Pengembangan dan Pengolahan Kakao. pdf

PENGEMBANGAN BUDIDAYA
DAN PENGOLAHAN KAKAO
I.

PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi
perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara.
Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayan dan pengembangan
agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan
bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit
dengan nilai US $ 701 juta.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan
pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut
sebagianbesar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7%
perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak
dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping
itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi
denganbaik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao
Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan

tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan
kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka.
Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain
produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk masih
rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan
sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar
dari agribisnis kakao.
Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%)
tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha (7,8%)
tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha, dimana produktivitas perkebunan
rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan
produktivitas perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.
Tabel Perkembangan areal dan produksi perkebunan kakao Indonesia
Areal (ha)

Produksi(ton)

Tahun
PR


PBN

PBS

Jumlah

PR

PBN

PBS

Jumlah

13,125

18,636

5,321


37,082

1,058

8,410

816

10,284

1985

51,765

29,198

11,834

92,797


8,997

20,512

4,289

33,798

1990

252,237

57,600

47,653

357,490

97,418


27,016

17,913

142,347

1995

428,614

66,021

107,484

602,119

231,992

40,933


31,941

304,866

2000

641,133

52,690

56,094

749,917

363,628

34,790

22,724


421,142

2001

710,044

55,291

56,114

821,449

476,924

33,905

25,975

536,804


2002

798,628

54,815

60,608

914,051

511,379

34,083

25,693

571,155

2003


861,099

49,913

53,211

964,223

634,877

32,075

31,864

698,816

2004

1,033,252


38,668

19,040

1,090,960

636,783

2,583

52,338

691,704

2005

1,081,102

38,295


47,649

1,167,046

693,701

25,494

29,633

748,828

1980

2006
1,105,654
38,453
Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat

47,635
1,191,742
723,992
26,122
29,360
779,474
PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta

1

Pada Tabel tersebut tampak bahwa perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan
petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao
ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku
Utara dan Irian Jaya. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil
nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil
menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’lvoire) pada
tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa
Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin
mengganasnya serangan hama PBK. Pada saat ini teridentifikasi serangan hama PBK sudah mencapai 40% dari
total areal kakao khususnya di sentra utama produksi kakao dengan kerugian sekitar US$ 150 juta per tahun.
Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh masih dominannya kebun yang
dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman
klonal.
Sementara mengganasnya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) antara lain disebabkan oleh belum
ditemukannya klon kakao yang tahan terhadap hama PBK. Pada saat ini teknologi pengendalian hama PBK
sudah diperoleh, tetapi penerapannya masih menghadapi berbagai kendala. Hal ini menjadi tantangan bagi
pelaku bisnis kakao untuk segera mengatasi permasalahan hama PBK.
Guna membantu mengatasi masalah mutu benih kakao, Kementeraian Negara Koperasi dan UKM telah
melaksanakan program bantuan perkuatan bibit kakao kepada masyarakat melalui koperasi. Program ini
dimulai sejak tahun anggaran 2005 di Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah melalui 2 koperasi
sebanyak 2 juta batang bibit kakao, dan dilanjutkan pada tahun anggaran 2006 di Kabupaten Jayapura Propinsi
Papua melalui 7 koperasi sebanyak 1,4 juta batang bibit kakao, Propinsi Jawa Tengah sebanyak 2,64 juta
batang bibit kakao yang tersebar di Kabuapaten Semarang (9 koperasi sebanyak 1.424.025 batang), Kabupaten
Wonogiri (4 koperasi sebanyak 440.000 batang) dan Kabupaten Karanganyar (7 koperasi sebanyak 759.997
batang), Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat (2 koperasi sebanyak 500.000 batang) serta Kabupaten Lebak
Propinsi Banten (6 koperasi sebanyak 1.420.005 batang). Selanjutnya pada tahun anggaran 2007 Kementerian
Negara Koperasi dan UKM masih melanjutnya program bantuan perkuatan bibit kakao bermutu di daerah
potensial kakao lainnya sebanyak 5 juta batang yang tersebar di Propinsi Lampung (Kabupaten Lampung),
Propinsi Bengkulu (Kabupaten Kepahiang), Propinsi Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah dan
Mandailing Natal), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Garut), Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara),
Propinsi Sulawesi Tenggara (kabupaten Konawe Selatan) dan Propinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu).
Di samping itu, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah memberikan bantuan perkuatan kepada koperasi
berupa sarana pengolahan kakao tahun anggaran 2005 yang tersebar di Propinsi Sulawesi Tengah (Kabupaten
Donggala), Propinsi Papua (Kabupaten Jayapura) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan)
serta pada tahun anggaran 2006 di Propinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Wajo).
Diprogramkan bantuan perkuatan bibit kakao ini dilanjutkan pada tahun-tahun yang akan datang sehingga
pemenuhan bibit kakao bermutu dapat terwujud dan produksi kakao nasional dapat ditingkatkan.
II.

