Komoditas Kelapa Sawit dan Karet dalam P

Dionuntuktanah's Blog
Just another WordPress.com weblog
Skip to content
 Beranda
 About

Penanggulangan Erosi Melalui Teknik Konservasi Tanah dan Air →

Komoditas Kelapa Sawit dan Karet
dalam Perspektif Manajemen
Agribisnis Indonesia
Posted on Juni 1, 2009 | Tinggalkan komentar
KOMODITAS KELAPA SAWIT
I. Lahan Pendukung Komoditas Kelapa Sawit
Lahan perkebunan kelapa sawit sangat ditunjang oleh ketersediaan dan penyebaran
luas. Pada tahun 2005 areal Perkebunan Rakyat (PR) sekitar 2.202 ribu ha
(40,44%), Perkebunan Besar Negara (PBN) 630 ribu ha (11,58%), Perkebunan
Besar Swasta (PBS) 2.613 ribu ha (47,98%). Sumatera mendominasi ketiga jenis
pengusahaan, sedangkanKalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan
perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Selain itu untuk tahun 2006 lahan
perkebunan kelapa sawit diproyeksikan mencapai 6.046 ribu ha (Ditjenbun dan

PPKS, 2006 dalam Balitbang Deptan RI, 2007).

Lahan yang berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian Lahan
(KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (> 75%) dan sesuai bersyarat ( pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara
lain :
 Solum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas

 Aerase dan drainase cukup
 Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air
 Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir
 Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm
 Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro
 Reaksi tanah dengan pH 4,5 – pH 6,5
 Kemiringan tanah < 16% dan
 Permukaan air tanah < 100 cm.
Kriteria lain sebagai pendukung komoditas karet antara lain
 Tinggi Tempat Ketinggian tempat optimal untuk pertumbuhan tanaman karet
adalah 1—200 m di atas permukaan laut, dengan batas toleransi maksimal
500 m dpl.
 Topografi, tanaman karet sebaiknya tidak diusahakan pada lereng yang

terjal, dengan kemiringan maksimal 450. Pada kemiringan 200-280 harus
dibuat teras kontour.
 Drainase, tata udara tanah harus baik dan tidak tergenang
 Jenis Tanah. Jenis tanah yang sesuai untuk pertanaman karet adalah tanah
latosol, podsolik merah kuning, dan tanah-tanah alluvial
 Kedalaman air tanah tidak terlalu dangkal, sampai batas tertentu makin
dalam makin baik
 Keasaman tanah (pH). Kisaran kebutuhan pH tanah untuk pertumbuhan
tanaman karet adalah 3,8-8,0, dengan pH optimal 5-6.
 Solum tanah dalam, dengan kedalaman padas yang dapat ditolerir adalah 2-3
Meter
1. II. Karakteristik Iklim Perkebunan Karet

 Curah hujan: 1500-3000 mm, dengan distribusi merata/ terbagi dalam 110150 hari hujan, dengan bulan kering tidak lebih dari 2 bulan.
 Temperatur: Temperatur yang baik 24-28 0C
 Penyinaran matahari: optimum 5-7 jam per hari.
 Kelembaban: Kelembaban yang tinggi sangat diperlukan untuk pertumbuhan
tanaman karet.
1. III. Biaya Produksi (Cost Production) Usaha Komoditas Karet
.

A. Investasi dan Anilisis Finansial Usaha Perkebunan Karet
Tanaman karet memerlukan waktu 5-6 tahun untuk dapat disadap, oleh karena itu
pembangunan perkebunan karet memerlukan investasi jangka panjang dengan
masa tenggang 5-6 tahun. Biaya investasi dan pemeliharaan TBM dan TM dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Biaya Investasi Karet dan Pemeliharaan TBM dan TM (1 ha)

URAIAN

1. Biaya sertifikasi lahan

BIAYA
(Rp/ha)
400.000

2. Pembukaan lahan dan penanaman

7.449.888

3. Pemeliharaan TBM (th 1-5)


12.664.125

TOTAL BIAYA INVESTASI (TBM)

