Diantara Cinta dan Hasrat Gempuran Ident

DIANTARA CINTA DAN HASRAT
Gempuran Identitas Nasional Indonesia Terhadap Homoseksualitas
Oleh
Atmaezer Hariara Simanjuntak
(`3/350043/SA/17032)
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
2016

I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya, tubuh bersifat individual. Namun demikian pada praktiknya, tubuh
selalu dihadapkan dengan proses disposisi yang kemudian mengakibatkan terikatnya tubuh
kedalam berbagai ruang. Disposisi tubuh terjadi secara berlapis-lapis, dimulai dari “ruang
keluarga”, meningkat menuju “ruang komunitas”, “ruang masyarakat” dan kemudian dibatasi
oleh “ruang negara”. Setiap ruang memiliki kemampuan dan batasan yang berbeda-beda
dalam mendefinisikan tubuh, dan dari titik interseksi antar ruang itulah “body value” dapat
dikonsepsikan.
Terdapat tiga institusi yang mampu memonopoli dan menghegemoni wacana body

value di Indonesia: negara, agama dan ideology (Kadir, 2007:17)1. Hegemoni yang dihasilkan
oleh tiga institusi ini memberikan legitimasi terhadap diri mereka sendiri sebagai sumber
kekuatan yang mampu mendefinisikan haluan moralitas masyarakat. Dalam kata lain,
institusi negara, agama dan ideology mampu menentukan “benar-salah” yang kemudian
“diimani” oleh masyarakat luas. Batasan-batasan moralitas ini diimbuhkan kepada tubuh
setiap individu, yang kemudian diartikulasikan secara terbatas sebagai “identitas”. Perlu
diingat bahwa tubuh yang telah teridentifikasi, dapat terekspresikan kembali melalui cara
yang berbeda-beda, atau dalam kata lain, bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan oleh adanya
tekanan dari ruang-ruang social serta fisik terhadap tubuh individu. Ragam tekanan inilah
yang memaksa terjadinya re-identifikasi tubuh secara berkala dan berulang dalam rangka
adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena kemampuan individu untuk terus menerus
merubah identitas yang telah diimbuhkan terhadap tubuhnya, “rezim kuasa” negara, agama
dan ideology harus terus mengontrol segala proses yang terkait dengan reidentifikasi tubuh
agar perubahan yang terjadi tetap berada dalam control dan batasan moralitas yang telah
ditentukan sebelumnya.
Salah satu variable identitas yang selalu berada dalam pengawasan “rezim kuasa”
adalah seksualitas manusia. Seksualitas menjadi suatu kontradiksi oleh karena sifatnya yang
dualistik, dimana pada satu sisi ia muncul dalam wujud ekspresi (dalam istilah Abdullah,
disebut sebagai “rekreasi”), namun pada sisi lain ia direpresikan. Seksualitas dengan sifat
“ekspresi” sering kali dimaknai sebagai suatu tindakan yang profane oleh karena tidak

memenuhi atau melewati standart moralitas rezim kuasa yang menuntut seksualitas sebagai
tindak prokreasi. Sedangkan seksualitas yang direpresi dimaknai sebagai suatu kesakralan
oleh karena sifatnya yang legal berdasarkan standart moral. Permasalahan konseptualisasi
dan diferensiasi seksualitas ini sangat penting. Hal ini karena pengkategorian tersebut
merupakan perlambang dari permainan kekuasaan. Kelompok yang mengusung dan
memenangkan ideology salah satu sisi akan memiliki wewenang dalam menerapkan
kebijakan ideologis yang mempengaruhi kedua sisi.
Homoseksualitas selalu jatuh pada kategori profane oleh karena sifatnya yang dinilai
melampaui batas moralitas yang ditentukan rezim kuasa, Kemenangan kelompok
1 Menurut Hatib Abdul Kadir (2007), negara, agama dan ideology merupakan tiga
institusi yang bersifat represif dalam konteks disiplinisasi seksualitas masyarakat.
Berbeda pula, dalam salah satu kelasnya, Irwan Abdullah pernah menyatakan bahwa
seksualitas diatur oleh: negara, agama dan capital. Namun demikian, institusi negara
serta agama selalu muncul sebagai dua variable yang pasti berperan dalam
pendisiplinan seksualitas.