MENGENAL TANAMAN KAKAO
A. Sistematika Tanaman Kakao
Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan
secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut :
Divisi
Spermatophyta
Anak divisi
Angioospermae
Kelas
Dicotyledoneae
Anak kelas
Dialypetalae
Bangsa
Malvales
Suku
Sterculiaceae
Marga
Theobroma
Jenis
Theobroma cacao L

2

Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan dasar klasifikasi dalam sistem taksonomi.
Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi

Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah anggota subjenis Sphaerocarpum.
Bentuk bijinya lonjong (oval), pipih dan keping bijinya (kotiledon) berwarna ungu gelap. Mutunya
beragam tetapi lebih rendah daripada subjenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena aluralurnya dangkal. Kulit buah ini tipis tetapi keras (liat). Pertumbuhan tanamannya kuat dan cepat, daya
hasilnya tinggi dan relatif tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit.
Gambar : Biji Kakao bentuk lonjong, pipih dan keping bijinya ungu gelap

Menurut Wood, G.A.R. (1975), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan sebagian
sifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih
rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah criollo
kasar, berbenjol-benjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar
lemak dalam biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan
citarasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe forastero. Dalam tata niaga
kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured), sementara itu kakao forastero termasuk
kelompok kakao lindak (bulk) kelompok Kakao trinitario merupakan hibrida criollo dengan farastero. Sifat
morfologi dan fisiologinya sangat beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata niaga,
kelompok trinitario dapat masuk ke dalam kakao mulia dan lindak, tergantung pada mutu bijinya.
B. Morfologi Tanaman Kakao
1.

Batang dan Cabang
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah
hujan tingi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam
habitat seperti itu, tanaman kakao akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit.
Jika dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada
umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0 meter (Hall, 1932). Tinggi tanaman tersebut beragam,
dipengaruhi oleh intensitas naungan serta faktor-faktor tumbuh yang tersedia.

3

Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Tunas yang arah
pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon),
sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas
atau fan).
Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 – 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan
membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola percabangan ortotrop ke
plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya
pertumbuhan tunas ortotrop karena ruas-ruasnya tidak memanjang. Pada ujung tunas tersebut,
stipula (semacam sisik pada kuncup bunga) dan kuncup ketiak daun serta tunas daun tidak
berkembang. Dari ujung perhentian tersebut selanjutnya tumbuh 3 - 6 cabang yang arah
pertumbuhannnya condong ke samping membentuk sudut 0 – 60 dengan arah horisontal. Cabangcabang itu disebut dengan cabang primer (cabang plagiotrop). Pada cabang primer tersebut
kemudian tumbuh cabang-cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk yang rimbun.

Gambar : Skema tajuk tanaman kakao dengan dua jorket
Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas air (chupon).
Dalam teknik budi yang benar, tunas air ini selalu dibuang, tetapi pada tanaman kakao liar, tunas air
tersebut akan membentuk batang dan jorket yang baru sehingga tanaman mempunyai jorket yang
bersusun.

Gambar : Percabangan tanaman kakao bersifat demorfisme,
yaitu terdiri dari atas tunas ortotrop dan plagiotrop
Dari tunas plagiotrop biasanya tumbuh tunas-tunas plagiotrop, tetapi kadang-kadang juga tumbuh
tunas ortotrop. Pangkasan berat pada cabang plagiotrop yang besar ukurannya merangsang
tumbuhnya tunas ostrotop itu. Tunas ostotrop hanya membentuk tunas plagiotrop setelah
membentuk jorket. Tunas ortotrop membentuk tunas ortotrop baru dengan menumbuhkan tunas air.

4

Saat tumbuhnya jorket tidak berhubungan dengan umur atau tinggi tanaman. Pemakaian pot besar
dilaporkan menuda tumbuhnya jorket, sedangkan pemupukan dengan 140 ppm N dalam bentuk
nitrat mempecepat tumbuhnya jorket. Tanaman kakao akan membentuk jorket setelah memiliki ruas
batang sebanyak 60-70 buah. Namun, batasan tersebut tidak pasti, karena kenyataannya banyak
faktor lingkungan yang berpengaruh dan sukar dikendalikan. Contohnya, kakao yang ditanam dalam
polibag dan mendapat intensitas cahaya 80% akan membentuk jorket lebih pendek daripada
tanaman yang ditanam di kebun. Selain itu, jarak antar daun sangat dekat dan ukuran daunnya lebih
kecil. Terbatasnya medium perakaran merupakan penyebab utama gejala tersebut. Sebaliknya,
tanaman kakao yang ditanam di kebun dengan jarak rapat akan membentuk jorket yang tinggi
sebagai efek dari etiolasi (pertumbuhan batang memanjang akibat kekurangan sinar matahari).
2.

Daun
Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme. Pada tunas ortotrop,
tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya
hanya sekitar 2,5 cm (Hall, 1932). Tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung
pada tipenya.
Salah satu sifat khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian (articulation) yang terletak di
pangkal dan ujung tangkai daun. Dengan persendian ini dilaporkan daun mampu membuat gerakan
untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari.
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing (acuminatus) dan pangkal
daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip dan tulang daun menonjol ke permukaan
bawah helai daun. Tepi daun rata, daging daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun
dewasa hijau tua bergantung pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm.
Permukaan daun licin dan mengkilap.

3.

Akar
Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagain besar akar lateralnya (mendatar)
berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme
(cit.Smyth, 1960), 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26% pada jeluk 11-20 cm, 14% pada
jeluk 21-30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan
jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil
yang susunannya ruwet (intricate).

4.

Bunga
Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun
pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan
menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao mempunyai rumus
K5C5A5+5G (5) artinya, bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun
mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri dari 5 tangkai
sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih,
ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Warna bunga
ini khas untuk setiap kultivar. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota
panjangnya 6-8 mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang (claw)
dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran tipis, fleksibel, dan
berwarna putih.

5

Gambar : Bantalan bunga atau buah kakao
5.

Buah dan Biji
Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua macam warna. Buah yang
ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning.
Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye).
Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan
trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya,
pada tipe forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata); kulitnya tipis, tetapi dan liat.
Buah akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10
hingga 30 cm, pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah.

