan karena

mengajukan pertanyaan itu sendiri membangkitkan implikasi yang berhasil

dihindarinya selama 64 tahun. Kalau mau, Lady Shizuka akan memberitahukannya

tanpa diminta.

  Ketika menjadi jelas bahwa Lord Kiyori tidak akan melanjutkan percakapan,

tatapan sedih tampak di mata Shizuka. Dia menjadi sangat diam. Ini bukan hal yang

jarang terjadi ketika mereka bersama. Dalam ketenangan melankolis seperti itu,

kecantikannya semakin pucat. Dapatkah seorang pria menerima penampakan yang

begitu cantik sempurna sehingga itu saja cukup membuatnya gila? Jika demikian, ini

menjelaskan banyak hal, bukan? Kiyori telah melihat Shizuka dalam keadaan paling menawan, sering ...sering sekali.

  Ketika Kiyori bangkit untuk pergi, Shizuka mengejutkannya. Dia berkata,

"Selama ini aku tidak pernah meminta sesuatu kepada Anda, Tuanku, dan aku tidak

akan pernah meminta lagi. Maukah Anda mengabulkan permintaanku sekarang?" "Apa itu?"

  "Jika Anda berkenan mengabulkan, Anda harus melakukannya tanpa mengetahui permintaanku." Ragu-ragu bukanlah sikap pria sejati. "Kalau begitu, akan aku kabulkan." Shizuka menunduk dalam-dalam, dahinya menempel ke lantai. "Terima kasih,

  Tuanku." Kiyori menunggunya meneruskan kata-katanya. Lady Shizuka tetap menunduk

untuk beberapa lama tanpa berbicara. Ketika dia mendongak, matanya basah. Kiyori

tidak ingat apakah dia pernah melihat wanita itu menangis sebelumnya.

  Dengan air mata mengalir, dia berkata, "Bawalah makan malam Anda ke sini, lalu bermalamlah bersamaku." "Ini permintaan yang paling tidak adil," kata Kiyori, benar-benar terluka. "Engkau

telah mempercayaiku agar setuju melakukan hal itu. Aku telah bersumpah atas nama

hidup dan kehormatanku iintuk tidak melakukannya." "Aku hanya meminta Anda berbagi kamar denganku, bukan tempat tidurku.

Darahku adalah darah samurai murni seperti Anda juga. Aku tidak akan pernah

memperdayai Anda agar melanggar sumpah.",

  Kiyori masih merasa kesal. Dia mungkin tidak akan mengawali malam di tempat

tidur Shizuka. Tetapi, berada di kamar yang sama dengannya sepanjang malam,

sanggupkah dia menghindari berakhir di sana? Meskipun tekadnya kuat, dia tetap

seorang laki-laki, dengan semua kelemahan laki-laki. Namun, tidak ada pilihan. Dia

telah menyetujui. "Baiklah. Malam ini saja." "Terima kasih, Tuanku," kata Shizuka. Dia mendongak dan tersenyum kepadanya di antara derai air mata.

  Kiyori tidak membalas senyumnya. Malam ini akan terasa sangat panjang.

Hanako mengemasi barang-barangnya untuk perjalanan ke Edo. Dia dapat mendengar dua pelayan lain yang lebih muda mengobrol di kamar sebelah

  "Lord Kiyori telah memerintahkan makan malam nanti disiapkan untuknya di menara tinggi." "Masa? Untuk berapa orang?" "Dua! Dan beliau wanti-wanti berpesan tidak boleh ada sake." "Makan malam di menara tinggi. Dan tak ada sake. Aneh sekali. Beliau makan

malam di sana hanya kalau ingin menemui tamu penting secara pribadi. Tetapi untuk

tamu seperti itu, beliau akan memesan sake, bukan?" "Barangkali beliau tidak mengharapkan tamu jenis biasa?"