heteroseksual sebagai perwujudan dari seksualitas yang sacral, menempatkan homoseks
sebagai suatu “penyimpangan”2. Sedangkan wacana dominan yang menguasai seksualitas
sacral adalah patriarkis, moralitas dengan sumber nilai utama agama. Fakta ini
mengindikasikan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah deviansi dari system yang

berlaku. Namun demikian, kelompok homoseksual tetap ada, walaupun mengalami
pelarangan dan masih memperjuangkan tiap-tiap sekat kecil resistensi ditengah dominasi
wacana heteroseksualitas. Resistensi ini menjadi bukti dari pernyataan Foucault bahwa
deviansi sangat dibutuhkan di dalam suatu kelompok, karena dapat memunculkan semangat
solidaritas.
Dalam kaitannya dengan identitas kenegaraan Indonesia, dominasi heteroseksualitas
dalam diskursus wacana seksualitas menjadikannya batasan “normal” dalam takaran
moralitas masyarakat. Mengikuti pendapat Dwyer,
“Sexuality had become, in multiple ways, a primary idiom through
which national identity was articulated, intra-national diversions
were stated or smoothed, and international conflicts were defined
and waged” (Dwyer, 2000:38)
Heteroseksualitas menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia yang harus dimiliki oleh
tiap anggota masyarakat. Untuk menjadi seorang “lelaki sepenuhnya” pun, di Indonesia,
seorang lelaki diharuskan untuk menikah dengan pasangan lawan jenis dan menjalani segala
tahapan life cycle setelahnya (Howard, 1996:3). Hal ini mengindikasikan tidak adanya ruang
“homoseksualitas” dalam batasan moralitas bangsa. Oleh karenanya, seorang homoseksual
tidak akan memiliki tempat dan akses terhadap resource negara, sebagaimana seorang
heteroseksual mendapatkannya. Menjadi Indonesia, adalah dengan mengikat hasrat
seksualitas ke dalam institusi pernikahan heterogen dan mengekspresikannya secara diamdiam. Dalam kata lain, tubuh yang homoseks dipersepsikan sebagai tidak “meng-indonesia”.


2 Penyimpangan mencerminkan terjadinya suatu ketimpangan social, dimana siapa atau
apa dicap sebagai “menyimpang”, tergantung pada kekuatan relative dari sebuah
golongan. Dalam kata lain, sesuatu dikatakan menyimpang jika hal tersebut tidak sesuai
dengan “peta-makna” masyarakat pada umumnya)

II
STUDI PUSTAKA
“On the subject of sex, silence became the rule. The legitimate and
procreative couple laid down the law. The couple imposed itself as
model, enforced the norm, safeguarded the truth and reserved the
right to speak while retaining the principle of secrecy. A single
locus of sexuality was acknowledged in social space as well as at
the heart of every household, but it was a utilitarian and fertile one:
the parent’s bedroom. The rest had only to remain vague, proper
demeanor, avoided contact with other bodies and verbal decency
sanitized one’s speech. And sterile behavior carried the taint of
abnormality: if it insisted on making itself too visible, it would be
designated accordingly and would have to pay the penalty”
(Foucault, 1978:3-4)

Mengacu kepada pandangan Foucault mengenai keabsahan seksualitas pada era
Victorian, hal yang sama pula termanifestasi dalam system moral bangsa Indonesia dewasa
ini. Batasan seksualitas yang dapat diterima dan mencerminkan “keindonesiaan” adalah suatu
relasi prokreasi yang dilegalkan melalui lembaga pernikahan. Terlihat kemudian bahwa untuk
menjadi bebas berekspresi, tubuh terlebih dahulu harus diikat dalam suatu “ruang” keluarga.
Kebebasan tersebut pun masih dibatasi oleh budaya malu dan konsep “tabu”, sehingga
mengekspresikan seksualitas di Indonesia menjadi suatu kerahasiaan dan perlu ditutup-tutupi.
Meminjam istilah Foucault, perilaku seksualitas hanya dapat diterima di dalam “kamar tidur
orangtua”.
Bagi masyarakat Indonesia, pernikahan merupakan gerbang suci untuk mencapai
jenjang seksualitas yang lebih tinggi (Kadir, 2007:226). Memasuki suatu jenjang seksualitas
yang “lebih tinggi”, tentulah berkaitan dengan adanya acknowledgement dari “rezim
penguasa” bagi individu yang telah menikah untuk mengakses resources di ruang-ruang
social yang baru ( secara eksklusif hanya untuk dan dapat diakses oleh individu yang telah
menikah). Resource di sini dapat diartikan secara luas, beberapa contoh diantaranya: hak
untuk memiliki keturunan, peningkatan pendapatan, dll3. Menikah diasumsikan sebagai
“kodrat” seorang lelaki Indonesia, yang hanya dapat terwujudkan melalui suatu hubungan
pernikahan (Howard, 1996:3). Visi negara terhadap relasi pernikahan terartikulasikan melalui
program-program keluarga berencana (Dwyer, 2000; Robinson, 1989; Warren, 1993) dan
juga pemahaman prinsipil negara terhadap sebuah ikatan keluarga, yakni bahwa sebuah

