BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Miskonsepsi a. Pengertian Miskonsepsi - MISKONSEPSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SEMESTER II DI SEKOLAH DASAR - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Miskonsepsi a. Pengertian Miskonsepsi Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep

  yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang matematika (Suparno, 2013: 4).

  Novak & Gowin (Eka, 2014: ix) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan suatu interpretasi mengenai konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli. Miskonsepsi dapat merupakan pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penguasaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan konsep yang berbeda dan hubungan hirarki konsep-konsep yang tidak benar.

  Pengertian miskonsepsi juga dikemukakan oleh beberapa ahli dalam buku Suparno (2013: 4-5) sebagai berikut:

  8

  1) Novak (1984) Novak mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.

  2) Brown (1989: 1992) Brown menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang nait dan mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. 3) Feldsine (1987)

  Feldsine menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.

  4) Fowler (1987) Fowler memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.

  Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah kesalahan konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah. Miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu interpertasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima atau gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah. Miskonsepsi adalah pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarki konsep-konsep yang tidak benar.

b. Penyebab Miskonsepsi

  Suparno (2013: 29) mengemukakan bahwa penyebab miskonsepsi secara garis besar ada lima kelompok yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. 1) Siswa

  Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain: a) Prakonsepsi atau Konsep Awal Siswa

  Siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru (Suparno, 2013: 34). Konsep awal ini sering mengandung miskonsepsi.

  b) Pemikiran Asosiatif Siswa Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang-kadang juga membuat miskonsepsi. Marshall dan Glimour (1990) dalam Suparno (2013: 36) menyatakan bahwa pengertian yang berbeda dari kata-kata antara siswa dan guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena dalam kehidupan mereka, kata dan istilah itu mempunyai arti yang lain. c) Pemikiran Humanistik Gilbert, Watts, dan Osborne (1982) dalam Suparno (2013: 36) menyatakan bahwa siswa sering memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi.

  d) Reasoning yang Tidak Lengkap atau Salah Comins (1993) dalam Suparno (2013: 36) menjelaskan bahwa

  

reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah

  dapat menyebabkan miskonsepsi. Alasan yang tidak lengkap dapat disebabkan karena informasi yang diperoleh atau data yang didapatkan tidak lengkap sehingga siswa menarik kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya miskonsepsi siswa.

  e) Intuisi yang Salah Instuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti (Suparno, 2013: 38). Intuisi yang salah dan perasaan siswa dapat menyebabkan miskonsepsi.

  f) Tahap Perkembangan Kognitif Siswa Siswa yang masih dalam tahap operasional konkret apabila mempelajari bahan yang abstrak akan sulit menangkap dan sering salah mengerti tentang konsep bahan tersebut.

  Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab miskonsepsi siswa (Suparno, 2013: 39).

  g) Kemampuan Siswa Kemampuan siswa juga mempengaruhi miskonsepsi siswa.

  Siswa yang intelegensi matematis-logisnya kurang tinggi akan mengalami kesulitan dalam mengangkap konsep terutama konsep yang abstrak (Suparno, 2013: 40).

  h) Minat Belajar Siswa Siswa yang berminat cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah daripada siswa yang tidak berminat. Siswa yang tidak berminat apabila salah dalam menangkap suatu bahan maka tidak berminat juga untuk mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang salah sehingga kesalahan untuk bahan- bahan yang dibangun berdasarkan miskonsepsi akan semakin menumpuk. 2) Guru

  Guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti bahan secara tidak benar akan menyebabkan siswa mendapatkan miskonsepsi karena guru yang tidak memahami konsep akan meneruskan salah pengertian tersebut kepada siswa (Suparno, 2013: 42). Guru yang dengan cepat lari pada rumusan matematika dan bukan pada konsep serta guru yang memberikan penjelasan dengan sangat sederhana untuk membantu siswa lebih mudah menangkap bahan yang disajikan terkadang menjelaskan tidak lengkap atau menghilangkan sebagian unsur yang penting sehingga siswa salah menangkap konsep (Suparno, 2013: 44). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Maghsoudi (2015) yang menyatakan bahwa:

  “Mathematics which is taught without using proper backgrounds and connection to the real time stops delivering common sense to real mathematics from learning. This can cause various misconceptions in understanding concepts in mathematics.