  "Maksudmu bukan—" "Ya!" "Istrinyakah menurutmu, atau yang lain?" Ini sudah keterlaluan. Hanako meletakkan pakaiannya yang terlipat, pergi ke pintu

yang memisahkan dua kamar itu, dan menggesernya hingga terbuka. Kedua pelayan

itu terlonjak, melihat siapa yang datang, dan mengembuskan napas lega.

  "Oh, ternyata kau, Hanako." "Ya aku, untung saja. Bagaimana kalau bukan? Bagaimana kalau Lord Kiyori sendiri yang muncul?" "Oh, beliau tidak pernah mendatangi tempat tinggal pelayan."

  "Bagaimanapun, berhentilah bergosip," kata Hanako. "Atau kalau kalian merasa perlu, lakukanlah dengan lebih pelan." "Ya, kau benar," salah seorang pelayan itu berkata. "Terima kasih telah mengingatkan kami." Mereka berdua membungkuk kepadanya. Hanako hendak menutup pintu di antara dua kamar itu lagi ketika salah seorang dari mereka berhicara dengan cepat dalam bisikan keras. "Menurutmu siapa tamunya, Hanako? Istrinya? Atau yang lain?"

  "Aku tidak mau menduga-duga. Sebaiknya kalian juga tidak." Dia menutup pintu

di depan gadis-gadis yang masih terbelalak itu. Setelah beberapa saat sunyi, dia

mendengar mereka berbisik-bisik lagi.

  Sesungguhnya, Hanako mempunyai pendapat, tentu saja, meskipun dia tidak akan

pernah menyatakannya. Dia tidak akan secemas ini kalau saja Lord Kiyori bertemu

dengan istrinya, Lady Sadako. Namun, Hanako meragukan itu. Selama tiga belas

tahun dia melayani klan Okumichi, dia telah sering mendengar potongan-potongan

percakapan pribadi Lord Kiyori. Meskipun dia tidak pernah mendengar sebuah nama,

dia telah mendengar cukup banyak untuk mengetahui bahwa seorang pria tidak akan

berbicara dengan istrinya secara sembunyi-sembunyi, sekalipun istrinya sesosok

hantu. Dia tidak menemui Lady Sadako. Dia menemui yang lain.

  Rasa dingin merayapi tubuhnya dan berhenti di bawah kulit menimbulkan

perasaan merinding dan tertusuk-tusuk pada lengan, punggung, dan lehernya, seolah-

olah jarum-jarum kecil menyembul keluar dari dalam dirinya.

  Dia ingin tahu apakah Lord Genji juga akan bertemu dengan yang lain. Dia juga ingin tahu kalau kalau itu sudah terjadi.

  1311, Kastel Awan Burung Gereja Shizuka duduk dalam ketenangan meditasi selama beberapa menit sepeninggal

Lord Kiyori. Kemudian, dia bangkit dan pergi ke jendela, tempat Lord Kiyori tadi

berdiri dan memandang keluar. Apakah Lord Kiyori melihat apa yang dilihatnya

sekarang? Perbukitan yang selalu hijau di Pulau Shikoku, langit yang kelabu gelap,

pita-pita putih ombak yang dilecut hidup oleh badai lautan, dan angin musim dingin

di kejauhan? Dia seharusnya bertanya kepada Lord Kiyori tadi. Barangkali malam ini

akan ditanyakannya. Mereka akan berdiri bersama di depan jendela uncnara tinggi

kastel ini, dan mereka akan memandang jauh ke seluruh wilayah Akaoka. Malam ini

Aim menjadi malam terakhir mereka bersama. Mereka tidak akan pernah bertemu

lagi.

  "Nyonya." "Masuk." Pintu digeser terbuka. Dayang kepala, Ayame, dan empat orang anak buahnya

membungkuk di ambang pintu. Tak seorang pun dari mereka membungkuk dengan

cara normal wanita bangsawan, yaitu kedua tangan diletakkan di lantai dan dahi di-

rendahkan dengan anggun nyaris menyentuh lantai. Alih-alih, mereka berlutut dengan

satu kaki saja dan membungkuk sedikit dari pinggang, cara menghormat para prajurit

di medan perang. Mereka semua mengenakan hakama yang seperti kulot alih-alih

kimono panjang dan rumit sebagai-mana layaknya wanita dari kamar dalam, dan

lengan jaket pendek mereka diikat ke belakang sehingga lengan mereka dapat dengan

lebih bebas menggerakkan naginata, tombak bermata panjang, yang mereka bawa.

