GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA docx
GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN
INDONESIA
A. ERA SEBELUM 1966, MASA PERALIHAN 1966-1668, DAN ERA
PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
ERA SEBELUM 1966
Selama sekitar dua puluh tahun pertama merdeka, perekonomian Indonesia
berkembang jurang menggembirakan. Dimana, perilaku kenaikan harga-harga barang secara
agresif sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1955. Ketika itu laju inflasi, diukur dengan
Indeks Biaya Hidup di Jakarta, naik 33 persen. Berdasarkan ini mencapai angka 40 persen
pada tahun 1958. Laju inflasi tahunan selama periode 1955-1960 rata-rata 23,5 persen.
Menjelang tahun 1960 terlihat tanda-tanda inflasi mereda, namun ternyata kembali meningkat
pada tahun 1961 dan bahkan berlanjut terus hingga tahun 1966. Pada tahun berakhirnya rezim
Orde Lama ini, Indonesia menggoreskan catatan penting yang tak diinginkan dalam sejarah
perekonomiannya: laju inflasi sekitar 650 persen.
Masa orde lama juga ditandai dengan berbagai fenomena ekonomi yang tidak
menyenangkan seperti nasionalisme perusahaan-perusahaan asing, kekurangan capital,
kebijakan anti-investasi asing, hilangnya pangsa pasar sejumlah komoditas dalam
perdagangan internasional, dan tekanan atas neraca pembayaran yang mengakibatkan
depresiasi rupiah.
Nasionalisme perusahaan-perusahaan asing dimulai pada tahun 1951, tetapi
pelaksanaannya terjadi secara besar-besaran pada tahun 1958. Ridakan ini merupakan
kelajutan pemberlakuan Undang-undang No. 78/1958 tentang investasi asing, yang intinya
berisikan tentang kebijakan anti-investasi. Ketika itu tumbuh subur pandangan bahwa
investasi asing bukan saja akan merupakan hambatan bagi pembangunan ekonomi Indonesia,
tetapi bahkan bertujuan hendak menguasai kehidupan perekonomian.
Rezim Orde Lama juga membawa kejanggalan pada sistem moneter. Bank-bank
pertama yang membentuk sistem moneter Indonesia adalah bank-bank asing hasil
nasionalisasi kecuali Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tahun 1946. Karena
kejanggalan dalam sejarah sistem moneter Indonesia,
maka pada tahun 1965 menteri untuk urusan Bank Sentral menggabungkan semua bank milik
pemerintah (termasuk Bank Indonesia) kedalam satu wadah tunggal yang dijuluki “Bank
Berjuang”. Tujuannya yaitu untuk mengelola dan mengendalikan langsung aktivitas san
sistem perbankan oleh hanya satu tangan yaitu pemerintah, sekaligus dalam rangka
melaksanakan gagasan “ekonomi terpimpin” yang dilancarkan oleh pemerintah ketika itu.
MASA PERALIHAN 1966-1968
Menyusul kudeta komunis yang gagal dalam bulan September 1965, sebuah
pemerintah baru tampil sejak maret 1966. Rezim baru ini mewarisi keadaan perekonomian
yang porak poranda yang mana:
a) Ketidakmampuan memenuhi kewajiban utang luar negeri lebih dari US$ 2 milliar,
b) Penerimaan ekspor yang hanya setengah dari pengeluaran untuk impor barang dan jasa,
c) Ketidakberdayaan mengendalikan anggaran belanja dan memungut pajak,
d) Laju inflasi 30-50 persen per bulan, dan
e) Buruknya kondisi prasarana perekonomian serta penurunan kapasitas produktif sektor
industri dan ekspor.
Untuk mengatasi keadaan diatas maka ditetapkan beberapa langkah prioritas
kebijakan ekonomi berupa upaya-upaya:
a) Memerangi hiperinflasi,
b) Mencukupkan stok bahan pangan, khususnya beras,
c) Merehabilitas prasarana perekonomian,
d) Meningkatkan ekspor,
e) Menyediakan dan menciptakan lapangan kerja, dan
f) Mengundang kembali investasi asing.