negara tidak didirikan diatas sekumpulan individu, melainkan atas sekumpulan keluarga
(Boelstorff, 2005:104).
Ditengah gempuran hegemoni “heteroseksual” dan wacana “pernikahan”, kaum
homoseksual Indonesia menjadi semakin termarjinalkan dan tertekan. Bahkan menurut
Boelstorff, adat dan negara mengemas pernikahan seturut dengan pendisiplinan umur tubuh
yang kemudian juga menjadi bagian dari batasan “cukup” seksualitas,
“for gay men the key predicament typically takes place in one’s
twenties as the pressure for marriage increases. To not marry by
thirty represents a crisis, requiring excuses of not having a good
3 Dilansir dari data penelitian pada laman http://duniabaca.com/inilah-keuntunganmenikah-yang-harus-anda-ketahui.html , diakses pada 3 Januari 2016, pukul 14:29 WIB.

enough job to support new household or not having found the right
woman, and age thiry five is what one interlocutor called the
‘peak’ where the pressure to marry is nearly overwhelming”
(Boelstorff, 2005:111).
Dengan secara terus menerus “diingatkan” akan kewajibannya untuk menikah, negara
sebenarnya sedang merepresi hasrat seksualitas mereka.
Pada waktu yang bersamaan, agama, sebagai institusi penentu haluan moralitas
melakukan legitimasi terhadap reaksi dari kaum homoseks yang terepresi 4. Jika mereka
memutuskan untuk tidak menikah sama sekali oleh karena adanya pemaksaan untuk

penggantian orientasi seksual, “dosa” lah yang akan datang menghampiri oleh karena sikap
mereka yang tidak mendukung “keputusan pemerintah”, dimana seara tidak langsung mereka
dinilai menghambat kesejahteraan kehidupan bersama. Sedangkan jika mereka memutuskan
untuk tetap menikah sesama homoseksual, “dosa” juga hadir dalam bentuk “penyimpangan
terhadap kehendak dan takdir” yang telah ditentukan oleh Tuhan sejak awal. Disinilah
kemudian lagi-lagi homoseksualitas menjadi tantangan terhadap identitas nasional oleh
karena: (1) tidak mengikuti aturan keagamaan, sebagaimana termanifestasi pada sila pertama
dari Pancasila, (2) tidak menikah.
Salah satu batasan yang ditentukan oleh rezim kuasa dalam mendisiplinkan
seksualitas masyarakat, adalah bagaimana tubuh ditampilkan dalam berbagai lapisan ruang
social. Kaum homoseksual dinilai tidak sesuai dengan standart “ketubuhan” laki-laki,
maupun perempuan. Hal ini dikarenakan kerap kali kaum homoseks mempersepsikan diri
mereka sebagai (konsisten) feminime atau maskulin dan lebih cenderung masuk ke dalam
suatu relasi seksual dengan lelaki yang merefleksikan system gender yang bersebrangan
dengan dirinya (Boelstorff, 2005:166). Karena tubuh yang homoseks sering kali tidak
mencerminkan kepatuhan terhadap system gender tertentu, ia dianggap sebagai abnormal
dalam batasan moralitas berbagai ruang.
Dari pemaparan-pemaparan di atas, terlihat bahwa rezim penguasa sangat menolak
homoseksualitas yang dinilai sebagai seksualitas profane. Hal ini dikarenakan dalam
seksualitas profane, tubuh benar-benar terliberalisasi dari segala pendisiplinan. Negara

sebagai entitas hukum, tentu tidak dapat mengakomodir segala bentuk perbedaan yang
distinctive satu dengan yang lainnya, oleh karenanya dibutuhkan hegemoni dalam
memandang seksualitas. Disinilah kemudian, masyarakat Indonesia yang menganut
pandangan seksualitas sebagai ars erotica, dimana pengalaman seks dianggap sebagai bagian
dari erotisme tubuh yang esoteric (Kadir, 2007) mendapat resistensi dari kelompok
4 Sebagai contoh, dalam konteks kekristenan, Alkitab secara konsisten memberitahu
bahwa homoseksual adalah dosa (Kejadian 19:1-13; Imamat 18:22; Roma 1:26-27; 1
Korintus 6:9). Roma 1:26-27 secara khusus mengajarkan bahwa homoseksual adalah
akibat
penyangkalan
dan
penolakan
seseorang
terhadap
Allah.
Ketika seseorang terus hidup di dalam dosa dan ketidakpercayaan, Alkitab mengatakan
bahwa Allah “menyerahkan mereka” kepada hawa nafsu sehingga mereka menjadi lebih
jahat dan berdosa, untuk menunjukkan kepada mereka kesia-siaan dari hidup yang
terpisah
dari