Selain naginata setiap dayang memiliki pedang pendek wakizashi yang diselipkan pada

kain pengikat pinggang. Ayame sendiri mempunyai dua bilah pedang di pinggangnya,

sebuah wakizashi dan ditambah sebuah pedang panjang katana. Kecuali bahwa dia

seorang wanita muda berusia tujuh belas tahun, Ayame adalah gambaran pahlawan

samurai. Bahkan, rambutnya telah dipotong, tidak lagi terurai di punggungnya hingga

ke lantai, tetapi diikat menjadi ekor kuda pendek, hanya sekitar 25 sentimeter dari

kepalanya. Pria atau wanita, betapa mudahnya untuk jatuh cinta kepada seseorang

yang begitu tampan. Keempat dayang lainnya juga berpenampilan serupa.

  Ayame berkata, "Situasinya seperti yang Anda perkirakan, Nyonya. Lord

Hironobu belum kembali dari berburu. Tak ada kurir yang datang dari beliau. Dan di

kastel ini, tak dapat ditemukan satu pun samurai yang diketahui setia kepada beliau

dan Anda."

  "Nyonya," kata salah seorang dayang di belakang Ayame, "belum terlambat untuk

melarikan diri. Ambillah kuda sekarang dan pergilah ke kastel Lord Hikari. Beliau

pasti akan melindungi Anda." "Lord Hikari sudah mati," kata Shizuka. Dia melanjutkan, sementara para dayangnya terkesiap.

  "Demikian juga Lord Bandan. Dan para keturunan serta semua keluarga mereka.

  

Pengkhianatan sudah mencapai hampir semua tempat. Malam ini, kastel mereka akan

terbakar. Besok malam, para pengkhianat akan sampai di sini." Ayame membungkuk, dengan gaya militer di medan perang lagi, matanya menatap mata Shizuka. "Kita akan membawa mati mereka sebanyak mungkin, Nyonya." "Ya, tentu saja," sahut Shizuka. "Dan meskipun kita akan mati, mereka tidak akan

menang. Garis keturunan Lord Hironobu akan terus berlanjut lama setelah keturunan

mereka punah." Dia merasakan tendangan bayi dalam kandungannya dan meletakkan

telapak tangannya di perutnya yang membuncit. Sabar, Nak, sabar. Kau akan

memasuki dunia penuh u:igrcli ini tak lama lagi.

  Para dayangnya menganggukkan kepala dan menangis. Ayame, yang paling berani

di antara mereka berjuang menahan tangis. Air matanya menggenang, tetapi tidak

jatuh.

  Situasi ini sedramatis adegan dalam salah satu drama kabuki yang sekali-sekali

disebutkan oleh Lord Kiyori. Tetapi tentu saja, tak ada pertunjukan drama seperti itu

sekarang. Kabuki baru ditemukan tiga ratus tahun kemudian.

  1860, Kastel Awan Burung Gereja.

Shigeru melewati lorong-lorong kastel klannya sendiri bagaikan seorang pembunuh, menyelinap dari bayangan ke bayangan, terkadang berhenti dalam

  

kediaman total, kemudian bergerak lagi dengan tiba-tiba. Meskipun mata biasa dapat

mengenalinya jika melihatnya, dia bergerak begitu rupa sehingga para pelayan maupun

samurai tidak melihatnya. Jika mereka melihatnya, mereka akan mengakui

kehadirannya, menyapanya dengan hormat, dan membungkuk. Dia, sebaliknya,

karena melihat apa yang sesungguhnya tidak ada, akan menghunus pedangnya dan

membunuh mereka. Ini adalah ketakutannya dan menjadi alasan baginya untuk

bergerak seperti siluman. Kendali dirinya mulai terlepas dan dia tidak tahu seberapa

banyak sisa ketahanannya.