Secara keseluruhan, program ekonomi pemerintah Orde Baru ini dibagi menjadi dua
jangka waktu yang saling berkaitan yaitu jangka pendek dan jangka panjang (rencana
pembangunan lima tahun/REPELITA).
Program ekonomi jangka pendek terdiri atas:
1. Tahap penyelamatan (Juli – Desember 1966)
2. Tahap rehabilitas (Januari – Juni 1967)
3. Tahap konsolidasi (Juli – Desember 1967)
4. Tahap stabilisasi (Januari – Juni 1968)
Dalam mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah memperkenalkan kebijakan
anggaran berimbang (balanced budget policy). Sementara itu, berkenaan dengan beban
utang luar negeri, terbentuk sebuah “konsorsium” Negara-negara donator bernama InterGovermental Group on Indonesia (IGGI).
Di sektor moneter, dilakukan reformasi besar atas sistem perbankan. Bersamaan
dengan itu, Indonesia kembali menjadi anggota International Monetary Fund (Indonesia
keluar dari IMF pada bulan agustus 1965). Tiga undang-undang baru tentang perbankan
diberlakukan yaitu:
a. Undang-undang tentang Perbankan tahun 1967,
b. Undang-undang tentang Bank Sentral tahun 1968, dan
c. Undang-undang tentang Bank Asing tahun 1968.
ERA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
1. REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan
ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup
sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti
oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah
sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri
dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan
baku.
3. REPELITA III (1979-1984)
Prioritas tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sektor pertanian
menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi.
4. REPELITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata,
memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri sendiri.
5. REPELITA V
Pertumbuhan rata-rata 6,70% per tahun, dibandingkan rata-rata 5,32% dalam pelita
sebelumnya. Ekspor komoditas nonmigas meningkat pesat, Indonesia bahkan mulai
berhasil mengekspor berbagai produk industri. Periode ini mengantarkan Indonesia
menjadi sebuah Negara industri baru (a newly industrialized country /NIC).
6. REPELITA VI
Tareget-target yang dicapai pada repelita VI adalah:
a. Pertumbuhan Ekonomi secara keseluruhan 6,2 %
b. Sektor Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 3,5 %
c. Sektor Industri 9 %
d. Sektor Manufaktur di Luar Migas 10,0 %
e. Sektor Jasa 6,5%
f. Laju Inflasi 5,0 %
g. Eksport non Migas 16,5 %
h. Eksport Manufaktur 17,5 %
i. Debt Service Ratio 20,0 %
j. GDP Rp. 2.150,0 triliun
k. Nilai Investasi Rp. 660,1 triliun
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah
mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan
industri bertahap.
B. GEJOLAK POLITIK SEBELUM ORDE BARU
Secara politis, kurun waktu sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 dapat dipilah
menjadi tiga periode yaitu:
1. Periode 1945-1950,
2. Periode Demokrasi Parlementer (1950 – 1959), dan
3. Periode Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965).
a) Kabinet Hatta, Desember 1949 – September 1950
Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang
dipimpin oleh pakar ekonomi profesional, hal ini terlihat pada perhatiannya pada masalahmasalah ekonomi cukup besar.
Tindakan yang paling penting yang dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melaui
devaluasi mata uang secara serempak dan pemotongan (dalam arti harafiah) uang yang
beredar pada bulan maret 1950. Pemotongan uang ini melibatkan pengguntingan menjadi
separuh atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih
dari 2,50 gulden Indonesia (samapai dengan 22 Mei 1951, saat De Javasche Bank
dinasionalisasikan menjadi Bank Indonesia, mata uang Indonesia bernama gulden), dan
pengurangan seluruh deposito bank yang bernilai di atas 400 gulden menjadi separohnya.