20.514.013

4. Biaya Pemeliharaan TM: per tahun
4.347.500

Umur 6 – 15 tahun

3.774.500

Umur 16 – 25 tahun

3.349.000

Umur 26 – 28 tahun


2.305.750

Umur 29 – 30 tahun

Dengan asumsi tingkat produksi rata-rata 1.576 kg karet kering/ha/tahun, harga
FOB SIR 20 : US $ 1,70/kg dan kurs: Rp 9.000/US $ (awal tahun 2006) dan harga
di tingkat petani 80% FOB, dilakukan perhitungan kelayakan finansial usaha
perkebunan karet diukur dengan tingkat Internal Rate of Return (IRR), Net Present
Value (NPV) dan B/C ratio. Bila IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang
diberlakukan yaitu 18%, maka usaha perkebunan karet layak secara finansial. Bila
NPV lebih besar dari nol (positif) maka usaha adalah layak, pada
discount rate yang ditentukan yaitu sebesar 18%. Perhitungan nilai IRR dan NPV
berdasarkan pada arus kas selama 30 tahun dengan asumsi biaya tetap, namun
harga jual menggunakan 3 skenario yaitu: harga naik 20%, harga saat ini dan harga
turun 10%, adalah seperti yang tertera di Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa
proyek pada tingkat bunga 18% usaha perkebunan karet masih layak, demikian
juga pada saat harga karet turun 20%, nilai NPV masih positif dan IRR lebih dari
18%. Apabila ada skim kredit yang tingkat bunganya lebih rendah (14%), maka
tingkat kelayakan usaha akan semakin tinggi.
Tabel 5. Hasil Analisa Finansial Pembangunan Kebun Karet (1 ha).


Skenario (bunga= 18%)

NPV
B/C
IRR (%)
(juta Rp)
rasio

 Harga jual karet naik 20%

26.6

34.5

1.30

 Harga jual saat ini (awal tahun
2006)


19.2

31.5

1.17

 Harga jual karet turun 10%

Skenario ( bunga = 14%)

11.7

27.4

1.05

IRR
(juta Rp) (%)

B/C

rasio

NPV

 Harga jual karet naik 20%

47.6

34.5

1.33

 Harga jual saat ini (awal tahun
2006)

35.8

31.5

1.20


 Harga jual karet turun 10%

24.0

27.4

1.07

1. Perluasan Kebun
Selama lebih dari tiga dekade ( 1970-2005 ), areal perkebunan karet di Indonesia
meningkat sekitar 1.27 % per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada
areal karet rakyat ( ± 1,6 % pertahun ). Sedangkan pada perkebunan besar negara
dan swasta cenderung menurun (Tabel 1). Dengan luasan sekitar 3.3 juta ha pada
tahun 2005, mayoritas (85 %) perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan
rakyat, yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa. Dari
keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar ( 91% dikembangkan
secara swadaya murni, dan sebagaian kecil lainnya yaitu sekitar 288039 ha (9%)
dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP berbantuan, Patrial dan swadaya
berbantuan

Tabel 1 pertumbuhan luas karet di Indonesia 1970-2005
Areal ( 000 ha)
Deskripsi
1970

%

2005

%

Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta

1.613

78

224


10

281

12

2.767

85

238

7

275

8

2.318

100

3.280

100

Namun demikian secara umum produktivitas karet rakyat masih relatif rendah (796
kg/ha/th) bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara (1.039
kg/ha/th) maupun swasta (1.202 kg/ha/th). Hal ini, antara lain, disebabkan sebagian
besar (>60%) tanaman karet petani masih menggunakan bahan tanam asal biji
(seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman
karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total areal). Pada saat
ini sekitar 400 ribu ha areal karet tidak produktif karena dalam kondisi tua dan
rusak. Selain itu sekitar 2-3% dari areal tanaman menghasilkan (TM) yang ada
setiap tahun akan memerlukan peremajaan. Dengan kondisi demikian, sebagian
besar kebun karet rakyat masih menyerupai hutan karet.
Biaya yang diperlukan untuk mengembangkan komoditi karet ke depan mencakup
kebutuhan biaya peremajaan karet non-produktif dan perluasan. Untuk biaya
pembangunan kebun peremajaan diperlukan biaya minimal Rp. 15,6 juta/ha,
sedangkan perluasan sebesar Rp. 16,95 juta/ha. Biaya tersebut diperlukan untuk
pembongkaran tunggul, pengadaan bibit, penanaman, pupuk dan pestisida,
tanaman sela, dan pemeliharaan tanaman. Kebutuhan biaya dalam kurun waktu
2006-2010 untuk peremajaan adalah sekitar Rp. 3,6 triliun dan perluasan sekitar
Rp 847,5 miliar (Tabel 11)
Tabel 11. Kebutuhan biaya untuk peremajaan karet, 2006–2010
Kegiatan
1. Peremajaan kebun :