Allah.
Melalui 1 Korintus 6:9, Paulus mengatakan bahwa “pelaku-pelaku” homoseksualitas tidak
akan
mendapat
bagian
dalam
Kerajaan
Allah.
Allah tidak menciptakan seseorang sebagai homoseksual. Alkitab memberitahu kita
bahwa seseorang menjadi homoseksual karena dosa (Roma 1:24-27), dan, pada
akhirnya,
karena
pilihan
mereka
sendiri.
Seseorang mungkin dilahirkan dengan kecenderungan terhadap homoseksual, sama
seperti orang dilahirkan dengan kecenderungan kepada kekerasan dan dosa-dosa
lainnya. Ini bukan merupakan alasan untuk hidup dalam dosa dengan mengikuti
keinginan dosa mereka.


homoseksual yang melandaskan perjuangannya pada konsep Scientia sexualis (Foucault,
1978).
III
STUDI KASUS
Usaha rezim penguasa dalam mengontol perilaku, bahkan orientasi seksual
masyarakat terefleksikan melalui sebetapa “serius-nya mereka dalam pengimplementasian
kebijakan keluarga berencana (KB). Kebijakan ini tentu saja tidak hanya mengubah orientasi
kaum heteroseks untuk segera “mensakralkan” aktivitas seksual mereka, namun juga
menekan kaum homoseks untuk melakukan pernikahan dengan lawan jenisnya. Artinya,
tubuh menjadi wilayah kontestasi makna, dimana rezim penguasa dan hasrat saling beradu
kekuasaan. Dari perspektif penguasa, tentu saja tindakan ini dianggap “wajar” untuk dapat
menjaga stabilitas system social yang diusung. Namun demikian bagi kaum homoseks yang
notabenenya “kelompok yang paling dirugikan”, kebijakan ini menjadi momok yang
menyiksa.
Kisah Seorang Homoseks: Patah Hati karena Pasangan Menikah
Narasi ini merupakan salah satu contoh dampak yang muncul diantara kalangan
homoseksual sebagai suatu implikasi dari implementasi kebijakan pro-pernikahan rezim
penguasa. Kisah singkat ini adalah sebuah rangkuman dari jawaban seorang narasumber yang
berprofesi sebagai waria dan mengaku homoseks5
“kami sudah menjadi kekasih selama 17 tahun, sampai tahun 1996

ketika ia menikah dan membuat saya sangat sedih. Saya menangis
setiap malamnya. Kini ia tinggal dengan istrinya. Kadang kala
ketika saya melintas di depan rumahnya saat malam, saya bisa
melihat dia dengan istrinya dari luar jendela. Saya bahkan tidak
berani untuk mampir atau sekedar menyapa. Saya hanya
memandangi dia dari kejauhan. Masalahnya, ini terlalu berat bagi
saya … Bahkan orangtua nya mengetahui tentang ‘hubungan’
kami. Mereka tidak memiliki masalah dengan kami berhubungan;
bahkan mereka sudah menganggap saya sebagai anak sendiri …
Lalu suatu hari orangtuanya datang menemui saya lalu menyatakan
bahwa anak mereka ingin menikah, dan saya diminta untuk
memberikan izin / merestui keinginannya itu. Sungguh, bagi saya
masa itu adalah masa yang sangat berat karena saya tidak ingin itu
terjadi sama sekali. Namun pada akhirnya saya hanya bisa
menjawab ‘silahkan’. Di saat yang sama, hati saya seolah mati.Ia
dipaksa untuk masuk ke dalam suatu hubungan pernikahan oleh
5 Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber yang berprofesi sebagai waria.
Lokasi diadakannya wawancara adalah di lampu merah sekitaran Jl. Solo, Jl. Colombo dan
perempatan Sagan. Alasan pemilihan narasumber waria adalah karena menurut penulis,
kaum waria berada dalam interseksi pemaknaan seksualitas diri. Dari perspektif gender,
mereka dapat dikatakan berada pada posisi yang “abu-abu”. Dari segi seksualitas, ratarata dari para narasumber sudah menikah dengan pasangan yang berbeda jenis kelamin,
namun oleh karena tuntutan profesi, mereka dituntut untuk dapat menjadi gay atau
homoseks. Namun demikian, ada pula narasumber yang secara gambling mengaku
homoseks dan gay, dan oleh karenanya tetap pada pendirian menolak menikah jika tidak
bersama seseorang dari jenis kelamin yang sama.

