Teori Kritik dan Kebangkitan Neo fungsio

Review I Mata Kuliah Institusi Internasional
NPM

:

1306459966

Departemen

:

Ilmu Hubungan Internasional

Sumber Utama :

Jensen, Carsten S. “Neo-functionalism.” In European Union Politics, edited by
Michelle Cini, 80—92. Oxford: Oxford University Press, 2006

Teori, Kritik, dan Kebangkitan Neo-fungsionalisme
Berbagai teori bermunculan dengan adanya fenomena-fenomena kerja sama regional yang
muncul pasca Perang Dunia II. Salah satunya adalah teori neo-fungsionalisme yang dipopulerkan

oleh Ernest Haas.1 Teori inilah yang diulas Jensen dalam tulisannya. Ia menguraikan secara singkat
apa yang dimaksud dengan neo-fungsionalisme, sejarah singkat perkembangan neofungsionalisme,
serta tiga tesis yang dikemukakan oleh neo-fungsionalis. Namun, teori neo-fungsionalisme ini
mendapat tentangan dari banyak pihak terutama pada tahun 1970-an, antara lain dari Moravscik
yang mempopulerkan teori intergovernalisme. Meskipun mendapat banyak kritik dan hampir
menghilang, teori neo-fungsionalisme bangkit kembali pada tahun 1980-an dan 1990-an. Meskipun
demikian teori neo-fungsionalis yang ada saat ini berbeda dengan neo-fungsionalis tahun 1990-an2.
Perbedaan ini juga akan disampaikan dalam tulisan ini. Kemudian penulis juga akan
menyampaikan argumen penulis bahwa meskipun banyak memperoleh kritikan, namun teori neofungsionalisme masih relevan dalam beberapa aspek dalam integrasi regional dan kemudian
mengakhiri tulisan ini dengan kesimpulan.
Neo-fungsionalisme muncul pada tahun 1958 dengan munculnya publikasi oleh Ernst. B.
Haas yang berjudul The Uniting of Europe: Political, Social, and Economic Forces. Tujuan awal
Haas dalam menulis hal tersebut adalah untuk menyediakan sebuah grand theory yang dapat
menjelaskan kerja sama regional secara objektif dan ilmiah serta dapat menjelaskan berbagai
fenomena kerja sama regional lainnya di dunia (misalnya di Amerika Selatan). Namun, pada
perkembangannya teori ini cenderung diasosiasikan dengan EU/EC. Salah satu alasannya adalah
integrasi politik dan ekonomi terbaik terjadi di Eropa. Eropa dan integrasi Eropa pun menjadi fokus
utama para neo-fungsionalis pada masa 1960-an dan 1970-an. Perkembangan neo-fungsionalisme
kemudian mengalami penurunan dan bahkan hampir hilang pada tahun 1970-an. Salah satu
alasannya adalah kurangnya basis teoritis yang kokoh untuk pengamatannya. Alasan lainnya adalah

peningkatan tingkat integrasi yang dipredikisi oleh para neo-fungsionalis tidak terjadi. Namun,
pada akhir 1980-an dan selama 1990-an. Teori neo-fungsionalisme mengalami kebangkitan karena
adanya dinamika baru di EC/EU berupa single market programme. Bahkan pihak-pihak yang
tadinya mengkritik neo-fungsionalisme mulai mempertimbangkan pendekatan ini. 3

Carsten S. Jensen. Neo-fu ctio alis . I Europea U io Politics, ed. by Michelle Cini. Oxford: Oxford University
Press, 2003, hal. 81
2
Ibid.
3
Ibid, hal. 83

1

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan neo-fungsionalisme? Neo-fungsionalisme
adalah teori dari integrasi regional yang berusaha menjelaskan proses integrasi (Eropa). Secara
singkat, Jensen mengungkapkan bahwa ada tiga karakteristik dari neo-fungsionalisme yang dapat
membantu memahami teori neo-fungsionalisme. Pertama, konsep inti dari neo-fungsionalisme
adalah spillover . Spillover mengacu pada sebuah proses dimana kooperasi politik dilaksanakan
dengan tujuan spesifik yang kemudian membuat terbentuknya tujuan-tujuan baru untuk