  ” Artikel di atas menjelaskan bahwa penyajian materi matematika oleh guru yang tidak dikaitkan dengan latar belakang siswa yang tepat dan kehidupan nyata siswa merupakan penyebab terjadinya kesalahpahaman siswa mengenai konsep-konsep (miskonsepsi) dalam matematika. Selain itu, guru yang tidak memberikan materi matematika secara konkret dengan tidak menggunakan benda- benda nyata kepada siswa juga menjadi penyebab miskonsepsi. Zuya dan Kwalat (2015) menambahkan:

  “As it is an indication that the teachers themselves do not

  possess the knowledge required to solve the problems in question. Their failure to identify the knowledge the student lacked in solving the problems in this study was not unconnected with their inability to suggest ways of helping the student. This is a case of “you cannot give what you do not have”.

  Artikel di atas menjelaskan tentang kegagalan sebagian besar guru dalam mengidentifikasi atau mencari tahu miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Guru-guru tersebut gagal dikarenakan mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan miskonsepsi sehingga mereka tidak dapat membantu siswa memecahkan masalahnya. Dengan demikian, seorang guru tidak dapat membantu menyelesaikan miskonsepsi siswa jika guru tersebut juga tidak memiliki pengetahuan tentang miskonsepsi. 3) Buku Teks

  Buku teks dapat menyebarkan miskonsepsi yang disebabkan bahasa yang sulit atau penjelasan yang tidak benar sehingga miskonsepsi tetap diteruskan (Suparno, 2013: 44). 4) Konteks

  Konteks juga dapat menjadi penyebab miskonsepsi. Menurut Suparno (2013: 47-49), konteks tersebut antara lain pengalaman siswa, bahasa sehari-hari, teman lain, keyakinan dan ajaran agama.

  5) Metode mengajar Metode yang digunakan guru dapat memunculkan miskonsepsi sehingga guru perlu kritis dengan metode yang akan digunakan dan tidak membatasi diri dengan satu metode saja. Beberapa contoh metode mengajar antara lain: metode ceramah, metode praktikum, metode demonstrasi dan metode diskusi.

  Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab miskonsepsi dapat berasal dari siswa yang disebabkan prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang salah, intuisi yang salah, tahap perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa dan minat belajar siswa. Penyebab miskonsepsi selanjutnya berasal dari guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti bahan namun tidak benar sehingga penjelasan dalam buku teks yang salah atau bahasa yang sulit dipahami akan diteruskan oleh guru kepada siswa yang menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Konteks siswa yang berupa pengalaman serta metode mengajar yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan gagasannya juga menjadi penyebab miskonsepsi.

c. Teknik-Teknik Mendeteksi Miskonsepsi

  Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat ditangani apabila diketahui miskonsepsi apa saja yang dimiliki dan darimana asal miskonsepsi tersebut. Cara mengidentifikasi dan mendeteksi miskonsepsi diperlukan agar dapat mengetahui miskonsepsi siswa.

  Beberapa alat deteksi yang sering digunakan para peneliti dan guru antara lain: 1) Peta Konsep (Concept Map)

  Feldsine (1987) dan Fowler (1987) dalam Suparno (2013: 122) mendefinisikan peta konsep sebagai alat yang baik untuk mengidentifikasi, baik kerangka alternatif atau miskonsepsi siswa. Miskonsepsi siswa dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah. Novak dan Gowin, (1984) dalam Suparno (2013: 121) menyatakan bahwa biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proporsi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep.

