Industrialisasi Kecantikan Histeria Kege doc

I.

PENDAHULUAN
I.I Tubuh Perempuan dan Budaya Kapitalisme
Kapitalisme, sebagai legitimasi berkelanjutan dan dampak dari revolusi industry telah

berhasil menegaskan kedudukan tiap individu dalam struktur stratifikasi masyarakat melalui
pengaturan konsep pembagian kerja dan juga “ruang social”. Setiap individu kemudian
diperkenalkan pada makna-makna budayanya, lalu belajar untuk ikut serta dalam tugas-tugas
yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang
membentuk struktur sosialnya (Berger, 1991:19) Melalui pemetaan inilah kemudian, kelaskelas social yang didasari oleh sifat professional – tidak professional, atau skilled dan
unskilled terbentuk, dan berawal dari sana pulalah dinamika kelas dalam perjuangan
restrukturalisasi social. Menentukan “siapa yang di atas” dan “siapa yang di bawah” telah
menjadi sebuah pertanyaan & tantangan tersendiri bagi tiap kelas social yang tercipta.
Semakin terkotak-kotakannya manusia ke dalam hubungan yang bersifat professional
menjadikan manusia perlahan kehilangan kedudukannya sebagai “manusia”.
Sebagaimana Berger menjelaskan, di sini “budaya” memegang peran yang kuat dalam
proses pemetaan individu dalam stratifikasi social. Budaya seolah menjadi legitimasi dibalik
kesenjangan antar kelas. Ketika berbicara mengenai stratifikasi, maka “pemedaan” /
“diferensiasi” menjadi salah satu kata kunci utama, dan proses diferensiasi kultural yang
paling mudah untuk dilakukan tentulah berdasarkan biologis (perempuan dan laki-laki)

Secara biologis, perbedaan perempuan & laki-laki mendapatkan artikulasi kultural yang
menghasilkan anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan
membutuhkan perlindungan (Abdullah, 2001:50) Kembali terlihat di sini bahwa, budaya
kemudian melegitimasi kedudukan perempuan sebagai sosok inferior dibandingkan dengan
lelaki (relasi subordinasi) melalui kualitas tubuhnya. Tradisi inferioritas ini kemudian
diintervensi & dimanipulasi oleh kapitalisme sebagai dasar pemetaan wanita dalam struktur
stratifikasi masyarakat modern. Norma-norma inilah yang terkooptasi dalam praktik seharihari di sekitar kita, dimana peran perempuan didefinisikan hanya dalam 3 spektrum: sumur,
dapur, kasur, tidak lebih dan tidak kurang. Perempuan seolah tak memiliki area untuk
berekspresi / untuk mendefinisikan tubuhnya dengan melekatkan nilai-nilai lain pada dirinya.
I.II Industrialisasi Kecantikan & Redefinisi Tubuh Perempuan
Walaupun tidak terlepas dari atmosfir kapitalisme, terhitung semenjak bergabungnya
Indonesia dalam struktur ekonomi global, perempuan memiliki sarana baru dalam

mendefinisikan dirinya. Industri kecantikan yang sedang berkembang, menjadi patron bagi
perempuan yang ingin meredefinisikan fungsi dan kedudukan tubuhnya (Artinya, perempuan
secara aktif dan sadar telah menempatkan dirinya sebagai konsumen dari industry ini). Nilainilai tradisional yang menekankan bahwa perempuan harus menjaga citra tubuhnya, kembali
dihadirkan dan dimediakan melalui kehadiran industry baru ini.
Perubahan kontemporer dalam hidup kaum perempuan dimulai pada saat modernism
menjadi ideology masyarakat, ketika nilai dan ukuran menjadi seorang perempuan
didefinisikan oleh negara dan capital. Masuknya ragam industry kecantikan telah berhasil