memastikan tercapainya tujuan-tujuan lama. Sebagai contoh, salah satu tujuan yang ingin dicapai
EU adalah kebebasan bergerak bagi pekerja di seluruh negara anggota EU. Namun, karena ada
perbedaan sistem pendidikan nasional misalnya, seorang perawat tidak bisa bekerja di luar
negaranya. Hal ini akan mendorong terciptanya tujuan pembentukan kebijakan baru di bidang
pendidikan untuk mengatasi masalah ini. Intinya, spillover mengacu pada situasi dimana kerja
sama di suatu bidang mengharuskan terjadinya kerja sama di bidang lainnya. Hal ini akan
dijelaskan lebih lanjut nanti. Terdapat tiga tipe spillover , yaitu functional spillover, political
spillover, dan cultivated spillover. Functional spillover dilakukan untuk kebutuhan yang bersifat
fungsional atau teknikal. Contohnya adalah dalam kasus single European market: untuk mengurani
trade barrier , dibuat regulasi baru di bidang kesehatan dan keselamatan kerja, karena perbedaan
regulasi nasional yang ada dapat menghalangi kebebasan bergerak di EU. Political spillover adalah
spillover yang terjadi namun bukan didasari oleh alasan teknikal maupun fungsional, namun lebih
karena alasan-alasan ideologis atau politis. Contoh, salah satu negara anggota memiliki
kepentingan di bidang agrikultur, kemudian ada negara lain yang memiliki kepentingan di bidang
kebijakan industri, kemudian mereka sepakat, secara formal maupun informal, untuk mendukung
satu sama lain dalam negosiasi di tingkat regional. Sedangkan, cultivated spillover dapat dilihat
dalam situasi saat aktor supranasional, misalnya Komisi Eropa mendorong agenda/kepentingan
supranasional atau transnasional untuk diterapkan oleh anggota-anggotanya, bahkan saat anggotaanggotanya tersebut ragu.4
Kemudian ada pula yang disebut elite socialization. Inti dari argument ini adalah dalam
proses integrasi tersebut, para pemimpin dan elit-elit yang terlibat akan menjadi lebih “Eropa”.

Artinya, terjadi pergeseran ‘kesetiaan’ sehingga lama kelamaan, bukan lagi national interest yang
mereka prioritaskan melainkan kepentingan-kepentingan regional. Contohnya adalah: perwakilanperwakilan di Komisi Eropa yang alih-alih memperjuangkan national interest-nya, mereka malah
berusaha memajukan kepentingan regional. Akibatnya, elit-elit tersebut menjadi loyal pada region
dan kemudian mempromosikan kerja sama regional. Dengan demikian, institusi supranasional
tersebut menjadi less-political dan agenda dari institusi supranasional tersebut menjadi lebih
bersifat teknis.5
Ketiga, neo-fungsionalis percaya bahwa kelompok kepentingan juga menjadi lebih ‘Eropa’
Kelompok-kelompok kepentingan ini akan berusaha mengikuti perkembangan integrasi ekonomi
dan politik dan mencoba membuat organisasi supranasional mereka sendiri. Contohnya adalah
pengusaha-pengusaha industri mendirikan UNICE tahun 1958 (kini dikenal dengan nama Business
4
5

Ibid, hal. 84—85
Ibid, hal. 86

Europe). Neo-fungsionalis juga percaya bahwa kelompok-kelompok kepentingan ini akan
mengajukan permintaan kepada pemerintah negara mereka masing-masing untuk integrasi lebih
jauh. 6
Jensen kemudian menulis bahwa teori neo-fungsionalisme mendapatkan kritik, baik secara

empiris maupun teoritis. Secara empiris, dikatakan bahwa teori neo-fungsionalisme tidak relevan
dengan kondisi Eropa pada tahun 1970-an karena tidak adanya (atau lambatnya) proses integrasi
politik di Eropa yang sebelumnya diprediksi akan terjadi oleh para neo-fungsionalis. 7 Godowska
juga mengungkapkan bahwa kesalahan utama dari teori neo-fungsionalis ini adalah asumsi bahwa
proses integrasi akan berjalan terus-menerus dan otomatis sebagai proses yang linear dan
berkelanjutan, Padahal, dalam kenyataannya, proses integrasi kadang berjalan dan kadang terhenti. 8
Secara teoritis, konsep elite socialization dan pergeseran kesetiaan dikritik oleh Paul Taylor.
Menurutnya, adanya integrasi tidak lantas membuat elit-elit tersebut menjadi lebih Eropa,
melainkan adanya integrasi tersebut akan membuat negara-negara anggota memiliki perwakilan
‘nasional’ di institusi regional misalnya Komisi Eropa agar kepentingan negara tersebut dapat
terwakili. 9 Sejalan dengan pendapat Taylor, Godowska mengutip pernyataan Juliet Lodge juga
berpendapat bahwa pergeseran kesetiaan tidak serta merta terjadi, tetapi dipengaruhi oleh dimensi
ideologis dan simbolik dari komunitas politik. 10
Haas sendiri juga mengakui adanya kekurangan-kekurangan pada teori neo-fungsionalisme.
Menurutnya, neo-fungsionalisme telah gagal menjelaskan kondisi Eropa tahun 1970-an.11
Kegagalan ini, menurut Haas disebabkan oleh karena teori neo-funsgionalisme meremehkan faktorfaktor seperti perbedaan kondisi dan ekspektasi di antara para anggota (termasuk di antaranya
munculnya pemimpin dengan gaya kepemimpinan baru di tingkat nasional seperti Charles de
Gaulle); pentingnya nasionalisme dan ideologi (teori neo-fungsionalisme meremehkan pentingnya
ideologi karena integrasi dianggap sebagai proses yang murni bersifat teknis); serta pengaruh dari
lingkungan luar).12