2006 – 2010
250.000

 Luas (ha)

3.900

 Biaya (Rp miliar)
1. Perluasan kebun :

50.000

 Luas (ha)

847.5

 Biaya (Rp miliar)
Pada dasarnya pembiayaan yang diperlukan untuk merealisasikan rencana
pengembangan karet ke depan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu dana
masyarakat dan perbankan, pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, dan dana
komoditi. Dengan pertimbangan bahwa dana yang dibutuhkan untuk
pengembangan karet ke depan sangat besar, sementara dana pemerintah dan
perbankan sangat terbatas. maka perlu segera ditinjau untuk menghidupkan
kembali pungutan dana dari komoditi (semacam Cess) karet untuk pengembangan,
promosi, peremajaan dan peningkatan kapasitas SDM pada komoditi karet.
IV. Risiko Usaha Komoditas Karet
Kendala pengembangan
Kendala utama dalam pengembangan karet alam adalah tingkat produktivitas lahan
karet yang masih rendah. Jika dibandingkan dengan produsen utama karet alam,
tingkat produktivitas lahan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat baru
mencapai 0,8 ton/ha/tahun, sedangkan perkebunan besar mencapai sekitar 1
ton/ha/tahun. Sebagai perbandingan, produktivitas lahan di India bisa mencapai
sekitar 1,9 ton/ha/tahun sedangkan Thailand mencapai sekitar 1,6 ton/ha/tahun.
Dengan produktivitas lahan yang hanya setengah dari negara produsen lainnya,
posisi Indonesia sulit diharapkan menjadi market leader di pasar internasional
walaupun memiliki luas lahan yang terbesar di dunia.
Salah satu langkah meningkatkan produktivitas adalah melakukan sinergi antara
perkebunan rakyat dan perkebunan besar melalui pola plasma. Kemampuan
manajerial baik produksi maupun pemasaran dari perkebunan besar akan
mendorong terjadinya peningkatan produktivitas perkebunan rakyat disamping

peremajaan lahan yang tidak produktif (sekitar 15% dari total luas lahan) yang
menjadi syarat utama peningkatan produktivitas lahan.
Tabel 4. Peremajaan dan perluasan lahan karet
Permasalahan yang mendasar bagi petani karet adalah keterbatasan dalam
pengadaan bibit yang berkualitas dan sarana produksi lainnya. Dengan pola plasma
diharapkan adanya kooordinasi dalam pengadaan bibit dari balai penelitian
maupun penangkaran bibit unggul yang ada. Sistem plasma juga diharapkan dapat
membantu dalam pengadaan modal kerja dari pihak terkait baik perkebunan besar
maupun perbankan.
Kendala lain yang menghambat perkembangan karet adalah hasil bahan baku
(bokar) umumnya bermutu rendah sebagai dampak dari proses pengolahan dasar di
level petani belum optimal dengan metode yang dapat mengurangi kualitas bahan
(pencampuran dengan bahan penggumpal berkualitas rendah atau mencampur
dengan beberapa bahan yang tidak direkomendasikan). Bersamaan dengan
permasalahan kualitas bokar, pola pemasaran juga tidak berpihak ke petani dengan
rata-rata harga di level petani hanya mencapai 60-75% dari harga FOB. Koordinasi
dengan perkebunan besar diharapkan dapat menjembatani kendala transportasi
terhadap kondisi lahan petani yang menyebar sehingga pemasaran lebih solid dan
kontinuitas pasokan bagi pabrik pengolahan karet dapat lebih terjamin.
Dari sisi industri pengolahan, kemampuan industri dalam negeri menyerap
produksi karet alam masih rendah dan relatif stagnan dalam 5 tahun terakhir
(sekitar 10-15% dari total produksi karet nasional). Industri ban merupakan
industri yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan
konsumsi mencapai sekitar 60% dari total konsumsi industri karet nasional.
Industri lain yang menggunakan karet sebagai bahan baku antara lain industri
sarung tangan, alas kaki, selang belt transmision. Selain industri ban yang
merupakan industri besar, industri lainnya hanya bersifat industri berskala
menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran menjadi kendala dalam
pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Selain kendala diatas,
ketersediaan pasokan energi oleh pemerintah dalam hal ini juga menjadi kendala
sehingga kontinuitas dan skala produksi menjadi tidak optimal. Di level industri
kecil, produk lebih dititikberatkan kepada komponen atau barang pendukung dari
produk utama seperti spare parts dan komponen alas kaki yang diproduksi pabrikan
besar. Pengembangan jenis produk karet lainnya dinilai cukup berat mengingat
pengolahan karet membutuhkan modal dan teknologi yang cukup tinggi. Sebagai
dampak dari belum optimalnya pengembangan industri selain industri ban, utilitas