Gambar : Buah Kakao akan masak setelah berumur enam bulan
C.

Fisiologi Tanaman Kakao
1.

Fotosintesis
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman
hutan. Di dalam teknik budidaya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih
dipertahankan, yaitu dengan memberi naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas
naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin
tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.
Pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis
optimnum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Tanaman penaung berperan sebagai
penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal,
seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.

6

2.

Perkembangan Akar
Pada awal perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur satu
minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Setelah itu laju
pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50 cm memerlukan waktu dua tahun.
Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada
tanah yang dalam dan berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m.
Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan keras, maupun air
tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar tunggang akan membelah diri
menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris (mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang
dijumpai terlalu besar, sebagian akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke
bawah. Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang sama sekali.

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembungaan Kakao
Pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan faktor lingkungan
(iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat oleh musim kemarau atau oleh suhu
dingin. Namun, di lokasi yang curah hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil,
tanaman akan berbunga sepanjang tahun.

D. Kesesuaian Lahan Kakao
Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara
baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan
variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan
intensitas cahaya matahari rendah (Muray, 1975).
Kakao saat ini bukan hanya tanaman perkebunan besar tetapi telah menjadi tanaman rakyat. Di
Indonesia, menurut data statistik tahun 2002, luas areal kakao telah mencapai lebih dari 777.900 hektar.
Kakao tersebut tersebar dalam lahan yang beragam dan tingkat produktivitasnya yang sangat beragam.
Seperti tanaman pertanian lainnya, kako dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan
pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat
produktivitas kakao.
1.

Iklim
Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah
hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang
tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap
produksi kakao.
Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi
merata sepanjang tahun.

2.

Tanah dan Topografi
Sifat-sifat tanah yang memengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro tanah, kejenuhan basa,
kapasitas pertukaran kation, PH atau keasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah
diperbaiki dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat tanah yang meliputi tekstur, struktur,
konsistensi, kedalaman efektif tanah (slum), dan akumulasi endapan suatu (konkresi) relatif sulit
diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya telah ada.

7

Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan,
karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti. Secara tidak langsung sifat tersebut
mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus
berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya
netral, agak asam, atau agak basa.
Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kadar bahan
organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan
(absorpsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa
daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk
diserap akar tanaman. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%.
Suhu udara harian idealnya sekitar 28 C, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat
kesesuaiannya.

III.

BUDIDAYA TANAMAN KAKAO
A. Perbanyakan secara Generatif
Perbanyakan secara generatif akan menghasilkan tanaman kakao semaian dengan batang utama
orototrop (pertumbuhan cabang atau tunas yang mengarah keatas) yang tegak, mempunyai rumus daun
3/8, dan pada umur tertentu akan membentuk perempatan (jorquet) dengan cabang-cabang pagiotrop
yang mempunyai rumus 1/2 . Rumus daun 3/8 artinya sifat duduk daun seperti spiral dengan letak duduk
daun pertama sejajar dengan daun ketiga pada jumlah daun kedelapan. Sementara itu, rumus daun
setengah artinya sifat duduk daun berseling dengan letak daun pertama sejajar kembali setelah daun
kedua.
Perbanyak generatif bisa dilakukan dengan dua cara, yakni secara bauatan (hand pollination) dan alami
(open pollination). Perbanyakan secara buatan dilakukan dengan menyilangkan dengan tangan antara dua
tanaman kakao. Serbuk sari jantan tanaman kakao ditempelkan pada kepala putik tanaman kakao lainnya.
Sementara itu, perbanyakan secara alami biasanya dilakukan oleh lalat yang menempelkan serbuk sari
jantan pada kepala putik tanaman kakao lainnya di kebun benih hibrida yang telah dirancang tanaman
dan pola tanamnya.
B. Perbanyakan secara Vegetatif
Bahan yang digunakan untuk perbanyakan secara vegetatif bisa berupa akar, batang, cabang, bisa juga
daun. Sampai saat ini bagian vegetatif tanaman kakao yang banyak digunakan sebagai bahan tanam untuk
perbanyakan vegetatif adalah batang atau cabang yang disebut dengan entres (kayu okulasi). Ciri entres
yang baik antara lain tidak terlalu muda atau tua, ukurannya relatif sama dengan batang bawah, tidak
terkena penyakit penggerek batang, dan masih segar.
Perbanyakan vegetatif tanaman kakao dapat dilakukan dengan cara okulasi, setek, atau kultur jaringan.
Perbanyakan vegetatif yang lazim dilakukan adalah dengan okulasi, karena penyetekan masih sulit
dilakukan di tingkat pekebun. Sementara itu, perbanyakan secara kultur jaringan masih dalam penelitian.
Okulasi dilakukan dengan menempelkan mata kayu pada batang kayu bawah yang telah disayat kulit
kayunya dengan ukuran tertentu, diikat, dan dipelihara sampai menempel dengan sempurna walaupun
tanpa ikatan lagi.
Tanaman kakao hasil perbanyakan vegetatif memiliki bentuk pertumbuhan yang sesuai dengan entres
yang digunakan. Jika entres berasal dari cabang plagiotrop, pertumbuhan tanaman yang dihasilkan akan
seperti cabang plagiotrop dengan bentuk pertumbuhan seperti kipas.