  Telinganya bergema dengan suara-suara sumbang yang jahat dan memberontak.

Matanya berjuang menembus citra transparan penyiksaan dan pembantaian.

Meskipun dia masih dapat membedakan dunia yang dijejaknya dari dunia yang

muncul dari pikirannya, dia ragu apakah itu dapat dilakukannya lebih lama lagi. Dia

sudah tidak tidur berhari-hari. Akibatnya, penampakan yang membuatnya terjaga

semakin kuat dan mendorongnya lebih keras ke arah kegilaan. Dia dikenal luas

sebagai pejuang besar pada zaman ini, satu-satunya samurai dalam dua ratus tahun

yang layak disetarakan dengan Musashi yang legendaris. Tanpa kebanggaan berlebihan

atau kerendah-hatian palsu, dia percaya reputasinya layak dia sandang. Namun, semua

keahlian perangnya tidak berguna melawan musuh di dalam dirinya.

  Pada saat penyakitnya memburuk, dia menolak berpaling kepada satu-satunya

orang yang mungkin dapat menolongnya. Ayahnya. Sebagai satu-satunya putra Lord

Kiyori yang masih hidup, Shigeru merasa malu mengakui kelemahan seperti itu.

Dalam setiap generasi klan Okumichi, satu orang terlahir dengan anugerah

kemampuan melihat masa depan. Pada generasi di atasnya, orang itu adalah ayahnya.

Pada generasi sesudah generasinya, orang itu adalah kemenakannya, Genji. Pada

generasinya, beban itu telah ditimpakan kepada Shigeru sendiri. Selama lebih dari

enam puluh tahun, Kiyori telah menggunakan kemampuan itu untuk membimbing

klan mereka. Bagaimana mungkin Shigeru menemuinya sambil menangis ketika saatnya tiba untuk mulai melihat pertanda? Kini, sudah hampir terlambat, dia menyadari bahwa tidak ada pilihan baginya.

Pertanda tidak muncul dengan cara yang sama pada setiap orang, dan setiap orang

yang terpilih juga tidak dapat mengatasinya sendiri. Dia tenggelam dalam banjir

bayangan dan suara-suara yang sama sekali tidak dapat dipahaminya. Mesin-mesin

raksasa aneh yang menyerupai monster yang ada dalam fabel dan legenda berpusing

melintasi daratan, menelan barisan-barisan manusia berpakaian seragam aneh yang

hanya diam menunggu. Udara berlapis-lapis, penuh wariia-warni, dan berbau busuk

melingkupi kastel dan kota ini. Pada malam hari, langitnya sendiri menggeram seperti

perut makhluk raksasa yang tak kasatmata dan melahirkan hujan api yang menghancurkan apa saja di bawahnya. Korban-korban menjerit.

  Apakah arti semua ini? Jika itu adalah bayangan masa depan, ke arah mana dia

ditunjukkan? Hanya seseorang dengan pengalaman serupa yang mampu

memahaminya.

  Obrolan para pelayan memberitahunya di mana Lord Kiyori berada. Di menara tinggi. Karena dia berusaha keras agar tidak terlihat, perlu waktu satu jam bagi Shigeru

untuk melalui jarak yang biasanya dapat ditempuh dalam beberapa menit saja. Akan

tetapi, dia mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri karena sampai di sana tanpa

diketahui. Tak seorang pun menyapanya, jadi tak seorang pun mati. Lagi pula, dalam

perjalanan yang berkepanjangan tadi, pertanda-pertanda yang dia lihat telah melemah.

Tentu saja, pertanda itu akan segera kembali, tetapi jeda itu sangat melegakan. Dia

baru saja hendak mengumumkan kehadirannya kepada ayahnya ketika dia

mendengarnya berbicara.