  2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka Amir, dkk, (1987) dalam Suparno (2013: 123) berpendapat bahwa penggunaan tes pilihan ganda (multiple choice) dengan pertanyaan terbuka mengharuskan siswa untuk menjawab dan menulis mengapa siswa mempunyai jawaban seperti itu. Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda ini dapat dijadikan bahan tes berikutnya.

  3) Tes Esai Tertulis Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep yang akan diajarkan atau yang sudah diajarkan sehingga dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa oleh siswa dan dalam bidang apa (Suparno, 2013: 126).

  4) Wawancara Diagnosis Guru memilih beberapa konsep yang diperkirakan sulit dimengerti siswa atau beberapa konsep pokok dari bahan yang akan diajarkan, kemudian siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep tersebut (Suparno, 2013: 126).

  5) Diskusi dalam Kelas Siswa diminta mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan di dalam kelas sehingga dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak (Suparno, 2013: 127).

  6) Praktikum dengan Tanyajawab Praktikum disertai dengan tanyajawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak (Suparno, 2013: 128).

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa seorang guru dapat mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Alat yang digunakan untuk mndeteksi miskonsepsi antara lain: peta konsep, tes pilihan ganda dengan jawaban terbuka, tes essai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, dan praktikum dengan tanyajawab. Penggunaan alat pendeteksi tersebut bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa beserta sumbernya.

2. Matematika a. Pengertian Matematika

  Nasution (1982: 12) menjelaskan bahwa istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau mathenein yang berarti

  mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan bahasa

  sansekerta, medha atau widya yang memiliki arti kepandaian,

  ketahuan atau intelegensia. Matematika dalam bahasa Belanda, disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar.

  Ruseffendi (Titikusumawati, 2014: 4) juga menjelaskan bahwa kata matematika berasal dari bahasa Latin mathematika, awalnya diambil dari bahasa Yunani mathematike yang artinya mempelajari.

  Mathematika berasal dari kata mathema yang berarti pengetahuan atau

  ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui belajar dan berpikir (bernalar). Matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan penalaran.

  Definisi matematika dikemukakan oleh beberapa ahli yang terangkum dalam buku Titikusumawati (2014: 35) sebagai berikut: 1) Russefendi (1988: 23)

  Matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan. Definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.

  2) James dan James (1976) Matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan antara satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis dan geometri.

  3) Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972) Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya. 4) Reys-dkk (1984)

  Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.

  5) Kline (1973) Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.

  Selain pendapat di atas, Soedjadi (2000: 11) memberikan enam definisi atau pengertian tentang matematika, yaitu: (1) matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran yang logik dan berhubungan dengan bilangan-bilangan, (4) matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur- struktur yang logik, dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Sumardyono (2004: 28) juga mendefinisikan matematika sebagai struktur yang terorganisasi, matematika sebagai alat (tool), matematika sebagai pola pikir deduktif, matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking), matematika sebagai bahasa artifisial dan matematika sebagai seni yang kreatif.

  Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan tentang bilangan, kalkulasi, fakta-fakta kuantitatif, masalah tentang ruang dan bentuk yang diperoleh melalui penalaran. Matematika merupakan struktur yang terorganisasi, digunakan sebagai alat, berpola pikir deduktif, diperoleh dengan cara bernalar, merupakan bahasa artifisial dan seni yang kreatif. Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir dan bernalar.

b. Karakteristik Matematika Matematika mempunyai beberapa karakteristik umum.