industri tersebut juga relatif rendah, bahkan industri sarung tangan hanya mencapai
utilitas industri sebesar 40% dan alas kaki relatif lebih baik dengan utilitas sebesar
60%.
Tabel. 5. Tingkat utilitas industri karet/barang karet
Sumber : Departemen Perdagangan
Disamping kendala produksi, kendala perdagangan internasional juga menghambat
perkembangan karet dan industri berbahan karet. Mulai dari prosedur trading yang
berbelit yang pada akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang tinggi,
permasalahan dumping dari negara lain hingga isu lingkungan yang menjadi
prasyarat bagi pasar Eropa dan Amerika. Berbagai permasalahan perdagangan
tersebut membutuhkan pemikiran dan kerjasama dari pelaku usaha dan pemerintah
sebagai regulator sehingga pada akhirnya tidak menjadi hambatan dalam
pengembangan karet yang menjadi salah satu unjung tombak devisa Indonesia.
V. Tenaga Kerja dalam Usaha Komoditas Karet
VI. Kelembagaan dan Kebijakan Usaha Komoditas Karet
Kebijakan Pengembangan Agribisnis Berbasis Karet Untuk meraih peluang
sebagai produsen karet dan produk karet terbesar di dunia, diperlukan kebijakan
yang tepat dalam pengembangan agribisnis karet di Indonesia ke depan.
Serangkaian kebijakan umum yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan ekonomi makro (terutama di bidang moneter dan fiskal) yang
kondusif bagi pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet.
2. Kebijakan industri (industrial policy) yang memberi prioritas pada
pengembangan klaster industri (industrial cluster).
3. Kebijakan perdagangan internasional (international trade policy) yang netral
namun antisipatif baik secara sektoral, domestik, maupun antar negara dalam
kerangka mewujudkan suatu perdagangan yang lebih bebas dan lebih adil
(freer and fairer trade) dan dinamis dalam merespon perkembangan pasar.
4. Kebijakan pengembangan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, telepon,
pengairan) di daerah-daerah yang kondusif bagi keberlangsungan usaha
agribisnis yang efisien dan efektif.

5. Kebijakan pengembangan kelembagaan (institutional policy) baik lembaga
keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan sumberdaya manusia,
dan penyuluhan, serta pengembangan kelembagaan dan organisasi petani.
6. Kebijakan pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan secara efisien
dan bijaksana.
7. Kebijakan pengembangan pertumbuhan agribisnis karet di daerah.
8. Kebijakan ketahanan pangan dikaitkan dengan sistem dan usaha agribisnis
karet.
Kebijakan ekonomi makro, terutama di bidang moneter dan fiskal hendaknya
kondusif bagi terwujudnya pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet. Jajaran
pemerintah, mulai dari pusat, propinsi dan kabupaten seyogyanya mempunyai
kebijakan yang terintegrasi, harmonis dan sinergis dalam bidang moneter.
Dalam bidang moneter diupayakan agar tersedia dana dari sumbersumber
Perbankan atau non perbankan yang dapat memberikan rangsangan dan dorongan
bagi tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis karet yang kompetitif pada
semua sub-sistem usaha agribisnis tersebut, terutama pada subsistem “on farm”.
Untuk itu diperlukan inovasi dan kreasi di tingkat nasional maupun lokal dalam
mengupayakan tersedianya dana bagi pengembangan usaha agribisnis karet.
Dukungan pendanaan dari perbankan diharapkan akan kembali pulih sebagaimana
sediakala, karena usaha agribisnis karet masih cukup prospektif dan tingkat
profitabilitasnya cukup memadai, serta sifat dari arus tunainya (cash flow)
berkelanjutan.
Di bidang fiskal, pemerintah di semua tingkatan hendaknya memiliki kebijakan
yang kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis karet, yaitu pembebanan pajak
dan pungutan lainnya yang rasional, baik menyangkut besaran yang dibebankan,
maupun prosedur penerapannya. Pemerintah daerah seyogyanya memikirkan
dampak jangka panjang dalam penetapan retribusi ataupun pungutan-pungutan
lainya dalam usaha agribisnis karet.
Arah kebijakan industri (industrial policy) memberikan prioritas pada
pengembangan klaster industri (industrial cluster), yaitu kebijakan yang didasari
atas kepentingan jauh ke depan, berorientasi pada nilai tambah domestik dengan
proses produksi yang efisien dan efektif dan terintegrasi dalam semua
tingkatan/subsistem mulai subsistem hulu (on farm), pengolahan, pemasaran dan