orangtuanya… Jadi saya hanya bilang ke dia untuk menganggap
saya seperti ‘ayah’nya saha. Bahkan istrinya sekarang ini juga
memanggil saya ‘ayah’, tanpa ia tahu sedikitpun tentang masa lalu
kami”
Dalam narasi di atas, sebenarnya terangkum bentuk-bentuk relasi yang dialami oleh
kaum homoseks / gay dengan the others-nya. Kenyataan bahwa pada awalnya ekspresi
seksual nya dapat diterima oleh kelompok lain (keluarga pasangan) menggambarkan bahwa
di Indonesia, terdapat celah bagi pemikiran yang lebih “terbuka” dan menerima perbedaan.
Namun demikian, perlu diakui bahwa model kasus seperti ini tidak mungkin dialami juga
oleh seluruh anggota komunitas homoseks. Permulaan dimana relasi homogen tersebut dapat
diterima, tentu menuntut adanya perbedaan paradigma dan perspektif dalam menerima serta
menyikapi fenomena yang dianggap “aneh” dalam struktur masyarakat Indonesia, baik pada
saat itu maupun sekarang.
Relasi antar rezim pemerintah terhadap kaum homoseks tercermin melalui pernyataan
“ia dipaksa untuk masuk ke dalam relasi pernikahan oleh orangtuanya”. Rezim penguasa
berhasil menghegemoni “heteroseksualitas” sebagai satu-satunya bentuk seksualitas yang
normal, dan hanya dapat disakralkan keberadaannya melalui pernikahan. Institusi keluarga,
sebagai unit terkecil dalam struktur negara Indonesia difungsikan sebagai media represi yang
kemudian menurunkan value kebangsaan yang didominasi oleh budaya patriarchal dan
heteroseksualitas.
Secara eksplisit terlihat bahwa sikap yang diambil oleh narasumber adalah menjadi
“passif” atau diam. Disinilah terlihat indicator keberhasilan tindak represi dalam
membungkam resistensi kaum heteroseks. Rezim penguasa membatasi pergerakan tubuh
homoseks ke dalam ruang-ruang yang tidak vocal, dan dengan membuatnya sangat rentan
akan penetrasi ide-ide baru (rekonseptualisasi) dan rekonstruksi identitas yang baru. Dalam
hal ini, secara ideal proses rekonstruksi identitas mewujud dalam “penormalan” kembali
kaum homoseks menjadi heteroseks.
Pertunjukan Bisu dan Pembungkaman Seksualitas
Dalam wawancara lainnya dengan seorang6 yang mengaku gay dan berprofesi sebagai
seorang pegawai swasta, didapati contoh kongkrit bahwa salah satu dampak dari hegemoni
heteroseksualitas adalah hilangnya kemampuan kaum homoseks untuk mengartikulasikan
ekspresi seksual mereka.
“Di lingkungan kerja, saya sangat khawatir jika orang lain tahu
bahwa saya seorang gay. Saya khawatir kalau-kalau sampai
digossipkan, atau dikontak oleh kawan gay saya ke nomor kantor
… Jadi saya harus pintar –pintar mengontrol diri, terlebih soal
bagaimana saya mengekspresikan diri sendiri. Untungnya saya
berhasil melakukan control tersebut, bisa dikatakan hidup saya
sekarang ini 50-50. Ketika saya bersama kelompok gay,
kadangkala saya harus jadi ngondek. Saya senang kalau ngondek,
karena saya sangat senang dapat mengekspresikan diri saya seperti
6 Narasumber merupakan seorang yang penulis kenal pribadi. Beliau adalah seorang
pegawai swasta yang sedang berusaha untuk membungkam kegay-annya agar tidak
menjadi masalah di tempat kerja. Narasumber tidak berafiliasi dengan kelompok
homoseks manapun, karena data tersebut dapat saja ditemukan oleh perusahaan
dimana ia bekerja.

itu. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari (hetero) saya harus
menjaga diri sendiri. Kadang kala saya bisa menyembunyikan
kengondekan saya, namun sejujurnya sangat susah. Tentu saja
karena menjadi hetero itu bukanlah diri saya yang sebenarnya …
saya ciut dan pembawaan saya kalem olleh karena bentuk ekspresi
saya sebagai seorang gay di kalangan yang mayoritasnya tidak”
Menurut Kadir, fenomena seksualitas abad 21 adalah publisitas seks yang dinamis
penuh dengan ancaman, malu-malu kucing, suka sama suka, paksaan bahkan hingga
kekerasan (Kadir, 2007). Mengekspresikan seksualitas menjadi sebuah kebutuhan dan
tuntutan, oleh karena itulah individu mengimbuhkan berbagai macam atribut identifikasi diri
yang berkenaan dengan orientasi seksualitasnya. Melalui penegasan peran gender tubuhnya,
diharapkan pesan “kenormalan” identitas dapat tersampaikan kepada individu lainnya.
Namun demikian, kebebasan tubuh pada skala tersebut tidak memungkinkan untuk
diakomodir oleh rezim penguasa. Oleh karenanya, lembaga-lembaga control tersebut
berusaha menekan hasrat ekspresi seksualtas tubuh dan mempersempit ruang pergerakannya.
Hal ini mengakibatkan “disembunyi-sembunyikannya” pengekspresian seksual tersebut.
Kebisuan muncul sebagai wujud “kekalahan” kaum homoseksual. Dalam usaha
resistensinya, kemudian mereka memproduksi system ekspresinya tersendiri. Di sinilah
“ngondek”, “waria”, “bencong”, dll menjadi ruang-ruang perjuangan baru dengan batasan
pemaknaan yang terbatas pada anggota kelompok “penganutnya” saja. Kebutuhan
ekspresional, perepresian, bahkan kebungkaman ini menjadi bagian dari wacana-wacana
besar terkait seksualitas: Virginitas, komodifikasi nafsu, perkawinan dan promiskuitas, fungsi
kekerabatan, disiplinisasi tubuh, sumber nilai moral dan wacana patriarki