8

Perbanyakan vegetatif akan menghasilkan tanaman yang secara genetis sama dengan induknya sehingga
akan diperoleh tanaman kakao yang produktivitas serta kualitasnya seragam. Karena itu, penggunaan
bahan tanam vegetatif yang berasal dari klon-klon kakao yang sudah teruji keunggulannya akan lebih
menjamin produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan.
Perbanyakan tanaman kakao secara vegetatif telah lama dilakukan pada tanaman kakao mulia dengan
cara okulasi dan menggunakan bahan tanam beru[pa entres klon-klon unggul dari jenis DR 1, DR 2, dan DR
38. Perbanyakan vegetatif dengan cara okulasi dapat dilakukan pada tanaman kakao lindak dengan
menggunakan bahan tanam berupa entres (kayu okulasi) klon-klon kakao lindak unggul.
C.

Metode Okulasi
Tempelan mata okulasi lazimnya dilakukan pada ketinggian 10-20 cm dari permukaan tanah. Sisi batang
bawah yang dipilih sebaiknya bagian yang terlindung dari kemungkinan kerusakan oleh faktor-faktor luar.
Jika cuaca mendukung keberhasilan okulasi dan kemungkinan penyebab kegagalan sangat kecil sebaiknya
dipilih bagian yang paling rata atau halus. Jika okulasi dilaksanakan di pembibitan dan jarak antar bibit
cukup rapat, lebih tepat jika letak tempelan di sisi yang sama untuk mempermudah pengamatan dan
pemeliharaan.
Metode okulasi cukup beragam. Metode yang digunakan di suatu tempat mungkin berbeda dengan
tempat lain karena disesuaikan dengan iklim, pengalaman dan keterampilan pelaksana, serta hasil yang
diperoleh. Beberapa metode okulasi bisa diuraikan sebagai berikut :
1.

Metode Modifikasi Forket
Metode ini banyak digunakan untuk okulasi kakao karena telah terbukti memberi banyak keuntungan
seperti mudah, cepat dan hasilnya tinggi. Urutan metode ini sebagai berikut :
Menyiapkan Batang Bawah
Kulit kayu ditoreh dari atas, lebar 1,5 cm panjang sekitar 5 cm. Kulit kayu ini disayat dengan sudut
45 . Caranya, kulit ditekan pada pisau dengan jari telunjuk sambil ditarik ke atas sampai ujung
torehan.
Menyiapkan Mata Okulasi
Dibuat sayatan dari bawah ke atas. Batas bawah sekitar 3 cm dari mata. Sayatan dibuat dengan
mengikutsertakan sebagian kayu, lebar 2 cm batas atas sekitar 3 cm dari mata. Kayu diangkat
dengan hati-hati dari ujung ke pangkal. Selanjutnya dibuat potongan mata okulasi dengan
panjang sekitar 4 cm dan lebar 1,5 cm.
Menempelkan Mata Okulasi
Lidah kulit batang bawah diangkat, kemudian mata tunas disisipkan ke dalamnya. Harus
diusahakan tepi mata tunas bersinggungan dengan tepi kulit batang bawah. Selanjutnya lidah
kulit ditutupkan ke mata-mata tunas dan diikat. Pengikatan dari bawah ke atas membentuk
susunan seperti genteng. Arah bukaan kulit batang bawah bisa dari atas ke bawah, tetapi
risikonya jika pengikatan tidak rapat, mata tunas sering busuk karena tergenang air hujan.
Dua minggu kemudian dilakukan pengamatan terhadap hasil okulasi dengan cara membuka tali,
mengangkat lidah kulit bawah tanah, dan menusukkan pisau atau kuku ke kulit mata okulasi, jika
mata okulasi masih berwarna hijau berarti okulasi jadi, tetapi jika berwarna cokelat berarti
okulasi gagal. Segera setelah pengamatan ini, dilakukan pengulangan terhadap okulasi yang
gagal, yakni di sisi lainnya.
Perlakuan selanjutnya untuk okulasi yang jadi adalah memotong lidah kulit pada batas di atas
mata dan menoreh kulit batang di atas tempelan utnuk memacu bertunasnya mata okulasi. Dua
minggu kemudian setelah mata okulasi kelihatan membesar (metir), batang bawah
dilengkungkan dengan cara menyayat batangnya di atas tempelan. Bentuk pemeliharan yang
diperlukan adalah membuang tunas-tunas yang tumbuh selain tunas mata okulasi, melindungi
tunas baru dari hama dan penyakit, serta melakukan penyiraman dan pemupukkan.

9

Pemotongan batang bawah yang dilengkungkan ini dilakukan setelah tunas okulasi cukup kuat
dan memiliki paling sedikit delapan lembar daun yang telah berkembang.
2.

Metode T atau T-Budding
Metode T ini digunakan secara luas dalam budidaya tanaman buah-buahan. Persyaratan umum
okulasi metode ini adalah diameter batang sudah mencapai 6-25 mm dan pertumbuhan batang
bawahcukup aktif, sehingga kulit batang mudah sekali dilepaskan dari bagian kayunya. Urutan kerja
metode ini sebagai berikut :
Menyiapkan batang Bawah
Dibuat irisan vertikal dengan panjang 2,5 cm. Selanjutnya dibuat irisan horisontal di ujung atas
irisan vertikal dengan lebar sekitar 1/3 lingkaran batang. Untuk membuka kulit, sebaiknya pisau
agak dicongkelkan.
Menyiapkan Mata Okulasi
Dibuat sayatan kulit bersama sebagian kayu dari 3 cm di bawah mata sampai 3 cm di atas mata.
Dibuat potongan mendatar 2 cm di atas mata hinga menembus kulit dan kayu untuk
memudahkan pengambilan mata. Kayu menempel pada mata dilepas dari ujung ke pangkal.
Menyisipkan Mata
Potongan mata disisipkan di bawah kulit batang bawah sampai batas atas dari mata dan torehan
batang bawah bertautan setelah itu diikat erat.