Haas juga sempat menyarankan agar digunakannya pendekatan yang berbeda untuk
menganalisis proses integrasi regional tersebut. Ia menyarankan teori interdependence yang
dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Keohane dan Nye. Argumen dalam teori
interdependence ini adalah institusi internasional semacam Uni Eropa atau Komisi Eropa sebaiknya

dianalisis sebagai bentuk tumbuhnya international interdependence 13.
Selain itu, beberapa pihak menganggap bahwa teori neo-fungsionalisme terlalu
mengedepankan komponen supranasional dalam integrasi regional. Menurut para kritikus,
seharusnya nation-state lah yang harus diberi penekanan lebih dan seharusnya bentuk kerja sama
6

Ibid, hal. 87
Ibid, hal. 88
8
Magdalena Godowska. The rele a ce of eofu ctio alis i e plai i g Europea i tegratio i its origi a d
toda Jour al for Perspecti es of Eco o ic Political a d “ocial I tegratio 8
, pp. 150
9
Carsten S. Jensen, op. cit., hal. 88-89
10

Magdalena Godowska, op. cit, hal. 149
11
Carsten S. Jensen, op. cit, hal. 89
12
Magdalena Godowska, loc. cit.
13
Carsten S. Jensen, loc. cit.
7

regional dianalisis sebagai intergovernmental organization.14 Dalam teori intergovernmentalisme,
peran dari institusi supranasional tidak dianggap terlalu signifikan. Mereka mengakui adanya
proses dari integrasi ekonomi yang kemudian menjadi integrasi secara politis serta adanya
kontribusi dari secretariat internasional dalam mengatur kerja sama antarnegara dan pengadilan
internasional yang memastikan berjalannya kerja sama tersebut sesuai kesepakatan. Namun,
mereka lebih melihat proses integrasi yang terjadi adalah karena adanya kesamaan kepentingankepentingan dari masing-masing negara anggota (terutama kepentingan dalam bidang ekonomi).
Berbeda dengan neo-fungsionalis yang menyiratkan bahwa integrasi terjadi lebih karena kebutuhan
yang bersifat teknis, intergovernmentalis seperti Moravcsik lebih menekankan peran dari pemimpin
nasional (national leaders). Moravcsik lebih melihat bahwa yang menggerakan proses integrasi
adalah pemimpin suatu negara yang merespon permintaan konstituen nasional dan reaksi terhadap
desakan ekonomi global15:

“This explanation of integration breaks with the bulk of existing scholarship on the EC. It
rejects the view that integration has been driven primarily – as Jean Monnet and his social
scientific counterparts, the neofunctionalists, long maintained – by a technocratic process
reflecting imperatives of modern economic planning, the unintended consequences of
previous decisions, and the entrepreneurship of disinterested supranational experts. The
integration process did not supersede or circumvent the political will of national leaders; it
reflected their will”16
Terakhir, neo-fungsionalisme juga dianggap terlalu elitis dan tidak melihat dari sudut
pandang warga Eropa biasa. Neo-fungsionalis dianggap melihat integrasi sebagai proses perubahan
fungsional atau teknokratik saja yang cenderung melibatkan para ahli saja sehingga teori ini
dianggap tidak demokratis serta tidak sesuai dan tidak akurat bagi masyarakat Eropa pada awal
abad ke-21.17
Meskipun demikian, bukan berarti teori neo-fungsionalisme tidak lagi relevan. Walaupun
banyak dikritik dan hampir menghilang, teori neo-fungsionalisme bangkit kembali pada masa
1980-an dan 1990-an. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya European single market yang
dianggap menandai fase baru kerja sama ekonomi dan politik Eropa. Hal ini juga dianggap sebagai
contoh dari spillover. Selain itu, munculnya European Court of Justice juga menjadi contoh adanya
otoritas dari organisasi supranasional dan juga merupakan bukti adanya dinamika neofungsionalisme dalam EC18. Senada dengan hal tersebut, Lee McGowan juga mengungkapkan
bahwa konsep spillover dalam teori neo-fungsionalisme masih sangat relevan. Dalam tulisannya,
competition policy, yang merupakaan akibat wajar dari adanya European single market, merupakan

contoh dari adanya konsep spillover. Aktivitas yang tadinya hanya melibatkan beberapa kartel
kemudian meluas dan melibatkan lebih banyak monopoli, liberalisasi dan bantuan kepada negaranegara. McGowan juga menunjukan bahwa penerapan regulasi kompetisi ini juga meluas secara
14