  Karakteristik umum matematika menurut Soedjadi (2000: 13-19) adalah sebagai berikut:

  1) Memiliki Objek Kajian yang Abstrak Objek kajian matematika ada empat, yaitu: fakta, konsep, operasi atau relasi, dan prinsip.

  a) Fakta Fakta (abstrak) berupa konvensi-konvensi yang diungkap dengan simbol tertentu. Simbol “3” secara umum sudah dipahami sebagai simbol untuk bilangan “tiga”, sebaliknya jika seseorang mengucapkan kata “tiga” dapat disimbolkan dengan “3”.

  b) Konsep Konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan. “Segitiga” adalah nama suatu konsep abstrak. Benda dapat digolongkan sebagai contoh segitiga atau bukan dengan menggunakan konsep tersebut.

  c) Operasi atau Relasi Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan pengerjaan matematika yang lain. Contoh dari operasi yaitu “penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan” dan “irisan”.

  d) Prinsip Prinsip adalah objek matematika yang kompleks dan dapat terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi. Prinsip adalah hubungan diantara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema”, dan “sifat”. 2) Bertumpu pada Kesepakatan

  Kesepakatan merupakan hal penting dalam matematika dan keseharian. Kesepakatan yang mendasar adalah aksioma dan konsep primitif. Aksioma diperlukan untuk menghindari berputar- putar dalam pembuktian, sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindari berputar-putar dalam pendefinisian. Fathani (2009: 66) juga mengatakan bahwa simbol-simbol dan istilah- istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Simbol dan istilah yang telah disepakati dalam matematika memudahkan pembahasan selanjutnya dilakukan dan dikomunikasikan. 3) Berpola Pikir Deduktif

  Pola pikir secara deduktif dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus. Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana, tetapi juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana. Seorang siswa yang telah memahami konsep “persegi”, maka ketika dia melihat lukisan, dia dapat menggolongkan pigura yang berbentuk persegi dan bukan.

  4) Memiliki Simbol yang Kosong dari Arti Matematika menggunakan banyak simbol. Simbol tersebut dapat berupa huruf maupun bukan huruf. Rangkaian simbol matematika dapat membentuk suatu model matematika misalnya persamaan dan pertidaksamaan.

  5) Memperhatikan Semesta Pembicaraan Matematika memerlukan kejelasan dari ruang lingkup apa suatu model digunakan. Simbol-simbol diartikan bilangan apabila lingkup pembicaraannya adalah bilangan. Lingkup pembicaraan itulah yang disebut dengan semesta pembicaraan.

  6) Konsisten dalam Sistemnya Matematika mempunyai berbagai macam sistem. Sistem-sistem dalam matematika ada yang berkaitan dan ada yang dapat dipandang lepas satu sama lain. Sistem geometri merupakan sistem yang berkaitan dan didalamnya terdapat sistem geometri netral, sistem geometri insidensi, sistem geometri Euclid, sistem geometri lobachewski dan lain-lain.

  Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik umum matematika yang pertama yaitu memiliki objek kajian yang abstrak berupa fakta, konsep, operasi dan prinsip. Karakteristik umum matematika yang kedua adalah bertumpu pada kesepakatan untuk menghindari berputar-putar pada pembuktian dan pendefinisian. Karakteristik umum matematika selanjutnya adalah berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya.

  Matematika sekolah sedikit berbeda dengan matematika sebagai ilmu. Sumardyono (2004: 43-47) menjelaskan perbedaan antara matematika sebagai ilmu dan matematika sekolah sebagai berikut: 1) Penyajian

  Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun definisi, tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual siswa. 2) Pola Pikir

  Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir deduktif maupun pola pikir induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual siswa sehingga di sekolah dasar biasanya menggunakan pendekatan induktif lebih dulu karena hal ini lebih memungkinkan siswa menangkap pengertian yang dimaksud.

  3) Semesta Pembicaraan Matematika yang disajikan dalam jenjang pendidikan juga menyesuaikan dalam kekomplekan semestanya. Semakin meningkat tahap perkembangan intelektual siswa, maka semesta semesta matematikanya semakin diperluas.

  4) Tingkat Keabstrakan Tingkat keabstrakan matematika juga harus menyesuaikan perkembangan intelektual siswa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, tingkat keabstrakan semakin diperjelas.

  Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika di sekolah berbeda dengan matematika sebagai ilmu.