3.

Metode T terbalik
Metode ini lazimnya dilakukan jika okulasi dilaksanakan pada musim hujan guna mencegah genangan
air pada mata. Di samping itu metode ini dapat digunakan pada tanaman yang banyak mengandung
getah karena memungkinkan penghentian mengalirnya getah agar tidak mengganggu mata okulasi.
Pelaksanaan metode ini sama dengan metode T. hanya, dalam menyisipkan mata dilakukan dari
bawah ke atas. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah mata okulasi tidak sampai terbalik melawan
polaritas tanaman. Meskipun tunas okulasi terbalik tetap bisa tumbuh pertumbuhan dan
keguanannya kurang menguntungkan.

4.

Metode Jendela (Patch Budding)
Metode jendela membutuhkan waktu lebih lama dan lebih sukar dibandingkan dengan beberapa
metode di atas, serta memerlukan batang bawah yang diameternya besar. Di samping itu, dalam
metode ini luas bidang luka yang terjadi cukup besar, sehingga kemungkinan untuk berhasil menjadi
lebih kecil. Sehubungan dengan beberapa kelemahan tersebut metode ini jarang diaplikasikan pada
budidaya tanaman kakao.

D. Manajemen Pembibitan Kakao
Dalam uraian berikut akan diberikan contoh kebutuhan benih, bibit, dan luas areal tempat pembibitan
yang perlu disiapkan untuk rencana luas areal tertentu. Angka-angka yang dicantumkan bukan patokan
mati, tapi hanya merupakan gambaran yang dapat dipakai sebagai acuan.
1.

Kebutuhan Bibit Kakao untuk Areal Pertanaman 1 Ha
Tanah datar, jarak tanam 3 x 3 m = 1.111 pohon
Persediaan sulaman 20%
= 222 pohon
Jumlah
= 1.333 pohon atau 1.300 pohon (dibulatkan)
Bibit apkir 20% sehingga bibit yang harus disiapkan di pembibitan = 100/80 x 1.300 pohon =
1.625 pohon

10

Tanah miring, jarak tanam 4 x 2,5 m = 1.000 pohon
Persediaan sulaman 20%
= 200 pohon
Jumlah
= 1.200 pohon
Bibit apkir 20%, sehingga yang harus disiapkan di pembibitan = 100/80 x 1.200 pohon =
1.500 pohon
2.

Kebutuhan Benih Kakao untuk Areal Pertanaman 1 Ha
Asumsi : daya kecambah benih 90%, jumlah kecambah yang dapat dipindahkan 95%, dan jumlah bibit
yang dapat ditanam 80%. Jadi, kebutuhan benih kakao = 100/90 x 100/95 x 100/80 x Y = 1,46 Y (Y =
jumlah bibit kakao yang dibutuhkan).
Tanah datar, jarak tanam 3 x 3 m, kebutuhan benih 1.300 biji
Kebutuhan benih = 1,46 x 1.300 biji = 1.898 atau 1.900 butir
Tanah miring, jarak tanam 4 x 2,5 m, kebutuhan benih 1.200 benih
Kebutuhan benih = 1,46 x 1.200 biji = 1.752 atau 1.800 butir

3.

Kebutuhan Areal Pembibitan untuk Areal Pertanaman 1 Ha
Luas areal pembibitan yang efektif adalah 60% dari luas tanah yang harus disiapkan.
Jarak bibit (kantong plastik) = 15 x 15 cm = 44,44 bibit/m
Jarak tanam 3 x 3 m, sehingga memerlukan bibit 1.625 pohon.
Kebutuhan luas tanah pembibitan = 100/60 x 1.625/45 x 1 m
m
m
!
"
#
#
m
m
m

E.

Pola Tanaman dan Tumpang Sari
Usaha tani kakao selalu menghadapi resiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit serta
kondisi musim yang tidak mendukung produksi. Fluktuasi harga biji juga kadang menyebabkan pekebun
kakao menderita kerugian besar. Laju peningkatan faktor input yang pelan tetapi pasti, suatu saat tidak
bisa diimbangi oleh peningkatan harga jual produk. Konsekuensinya adalah pekebun selalu menyesuaikan
penggunaan faktor input pada tingkat yang optimal. Padahal tindakan ini berisiko menurunkan kesehatan
tanaman dan tingkat produksi.
Risiko kegagalan usaha tersebut dapat ditekan dengan menerapkan diversifikasi (penganekaragaman)
tanaman. Dalam budidaya kakao, peluang melakukan diversifikasi horizontal cukup luas karena tanaman
ini toleran terhadap penaungan. Pemakaian pohon penaung yang produktif serta tanaman sela yang tepat
merupakan bentuk diversifikasi yang sebaiknya dikembangkan.
Satu-satunya cara meningkatkan produktivitas di lahan kering adalah dengan tumpang sari
(intercropping). Tumpang sari menjamin berhasilnya penanaman menghadapi iklim yang tidak menentu,
serangan hama dan penyakit, serta fluktuasi harga.
Selain itu, dengan pola ini distribusi tenaga kerja dapat lebih baik sehingga sangat berguna untuk daerah
yang padat tenaga. Luas lahan pertanian terbatas, serta modal untuk membeli sarana produksi juga
terbatas. Dengan kata lain, usaha tumpang sari bearti meminimalkan risiko dan memaksimalkan
keuntungan.
Antar individu tanaman dan antar jenis tanaman yang diusahakan secara tumpang sari terjadi interaksi
dalam mencari faktor tumbuh cahaya, air, dan unsur hara. Interaksi ini sering disebut dengan kompetisi
(persaingan). Kompetisi akan lebih parah jika salah satu jenis tanaman mengeluarkan zat beracun atau
sebagai inang hama dan penyakit.
Keragaman penyebaran serta aktivitas sistem perakaran juga menjadi penyebab kopetisi. Dengan begitu,
persaingan tersebut sangat kompleks dan merupakan kumpulan dari semua proses yang mengakibatkan