Sebagai ganti rugi akibat tindakan yang terakhir ini, kepada pemegang depositonya
diberikan obligasi jangka panjang pemerintah.
b) Kabinet Natsir, September 1950 – Maret 1951
Pada masa kabinet Natsir, Natsir dan kawan-kawan berhasil memanfaatkan situasi “perang
korea” untuk keperluan pembangunan. Ekspor terdorong kuat sehingga mampu mengatasi
kesulitan neraca pembayaran, sekaligus menaikkan penerimaan pemerintah. Impor
diliberalisasikan sebagai upaya menekan tingkat harga –harga umum dalam negeri. Kredit
bagi perusahaan-perusahaan pribumi diperlunak. Suatu kombinasi kebijakan fiscal yang
ketat dan penerimaan yang tinggi sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup
besar pada tahun 1951.
Pada masa kabinet ini pertama kalinya terumuskan perencanaan pembangunan, yaitu
Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
c) Kabinet Sukiman, April 1951 – Februari 1952
Masa pemerintahan Sukiman mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah
perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah nasionalisme De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia (22 Mei 1951) dan memburuknya situasi fiscal. Menurunnya ekspor,
sistem kurs berganda (multiple exchange rate system), yang telah menjebak sistem
perekonomian sejak 1950.
d) Kabinet Wilopo, April 1952 – Juni 1953
Kabinet Wilopo memperkenalkan konsep anggaran berimbang (balanced budget)
dalam APBN. Impor bukan saja diperketat, tetapi juga diharuskan melakukan pembayaran
dimuka. Pekerjaan ekonomi besar yang dilakukan semasa Wilopo adalah “rasionalisasi” .
Strategi pembangunan ekonomi yang ditempuh oleh Wilopo juga tak berbeda dengan yang
dijalankan oleh pendahulunya. Kabinet tetap melanjutkan Rencana Urgensi Perekonomian,
temasuk Program Benteng yang merupakan upaya untuk membentuk sesuatu kelas
menegah nasional dengan jalan membatasi alokasi impor hanya kepada pengusahapengusaha nasional. Program benteng yang merupakan bagian dari RUP ini bersifat
diskriminatif-rasial. Efek merugikannya sangat dirasakan oleh golongan pengusaha
(terutama importer) nonpribumi sejak pertengahan tahun 1953, akhir masa kerja Kabinet
Wilopo.
e) Kabinet Ali I, Agustus 1953 – Juli 1955
Kabinet Ali I sangat melindungi importer pribumi, sangat menggebu-gebu untuk
mengubah perekonomian dari struktur kolonial menjadi nasional. Ini terlihat sekitar lima
bulan ia menjabat, jumlah pengusaha nasional yang tergolong kedalam “importer benteng”
membengkak luar biasa. Dari 700 menjadi 4300 importer.
Ditinjau dari sisi fiskal, masa Sembilan bulan pertama kabinet ini bahkan dapat dikatakan
sebagai katastropik. Kegagalan fiskal ini bahkan mengundang kecaman keras, sehingga
Ali mengganti beberapa anggota utama kabinetnya. Karena goncangan kabinet, tindakan
restabilisasi diarahkan pada pembatasan impor dan upaya ini cukup berhasil. Akan tetapi
disis lain, upaya pengendalian laju uang beredar kurang sukses.
f) Kabinet Burhanuddin, Agustus 1955-1956
Tindakan ekonomi penting yang dilakukan Kabinet Burhaniddin diantaranya adalah
liberalisasi impor (politik rasialisme terhadap importer dihapuskan). Pada saat yang sama,
kebijakan pembayaran dimuka atas impor ditingkatkan. Laju uang yang beredar berhasil
ditekan, berkurang sekitar 5 persen (senilai Rp 600 juta ketika itu). Begitu pula harga
barang-barang eks impor, yang pada paruh pertama tahun 1955 telah naik hampir 13
persen. Nilai rupiah bahkan naik sekitar 8 persen terhadap emas.
Kabinet Burhaniddin dinilai berhasil dan konsisten dalam melaksanakan RUP.
