UTS MKP 2011 Paper .doc

Resensi Buku

Dialog Intra Religius
Raimundo Panikkar

Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Pilihan Teologi Dialog Intra Religius
Dosen:
Fr. Frans Harjosetiko, BHK.

Marcellius Ari Christy
(09.09042.000071)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI
WIDYA SASANA MALANG
2011
0

Resensi Buku


Dialog Intra Religius
Salah satu tantangan pelayanan pastoral saat ini ialah kompleksnya pluralisme dalam
masyarakat modern. Pluralisme telah merasuki berbagai bidang kehidupan manusia. Hidup
keagamaan dan keberimanan masyarakat pun semakin diwarnai oleh pluralisme agama dan
kepercayaan. Kehidupan spiritual masyarakat dalam aneka bentuk ungkapan iman ini
membawa warna baru dalam interaksi sosial masyarakat baik secara positif maupun negatif.
Tak dapat dipungkiri keberagaman ungkapan iman ini tidak hanya membawa perkembangan
bagi masing-masing agama dan kepercayaan, melainkan juga tantangan atau bahkan ancaman
bagi agama atau kepercayaan tertentu khususnya mereka yang menjadi minoritas dalam suatu
masyarakat. Di tengah perkembangan kehidupan sosial yang semakin kompleks, konflik
horizontal berbau agama boleh dikatakan kian rentan merebak.
Melihat kenyataan ini, dialog di antara agama dan kepercayaan menjadi aktual untuk
dibahas. Sayangnya dialog yang dilakukan sebatas pada ajaran dan doktrin agama jarang
pernah menyelesaikan persoalan di tengah-tengah umat. Perdebatan yang didasari ajaranajaran agama tertentu sering kali malah dijadikan senjata untuk menjatuhkan agama atau
kepercayaan lain bahkan memunculkan anathema kesesatan. Sudiarja, editor buku Dialog
Intra Religius, menyebutkan dalam pengantarnya bahwa Panikkar – melalui judul buku yang
dipilihnya – hendak mengarahkan orang pada refleksi pribadi dan melihat kembali
pengalaman agamanya sendiri, bukan pengalaman agama orang lain dalam rangka dialog.
Bukan ajaran agama, melainkan hidup keberimanan manusia yang menjadi dasar dialog intra
religius.

Panikkar mendahului tulisannya dengan retorika dialog di mana ia menyajikan tiga
macam sikap yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan paralelisme. Eksklusivisme merupakan
sikap di mana hanya ada satu agama yang benar, satu ungkapan iman yang benar, sementara
yang lain tidak benar. Meskipun sikap ini tidak serta-merta mengutuk kepercayaan lain
sebagai agama tanpa rahmat, sikap ini dapat menimbulkan bahaya intoleransi, kesombongan
dan penghinaan terhadap kepercayaan lain. Inklusivisme merupakan sikap yang memuat
keluhuran budi di mana seseorang dapat mengikuti jalannya sendiri tanpa mengutuk yang
lain, tetapi justru mempererat persekutuan dengan berbagai kepercayaan. Meskipun
demikian, sikap ini masih dapat menimbulkan kesombongan yang dapat dilihat oleh orang di
luar diri penganutnya. Sementara sikap ketiga ialah paralelisme, yaitu sikap di mana
seseorang menyadari bahwa agamanya tidak sempurna sebagaimana agama yang lain, tetapi
memiliki kesejajaran dalam tujuan akhir perziarahan manusia. Sikap ini hampir serupa
dengan konsep pluralisme dalam perkuliahan Teologi Intra Religius. Perbedaannya terletak
pada penjelasan Panikkar bahwa sikap paralelisme menghindari sinkretisme dan eklektisisme,
kendati tetap ada kesulitannya yaitu munculnya sikap yang mengandaikan kecukupan diri
sehingga menyangkal adanya kebutuhan untuk saling belajar. Sementara itu, argumen kontra
dalam sikap pluralisme menunjukkan adanya bahaya relativisme, sehingga perlu dicari
kriterium yang tepat untuk memperjelas mana yang salah dan benar. Sayangnya, Panikkar
tidak menyebutkan sikap dialektisme di mana di situ disebutkan bahwa keselamatan hanya
ada dalam Kristus. Barangkali Panikkar ingin menyajikan pada bagian awalnya sikap yang

tidak terlalu condong ke agama tertentu.
Selanjutnya, masih dalam pendahuluannya, Panikkar menyajikan tiga macam model.
Model pertama ialah model fisika (pelangi) di mana “konteks” ditekankan sebagai hal
penting dalam memperbandingkan kebenaran agama. Ragam agama muncul karena adanya
pembelokan cahaya keselamatan. Pada model kedua, model geometri (invarian topologi),
ragam agama muncul karena transformasi topologis. Model yang ketiga ialah model
antropologi (bahasa) yaitu teori yang melihat asal dan hakikat agama merupakan kenyataan
1