11

tidak meratanya penyebaran faktor tumbuh antar individu tanaman. Memperhatikan faktor penyebab
kompetisi dan untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkannya, pemilihan jenis tanaman yang
diusahakan dalam tumpang sari merupakan langkah awal yang sangat penting.
Pengaturan jarak tanam dalam tumpang sari merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
langsung dengan tingkat tersedianya energi matahari dan sebaran sistem perakaran. Mengingat
konsentrasi perakaran kelapa terletak pada radius 2 m dari pokok pohon, maka jarak minimum tanaman
kakao dari pokok kelapa adalah 3 m. Walaupun akar lateral tanaman kakao tumbuh ke samping sampai
batas tajuk tanaman, tetapi distribusi akar yang terbanyak sampai jarak 90-120 cm dari pokok tanaman.
Thong dan Ng juga menyatakan 89% akar lateral kakao terdapat dalam radius 92 cm dari pokok pohon.
Karena itu jarak kakao ke tanaman kelapa selebar 3 m tersebut dipandang cukup optimal. Selain aspek
dari sistem perakaran, persaingan dalam pengunaan cahaya matahari juga perlu mendapat perhatian
besar. Jarak tanam kelapa monokoltur yang optimum adalah 8 x 8 m (156 pohon/ha) atau 9 x 9 m (123
pohon/ha). Dengan jarak tanam tersebut populasi kelapa dianggap terlalu banyak untuk pola tanam
tumpang sari. Jika tanaman kelapa telah terlanjur ditanam dengan jarak tanam yang normal, pekebun
dapat memotong beberpa pelepahnya untuk mendapatkan intensitas cahaya yang cukup bagi kakao.
Dalam pola tanam tumpang sari, jadwal tanam memegang peranan penting karena melibatkan banyak
tanaman yang menghendaki syarat tumbuh yang berbeda. Karena sifat fisiologis tanaman kakao
menghendaki naungan sebelum ditanam pohon pelindung harus sudah berfungsi baik. Peranan pohon
pelindung (penaung) bagi tanaman kakao muda sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dan
produksi.
Untuk mendapatkan pelindung yang cukup, minimum satu tahun sebelum bibit kakao dipindahkan ke
kebun, bibit kelapa harus ditanam. Lebih baik lagi jika kelapa ditanam 3-4 tahun sebelumnya.
Penanaman kelapa yang lebih awal bertujuan agar pertumbuhan tajuk kelapa tidak mengganggu
pertumbuhan kakao.
Penaung sementara Gliricidia sp ditanam bersamaan dengan tanam kelapa atau satu tahun sebelum
menanam sebelum menanam kakao. Gliricidia sp diperlakukan sebagai tanaman penaung sementara
karena nantinya akan dibongkar setelah tajuk kelapa berfungsi optimal.
Pertumbuhan cabang Gliricedia sp perlu diatur sehingga memberikan perlindungan yang cukup. Pada
umur tiga bulan, cabang Gliricedia sp cukup disisakan 3-4 cabang yang arah pertumbuhannya ke atas.
Setelah bibit kakao ditanam, tanaman penaung Gliricidia sp perlu dikurangi percabangannya setiap tiga
bulan dengan meninggalkan tiga cabang dan menyisakan satu cabang ketika kakao berumur sembilan
bulan. Setelah kakao mulai berbunga (umur 18 bulan) populasi Gliricidia sp dikurangi setengahnya.
Setelah kakao berumur empat tahun, semua Gliricidia sp yang masih tersisa dimusnahkan karena
tanaman kelapa telah berfungsi baik sebagai penaung.

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

1
1
1

: Kelapa, Jarak tanam 9 m x 9 m, populasi 123 pohon/ha
1 : Kakao, Jarak tanam 3 m x 3 m, populasi 1.100 pohon/ha
Gambar : Bagan tata tanam akhir kakao dan kelapa yang memerlukan pengaturan
pada pelepah kelapa dewasa

12

0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

: Kelapa, Jarak tanam 12 m x 12 m, populasi 169 pohon/ha
: Kakao, Jarak tanam 3 m x 2 m, populasi 1.667 pohon/ha
Gambar : Bagan tata tanam akhir kakao dan kelapa secara standar

IV.