Pembangunan ekonomi relative berhasil berkat perluasan pembentukan modal melaui
penyempurnaan Program Benteng, yakni dengan membentuk suatu Dewan Alat-alat
Pembayaran Luar Negeri.
g) Kabinet Ali II, April 1956- Maret 1957
Ali Sastroamidjojo kembali naik panggung pemerintahan, dan merupakan kabinet hasil
pemilihan umum pertama. Kabinet ini nyaris tak sempat berbuat apa-apa dalam bidang
perekonomian. Dimana, penyeludupan merajalela sehingga merosotkan cadangan devisa
dan defisit berat dalam anggaran Negara terjadi lagi. Setifikat pendorong Ekspor, yang
sebelumnya sempat dibekukan dicairkan kembali. Utang pada belanda dihapuskan,
sementara itu pemerintah menerima bantuan US$55 juta dari Dana Moneter Internasional
(IMF). Undang-undang tentang penanaman modal asing diajukan ke DPR. Pada saat yang
sama diberlakukan undang-undang anti pemogokan dan anti pemilikan tanah secara tidak
sah. Undang-undang yang terakhir ini merupakan sebuah upaya untuk melindungi
perkebunan-perkebunan yang sebagian besar dimiliki dan dioperasikan oleh orang asing.
h) Kabinet Djuanda
Semasa pemerintahan Djuanda dengan perekonomian yang bersifat terpimpin ini,
instrument ekspor berupa Sertifikat Pendorong Ekspor (SPE) diganti/disederhanakan
menjadi Bukti Ekspor (BE). Dalam bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan
(nasionalisme) perusahaan-perusahaan belanda. Kabinet Djuanda pun harus berjuang dan
akhirnya kalah melawan gejolak keuangan pemerintah bahkan harus menanggung defisit
anggaran sebesar Rp5,5 milliar, atau hampir 22 persen dari pengeluaran total pemerintah.
Kendati telah diwariskan rumusan Rencana Lima Tahun oleh Kabinet Ali II, bahkan
disusul dengan pelaksanaan Musyawarah Nasional Perencanaan (Munap) pada bulan
November 1957, namun cabinet ini tak dapat berbuatbanyak bagi pembangunan ekonomi.
INDONESIA
A. ERA SEBELUM 1966, MASA PERALIHAN 1966-1668, DAN ERA
PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
ERA SEBELUM 1966
Selama sekitar dua puluh tahun pertama merdeka, perekonomian Indonesia
berkembang jurang menggembirakan. Dimana, perilaku kenaikan harga-harga barang secara
agresif sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1955. Ketika itu laju inflasi, diukur dengan
Indeks Biaya Hidup di Jakarta, naik 33 persen. Berdasarkan ini mencapai angka 40 persen
pada tahun 1958. Laju inflasi tahunan selama periode 1955-1960 rata-rata 23,5 persen.
Menjelang tahun 1960 terlihat tanda-tanda inflasi mereda, namun ternyata kembali meningkat
pada tahun 1961 dan bahkan berlanjut terus hingga tahun 1966. Pada tahun berakhirnya rezim
Orde Lama ini, Indonesia menggoreskan catatan penting yang tak diinginkan dalam sejarah
perekonomiannya: laju inflasi sekitar 650 persen.
Masa orde lama juga ditandai dengan berbagai fenomena ekonomi yang tidak
menyenangkan seperti nasionalisme perusahaan-perusahaan asing, kekurangan capital,
kebijakan anti-investasi asing, hilangnya pangsa pasar sejumlah komoditas dalam
perdagangan internasional, dan tekanan atas neraca pembayaran yang mengakibatkan
depresiasi rupiah.
Nasionalisme perusahaan-perusahaan asing dimulai pada tahun 1951, tetapi
pelaksanaannya terjadi secara besar-besaran pada tahun 1958. Ridakan ini merupakan
kelajutan pemberlakuan Undang-undang No. 78/1958 tentang investasi asing, yang intinya
berisikan tentang kebijakan anti-investasi. Ketika itu tumbuh subur pandangan bahwa
investasi asing bukan saja akan merupakan hambatan bagi pembangunan ekonomi Indonesia,
tetapi bahkan bertujuan hendak menguasai kehidupan perekonomian.