mendefinisikan tubuh perempuan sebagai basis ekonomi baru, sebagaimana Tukiman
menjelaskan bahwa salah satu alasan perempuan memperindah tubuhnya adalah untuk
memberikan nilai tambah pada tubuh yang dapat mempertinggi nilai jual tubuh (Tukiman,
1998:71) Semakin ideal dan indah bentuk tubuh, semakin tinggi nilai tukar ekonomis yang
diperoleh. Melalui penambahan nilai ekonomis ini, perempuan berharap kedudukannya
dalam struktur stratifikasi social dapat berubah, sehingga status subordinasi dan inferioritas
dapat tergantikan. Oleh karenanya, mengakses nilai tambah ini perlahan berubah menjadi
kebiasaan dan gaya hidup. Terlihat bahwa kini rutinitas sumur, dapur dan kasur mulai
berubah, perempuan menambahkan “perawatan tubuh” sebagai salah satu bagian dari
rutinitasnya. Dalam masyarakat modern ini, individu manapun yang tinggal di dalamnya akan
menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri
maupun orang lain (Mahetasari, 2008:8) Sebagaimana Lury menjelaskannya, klinik
kecantikan dapat memberi focus bagi fantasi-fantasi kaum wanita, tempat hiburan dan
alternative pelarian dari kungkungan feminimitas rumah tangga (Lury,1998:192)
I.III Perempuan Meredefinisikan Perempuan
Sejalan dengan pemahaman bahwa merawat keindahan tubuh telah menjadi variable
baru dalam 3 spektrum kehidupan wanita dan bertransformasi menjadi sebuah gaya hidup,
siapakah yang lebih pantas untuk menjadi jembatan industry untuk semakin berpengaruh
dalam dunia perempuan, daripada perempuan itu sendiri? Mengingat bahwa perempuan
melupakan kelompok pembelanja terbesar (Courtney & Whipple, 1983:69) Di sinilah

kemudian anggapan bahwa perempuan mulai berhasil melakukan restrukturisasi kelas
bermula. Namun kenyataannya, kaum wanita kini terserap ke dalam tatanan system capital /
menjadi korban industrial secara lebih menyeluruh dan terjadi melalui 2 arah: menjadi alat

persuasi yang menegaskan citra produk (sebagai bintang iklan) dan juga sebagai konsumen
aktif produk kapitalisme (Fine & Leopold, 1993:208)
Sebagai “seorang” alat persuasi, perempuan dihadiahkan dengan posisi sebagai
seorang bintang iklan yang mana mereka harus mengemas bagian tertentu dari tubuh mereka
sedemikian rupa untuk memenuhi kriteria hasil akhir produk kecantikan yang mereka
representasikan. Sebagai seorang konsumen aktif, perempuan juga dipaksa untuk secara
repetitive mengeluarkan dana besar demi melakukan perawatan tubuh yang scopenya begitu
luas. Suasana kontestasi keindahan tubuh sangat terasa dalam usaha-usaha restrukturasi
perempuan dalam stratifikasi kelas social, namun permasalahannya adah baik disadari
maupun tidak, perempuan selalu tersubordinasi dalam tatanan system ekonomi kita, dan oleh
karenanya tetap terposisikan sebagai object dalam relasinya dengan kelas-kelas social
lainnya.
Dalam keterkaitannya dengan proses redefinisi tubuh, 2 bentuk penyerapan
kelompok/kelas ini menjelma menjadi bentuk kekerasan tersendiri, dimana perempuan
kemudian menyatu ke dalam lingkaran kecemasan diri yang tereproduksi melalui semakin
banyaknya iklan-iklan dan juga produk-produk industry kecantikan. Subordinasi dan

obyekifikasi menjadi sebuah siklus tak terhindarkan dalam kelas social perempuan.
Perempuan dibawa ke dalam lingkaran nafsu dan kebutuhan artifisial yang tidak berujung.
Anggapan redefinisi tubuh ternyata hanya berhasil menambahkan nilai ekonomis pada diri
perempuan, namun perkara relasi antar kelas, perempuan masih berada di tempat yang
inferior. Sehingga bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan terjadi pula dalam 2
bentuk: kekerasan ide dan kekerasan fisik, yang sebenarnya saling berhubungan dan saling
memberikan dampak (siklik)

II.