jasa pendukung lainnya. Sebagai langkah awal, Kawasan Industri Masyarakat
Perkebunan (KIMBUN) karet dapat diadopsi dan didayagunakan sesuai dengan
perencanaannya dan selalu mengkaitkan dan bersinergi dengan kepentingan sektor
industri pengolahan dan perdagangan, serta sektor terkait lainnya.
Arah kebijakan pada sub-sistem hulu adalah terwujudnya suatu kondisi dimana
ketersediaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan) dapat
tercukupi dari produksi dalam negeri dengan tingkat mutu dan harga bersaing
dengan produk-produk sejenis yang diimpor.
Kebijakan pada sub-sistem agribisnis “on farm” diarahkan kepada upaya untuk
meningkatkan produktivitas hasil lateks dan kayu, mutu hasil panen, melalui
pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan efektif serta mengindahkan kelestarian
lingkungan (good farming practices). Upaya regenerasi tanaman/peremajaan
(replanting) sudah harus dimulai seiring dengan habisnya masa produktif tanaman
karet. Dalam jangka panjang, keterkaitan sub-sistem “on farm” dengan subsistem
pengolahan dan
Pemasaran dalam usaha agribisnis karet perlu mendapat perhatian yang
proporsional, dan upaya ini akan direalisasikan dalam bentuk pengembangan
usaha patungan yang bercirikan perusahaan kemasyarakatan (corporate
community) melalui replikasi model-model pengembangan yang sudah ada atau
membangun model baru yang sesuai.
Kebijakan pada sub-sistem pengolahan dan industri hilir diarahkan kepada upaya
untuk mewujudkan tumbuh dan berkembangnya pengolahan dan industri hilir karet
yang menghasilkan jenis produk sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen yang
berkembang dinamis, serta dapat memberikan nilai tambah optimal di dalam
negeri. Produk karet terutama crumb rubber, dengan total ekspor pada tahun 2005
melebihi 1,6 juta ton, dan menguasai pangsa ekspor karet sekitar 83%, perlu
dimantapkan dan terus ditingkatkan pangsanya, baik pada pasar yang sudah ada
maupun melalui pengembangan pasar baru.
Oleh karena itu, arah kebijakan perdagangan internasional harus bersifat responsif
dan antisipatif, sehingga persoalan-persolan yang diperkirakan akan muncul dalam
perdagangan internasional/global dapat segera ditangani lebih awal. Untuk itu,
seluruh potensi sumberdaya pemasaran yang ada, baik di dalam maupun di luar
negeri perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Kebijakan dalam pengembangan infrastruktur agribisnis karet diupayakan pada
upaya konsolidasi dan optimalisasi pendayagunaan dan pemanfaatan potensi