  "Aku mengirim Hanako kepada cucuku," kata Kiyori, "karena sekarang dia

melaksanakan sebagian besar tugas resmi Bangsawan Agung wilayah kita, dia lebih

membutuhkan pelayan yang bisa diandalkan daripada aku." Kiyori berhenti seakan-akan sedang mendengarkan tanggapan, kemudian

berbicara lagi. Dia terus seperti itu untuk beberapa saat. Di luar pintu, Shigeru

memusatkan seluruh perhatiannya, tetapi tak sekalipun dia berhasil menangkap suara

orang yang bersama ayahnya itu.

  "Karena masa depan akan membawa kekacauan," kata Kiyori, seakan-akan

menjawab sebuah pertanyaan, "karakter jauh lebih penting ketimbang status." Lalu,

setelah berhenti sesaat, "Kau tidak setuju?" Dan, setelah sebuah jeda lagi. "Kau setuju,

tetapi tampaknya kau geli mendengar kata-kataku. Kuanggap itu artinya Hanako dan

Genii tidak ditakdirkan untuk bersatu." Hanako dan Genji? Shigeru terguncang. Hanako hanyalah pelayan di kastel ini. Bagaimana mungkin dia ditakdirkan untuk mendampingi seorang hangsawan? Apakah

ayahnya tidak sedang merencanakan kejahilan terhadap cucunya sendiri? Shigeru

bertekad melihat teman bicara Kiyori. Setiap kali Kiyori berbicara, Shigeru bisa

  

memperkirakan ke arah mana Kiyori menghadap dari perubahan kekuatan suaranya.

Dia menunggu sampai saat yang tepat dan dengan pelan-pelan menggeser pintu cu-

kup untuk membuat celah kecil. Dengan menggeser sudut pandangan di celah, dia

memindai ruangan itu selama percakapan berlangsung.

  "Aku hanya ingin.tahu apa yang harus kuketahui untuk memastikan kesejahteraan klan kita." Kiyori duduk di tengah ruangan sambil menghirup teh. Sajian itu diperuntukkan

bagi dua orang. Cangkir satu lagi, terisi penuh, tidak tersentuh di seberang Kiyori.

Shigeru selesai memeriksa ruangan itu. Tak ada orang lain di sana. Apakah orang itu

telah pergi melalui jalan rahasia yang tidak diketahuinya? Tampaknya itu tidak

mungkin. Namun, Shigeru ingat, Kiyori merancang sendiri menara itu, dan tak

seorang pun pernah melihat perencanaannya. Siapa pun yang ditemuinya tentunya

tidak keluar melalui jendela. Satu-satunya jalan lain untuk turun hanyalah melewati

Shigeru, dan tak seorang pun telah melewatinya.

  "Apa itu?" Kiyori bertanya. Mengira dia telah tertangkap basah, Shigeru berlutut dan membungkuk. Dia ragu sejenak, tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dan saat itulah Kiyori berbicara lagi.

  "Kalau begitu, akan aku kabulkan." Shigeru bangkit dengan cepat. Jadi, seseorang masih ada di dalam sana. Sekali lagi

dia mengintip ke dalam kamar. Kiyori memandang lurus ke depan dan berbicara lagi

seakan-akan sedang menanggapi seseorang yang berada tepat di depannya.

  "Ini permintaan yang paling tidak adil," kata Kiyori. "Engkau telah

memperdayaiku agar setuju melakukan hal itu. Aku telah bersumpah atas nama hidup

dan kehormatanku untuk tidak melakukannya." Shigeru melangkah mundur, mendadak beku.

  "Baiklah," dia mendengar ayahnya berkata, "malam ini saja." Shigeru meninggalkan tempat itu, awalnya dengan hati-hati, kemudian dia lari dari

kastel secepat kakinya mampu membawanya. Ayahnya tidak mungkin membantunya

karena dia juga sudah gila. Kiyori telah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin itu

  

Lady Sadako, istri Kiyori dan ibunda Shigeru. Itu saja sudah buruk. Lady Sadako

meninggal tak lama setelah melahirkan Shigeru. Akan tetapi, dia merasa wanita itu

bukan almarhum ibunya. Kiyori berkata bahwa dia telah bersumpah tak akan pernah

lagi tidur dengannya. Kiyori tidak akan berkata begitu kepada istrinya sendiri, tidak

kepada hantunya sekalipun.