KEKERASAN INDUSTRIALISASI KECANTIKAN: KEGELISAHAN &
MENDISIPLINKAN TUBUH PEREMPUAN
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa usaha redefinisi tubuh

perempuan melalui perawatan kecantikan tubuh dan penggunaan produk-produk kapitalisme
telah mensubordinasi perempuan dalam siklus konsumsi nafsu artifisial yang tak berhenti,
kita memahami bahwa industry kecantikan telah berhasil menanamkan benih dalam imaji tiap
perempuan untuk terus menerus merasa gelisah terhadap citra tubuhnya. Tentu “kegelisahan”
ini merupakan hasil dari penyerapan terhadap kelompok perempuan yang terjadi melalui 2
arah: menjadikannya sebagai alat persuasi dan konsumen pada waktu yang bersamaan.

Proses industrialisasi kecantikan dan pengkonsumsian produk-produknya merupakan
usaha perempuan untuk dapat mendisiplinkan tubuhnya. Permasalahannya kemudian adalah,
keinginan untuk “mendisiplinkan” ini juga artifisial dan bersifat sugestif yang terstruktur dari
atas ke bawah, oleh karenanya tidak akan lepas dari suasana “pemaksaan” secara disadari
maupun tidak. Namun demikian, pemaksaan dari atas tersebut juga didukung oleh sugesti
dari bawah pula, yaitu dari diri perempuan sendiri untuk merasa “disiplin”. Pertanyaannya
kemudian adalah, darimanakah sumber kegelisahan dan pendisiplinan tubuh ini? Apakah ada
peraturan imajiner yang menjadi dasar dari kedisiplinan ini? Lalu, mengapa proses
pendisiplinan ini dapat disebut sebagai bentuk kekerasan tersendiri? Pertanyaan-pertanyaan
ini akan dibahas dalam sub bab-sub bab selanjutnya.
II.I Sumber Kegelisahan Tubuh Perempuan
Mengapa perempuan gelisah dengan tubuhnya? Sebenarnya hal ini disebabkan oleh
tidak disiplinnya tubuh mereka. Sumber utama kegelisahan tubuh perempuan adalah citra
perempuan lainnya yang keindahan tubuhnya telah terindustrialisir & terinstitusi. Artinya,
kedudukan perempuan sebagai alat persuasi di dalam menegaskan citra sebuah produk (Fine
& Leopold, 1993:208) berdampak langsung (korelasi positif) pada kedudukan perempuan
sebagai konsumen produk tersebut. Semakin tinggi tingkat konsumsi simbolik perempuan
terhadap citra-citra keindahan industrial ini akan berdampak pada tinggi atau rendahnya akses
mereka ke produk-produk & usaha-usaha perawatan keindahan tubuh. Kegelisahan
perempuan atas tubuhnya, menandakan betapa tidak netralnya tubuh perempuan karena

perspektif perempuan terhadap tubuhnya sendiri dipengaruhi, ditentukan dan dikendalikan
oleh kekuatan yang secara structural berada di luar dirinya (laki-laki, media massa, industry
kecantikan, dll). Fakta ini membuktikan bahwa tubuh perempuan sebagai obyek tidak

memiliki pengertian yang ajeg, tidak statis dan terus mengalami perubahan sebagai dampak
dari adanya usaha-usaha disipliner industry yang datangnya dari atas. Namun sayangnya,
perubahan-perubahan ini tetap hanya terjadi dalam siklus kelas ekonomi perempuan yang
tetap statis.
Pencitraan perempuan di dalam dunia iklan produk-produk kecantikan dan media
massa menjadi ancaman bagi perempuan lainnya. Produk-produk kecantikan yang ditawarkan
oleh sebuah iklan telah membangkitkan fantasi begitu banyak perempuan lain terhadap
produk (Courtney & Whipple,1983:69) dan juga terhadap citra perempuan yang ditampilkan
di iklan tersebut. Fantasi akan kecantikan erat kaitannya dengan visualisasi & empati, dan 2
aspek inilah yang industry kecantikan coba manipulasi melalui iklan-iklan produk mereka.
Kekuatan visualisasi dan empati berarti pengungkapan wujud dari gambaran, keinginan dan
harapan dalam empati yang kuat untuk merasakan secara nyata semua pengungkapan wujud
yang ada dalam empati yang kuat. Masalahnya adalah, iklan cenderung menseleksi bagianbagian tubuh tertentu dari perempuan (Abdullah,2001:33) misalnya bentuk tubuh, keindahan,
kesegaran, dll. Akhirnya, citra perempuan yang seperti di iklan lah yang menjadi standart
keindahan tubuh pada ruang dan waktu tersebut. Disadari ataupun tidak, akhirnya iklan tidak
pernah menampilkan keseluruhan aspek dalam kehidupan sang artist di iklan karena yang