manusiawi, yaitu bahasa. Setiap agama adalah lengkap sebagaimana setiap bahasa. Seperti
bahasa, agama juga siap mengalami evolusi tatkala berjumpa dengan bahasa-bahasa lainnya.
Sebagai kesimpulan dalam bab pertamanya, Panikkar menyajikan pluralisme. Tujuan
dialog intra religius ialah pemahaman bukan untuk saling mengalahkan atau mencari titik
temu yang mutlak, melainkan untuk menjembatani kesalahpahaman di antara agama-agama.
Pada bab berikutnya, Panikkar menyajikan iman dan kepercayaan sebagai pengalaman
banyak agama. Ia melihat problem ekumenis dewasa ini yang ternyata belum memenuhi
makna ekumenis itu sendiri. Ekumenisme masih dilihat secara sempit, hanya sampai pada
pengakuan sebagai manusia dan kebebasan berpendapat dengan aman dalam kelompok lain.
Panikkar menggunakan gambaran paroki untuk menggambarkan suatu communio di antara
pemeluk agama-agama yang berbeda. Pertemuan ini menjadi semacam terjemahan ke dalam

bahasa tertentu. Maka hal penting yang menjadi syarat dialog adalah pemahaman satu sama
lain, tujuannya ialah membuka lapisan pengandaian sendiri dan orang lain. Keyakinan
masing-masing pelaku dialog memperoleh dasar yang lebih kritis terkait apa yang dipegang
benar. Hal ini bisa saja dialami seseorang dari dalam agama itu sendiri, namun tuntutan untuk
melakukannya cukup besar. Masuk dalam suatu agama bukanlah coba-coba namun sungguh
berasal dari ketulusan hati untuk menghayati imannya, bukan pula karena pelarian dari
ketidakpuasan terhadap agamanya semula. Iman orang tersebut harus kuat dan orang tersebut
memang mampu untuk taat dan setia, karena fungsi iman itu ialah menghubungkan manusia
dengan yang transenden.
Pada bab tiga, Panikkar menunjukkan aturan main dalam perjumpaan agama. Seseorang
harus bebas dari apologi khusus yang membela pembenaran atas diri dan kepercayaannya. Ia
juga harus bebas dari apologi umum yang kurang percaya pada kebenaran agama itu sendiri
dan menunjukkan tuduhan yang tidak adil melawan manusia. Dalam perjumpaan agama,
orang juga harus berani bertobat, taat secara penuh pada kebenaran dan terbuka pada
kenyataan. Adanya dimensi historis dalam perjumpaan agama, memang penting namun tidak
mencukupi, karena agama bukan sekadar perjumpaan dengan Sang Ilahi, tetapi juga dengan
manusia di sekitar agama tersebut tumbuh dan hidup. Yang menjadi pokok ialah iman yang
hidup dan mempunyai tuntutan untuk setia. Iman merupakan hidup yang tidak dapat ditiru
oleh masa lampau maupun masa depan. Maka perjumpaan agama di sini merupakan peristiwa
keagamaan dan bukan sekadar kongres filsafat. Perjumpaan ini jauh dari masalah akademis.

Prinsipnya ialah (1) homogenitas, di mana suatu konsep dapat dipahami dan dievaluasi secara
tepat dari konteks yang sama; (2) dialogal, untuk menyadarkan kita dari ide-ide yang tidak
kritis tanpa dasar; (3) ko-ordinasi, karena suatu prinsip akan menjadi mandul jika berdiri
sendiri. Sebaliknya, prinsip yang saling menopang, justru akan memberikan pemahaman
yang lebih integral. Perjumpaan agama juga bukan sekadar simposium teologis di mana
ajaran-ajaran agama disamakan begitu saja dan bukan pula sekadar refleksi teologis.
Perjumpaan agama juga bukan ambisi para pemuka agama. Perjumpaan agama merupakan
suatu peristiwa yang terjadi dalam iman, harapan, dan kasih. Iman, maksudnya, sikap yang
melampaui data dan rumusan dogmatis. Harapan juga ditujukan kepada segala hal, terutama
untuk melampaui ikatan-ikatan manusiawi kita. Cinta menjadi gerak hati, kekuatan yang
mendorong orang untuk mencari dalam dirinya apa yang kurang, merindukan pengenalan
akan kebenaran, tanpa menghapus perbedaan.
Epoché: Dalam Perjumpaan Keagamaan hendak menggambarkan ide Panikkar tentang
bagaimana seseorang hendak “menempatkan imannya” dalam rangka perjumpaan agama ini.
Panikkar hendak menunjukkan bahwa dialog batin yang melibatkan seluruh kepribadian
manusia merupakan kondisi yang perlu untuk suatu pertemuan agama-agama yang nyata dan
menjanjikan hasil. Epoché di sini diartikan sebagai sikap mengesampingkan keyakinankeyakinan agama pribadi, menolak memberi keputusan mengenai validitas pendirianpendirian religiusnya sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah dominasi dari pihak mana pun
2