IV
ANALISA
Dalam kaitannya dengan proses konstruksi identitas nasional Indonesia, seksualitas
dan gender menjadi atribut yang sangat vital dan bahkan tak terbantahkan (Dwyer, 2000:27)
Bahkan menurut Bunzl, “memiliki” seksualitas adalah salah satu penanda kemodernan, dan
secara global memegang peranan yang besar dalam pengidentifikasian diri sebagai seorang
warga negara sepenuhnya (Bunzl, 2004). Jelaslah kemudian bahwa dengan kesignifikanan
seksualitas, terdapat batasan-batasan moral yang perlu ditaati. Namun dengan catatan,
ekspresi seksualitas tersebut bersifat heterogenic.
Dari pemaparan-pemaparan sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yakni
homoseksualitas itu ada, ditekan dan resisten. Keberadaan homoseksualitas yang selalu
dibawah bayang-bayang hegemoni heteroseksualitas disebabkan oleh sifatnya, yang menurut
Kadir, profane dan tidak prokreasi. Ekspresi seksualitas apapun yang tidak prokreasi,
dianggap tidak sacral oleh kemampuan monopoli wacana rezim penguasa. Dengan demikian,
homoseksualitas tidak berada dalam batas pemakluman moralitas bangsa, dan oleh karenanya
dinyatakan sebagai suatu “kesalahan”, atau yang dalam terminology agama disebut sebagai
“dosa”.
Homoseksualitas dinilai sebagai penyimpangan atas batas-batas moralitas, dan oleh
karenanya, rezim kuasa merasa perlu untuk merepresi keberadaannya. Sebab, apapun yang
melanggar keteraturan dari system adalah sebuah “penyimpangan” yang sangat
membahayakan, sebuah sumber kejahatan dan anarki (Bouhdiba, 1998) Namun demikian,
“pemusnahan” di sini tidak berarti pengentasan secara total, melainkan pendisiplinan tubuh
melalui kebijakan pemerintah, seperti: program Keluarga Berencana. Dengan terus menerus
mereproduksi wacana heteroseksualitas, kaum homoseks perlahan termarjinalkan ke periferi
struktur masyarakat. Ditambah dengan pengimbuhan “dosa” dalam diri si penyimpang oleh
institusi agama, menjadi homoseks di Indonesia berarti menjadi warga negara yang gagal.
Keputusan Untuk Menikah Atau Tidak Menikah
Terdapat dua kemungkinan dampak dari diterapkannya kebijakan pro pernikahan di
Indonesia, yakni: kaum homoseks dipaksa menikah dengan pasangan yang berlawanan jenis
kelamin, atau tidak menikah sama sekali. Tergantung dengan perspektif dan pendekatan yang
digunakan, dua opsi ini mungkin saja tidak menguntungkan sama sekali bagi kaum
homoseksual. Wajar saja, karena orientasi rezim penguasa dari pengimplementasian
kebijakan pro-pernikahan adalah hegemoni konsep “menikah” pada seluruh lapisan
masyarakat Indonesia.
Kaum homoseksual yang terpaksa menikah dihadapkan dengan permasalahan cinta
dan pilihan, atau meminjam terminology Boelstorff,
“heterosexuality made real through love and choice, not
arrangements” (Boelstorff, 2005:118)
Seorang homoseks dapat saja meminta keluarganya untuk “mengatur” pernikahannya dengan
individu lain yang berlawanan jenis kelamin. Namun demikian, pertanyaan yang sangat
fundamental terkait dengan keputusan ini ialah, apakah sang homoseks benar-benar cinta
terhadap pasangan yang dipilihkan untuknya? Mengingat dalam lingkaran homoseksual, cinta