Rezim Orde Lama juga membawa kejanggalan pada sistem moneter. Bank-bank
pertama yang membentuk sistem moneter Indonesia adalah bank-bank asing hasil
nasionalisasi kecuali Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tahun 1946. Karena
kejanggalan dalam sejarah sistem moneter Indonesia,
maka pada tahun 1965 menteri untuk urusan Bank Sentral menggabungkan semua bank milik
pemerintah (termasuk Bank Indonesia) kedalam satu wadah tunggal yang dijuluki “Bank
Berjuang”. Tujuannya yaitu untuk mengelola dan mengendalikan langsung aktivitas san
sistem perbankan oleh hanya satu tangan yaitu pemerintah, sekaligus dalam rangka
melaksanakan gagasan “ekonomi terpimpin” yang dilancarkan oleh pemerintah ketika itu.
MASA PERALIHAN 1966-1968
Menyusul kudeta komunis yang gagal dalam bulan September 1965, sebuah
pemerintah baru tampil sejak maret 1966. Rezim baru ini mewarisi keadaan perekonomian
yang porak poranda yang mana:
a) Ketidakmampuan memenuhi kewajiban utang luar negeri lebih dari US$ 2 milliar,
b) Penerimaan ekspor yang hanya setengah dari pengeluaran untuk impor barang dan jasa,
c) Ketidakberdayaan mengendalikan anggaran belanja dan memungut pajak,
d) Laju inflasi 30-50 persen per bulan, dan
e) Buruknya kondisi prasarana perekonomian serta penurunan kapasitas produktif sektor
industri dan ekspor.
Untuk mengatasi keadaan diatas maka ditetapkan beberapa langkah prioritas
kebijakan ekonomi berupa upaya-upaya:
a) Memerangi hiperinflasi,
b) Mencukupkan stok bahan pangan, khususnya beras,
c) Merehabilitas prasarana perekonomian,
d) Meningkatkan ekspor,
e) Menyediakan dan menciptakan lapangan kerja, dan
f) Mengundang kembali investasi asing.
Secara keseluruhan, program ekonomi pemerintah Orde Baru ini dibagi menjadi dua
jangka waktu yang saling berkaitan yaitu jangka pendek dan jangka panjang (rencana
pembangunan lima tahun/REPELITA).
Program ekonomi jangka pendek terdiri atas:
1. Tahap penyelamatan (Juli – Desember 1966)
2. Tahap rehabilitas (Januari – Juni 1967)
3. Tahap konsolidasi (Juli – Desember 1967)
4. Tahap stabilisasi (Januari – Juni 1968)
Dalam mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah memperkenalkan kebijakan
anggaran berimbang (balanced budget policy). Sementara itu, berkenaan dengan beban
utang luar negeri, terbentuk sebuah “konsorsium” Negara-negara donator bernama InterGovermental Group on Indonesia (IGGI).
Di sektor moneter, dilakukan reformasi besar atas sistem perbankan. Bersamaan
dengan itu, Indonesia kembali menjadi anggota International Monetary Fund (Indonesia
keluar dari IMF pada bulan agustus 1965). Tiga undang-undang baru tentang perbankan
diberlakukan yaitu:
a. Undang-undang tentang Perbankan tahun 1967,
b. Undang-undang tentang Bank Sentral tahun 1968, dan
c. Undang-undang tentang Bank Asing tahun 1968.
ERA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
1. REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan
ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup
sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti
oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah
sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri
dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan
baku.
3. REPELITA III (1979-1984)
Prioritas tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sektor pertanian
menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi.
4. REPELITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata,
memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri sendiri.
5. REPELITA V
Pertumbuhan rata-rata 6,70% per tahun, dibandingkan rata-rata 5,32% dalam pelita
sebelumnya. Ekspor komoditas nonmigas meningkat pesat, Indonesia bahkan mulai
berhasil mengekspor berbagai produk industri. Periode ini mengantarkan Indonesia
menjadi sebuah Negara industri baru (a newly industrialized country /NIC).