  Menara tinggi Kastel Awan Burung Gereja, tempat Kiyori melewatkan begitu

banyak waktunya untuk menyendiri, sudah lama dianggap berhantu. Dikatakan bahwa

bayangan-bayangan misterius pada waktu senja di sana sering menyerupai noda darah

dari masa yang sangat lampau. Kisah-kisah seperti itu selalu muncul di sekitar tempat-

tempat tragedi kuno, dan kastel mana di Jepang yang tidak memiliki kisah serupa? Di

kastel ini, tragedi yang terjadi adalah pengkhianatan, serangan tak terduga, dan

pembunuhan mengerikan, yang nyaris menghabisi klan Okumichi pada masa-masa

awalnya. Dan, itu terjadi pada musim gugur pada tahun kesepuluh Kaisar Go-Nijo.

  Putri sihir itu, Lady Shizuka, telah melewatkan jam-jam terakhimya di ruang yang sama di menara itu. Ayahnya telah bersekutu dengan ruh jahat seseorang yang telah mati lebih dari lima ratus tahun lalu.

  1311, Kastel Awan Burung Gereja Shizuka dan Ayame memandang keluar dari jendela di menara tinggi dan menyaksikan tiga arus pasukan bergerak mendekati Kastel Awan Burung Gereja.

  "Berapa jumlah mereka, menurutmu?" tanya Shizuka. "Enam ratus dari timur, tiga ratus dari utara, seratus lagi dari barat," sahut Ayame. "Dan berapa jumlah kita?" "Enam belas dayang berada di menara. Tiga puluh laki-laki, semuanya pengawal

pribadi Lord Chiaki, menunggu para pengkhianat di gerbang kastel. Mereka segera

datang begitu dipanggil. Kurir-kurir sudah dikirim untuk menemukan beliau. Ba-

rangkali beliau akan datang sebelum serangan dimulai."

  "Barangkali," kata Shizuka, tahu bahwa Lord Chiaki tidak akan datang. Ayame berkata, "Saya sulit menerima bahwa Go telah mengkhianati Lord Hironobu dan Anda sendiri. Apakah ada kemungkinan lain?" "Go telah mengatur agar Chiaki jauh dari sini pada saat kritis," kata Shizuka,

"karena dia tahu kesetiaan putranya tidak tergoyahkan. Ketidakhadiran Chiaki adalah

bukti. Go tidak mau membunuhnya ketika dia membunuhku." "Betapa kejamnya hidup ini," kata Ayame. "Lord Hironobu pasti sudah

meninggal di masa kecilnya kalau bukan karena Go. Beliau tidak akan hidup untuk

menjadi Bangsawan Agung tanpa kesetiaan dan keberanian Go. Tetapi sekarang,

begini. Mengapa?" "Kecemburuan, keserakahan, dan ketakutan," kata Shizuka. "Mereka bahkan

sanggup menghancurkan langit seandainya para dewa lengah sebentar saja. Apalagi

kita yang begitu rentan di bawah sini."

  Mereka menyaksikan kekuatan musuh bersatu tikus membentuk kumpulan besar

pasukan. Dan, sebelum matahari tenggelam di balik pegunungan, api unggun

perkemahan menyala di antara mereka.

  "Mengapa mereka menunggu?" kata Ayame. "Mereka jauh lebih kuat. Seribu melawan kurang lebih lima puluh." Shizuka tersenyum. "Mereka takut. Malam tiba. Waktunya para penenung mencapai puncak kekuatan."

Ayame tertawa. "Orang-orang bodoh. Dan mereka berambisi menguasai dunia."

"Justru orang-orang bodoh yang memiliki ambisi seperti itu," kata Shizuka.

"Perintahkan dayang-dayangku dan para samurai Chiaki untuk beristirahat. Kita aman

untuk sementara waktu."