  Perbedaan tersebut antara lain pada penyajian, pola pikir, semesta pembicaraan dan tingkat keabstrakan. Matematika di sekolah diberikan dengan menyesuaikan perkembangan intelektual siswa.

c. Mata Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar

  Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar tentu memiliki tujuan antara lain untuk membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Ibrahim dan Suparni, 2012: 35). BSNP (2006: 148) menyatakan bahwa matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

  3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

  5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet, dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

  Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI menurut BSNP (2006: 148) meliputi beberapa aspek yaitu: 1) Bilangan 2) Geometri dan pengukuran 3) Pengolahan data.

  Ibrahim dan Suparni (2012: 37) mengemukakan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah sebagai berikut.

  1) Memahami konsep bilangan bulat dan pechan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 2) Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur-unsur dan sifat-sifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

  3) Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 4) Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), mengurutkan data, rentangan data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

  5) Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari- hari. 6) Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan.

  7) Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika Kelas IV Semester II di Sekolah Dasar dijelaskan pada tabel 2.2 sebagai berikut.

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Komptensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Semester II

  6.4 Mengurangkan pecahan

  8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan bangun datar simetris

  8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus

  8.1 Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana

  8. Memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun datar.

  7.2 Menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya

  7.1 Mengenal lambang bilangan Romawi

  7. Menggunakan lambang bilangan Romawi

  6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan dalam pemecahan masalah

  6.3 Menjumlahkan pecahan

  Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

  6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan

  6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya

  6. Menggunakan pecahan.

  5.3 Melakukan operasi hitung campuran

  5.3 Mengurangkan bilangan bulat

  5.2 Menjumlahkan bilangan bulat

  5.1 Mengurutkan bilangan bulat

  5. Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat.

  8.4 Menentukan hasil pencerminan suatu bangun datar (BSNP, 2006: 154) Matematika berguna bagi ilmu-ilmu lain karena banyak ilmu- ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Titikusumawati (2014: 34-35) memberikan contoh kegunaan matematika bagi ilmu-ilmu lain yaitu: (1) Penemuan dan pengembangan Teori Mendel dalam Biologi melalui konsep Probabilitas, (2) Perhitungan dengan bilangan imajiner digunakan untuk memecahkan masalah tentang kelistrikan, (3) Dengan matematika, Einstein membuat rumus yang dapat digunakan untuk menaksir jumlah energi yang dapat diperoleh dari ledakan atom, (4) Dalam ilmu pendidikan dan psikologi, khususnya dalam teori belajar, selain digunakan statistik juga digunakan persamaan matematis untuk menyajikan teori atau model dari penelitian, (5) Dalam ilmu kependudukan, matematika digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk, (6) Dalam seni grafis, konsep transformasi geometrik digunakan untuk melukis mosaik, (7) Dalam seni musik, barisan bilangan digunakan untuk merancang alat musik.

  Matematika juga digunakan manusia untuk memecahkan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Titikusumawati (2014: 35) memberikan contoh kegunaan matematika untuk pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari yaitu: (1) Memecahkan persoalan dunia nyata, (2) Mengadakan transaksi jual beli, maka manusia memerlukan proses perhitungan, (3) Matematika yang berkaitan dengan bilangan dan operasi hitungnya, (4) Menghitung luas daerah, (5) Menghitung jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain, (6) Menghitung laju kecepatan kendaraan membentuk pola pikir menjadi pola pikir matematis, orang yang mempelajarinya,(7) Kritis, sistimatis dan logis, (8) Menggunakan perhitungan matematika baik dalam pertanian, perikanan, perdagangan, dan perindustrian.

d. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

  Ibrahim dan Suparni (2012: 24) menyatakan bahwa pergeseran cara pandang matematika akan berpengaruh terhadap cara penyampaian matematika kepada anak didik atau siswa. Pandangan pertama menyatakan bahwa matematika sebagai “strict body of

  

knowledge” meletakkan siswa sebagai objek yang pasif karena yang

  diutamakan disini adalah

  “knowledge of mathematic”. Guru adalah

center yang artinya guru merupakan penggerak utama proses

  pembelajaran sehingga orientasinya adalah bagaimana guru mengajar, bagaimana guru menyampaikan bahan matematika, bagaimana guru menuliskan uraian, bagaimana guru menilai, bagaimana guru mengontrol siswa, bagaimana guru mendisiplinkan siswa, dan bagaimana guru melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Inilah yang dikenal dengan teacher-centered approach.