6. REPELITA VI
Tareget-target yang dicapai pada repelita VI adalah:
a. Pertumbuhan Ekonomi secara keseluruhan 6,2 %
b. Sektor Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 3,5 %
c. Sektor Industri 9 %
d. Sektor Manufaktur di Luar Migas 10,0 %
e. Sektor Jasa 6,5%
f. Laju Inflasi 5,0 %
g. Eksport non Migas 16,5 %
h. Eksport Manufaktur 17,5 %
i. Debt Service Ratio 20,0 %
j. GDP Rp. 2.150,0 triliun
k. Nilai Investasi Rp. 660,1 triliun
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah
mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan
industri bertahap.
B. GEJOLAK POLITIK SEBELUM ORDE BARU
Secara politis, kurun waktu sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 dapat dipilah
menjadi tiga periode yaitu:
1. Periode 1945-1950,
2. Periode Demokrasi Parlementer (1950 – 1959), dan
3. Periode Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965).
a) Kabinet Hatta, Desember 1949 – September 1950
Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang
dipimpin oleh pakar ekonomi profesional, hal ini terlihat pada perhatiannya pada masalahmasalah ekonomi cukup besar.
Tindakan yang paling penting yang dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melaui
devaluasi mata uang secara serempak dan pemotongan (dalam arti harafiah) uang yang
beredar pada bulan maret 1950. Pemotongan uang ini melibatkan pengguntingan menjadi
separuh atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih
dari 2,50 gulden Indonesia (samapai dengan 22 Mei 1951, saat De Javasche Bank
dinasionalisasikan menjadi Bank Indonesia, mata uang Indonesia bernama gulden), dan
pengurangan seluruh deposito bank yang bernilai di atas 400 gulden menjadi separohnya.
Sebagai ganti rugi akibat tindakan yang terakhir ini, kepada pemegang depositonya
diberikan obligasi jangka panjang pemerintah.
b) Kabinet Natsir, September 1950 – Maret 1951
Pada masa kabinet Natsir, Natsir dan kawan-kawan berhasil memanfaatkan situasi “perang
korea” untuk keperluan pembangunan. Ekspor terdorong kuat sehingga mampu mengatasi
kesulitan neraca pembayaran, sekaligus menaikkan penerimaan pemerintah. Impor
diliberalisasikan sebagai upaya menekan tingkat harga –harga umum dalam negeri. Kredit
bagi perusahaan-perusahaan pribumi diperlunak. Suatu kombinasi kebijakan fiscal yang
ketat dan penerimaan yang tinggi sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup
besar pada tahun 1951.
Pada masa kabinet ini pertama kalinya terumuskan perencanaan pembangunan, yaitu
Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
c) Kabinet Sukiman, April 1951 – Februari 1952
Masa pemerintahan Sukiman mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah
perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah nasionalisme De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia (22 Mei 1951) dan memburuknya situasi fiscal. Menurunnya ekspor,
sistem kurs berganda (multiple exchange rate system), yang telah menjebak sistem
perekonomian sejak 1950.
d) Kabinet Wilopo, April 1952 – Juni 1953
Kabinet Wilopo memperkenalkan konsep anggaran berimbang (balanced budget)
dalam APBN. Impor bukan saja diperketat, tetapi juga diharuskan melakukan pembayaran
dimuka. Pekerjaan ekonomi besar yang dilakukan semasa Wilopo adalah “rasionalisasi” .
Strategi pembangunan ekonomi yang ditempuh oleh Wilopo juga tak berbeda dengan yang
dijalankan oleh pendahulunya. Kabinet tetap melanjutkan Rencana Urgensi Perekonomian,
temasuk Program Benteng yang merupakan upaya untuk membentuk sesuatu kelas
menegah nasional dengan jalan membatasi alokasi impor hanya kepada pengusahapengusaha nasional. Program benteng yang merupakan bagian dari RUP ini bersifat
diskriminatif-rasial. Efek merugikannya sangat dirasakan oleh golongan pengusaha
(terutama importer) nonpribumi sejak pertengahan tahun 1953, akhir masa kerja Kabinet
Wilopo.
e) Kabinet Ali I, Agustus 1953 – Juli 1955
Kabinet Ali I sangat melindungi importer pribumi, sangat menggebu-gebu untuk
mengubah perekonomian dari struktur kolonial menjadi nasional. Ini terlihat sekitar lima
bulan ia menjabat, jumlah pengusaha nasional yang tergolong kedalam “importer benteng”
membengkak luar biasa. Dari 700 menjadi 4300 importer.