  "Baik, Nyonya." "Kau tidak perlu cepat-cepat kembali ke sini, Ayame. Aku akan baik-baik saja. Temanilah adikmu." "Anda yakin, Nyonya? Bagaimana dengan bayi Anda?"

  "Putriku baik-baik saja," kata Shizuka, "dan akan lahir pada waktunya, tidak lebih awal." "Putri?" "Putri," sahut Shizuka. Jika benar-benar mungkin merasakan kegembiraan dan kesedihan pada saat yang

sama, barangkali Ayame berhasil melakukannya saat itu, ketika air mata jatuh ke

pipinya dan wajahnya menjadi cerah dengan senyum sempurna. Dia membungkuk

rendah dan meninggalkan kamar tanpa bersuara.

  Shizuka mengatur dirinya dan menunggu kedatangan Kiyori.

  1860, Kastel Awan Burung Gereja Hanako berjalan melintasi taman di tengah kastel. Sebelumnya, dia tidak pernah

melakukan itu tanpa izin. Taman itu khusus dibuat untuk dinikmati para tuan dan

nyonya keluarga bangsawan, bukan pelayan. Namun, dia mau mengambil risiko

dimarahi. Besok dia akan pergi ke Edo. Siapa yang tahu kapan dia akan kembali

kembali? Barangkali tidak akan pernah. Dia ingin melihat mawar-mawar itu sebelum

pergi. Di sini, bunganya bermekaran dalam jumlah begitu berlimpah sehingga kastel

ini terkadang disebut Kastel Taman Mawar alih-alih Kastel Awan Burung Gereja. Dia

lebih suka nama bunga.

  Sekuntum mawar mekar menarik perhatiannya. Ukurannya lebih kecil ketimbang

yang lain, tetapi kelopak bunganya penuh, dan warnanya begitu cerah. Mungkin

seperti itulah definisi warna merah sebenarnya.

  Kecemerlangannya di tengah cahaya senja yang memudar sangat menarik hati.

Dia mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Duri yang tak terlihat menusuknya.

Ketika dia menarik tangannya kemali, dia melihat setetes darah, tepat sewarna dengan

kelopak bunga, membentuk kuncup mawar mungil di ujung jarinya.

  Hanako bergidik. Apakah ini bukan sebuah pertanda? Dia bergegas pergi untuk melanjutkan tugas malamnya.

  "Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Kiyori.

  Hanako dan pelayan kedua yang membawa hidangan makan malam masuk

seperti yang diharapkannya. Di belakang mereka, tanpa pemberitahuan, muncul

Shigeru.

  Shigeru membungkuk di ambang pintu. "Aku mohon maaf telah datang kemari tanpa izin Ayah terlebih dahulu." Sekilas dia memindai kamar itu dan memastikan tak ada orang lain bersama

ayahnya. Ukuran kamar tidak berubah. Jadi, tidak ada ruang tersembunyi yang

ditambahkan sejak terakhir dia kemari.

  Namun malam ini, sebagaimana siang tadi, dia yakin ayahnya berbicara dengan seseorang. Kiyori tidak suka dikejutkan. Hanako seharusnya memberitahukan kehadiran

Shigeru kepadanya sebelum membuka pintu. Dia melemparkan pandangan mencela

ke arah gadis itu. Akan tetapi, ekspresi kekagetan pada wajah Hanako menunjukkan

bahwa dia juga tidak menyadari kehadiran Shigeru. Itu hanya berarti bahwa Shigeru

telah menggunakan ilmu siluman di belakangnya agar tetap tidak terlihat. Kiyori baru

menyadari wajah putranya yang begitu tirus dan matanya yang berkilat-kilat liar. Di

lain situasi, perilaku aneh Shigeru dan tanda-tanda yang sangat jelas menunjukkan