  Pandangan kedua menyatakan bahwa anak didik atau siswa adalah center. Anak didik diletakkan sebagai subjek belajar yang melakukan proses pemahaman matematika. Matematika adalah aktivitas kehidupan manusia, Freudenthal mengistilahkannya sebagai “mathematic as human sense-making and problem solving activity.

  Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika (Susanto, 2015: 187). Ibrahim dan Suparni (2012: 30) berpendapat bahwa paham constructivism menghendaki siswa sendirilah yang mengkonstruksi pemahaman matematika namun tidak dilepaskan sendiri melainkan dengan bantuan guru sebagai fasilitator dan sebagai pembimbing atau sebagai moderator, akhirnya siswa akan sampai kepada pemahaman matematika yang mandiri dan kuat. Pembelajaran matematika secara constructive menuntut siswa memiliki pengetahuan awal untuk selanjutnya dikembangkan yang mengarah kepada konsep matematika yang sedang dipelajari.

  Siswa pada usia (7-8 tahun hingga 12-13 tahun) menurut teori kognitif Piaget, termasuk pada tahap operasional konkret. Siswa mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkret sehingga apabila dihadapkan dengan suatu masalah tanpa adanya bahan konkret, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan baik (Monks, dkk. 2001: 223).

  Berdasarkan perkembangan kognitif ini, maka anak usia sekolah dasar mengalami kesulitan dalam memahami materi yang bersifat abstrak (Susanto, 2015: 184). Adjie dan Maulana (2006: 37) berpendapat bahwa materi matematika termasuk materi yang abstrak sehingga hanya orang-orang yang dapat berfikir abstrak saja yang dapat mempelajari matematika. Siswa sekolah dasar akan mengalami kesulitan dalam belajar matematika apabila gurunya tidak menyesuaikan dengan kemampuan berpikir siswa-siswanya.

  Aisyah (2008: 1.6-1.7) menjelaskan tiga tahapan model penyajian dalam teori belajar Bruner dapat sebagai berikut: 1) Model Tahap Enaktif

  Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata. 2) Model Tahap Ikonik

  Pada tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut.

  3) Model Tahap Simbolis Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol- simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang- lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

  Depdiknas (2009: 1) menjelaskan 4 tahapan aktivitas dalam rangka penguasaan materi pelajaran matematika di dalam pembelajaran, antara lain: 1) Penanaman Konsep

  Tahap penanaman konsep merupakan tahap pengenalan awal tentang konsep yang akan dipelajari siswa. Pada tahap ini pengajaran memerlukan penggunaan benda konkrit sebagai alat peraga.

  2) Pemahaman Konsep Tahap pemahaman konsep merupakan tahap lanjutan setelah konsep ditanamkan. Pada tahap ini penggunaan alat peraga mulai dikurangi dan bentuknya semi konkrit sampai pada akhirnya tidak diperlukan lagi.

  3) Pembinaan Keterampilan Tahap pembinaan keterampilan merupakan tahap yang tidak boleh dilupakan dalam rangka membina pengetahuan siap bagi siswa.

  Tahap ini diwarnai dengan latihan-latihan seperti mencongak dan berlomba. Pada tahap pengajaran ini alat peraga sudah tidak boleh digunakan lagi. 4) Penerapan Konsep

  Tahap penerapan konsep yaitu penerapan konsep yang sudah dipelajari ke dalam bentuk soal-soal terapan (cerita) yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Tahap ini disebut juga sebagai pembinaan kemampuan memecahkan masalah.