Ibid.
Donald J. Puchala. I stitutio alis , I tergo er e talis , a d Europea I tegratio : A Re ie Article Jour al of
Common Market Studies vol,. 37 no. 2 (1999), pp. 326—327
16
Ibid, hal. 327
17
Carsten S. Jensen, loc. cit.
18
Ibid. hal. 90—91

15

geografis, tidak hanya ke negara anggota EU, namun juga ke negara-negara non-anggota seperti
Norwegia. 19 Magdalena Godowska dalam tulisannya juga berpendapat bahwa teori neofungsionalisme tetap dapat digunakan untuk menganalisis aspek-aspek tertentu dalam integrasi
regional. Mengutip pendapat Niemann, ia megungkapkan bagaimana teori neo-fungsionalisme
dapat digunakan tidak hanya pada isu-isu “low politics” namun juga pada isu-isu “high politics”

yang berkaitan erat dengan kedaulatan. Niemann menjelaskan perkembangan kebijakan mengenai
visa, pencari suaka, dan imigrasi. Menurut Niemann adanya revisi pada Treaty disebabkan oleh
adanya faktor-faktor fungsional, yaitu untuk mencapai salah satu objektif berupa kebebasan
bergerak (freedom of movement) dan untuk mencapai objektif tersebut maka dibutuhkan
dibentuknya kebijakan-kebijakan baru (kebijakan umum tentang perbatasan, pencari suaka, dan
imigrasi). Selain itu, perkembangan kebijakan tersebut juga dipengaruhi oleh tekanan eksternal
(meningkatnya jumlah pencari suaka menyebabkan dibutukannya kerja sama dari banyak negara);
juga dipengaruhi oleh sosialisasi di intitusi supranasional yang menyebabkan adanya “ cultivated
spillover ”20.
Penulis sendiri sependapat dengan Moravcsik bahwa integrasi regional terbentuk karena
adanya kepentingan-kepentingan dari negara-negara anggota, serta argumen Moravcsik bahwa
integrasi regional lebih dipengaruhi oleh pemimpin nasional suatu negara. Tak dapat dipungkiri
bahwa salah satu alasan suatu negara setuju untuk melakukan kerja sama regional adalah agar
kepentingan-kepentingan nasionalnya dapat dipenuhi. Sudah menjadi tugas bagi perwakilanperwakilan negara-negara tersebut yang ada dalam institusi supranasional tersebut untuk
mengakomodasi kepentingan nasional mereka masing-masing yang juga merupakan refleksi dari
kehendak pemimpin negara.
Namun, penulis juga berpendapat bahwa dalam aspek-aspek tertentu, teori neofungsionalisme masih sangat relevan, seperti konsep spillover. Demi tercapainya suatu tujuan yang
ada dalam kesepakatan, terkadang harus diadakan kerja sama dalam bidang lainnya sehingga
akibatnya akan terjadi integrasi lebih jauh. Hal ini dibuktikan dengan adanya Uni Eropa itu sendiri.
Apa yang berawal dari European Coal and Steel Community kini berkembang menjadi masyarakat

Eropa yang terintegrasi dalam berbagai bidang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun menerima banyak kritikan dari
berbagai pihak dan sering dianggap sebagai teori yang telah ‘usang’, teori neo-fungsionalisme tetap
adalah teori yang relevan dalam aspek-aspek tertentu dari integrasi regional.

McGo a , Lee. Theorisi g European Integration: revisiting neofunctionalism and testing its suitability for
e plai i g the de elop e t of EC co petitio polic ? Europea I tegratio o li e Papers EIoP Vol. No.
(2007); http://eiop.or.at/eiop/texte/2007-003a.htm accessed 19 September 2014
20
Magdalena Godowska. The rele a ce of eofu ctio alis i e plai i g Europea i tegratio i its origi a d
toda Jour al for Perspecti es of Eco o ic Political a d “ocial I tegratio 8
, pp.
-155

19

Daftar Referensi:
Godowska, Magdalena. “The relevance of neofunctionalism in explaining European integration in its origin
and today” Journal for Perspectives of Economic Political and Social Integration 18 (2013), pp.

145-155

Jensen, Carsten S. “Neo-functionalism.” In European Union Politics, edited by Michelle Cini, 80—92.
Oxford: Oxford University Press, 2006
McGowan, Lee. “Theorising European Integration: revisiting neofunctionalism and testing its

suitability for explaining the development of EC competition policy?” European Integration
online Papers (EIoP) Vol. 11 No. 3 (2007); http://eiop.or.at/eiop/texte/2007-003a.htm accessed
19 September 2014

Puchala, Donald J. “Institutionalism, Intergovernmentalism, and European Integration: A Review Article”
Journal of Common Market Studies vol,. 37 no. 2 (1999), pp. 317-31