tanpa prasangka. Singkatnya seseorang rela “melepaskan” sejenak entah sebagian atau

keyakinan akan imannya demi dialog yang nyata. Prakteknya, hal ini secara psikologis tidak
dapat dilaksanakan. Orang tidak dapat berdialog jika ia “melepaskan” imannya. Secara
fenomenologis juga tidak tepat karena halangan psikologis tadi. Secara filosofis pun tidak bisa
diterapkan untuk dialog, karena hal yang pokok dalam iman tidak bisa “dipindah” begitu saja,
sementara iman itulah yang menjadi pokok dialognya. Secara teologis lemah karena justru
pemahaman fundamental menjadi kabur, iman dilihat sebagai benda sakral yang harus
disingkirkan dulu untuk membicarakan iman itu sendiri. Secara religius, epoché itu mandul,
karena dengan epoché tersebut pokok dialog dengan sendirinya tersingkir dari ranah dialog.
Lantas bagaimanakah perjumpaan agama yang sejati? Panikkar memaparkan solusi bahwa
dialog religius harus menjadi dialog yang otentik, tanpa superioritas, tanpa praduga, tanpa
motif tersembunyi dari masing-masing pihak. Dialog juga harus bersifat religius, bukan
sekadar tukar doktrin atau wacana akademis. Artinya dialog harus bergerak dari dasar sikap
religius yang sama dasarnya dengan sesama mitra dialog.
Menjelang akhir bab, Panikkar menyajikan Kategori “Pertumbuhan” dalam
Perbandingan Agama. Ia hendak mengatasi godaan untuk membela diri. Pada subbab yang
pertama ia bahkan mengatakan bahwa ia malah melakukan “metode yang salah total” karena
mengguna-kan Hinduisme untuk menjelaskan Kristianisme. Namun kembali pada maksud
awalnya bahwa tidak ada pembelaan agama manapun dalam buku ini. Pertama, Panikkar
menunjukkan adanya pemanfaatan unsur-unsur agama lain – dalam hal ini Hinduisme –
untuk menjelaskan Kristianitas, sama halnya dengan Kekristenan yang memakai unsur-unsur

filsafat Yunani untuk menjelaskan ajaran Kristen awali. Kedua, adanya penafsiran Kristen
untuk melihat agama-agama lain, meskipun hal ini berisiko menuai banyak kritik
ketidakpuasan. Oleh karena itu, Panikkar melihat pula pentingnya filsafat agama untuk
memahami hal-hal tersebut. Akhirnya Panikkar menunjukkan persoalan utama dialog antaragama ini yaitu pertumbuhan. Demikianlah seharusnya suatu dialog membawa pertumbuhan
dalam keberimanan para penganut agama dan kepercayaan yang turut serta dalam dialog
tersebut. Pertumbuhan di sini berarti kontinuitas dan kemajuan, termasuk pula transformasi
dan evolusi, atau bahkan mutasi dalam penghayatan iman manusia.
Akhir buku Panikkar ditutup dengan Śūnyatā dan Plēróma: Jawaban Budha dan Kristen
Mengenai Nasib Manusia. Pada bagian ini ia menegaskan arti agama yaitu jalan yang
ditempuh manusia demi mencapai tujuan hidup. Singkatnya, agama adalah jalan keselamatan.
Semua agama – dalam bab ini Budha, Hindu, maupun Kristen – sama-sama berpihak pada
pembebasan manusia dari dukha dan samsara. Sunyata sebagai tujuan akhir ialah
kehampaan, di mana itulah kodrat terakhir dari segala sesuatu. Sementara Pleroma dalam
kekristenan adalah kepenuhan, tujuan akhir manusia dan segala ciptaan. Keduanya
mengarahkan manusia pada hal yang sama, (tujuan) akhir segalanya. Perjumpaan agamaagama hendaknya menjadi suatu proses pemanusiaan manusia, maksudnya ialah sungguh
masuk pada kedalaman realitas manusia serta partisipasinya dalam keseluruhan nasib segala
apa yang ada, yang terjadi di dalam dan di luar manusia. Kesadaran akan nasib manusialah
yang akhirnya membawa manusia terus-menerus berusaha mengatasi semua yang merupakan
manusia sekarang. Salah satu tindakan keagamaan yang paling otentik akhirnya ialah
kejujuran dan keterlibatan total dengan segala risiko, ketidakpastian dan kegirangan yang

menyertainya. Demikianlah perjumpaan agama-agama dipahami dan dimaknai dalam buku
Dialog Intra Religius karangan Raimundo Panikkar ini.
Dialog Intra Religius
Raimundo Panikkar
Yogyakarta: Kanisius, 1994
152 halaman
Editor: Dr. A Sudiarja
3