dibutuhkan hanyalah factor-faktor dominan yang dimiliki oleh fisik si artist, bukan
kekurangannya dibandingkan perempuan-perempuan lain. Hal ini berimplikasi pada citra
tubuh perempuan yang ditunjukan kepada kelas-kelas lainnya, yakni: sebatas membangkitkan
daya tarik erotis, yang berujung pada komodifikasi sexualitas. Perempuan tak pernah dilihat
sebagai manusia secara keseluruhan, dan kembali lagi ke dalam struktur subordinasi.
II.II Industrialisasi Keindahan Tubuh: idolizing & Konsumerisme
Melalui pembahasan sebelumnya, kita mengetahui bahwa industrialisasi keindahan
tubuh merupakan usaha-usaha produsen produk kecantikan (dalam hal ini tentu saja merujuk
pada kelompok kapitalis) dalam memanipulasi citra “indah” itu sendiri melalui penghadiran
sosok perempuan lain yang secara fisik memenuhi norma-norma kecantikan/keindahan yang
sedang berlaku pada konteks ruang & waktu yang sama. Sosok perempuan ini perlahan
berubah menjadi icon1 keindahan, dan dijadikan standart kedisiplinan tubuh, karena ia
dianggap mewakili “indah” sesuai konteks ruang & waktu itu sendiri (Citra tubuh ideal) Pada
1 Icon adalah tanda yang paling mudah dipahami karena kemiripannya dengan sesuatu yang diwakili. Oleh
karena itu, icon sering juga disebut sebagai gambar dari wujud yang diwakilinya (Chaer, 2007:41)

saat yang bersamaan, industry sedang mensugestikan kegelisahan kepada tiap individu
terhadap citra dirinya sekarang.
Dalam kaitannya dengan sosok ideal tubuh, tentu saja berbagai macam konsep dan
pandangan dapat dimunculkan secara bebas (Simanjuntak, 2014:6). Hal tersebut terbukti

melalui beragamnya pandangan para narasumber wawancara saya, ketika dihadapkan dengan
pertanyaan “wanita yang ideal itu yang seperti apa?”. Namun dari banyak pendapat terkait
pertanyaan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa sosok ideal merupakan gabungan dari
hasrat, tuntutan komunitas, idolizing, dan juga penabrakan dengan realita. Demikianlah
muncul jawaban-jawaban seperti: “bersikap sesuai tuntutan”, “yang kayak mongoloid”,
“secara fisik menarik”, “bodynya oke punya”, Dll. Di sini proses idolizing atau idolisasi juga
mengikuti tuntutan komunitas / masyarakat menjadi point yang sangat penting.
Proses idolisasi yang terbentuk melalui iklan produk kecantikan jelas memberikan
definisi utama dalam pengkonsepan sosok yang ideal. Dengan semakin terbatasnya definisi
keindahan pada aspek fisik saja, atau secara spesifik sesuai fisik sosok yang diidolakan,
proses perawatan kecantikan dan juga merebaknya pusat-pusat kebugaran menjadi idola baru
dalam penentuan batas-batas ideal seorang wanita. Sehingga, tidak mengherankan jika
perempuan berlomba-lomba dalam mengusahakan keindahan fisiknya, dan siapapun yang
“menang” di perlombaan kecantikan tersebut menjadi sosok ideal dalam pembentukan citra
perempuan yang “seharusnya”. Dalam kata lain, ia menjadi standart acuan disipliner tubuh
yang dilakukan oleh industry (dalam ruang & waktu tertentu)
Peran idolisasi melalui iklan diciptakan oleh industry untuk merangsang pembeli
(perempuan) agar mengkonsumsi suatu produk. Modernitas merupakan thema pendukung
yang sangat kuat, terutama pada masyarakat yang mempunyai perbedaan dalam tingkatan
kelas social dan tiap gaya hidup yang mengikutinya. Peran iklan dalam meningkatkan