  Pembelajaran matematika memiliki dampak positif yang berkaitan dengan sikap terpuji atau akhlakul mahmudah. Menurut Abdussyakir (Fathani, 2009: 99-103), sikap-sikap terpuji tersebut antara lain: 1) Sikap Teliti, Cermat, dan Hemat

  Matematika disebut sebagai ilmu hitung karena matematika berkaitan dengan masalah hitung menghitung. Seseorang dituntut untuk bersikap teliti, cermat, hemat, cepat, dan tepat dalam pengerjaan operasi hitung.

  2) Sikap Jujur, Tegas, dan Bertanggungjawab Matematika juga mengajarkan sikap jujur, tegas dan benar.

  Seorang guru yang memerintahkan siswa untuk menghitung 3x4, maka siswa harus menghitung 3x4 dan apabila ditanya oleh guru, siswa tersebut harus menjawab dengan jujur apakah bisa menghitungnya atau tidak. Sikap tegas pada adalah bahwa perkalian bilangan bulat 3x4 pasti 12. Kita tegas mengatakan 3x4=12 adalah benar. Kalau bukan 12, kita tegas mengatakan salah.

  3) Sikap Pantang Menyerah dan Percaya Diri Matematika mengajarkan untuk bersikap pantang menyerah dan percaya diri. Seseorang tidak boleh menyerah saat mengerjakan atau menyelesaikan masalah matematika dan saat gagal atau tidak dapat menjawab, kita dituntut untuk mencari cara lain untuk menjawab. Siswa harus percaya diri bahwa bisa mengerjakan dan mencoba terus sampai pada akhirnya dapat menjawabnya.

  Sujono (1988) dalam Prihandoko (2005: 15) menyebutkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam matematika adalah nilai praktis, nilai disiplin dan nilai budaya Matematika dikatakan memiliki nilai praktis karena matematika merupakan suatu alat yang dapat langsung dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Nilai disiplin terkandung dalam matematika karena dengan belajar matematika akan melatih orang berlaku disiplin dalam pola pemikirannya. Nilai budaya juga terkandung dalam matematika karena sebenarnya matematika sangat erat kaitannya dengan perkembangan budaya manusia ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal peradabannya, manusia telah menggunakan matematika untuk melakukan perhitungan-perhitungan sederhana seperti menghitung banyaknya ternak, hari dan sebagainya.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

  Penelitian yang relevan terkait dengan miskonsepsi matematika di Sekolah Dasar telah dilakukan, diantaranya penelitian oleh Maghsoudi (2015) tentang “Identifying Fourth Grade Iranian Students Misconceptions in

  

Measurement and Geometry Based On Timss 2003, 2007, 2011 Results and

Suggestions to Prevent and Resolve These Misconceptions

  ”. Penelitian tersebut merupakan penelitian yang mengidentifikasi kesalahpahaman siswa kelas empat (4) di Negara Iran dalam materi geometri dan pengukuran berdasarkan Timss 2003, 2007, 2011 dengan pokok bahasan hasil dan saran untuk mencegah dan menyelesaikan miskonsepsi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa metode mengajar tradisional meskipun dengan perhatian yang cermat untuk menyampaikan materi dan menekankan pada pengulangan dan praktek tetap tidak mampu menghindari atau menghentikan kesalahpahaman matematika seperti pada siswa.

  Penelitian di atas dikatakan relevan karena fokus dalam penelitian ini sama

  • –sama membahas terkait dengan miskonsepsi matematika di Sekolah Dasar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang relevan sebelumnya yaitu penelitian sebelumnya berfokus pada identifikasi kesalahpahaman siswa dalam geometri dan pengukuran, sedangkan penelitian ini berfokus pada penemuan miskonsepsi yang terdapat pada buku pelajaran Matematika Kelas

  IV SD dan pada saat pembelajaran Matematika di kelas IV serta mencari tahu penyebab miskonsepsi dan bagaimana upaya guru untuk menangani miskonsepsi yang terjadi saat pembelajaran.