dan hasrat merupakan ‘motor’ utama yang menjalankan system social mereka. Ketika
ternyata tidak ada “cinta” yang mendasari, maka keluarga sebagai kesatuan organisasi terkecil
negara berada dalam posisi yang terancam malfungsi pula.
Bagi sebagian yang memutuskan untuk tidak menikah, mereka dihadapkan dengan
dampak kerugian besar dalam konteks social dan ekonomi. Dalam system masyarakat yang
memaksa tubuh untuk terikat dalam suatu relasi yang imajiner, “menikah” merupakan sebuah
kewajiban. Pada dasarnya, kultur Indonesia menempatkan seorang yang bujang sebagai
“belum dewasa” secara mental. Oleh karenanya, untuk dapat mengakses tingkatan yang lebih
tinggi tersebut, seseorang diharuskan untuk menikah. Terlebih lagi karena adanya budaya
masyarakat Indonesia yang mengaitkan “kedewasaan” dengan batas umur tertentu, ketika
seorang belum menikah sampai pada umur yang dianggap sebagai universal standart
tersebut, masyarakat secara tak sadar melakukan control / disiplinisasi tubuh melalui body
shaming .
Mencari Ruang Imajiner Baru
Baik memilih untuk menikah ataupun tidak, terlihat bahwa seorang homoseks akan
tetap berada dalam posisi yang dirugikan dan dimarjinalkan dari struktur social-ekonomi dan
politik masyarakat Indonesia. Dampak negative ini sebenarnya terkait dengan konsep ethnolocality yang diusung oleh Bowen. Ethnolocality dapat dipahami sebagai suatu framing titik
awal / mulai (titik asal muasal) yang sangat terkait dengan dialektika antara konsep ruang
“local” terhadap ruang “global”.
“This grounding in ethnolo- cality often leads to a shared frame of
reference for modern- day Indonesian and modern-day
Indonesianist alike: "I start from the level of the village disputes
and work upwards" (Bowen 2003:6)
Dapat dipahami kemudian bahwa Indonesia kini merupakan sebuah etnolokalitas, yang tidak
lagi diakronik, namun sinkronik dan progressive. Koneksitas global menjadi relasi yang
determinan dalam memodernkan Indonesia dalam konteks perekonomian (Weber, 1994).
Menjadi homoseks merupakan konsekuensi dari adanya koneksitas global,
dikarenakan konsep ini tidak muncul “dari dalam negri”. Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah: lalu bagaimana seorang homoseks diposisikan dalam peta social masyarakat
Indonesia modern ini? Mengikuti konsep ethnolokalitas yang sinkronik (jika kita setuju
bahwa homoseksualitas merupakan konstruksi social, dan bukan given) maka seorang
homoseks tidak dapat dikembalikan ke keadaan “normal”.
Permasalahan baru kemudian muncul, dimana tubuh yang homoseks sebenarnya tidak
dapat “dinormalkan”, berhadapan dengan tantangan rezim penguasa yang memerlukan
pendisiplinan seksualitas. Kondisi yang ‘berhadap-hadapan’ ini pada akhirnya memaksa
kaum homoseksual untuk mencari ruang-ruang pendefinisian baru diluar batasan imajiner
negara. Hal ini dikarenakan negara sebagai suatu ruang social, tidak mampu mengakomodir
ekspresi seksualitas yang homogeny. Maka dari itu, kaum homoseks yang terpinggirkan dari
struktur masyarakat Indonesia dituntut untuk menciptakan ruang-ruang imajinernya sendiri,
dimana ekspresi seksualitas mereka dapat diakomodir dan kedudukannya akan tetap berada
pada periferi struktur utama masyarakat.
.