perilaku konsumtif sangat besar, karena iklan merupakan media yang bisa menciptakan
berbagai produksi berupa kesan yang menjadi ciri utama budaya konsumerisme (Tukiman,
1998:57-58)
Dalam proses ini, perempuan mengalami kekerasan jenis awal: mereka menjadi alat
dalam proses distribusi produk dan gaya hidup. Sebagaimana telah dijelaskan di awal, bahwa
perempuan dieksploitasi sedemikian rupa, dengan cara membentuk dan menonjolkan bagian
tertentu dari tubuh, untuk membangun imaji yang sesuai dengan produk yang dipasarkan
(Abdullah, 2001:79) Design pakaian yang dikenakan sang artist perempuan sengaja

membentuk daya tarik erotic. Proses seperti ini sebenarnya menghambat perubahan peranan
perempuan dengan terus menerus memotret diri mereka sebagai obyek seks (Fine & Leopold,
1993:209)
Dari jawaban-jawaban para narasumber, dapat dikatakan bahwa sebenarnya industry
sendiri tidak pernah memiliki standart yang ajeg mengenai keindahan. Meminjam metafora
Umar Kayam, “keindahan tak dapat dimonopoli”. Sosok yang indah pun sangat relative
terhadap dimana dan kapan konsep keindahan tersebut dimunculkan. Artinya, menjadi
“indah” bukanlah sebuah keadaan yang statis, ia merupakan sebuah usaha yang sangat cair
dan dinamis. Industri berperan penting dalam “kecairan” tersebut, karena industry lah yang
secara aktif mereproduksi standart indah, melalui slogan-slogan yang sangat provokatif dan
sugestif, seperti: “Tidak ada wanita yang cantik. Yang ada adalah wanita yang tidak

memelihara kecantikannya” sebuah slogan yang tertera di atas papan nama salah satu klinik
kecantikan. Kalimat ini berfungsi sebagai sugesti kepada kaum perempuan yang menyatakan
bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang gemar melakukan perawatan, dan
perempuan yang jelek adalah perempuan yang kurang merawat tubuhnya. Contoh lainnya
seperti: “Jadikan kulitmu cantik ala Korea”, “… jadikan kulitmu selembut kapas”. Produksi
mitos-mitos kecantikan ini tidak pernah berhenti, tentu saja dengan tujuan untuk
mendinamiskan sosok “indah”, dengan motivasi ekonomis. Sebab, jika seorang perempuan
telah berhasil mencapai tahapan “cantik ala Korea” tersebut, maka ia telah pantas untuk
dikatakan “ideal indah”. Hal ini akan berimplikasi pada permasalahan ekonomis, dimana
produsen produk kecantikan akan kehilangan income source-nya. Oleh karena itu, untuk
mencegah berhentinya income, produksi makna keindahan selalu dibutuhkan.
II.II.I Konsumeristik
Siklus produksi & reproduksi terhadap makna keindahan ini merupakan manipulasi
industry untuk melegitimasi kedudukannya sebagai “supplier kecantikan”. Walaupun
perempuan sering kali tidak menyadarinya, namun dengan terjatuhnya perempuan ke dalam
siklus ini, akumulasi hasrat konsumsi akan muncul dengan adanya trigger baru yang
dilepaskan oleh industry, dan membuat konsumen seolah tak memiliki apa-apa jika belum
membeli produk yang diiklankan. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa,
masyarakat dibawa ke dalam lingkaran nafsu dan kebutuhan artifisial yang tiada berujung.