sumberdaya infrastruktur yang ada (software maupun hardware), antara lain
kawasan-kawasan pembangunan terpadu yang pernah diperkenalkan dan
disosialisasikan (KAPET, Klaster Industri, dan KIMBUN) perlu dimanfaatkan.
Program
Untuk mencapai sasaran jangka pendek (2006-2010) yaitu peningkatan produksi
karet minimal 2,5 juta ton/th dengan tingkat produktivitas rata-rata kebun minimal
1.000 kg/ha, diperlukan upaya peremajaan dan intensifikasi pemeliharaan tanaman.
Dengan demikian program peremajaan menjadi prioritas kegiatan pembangunan
agribisnis karet pada jangka pendek.
1. Model peremajaan
Model peremajaan karet rakyat yang diterapkan adalah Model Peremajaan
Partisipatif. Menurut Pusat Penelitian Karet/Balai Penelitian Sembawa, landasan
utama pendekatan partisipatif dalam program peremajaan karet rakyat adalah
adanya kebutuhan untuk mengubah paradigma pembangunan karet rakyat yang
semula menggunakan pendekatan “proyek berbantuan” menjadi “gerakan swadaya
masyarakat” (self-help community development) atau “pendekatan dari bawah”
(bottomup approach).
Prinsip dasar pendekatan self-help development adalah mendorong masyarakat
untuk belajar mengatasi masalah mereka sendiri dengan menggunakan sumberdaya
yang dimiliki dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses
pembangunan. Dengan demikian, landasan Model Peremajaan Karet Rakyat adalah
Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat. Beberapa pendekatan yang digunakan
dalam penerapan model ini adalah :
1. Pendekatan Wilayah meliputi: perbedaan akses informasi, kesiapan
kelembagaan dan ketersediaan sarana pendukung.
2. Pendekatan Individu meliputi: perbedaan pengetahuan, ketrampilan,
motivasi dan kemampuan finansial.
Pendekatan ini sangat tergantung pada karakteristik wilayah dan kondisi sosial
ekonomi petani. Model peremajaan karet partisipatif ini telah diterapkan pada
peremajaan karet rakyat di beberapa kabupaten di Sumatera Selatan dan
Kalimantan Selatan. Pelaksanaan peremajaan karet dilakukan dengan melibatkan
seluruh stakeholders yang terlibat di wilayah pengembangan, antara lain petani

karet/koperasi petani, GAPKINDO, Dinas Perkebunan, Balai Penelitian,
perusahaan kayu karet, Pemerintah Daerah, dan lembaga keuangan/perbankan.
2. Sasaran peremajaan
Peremajaan tanaman karet rakyat dilaksanakan pada kebun karet rakyat yang
kondisinya memang sudah tidak produktif atau tanamannya tua/rusak. Lingkup
pelaksanaan peremajaan karet meliputi karet rakyat baik karet rakyat swadaya
maupun karet rakyat eks proyek PIR dan UPP. Dalam pelaksanaan peremajaan
karet ini, petani atau kelompok tani pemilik kebun dilibatkan langsung dalam
kegiatan. Hal ini dimaksudkan agar petani/masyarakat dapat lebih termotivasi, dan
meningkatkan pengetahuan serta kemajuan dalam penguasaan sumberdaya dan
berusahatani, sekaligus mengikutsertakan petani dalam mengelola usahataninya.
Dalam pelaksanaan peremajaan dilakukan penanaman tanaman sela
(intercropping) dan sekaligus memanfaatkan kayu karet hasil tebangan. Untuk itu
perlu adanya keterpaduan dengan industri pengolahan kayu karet. Hasil penjualan
kayu karet tersebut digunakan untuk membiayai sebagian dana peremajaan. Pada
kondisi dimana pabrik pengolah kayu karet tersedia dan akses transportasi relatif
baik, maka hasil penjualan kayu karet dapat bervariasi antara Rp 5-7,5 juta/ha.
Jumlah ini dapat menutupi kebutuhan utama pada tahun awal peremajaan karet.
Sesuai dengan kondisi tanaman karet rakyat dan kemampuan untuk melakukan
peremajaan. maka direncanakan akan dilakukan peremajaan karet rakyat seluas
250 ribu ha dan perluasan areal karet sekitar 50 ribu ha sampai dengan 2010 yang
dicapai melalui program peremajaan berbantuan (pemerintah) dan swadaya
masyarakat.
3. Organisasi pelaksanaan
Rancangan peremajaan karet rakyat secara partisipatif melibatkan banyak pihak,
yaitu petani/koperasi, investor, instansi terkait, lembaga penelitian, perbankan dan
Pemda. Agar pelaksanaan peremajaan karet tersebut dapat berjalan sesuai dengan
rencana dan tujuan, maka untuk pelaksanaan di daerah perlu dibentuk unit
pengelola program peremajaan
B. Kebijakan Jangka Menengah 2006-2010
Instansi

Fungsi/Peran

Ditjen BP. Perkebunan
Pusat Penelitian Karet/
Balai Penelitian Ka