PENGOLAHAN KAKAO
Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao, karena dalam proses ini terjadi
pembentukan calon citarasa khas kakao dan pengurangan citarasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit
dan sepat.
Mengingat pentingnya arti pengolahan terhadap mutu biji kakao kering, maka para produsen hendaknya
mengusahakan agar biji kakaonya diolah dengan baik untuk memperoleh harga yang lebih tinggi dan
memperkuat daya saingnya di pasaran.
Proses pengolahan biji kakao terdiri dari 2 metode :
a. Metode Konvensional
b. Metode Sime Cadbury
Pada prinsipnya kedua metode tersebut tidak terlalu berbeda, tetapi khusus pada kakao lindak dengan
metode konvensional dihasilkan biji kakao yang mempunyai tingkat keasaman lebih tinggi sedangkan citarasa
khas kakao relatif lebih rendah. Untuk mengatasinya disarankan mengolah biji kakao dengan metode Sime
Cadbury dan ini dapat dilaksanakan pada perusahaan besar (PTP dan PBS)

13

Tahapan-tahapan proses pengolahan kakao terlihat pada skema berikut :
SKEMA PENGOLAHAN KAKAO

PANEN

PANEN

SORTASI

SORTASI

PEMERAMAN
BUAH 5-12 HARI

PEMECAHAN BUAH

PEMECAHAN

FERMENTASI

FERMENTASI
PENCUCIAN

PENGHEMBUSAN

PENUTASAN

PENGHEMBUSAN

PENJEMURAN

SORASI

PENJEMURAN
PENGERINGAN
ALAT/BUATAN

PENYIMPANAN

SORASI

PENYIMPANAN

METODE
KONVENSIONAL

Catatan : Sebagian produsen tidak melakukan
pencucian/penutasan

14

A. Pemeraman
Pemeraman buah bertujuan
ertujuan, untuk memperoleh keseragaman kematangan
angan buah
b
dan memudahkan
pengeluaran biji dari buah ka
kakao.
Caranya : buah dimasukkan
asukkan ke dalam keranjang rotan atau sejenisnya disimpan di tempat yang bersih
dengan alas daun-daunan
unan da
dan permukaan tumpukan ditutup dengan daun-daunan
daunan.
Pemeraman dilakukan
n di tempat
tem
yang teduh lamanya sekitar maksimum 1 minggu
minggu.

Gambar : Pemeraman buah di dalam keranjangg rotan

Gambarr : Peme
Pemeraman buah kakao di kebun dengan penutup daun kakao
ka
kering
B. Pemecahan Buah
Pemecahan atau pembelaha
mbelahan buh kkao harus dilakukan secara hati-hati,
ti, janga
jangan sampai melukai atau
merusak biji kakao.
Caranya :
ngan me
menggunakan parang pemukul kayu atau memukulkan
ukulkan buah satu sama lainnya;
1. Buah dipecah dengan
2. Biji kakao dikeluarkan,
arkan, se
sedangkan empulur yang melekat pada biji dibuang;
uang;
3. Biji kakao yang sudah
udah dik
dikeluarkan dimasukkan ke dalam ember plastikk atau tempat
te
lain yang bersih;
4. Harus dihindarkan
an konta
kontak biji kakao dengan benda-benda logam, karena
rena dapat
dap menyebabkan warna
kakao menjadi kelabu.
elabu.

Gamba : Cara membelah buah dengan menggunakan
Gambar
an paran
parang

15

Gambar : Cara memecahkan
m
buah kakao dengan memukulkan sesama buah kakao

Gambar : Cara memecahkan
m
buah kakao dengan memukulkan sesama
ama buah kakao

C.

Fermentasi
Tujuan fermentasi adalah
alah :
1. Mematikan lembaga
2. Menghancurkan pulp
3. Menimbulkan aroma
oma (membentuk
(me
calon aroma)
4. Memperbaiki warna
rna biji

Wadah/alat fermentasi
asi yang diperlukan :
1.
2.
3.

Kotak pemeraman
an yang berlubang
b
atau keranjang bambu
Daun pisang
Karung goni

16

Caranya :
1.

Fermentasi dengan kotak/peti fermentasi :
a. Biji kakao dimasukkan ke dalam kotak fermentasi yang berukuran panjang 60 cm, lebar 60 cm
dan tinggi 40 cm (kotak menampung ± 100 kg biji kakao basah) dan ditutup dengan karung
goni/daun pisang
b. Pada hari ke-3 (setelah 48 jam) diadakan pembalikan agar fermentasi biji merata.
c. Pada hari ke-6 biji-biji kakao dikeluarkan dari kotak fermentasi dan siap untuk dijemur.

Gambar : Fermentasi dengan peti/kota fermentasi berlubang
2.

Fermentasi dengan keranjang
a. Sebelum biji kakao dimasukkan keranjang, terlebih dahulu keranjang dibersihkan dan dialasi
dengan daun pisang (keranjang menampung ± 50 kg kakao basah).
b. Setelah biji kakao dimasukkan keranjang ditutup dengan daun pisang.
c. Pada hari ke-3 diadakan pembalikkan biji dan pada hari ke-6 biji-biji dikeluarkan dan siap untuk
dijemur.

Gambar : Fermentasi biji kakao dengan keranjang bambu yang dilapisi daun untuk wadah fermentasi
kakao
3.

Fermentasi dengan mempergunakan alas daun pisang
a.
b.
c.
d.

Daun pisang diletakkan di atas ranting-ranting kayu
Kemudian biji kakao ditumpuk sekitar 40 cm dan ditutup lagi oleh daun
Pada hari ke-3 (setelah 48 jam) biji-biji kakao dipindahkan pada alas daun pisang segar di tempat
yang baru
Tumpukan difermentasi selama 5 hari

Gambar : Fermentasi biji kakao di atas daun pisang

17

D. Perendaman dan Pencucian
Proses ini tidak mutlak dilakukan tergantung kebiasaan dan permintaan konsumen. Tujuan perendaman
dan pencucian adalah menghentikan proses fermentasi dan memperbaiki kenampakan biji. Biji yang tidak
dicuci memberikan kenampakan yang kurang menarik, sedang pencucian bersih meningkatkan jumlah biji
pecah dan mengurangi rendaman. Dalam hal ini disarankan agar melakukan pencucian setengah bersih,
cara ini dapat memperbaiki kenampakan fisik, mempercepat pengeringan tanpa terlalu banyak
menurunkan rendaman.
Sebelum pencucian dilakukan perendaman ± 3 jam untuk meningkatkan jumlah biji bulat dengan
kenampakan menarik dan warna coklat cerah. Pencucian dapat dilakukan secara manual (dengan tangan)
atau menggunakan mesin cuci.
E.