Mengutip Galbraith:
“Masyarakat dipojokan oleh barang barang konsumtif bukan karena kemauannya, namun
karena membeli adalah suatu kegiatan menyenangkan yang bukan hanya diperbolehkan,
namun karena secara aktif didorong oleh struktur politik” (Galbraith dalam Abdullah,
2001:218)

Mekanisme industry yang secara repetitive menciptakan supply-supply baru
merupakan ciri masyarakat berkelimpahan, dan konsumen sebagai sebuah kelompok
masyarakat berkekurangan. Proses konsumsi produk-produk kecantikan untuk merawat
keindahan tubuh menghasilkan kegelisahan pada diri tiap individu (secara khusus
perempuan). Kegelisahan ini ditimbulkan dari sugesti akan rasa “kurang” yang dimanipulasi
oleh industry sehingga perempuan tak akan pernah merasa cukup / terpenuhi norma-nomra
keindahan tubuhnya. Tentu ini perlahan mengalienasi perempuan dari struktur ekonomi inti,
dan memposisikan mereka sebatas di periferi kehidupan ekonomi dengan tradisi pola
konsumsi yang tinggi dan selalu merasa kekurangan. Sebuah dampak kolosal dari system
kapitalisme terhadap tatanan stratifikasi social masyarakat kita yang semakin melegitimasi
subordinasi perempuan terhadap kelas lainnya.
II.III Mengorbankan Tubuh Agar Disiplin
Di samping fenomena idolisasi, masyarakat juga secara disadari maupun tidak
sebenarnya memproduksi batasan-batasan tertentu terhadap berbagai aspek kehidupan
komunal yang kemudian bertransformasi ke dalam bentuk “tuntutan” dalam konteks
keindahan. Tuntutan-tuntutan tersebut akan selalu diproduksi oleh masyarakat untuk
memastikan tiap individu (perempuan) anggota masyarakat berada dalam lingkaran norma
dan etika, sehingga control pemerintah terhadap kedudukan tiap individu menjadi semakin
jelas. Begitu pula dengan fungsi gender, yang telah diatur baik disadari maupun tidak oleh
pemerintah. Keteraturan fungsi gender sangat penting untuk ditegaskan oleh pemerintah,
seperti yang disebutkan oleh Howard bahwa, pemerintahan, gender-sexuallity, dan agama
merupakan 3 element yang mengatur kestabilan sebuah negara

(Howard. 1996:172).

“Tuntutan” di sini adalah citra idola yang dijadikan acuan disipliner tubuh. Melalui berbagai
medianya, industry mensugestikan perempuan bahwa untuk dapat menjadi “indah”, ia harus
mendisiplinkan tubuhnya sesuai dengan norma yang berlaku, yang sebenarnya adalah
manipulasi ekonomi industrial.

Di sinilah perempuan mengalami bentuk kekerasan lanjutan,yaitu: menjadi konsumen
aktif dalam tatanan kapitalisme, dimana semakin ia mengkonsumi, semakin berjarak ia dari
inti system ekonomi. Perempuan mematuhi tuntutan-tuntutan disipliner ini melalui
pelegitimasian stratifikasi tradisional yang menyatakan bahwa perempuan merupakan
subordinat lelaki dan berada di bawah kedudukan lelaki, karena lelaki lah yang lebih superior.
Sebagaimanapun usaha perempuan menolak proses pendisiplinan ini, mereka terpaksa
untuk patuh dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa siklus pemenuhan nafsu
dan kebutuhan artifisial menjebak posisi perempuan sebagai konsumen aktif, dengan
legitimasi dari proses idolisasi, perempuan seolah tak dapat keluar dari siklus ini oleh karena
proses reproduksi industry yang terjadi terus menerus. Namun demikian, pendisiplinan
bentuk tubuh dibutuhkan oleh perempuan. Bentuk tubuh merupakan syarat atau factor
dominan di dalam berbagai pertukaran social. Penerimaan social dan batas-batas hubungan
social dipengaruhi oleh bentuk tubuh seseorang, yang itu menjadi ukuran menarik tidaknya
seseorang (Abdullah, 2001:37) Oleh karena itu, perempuan akan merasa perlu mendapatkan
bentuk atau penampilan tertentu dari tubuh untuk tampil dalam berbagai tingkatan relasi
social.
Dengan motivasi-motivasi tersebut, perempuan senantiasa berusaha untuk merubah
citra tubuhnya sesuai dengan tingkatan disipliner yang sedang berlaku pada ruang dan waktu
tertentu. Artinya, perempuan secara sadar mereproduksi dirinya sendiri dalam siklus
kekerasan ini dengan harapan tercapainya tujuan utama pengindahan diri: penambahan nilai
ekonomis diri yang berimplikasi pada pengakuan kelas terhadap kedudukan perempuan.
Proses konsumsi produk kecantikan pun datang sejalan dengan semakin bertambahnya
sugesti (baik dari atas, maupun bawah) tentang kebutuhan perempuan untuk merawat
tubuhnya agar dapat diterima dan dianggap lebih dalam ragam relasi social.