V
KESIMPULAN
Homoseksualitas sebagai bentuk ekspresi seksual yang tidak “diridhai” oleh rezim
penguasa menuntut adanya celah-celah baru untuk dapat mengaktualisasikan kebutuhan
biologis mereka. Namun demikian, dengan adanya hegemonisasi konsep seksualitas yang
“sacral” yakni melalui institusi pernikahan heteroseksual dan juga berbagai kebijakan represi,
kaum homoseksual dibuat tidak berkutik dalam usaha pencarian celah pendefinisian baru
bagi diri mereka dalam batasan imajiner negara. Artinya, seorang homoseksual tidak
mendapat tempat dalam struktur masyarakat Indonesia, oleh karena keberadaannya yang
tidak sesuai dengan identitas nasional “Indonesia”.
Rezim penguasa dan segala modal budaya, social dan simbolik yang berhasil mereka
monopoli (Bourdieu, 1986) berhasil melegitimasi keabsahan “pernikahan heteroseksual”
sebagai wujud batas moral seksualitas yang masih dalam batasan “normal”. Dengan adanya
wacana utama / major ini, wacana-wacana tandingan seperti homoseksualitas pun semakin
terepresi dan perlahan dipaksa untuk dapat menyesuaikan diri dengan wacana utama yang
beredar di kalangan masyarakat. Dengan kata lain, seorang homoseksual, untuk dapat
menjadi seorang “Indonesia sepenuhnya” diharuskan untuk menginstitusikan dirinya dalam
lembaga pernikahan. Namun, oleh karena kaum homoseks terobyektifikasi dalam relasi kuasa
ini, mereka dihadapi dengan pilihan yang terbatas dan tidak dapat memunculkan saran / opsi
liannya, yakni: menikah dengan lawan jenis, atau tidak menikah sama sekali.
Baik memilih opsi menikah ataupun tidak sama sekali, sebenarnya kaum homoseksual
tetap tidak terbebaskan dari kungkungan strukturasi tubuh yang memposisikan mereka
sebagai kelompok yang kalah. Jika ia memilih untuk menikah, maka tantangan utama yang
dihadapi adalah pertanyaan apakah pernikahan tersebut dilandaskan atas rasa “cinta”, karena
jika tidak, maka kelompok keluarga yang terbentuk tidak dapat memaksimalkan fungsi
kenegaraan yang terimbuhkan dalam kesatuannya (Mengingat bahwa negara tidak berdiri atas
kumpulan individu, melainkan atas kumpulan keluarga). Di sisi lainnya, jika ia mengikuti
idealismenya untuk tetap tidak menikah, tantangan utama datang dari kultur dan standartstandart moral yang memberikan standarisasi usia dalam pernikahan dan bagaimana
“menikah” adalah suatu kewajiban bagi seorang Indonesia.
Ditengah gempuran kebijakan pro-heteroseksualitas pemerintah, implikasi opsi
terbatas yang sama-sama merugikan dan tuntutan represi rezim penguasa, kaum homoseksual
senantiasa dibuat tidak memiliki ruang ekspresi di Indonesia. Walaupun demikian, “cinta”
dan “hasrat” yang menjadi motor utama dari komuitas homoseksual, mendorong mereka
untuk tetap mampu memenuhi kebutuhan ekspresi seksual. Oleh karena adanya dua kekuatan
yang saling berhadap-hadapan ini (homoseksual – rezim penguasa), kaum homoseks terpaksa
terlempar dari struktu utama masyarakat dan membentuk ruang-ruang pendefinisian baru bagi
diri mereka diluar batas imajiner “negara”. Dalam ruang-ruang baru inilah kemudian,
homoseksualitas walaupun tertekan, tetap dapat mendefinisikan eksistensinya berdasarkan
resistensi-resistensi yang mereka lakukan. Bahkan, ruang resistensi baru ini kemudian
menjadi sarana “pelarian” bagi mereka yang “dibisukan” oleh strukturasi seksualitas tubuh.
Walaupun “membentuk ruang baru” dan bermaneuver di dalamnya terkesan sangat
positive, sebenarnya kaum homoseksual menjadi semakin jauh dari struktur social
masyarakat. Dengan semakin termarjinalakannya mereka ke wilayah-wilayah periferi
masyarakat, kaum homoseksual sebenarnya semakin jauh dari akses terhadap sumber daya
yang dimiliki oleh negara secara langsung. Untuk dapat “berintegrasi” dengan struktur utama
tersebut, kaum homoseksual terpaksa untuk meredefinisi (menipu) tubuh secara temporal

melalui berbagai gimmick yang mereka lakukan ketika berinteraksi dengan masyarakat pada
umumnya, sehingga mereka dapat diterima sebagai sosok yang “normal”.
DAFTAR PUSTAKA
Boellstorff, T. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. New Jersey:
Princeton University Press
-------------------------- Between Religion and Desire: Being Muslim and Gay in Indonesia.
American Anthropologist Association
Bowen, John R. 2003. Islam, Law, and Equality in Indonesia: An Anthropology of Public
Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press
Bouhdiba, Abdelwahab. 1998. Sexuality in Islam. Alan Sheridan, trans. Los Angeles: Saqi
Books.
Bourdieu, Pierre. 1983. The Forms of Capital. Goettingen: Otto Schartz & Co
Bunzl, Matti. 2004. Symptoms of Modernity: Jews and Queers in Late- Twentieth-Century
Vienna. Berkeley: University of California Press
Dwyer, Leslie K. 2000. Spectacular Sexuality: Nationalism, Development and the Politics of
Family Planning in Indonesia. In Gender Ironies of Nationalism: Sexing
the Nation. Tamar Mayer, ed. Pp. 25-62. London: Routledge.
Foucault, M. 1978. The History of Sexuality (Vol 1: An Introduction). London: Penguin
Books Ltd.
Howard, Richard Stephen. 1996. Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Family in Indonesia. Ph.D. dissertation, University of Illinois at UrbanaChampaign.
Kadir, H. A. 2007. Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks dam Seks
Bebas di Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress
Robinson, K. 1989. Choosing Contraception: Cultural Change and the Indonesian Family
Planning Programme. Pp. 21-38 in Creating Indonesian Cultures, Paul
Alexander, ed. Sydney: Oceania Publications
Warren, C. 1993. Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State. Oxford:
Oxford University Press