Pengeringan biji kakao
Tujuan pengeringan adalah menurunkan kandungan air biji basah dari sekitar ± 60% menjadi ± 7,5%.
Pengeringan biji kakao ada 3 cara yaitu dengan penjemuran pada sinar matahari, memakai alat
pengeringan dan kombinasi keduanya.
1.

Penjemuran dengan sinar matahari
a.
b.
c.
d.

Biji kakao dijemur di atas balai bambu dengan ketinggian ± 1 m dari tanah atau di atas alas
tikar/sesek bambu.
Tebal lapisan/komponen biji ± 3 cm
Biji kakao dibalik setiap 1-2 jam sekali supaya pengeringan merata.
Lama penjemuran tergantung keadaan cuaca dan tebalnya hamparan biji, biasanya berlangsung
7-10 hari.

Gambar : Penjemuran biji kakao
2.

Pengeringan dengan alat pengering buatan
a.
b.
c.
d.
e.

Alat pengering yang biasa digunakan adalah rancangan BPP-Bogor (Stasioner dan mobil)
Kapasitas unit pengering stasioner : 25-35 kg biji kakao basah.
Tebal lapisan-lapisan 10-20 cm.
Biji kakao setiap 1-2 jam dibalik supaya pengeringan merata
Lama pengeringan dengan ± 48 jam dengan suhu 55 -60 $

18

3.

Kombinasi pengeringan dengan sinar matahari dan alat pengering buatan
a.
b.

Biji kakao terlebih dahulu dijemur dengan sinar matahari selama dua hari
Kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering sampai diperoleh kadar air ± 7,5%

Cara menentukan selesainya proses pengeringan biji kakao adalah :
1.
2.
F.

Melihat kekerasan kulit/keping biji, biji kakao yang sudah kering mudah patah/rapuh apabila
ditekan antara ibu jari dan telunjuk
Menggunakan alat pengukur kadar ai

Sortasi
1.
2.
3.

Sortasi biji kakao kering dimasukkan untuk memisahkan antara biji baik dan cacat yang berupa : biji
pecah, kotoran atau benda asing lainnya (batu, kulit dan daun-daunan)
Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari dikeringkan agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak terlalu
rapuh dan tidak mudah rusak
Sortasi dilakukan dengan ayakan yang dapat memisahkan biji kakao dari kotoran-kotoran

G. Pengemasan dan Penyimpanan Biji
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Biji kakao dikemas dengan baik di dalam wadah bersih dan kuat, biasanya menggunakan karung goni
dan tidak dianjurkan menggunakan karung plastik
Biji kakao jangan disimpan dengan produk pertanian lainnya yang berbau keras, karena biji kakao
dapat menyerap bau-bauan tersebut
Biji kakao jangan disimpan di atas para-para dapur, karena dapat mengakibatkan biji kakao berbau
asap
Biji kakao disimpan dalam ruangan, dengan kelembaban tidak melebihi 75%, ventilasi cukup dan
bersih
Antara lantai dan alas wadah diberi jarak ± 8 cm dan dari dinding ± 60 cm
Biji kakao dapat disimpan ± 3 bulan.

H. Standarisasi
Standar mutu biji kakao disusun sebagai pedoman pengolahan biji kakao pada tingkat petani, sebagai
dasar penetapan harga pada tingkat petani/produsen dan dapat menjamin serta memenuhi kepentingan
produsen, kalangan dagang maupun industri pengguna.
Tabel. Standar Nasional Biji Kakao
(SNI 01 – 2333 – 2000)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Karakteristik
Jumlah biji/100 gr
Kadar air, % (b/b) maks
Berjamur, % (b/b) maks
Tak terfermentasi, % (b/b) maks
Berserangga, hampa, berkecambah, % (b/b) maks
Biji pecah, % (b/b) maks
Benda asing, % (b/b) maks
Kemasan kg, netto/karung

Mutu I
7,5
3
3
3
3
0
62,5

Mutu II
7,5
4
8
6
3
0
62,5

7,5
4
8
6
3
0
62,5

Keterangan :
Ukuran biji ditentukan oleh jumlah biji per 100 gr
AA jumlah biji per 100 gram maksimum 85
A jumlah biji per 100 gram maksimum 100
B jumlah biji per 100 gr maksimum 110
C jumlah biji per 100 gram maksimum 120
Sub standar jumlah biji per 100 gram maksimum > 120

19

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1993, Pengolahan kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI.
Anonimus, 2004, Kakao (theobroma cacao L), Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Departemen Pertanian RI.
Anonimous, 2007, Prospek dan Arah Pembangunan Agrisbisnis Kakao, Badan Pengembangan dan Penelitian
Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development), Departemen Pertanian RI
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi permasalahan
praktis), PT. Agromedia Pustaka.
Sri Mulato dkk, 2005, Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,
Jember.
Tjitrosoepomo, Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Tumpal H.S. Siregar dkk, 2006, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat, Penebar Swadaya Jakarta.
Wood, G.A.R, 1975, Cocoa Tropical Agriculture Series, 3 Ed, London, Longmans.

20