pergolakan batinnya akan membuat Kiyori memerhatikan. Namun malam ini, Lady

Shizuka harus mendapatkan perhatian penuh darinya. Selama bertahun-tahun sejak

dia menemuinya, kunjungan Lady Shizuka tidak pernah lebih dari dua kali dalam

setahun. Dalam minggu terakhir ini, dia telah menemui Lady Shizuka setiap hari. Jelas

ini sebuah tanda dari kemunduran mentalnya sendiri. Para keturunan Okumichi yang

terpilih dengan pengecualian yang langka, pada akhirnya dihancurkan oleh

kekuatannya sendiri. Mengapa pula dia harus berbeda? Akan tetapi, dia bertekad

untuk tidak mempermalukan diri sendiri dan klannya. Jika waktunya telah tiba, dan

dia sudahtidak berguna untuk siapa pun, dia akan mengakhiri hidupnya sendiri

daripada mati dalam keadaan gila. Dia akan menangani Shigeru lain waktu. Jika lain

waktu itu masih ada.

  "Ya, ada apa?" "Aku ingin berbicara dengan Ayah tentang suatu hal penting. Tetapi, kulihat

Ayah sedang menunggu tamu, jadi aku tidak akan mengganggu lagi. Aku akan

meminta Ayah meluangkan waktu bagiku lain." Shigeru membungkuk dan pergi. Dia

telah melakukan apa yang harus dilakukan sebelumnya ketika makanannsedang

disiapkan. Dia datang hanya untuk memastikan apa yang dicurigainya. Tamu itu tak

terlihat oleh siapa pun kecuali ayahnya.

"Titik balik kehidupannya sudah sampai," kata Lady Shizuka setelah mereka tinggal

berdua saja. "Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu takdir."

  "Itu tidak memberiku semangat," kata Kiyori. "Mengapa Anda harus disemangati atau tidak disemangati?" tanya Shizuka.

"Kenyataan akan menjadi jernih jika sifat-sifat emosional tidak dibiarkan

mengaburkannya."

  "Manusia," kata Kiyori, "selalu merasakan emosi meskipun telah berlatih,

menghadapi kecenderungan, atau keadaan. Mereka tidak dapat dan tidak selalu

bertindak berdasarkan emosi." "Manusia," sahut Shizuka. "Apakah cuma imajinasiku, atau Anda memang memberi-kan penekanan pada kata itu?" "Ya, aku menekankannya. Aku tidak tahu kau ini apa sebetulnya, tetapi jelas kau bukan manusia." Lady Shizuka mengangkat lengan kimononya untuk menutupi mulutnya dan tertawa, matanya berbinar dengan keriangan yang nyaris kekanak-kanakan.

  "Betapa serupanya kita, Tuanku, dan betapa tidak serupanya. Pada akhir

kebersamaan kita, Anda telah mencapai sebuah kesimpulan yang sama dengan yang

kudapatkan di awal, ketika Anda pertama kali muncul di hadapanku." Beberapa saat berlalu sebelum Kiyori akhirnya cukup pulih untuk berkata-kata. "Ketika aku muncul, di hadapanmu?" Lady Shizuka bangkit, lapisan kimono sutranya berdesik pelan, bagaikan suara

  

dedaunan wisteria yang disentuh lembut oleh angin sepoi-sepoi, dan dia pergi ke

jendela sebelah timur.

  "Maukah Anda menyenangkan hatiku, Tuanku?" Kiyori, terlalu terguncang untuk menolak, bangkit berdiri di sampingnya. Shizuka menunjuk hamparan pemaridangan di luar.

  "Apa yang Anda lihat?" "Malam," sahut Kiyori. "Dan apa ciri-ciri malam yang menonjol?" Kiyori berusaha keras untuk berkonsentrasi. Mengatur pernapasannya,

melambatkan degup kencang jantungnya, mengabaikan badai pemikiran yang

menekan mata dan pelipisnya, dia berkonsentrasi tentang malam. Di laut, angin

bertiup kencang, menaikkan ombak putih setinggi manusia dan mengempaskannya ke

pantai berbatu di bawah. Angin yang sama telah menyapu langit hingga bersih, dan