III.

PENUTUP

Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam konteks pendisiplinan tubuhnya berputar
sekitar sugesti dari luar dirinya mengenai sosok ideal / standart disiplin tubuh perempuan
yang diterima secara luas oleh masyarakat dan dijadikan nilai serta norma ideal bagi kaum
perempuan, sesuai dengan konteks ruang dan waktu dimana ia berada. Permasalahannya
kemudian adalah sosok ideal ini selalu direproduksi melalui pembentukan mitos-mitos
kecantikan sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya, oleh industry untuk melanggengkan
pemasukan dan dominasi ekonomisnya.
Di sini kita melihat adanya 2 bentuk kekerasan yang terjadi secara structural (atas ke
bawah dan sebaliknya) dan saling berkesinambungan: (1) perempuan dijadikan obyek
persuasi oleh industry untuk memasarkan produk-produk kecantikannya, sehingga tubuh
perempuan tersebut dipaksa untuk menjadi sedemikian rupa agar dianggap “pantas” dalam
merepresentasikan produk tersebut, hasilnya adalah: munculnya sosok idola (2) setelah ada
sosok idola, kelompok perempuan lain yang belum memenuhi norma-norma artifisial terkait
keindahan tubuh yang sedang ditetapkan oleh industry akan berubah menjadi kelompok
konsumen aktif yang secara regular mengkonsumsi produk-produk pemercantik tubuh agar
dapat memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat terhadap citra diri perempuan.
Manipulasi industry yang membentuk siklus tak berhujung dari 2 bentuk kekerasan ini
menempatkan perempuan sebagai seorang konsumen aktif, namun tetap pasif pada waktu
yang bersamaan karena tak dapat melawan arus legitimasi tubuh ini. Sehingga, perempuan
menjadi sebuah kelompok konsumen yang selalu merasa kekurangan / miskin di tengahtengah tatanan stratifikasi masyarakat yang sudah berkembang secara ekonomis.
Motifasi awal perempuan dalam melakukan disiplinisasi tubuh mungkin saja untuk
memberikan dirinya sendiri bargaining power dan mendapatkan tempat yang lebih superior
dalam berbagai bentuk relasi social, sebagai sebuah bentuk resistensi terhadap subordinasi
perempuan yang selama ini telah terlegitimasi oleh kuatnya pengaruh kapitalisme. Namun
demikian, yang sebenarnya terjadi adalah penyerapan kaum perempuan kembali ke dalam
struktur subordinasi kapitalisme melalui proses “penegasan kembali” potret lama perempuan
sebagai obyek seks (Abdullah, 1995) Sebagaimana terjadi dalam citra “ideal” perempuan di
iklan-iklan.

REFERENSI
Abdullah, Irwan. 1995. Tubuh, Kesehatan, dan Reproduksi Hubungan Gender, dalam
Populasi (Buletin penelitian kebijaksanaan), Vol. 6, No. 2., Yogyakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan UGM
--------------------- 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang
Berger, Peter
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Courtney, A & T. Whipple. 1983. Sex Stereotyping in Advertising. Lexington: Lexington
Books
Fine, Beb & Ellen Leopold. 1993. The World of Consumption. London: Routledge
Mahetasari. 2008. Kecemasan Perempuan Terhadap Citra Tubuhnya (Skripsi). Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya
Tukiman. 1998. Pembentukan Perilaku Konsumen: Kasus Konsumsi Kosmetika di Kalangan
Mahasiswa Diploma III Pariwisata Fakultas Sastra, Universitas Gadjah
Mada (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM
Howard, Richard Stephen. 1996, Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Family in Indonesia (Ph.D. dissertation), University of Illinois: UrbanaChampaign
Simanjuntak, Atmaezer H. 2014. Cantik Ala Waria. Yogyakarta: Antropologi Budaya UGM