Ditinjau dari sisi fiskal, masa Sembilan bulan pertama kabinet ini bahkan dapat dikatakan
sebagai katastropik. Kegagalan fiskal ini bahkan mengundang kecaman keras, sehingga
Ali mengganti beberapa anggota utama kabinetnya. Karena goncangan kabinet, tindakan
restabilisasi diarahkan pada pembatasan impor dan upaya ini cukup berhasil. Akan tetapi
disis lain, upaya pengendalian laju uang beredar kurang sukses.
f) Kabinet Burhanuddin, Agustus 1955-1956
Tindakan ekonomi penting yang dilakukan Kabinet Burhaniddin diantaranya adalah
liberalisasi impor (politik rasialisme terhadap importer dihapuskan). Pada saat yang sama,
kebijakan pembayaran dimuka atas impor ditingkatkan. Laju uang yang beredar berhasil
ditekan, berkurang sekitar 5 persen (senilai Rp 600 juta ketika itu). Begitu pula harga
barang-barang eks impor, yang pada paruh pertama tahun 1955 telah naik hampir 13
persen. Nilai rupiah bahkan naik sekitar 8 persen terhadap emas.
Kabinet Burhaniddin dinilai berhasil dan konsisten dalam melaksanakan RUP.
Pembangunan ekonomi relative berhasil berkat perluasan pembentukan modal melaui
penyempurnaan Program Benteng, yakni dengan membentuk suatu Dewan Alat-alat
Pembayaran Luar Negeri.
g) Kabinet Ali II, April 1956- Maret 1957
Ali Sastroamidjojo kembali naik panggung pemerintahan, dan merupakan kabinet hasil
pemilihan umum pertama. Kabinet ini nyaris tak sempat berbuat apa-apa dalam bidang
perekonomian. Dimana, penyeludupan merajalela sehingga merosotkan cadangan devisa
dan defisit berat dalam anggaran Negara terjadi lagi. Setifikat pendorong Ekspor, yang
sebelumnya sempat dibekukan dicairkan kembali. Utang pada belanda dihapuskan,
sementara itu pemerintah menerima bantuan US$55 juta dari Dana Moneter Internasional
(IMF). Undang-undang tentang penanaman modal asing diajukan ke DPR. Pada saat yang
sama diberlakukan undang-undang anti pemogokan dan anti pemilikan tanah secara tidak
sah. Undang-undang yang terakhir ini merupakan sebuah upaya untuk melindungi
perkebunan-perkebunan yang sebagian besar dimiliki dan dioperasikan oleh orang asing.
h) Kabinet Djuanda
Semasa pemerintahan Djuanda dengan perekonomian yang bersifat terpimpin ini,
instrument ekspor berupa Sertifikat Pendorong Ekspor (SPE) diganti/disederhanakan
menjadi Bukti Ekspor (BE). Dalam bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan
(nasionalisme) perusahaan-perusahaan belanda. Kabinet Djuanda pun harus berjuang dan
akhirnya kalah melawan gejolak keuangan pemerintah bahkan harus menanggung defisit
anggaran sebesar Rp5,5 milliar, atau hampir 22 persen dari pengeluaran total pemerintah.
Kendati telah diwariskan rumusan Rencana Lima Tahun oleh Kabinet Ali II, bahkan
disusul dengan pelaksanaan Musyawarah Nasional Perencanaan (Munap) pada bulan
November 1957, namun cabinet ini tak dapat berbuatbanyak bagi pembangunan ekonomi.