KAJIAN AKADEMIK “PENYUSUNAN PEDOMAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI JAWA BARAT” - Repository IPDN
KAJIAN AKADEMIK
“PENYUSUNAN PEDOMAN
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
DESA DI JAWA BARAT
”
IPDN-KEMDAGRI
Biodata Narasumber
- Nama : Dr. Fernandes Simangunsong, S.STP, S.AP, M.Si
- Lahir : Jambi, 4 Maret 1977
- NIP : 19770304 1995 11 1 001
- Jabatan : Dosen Fungsional (Lektor Kepala)
- Pangkat : Pembina TK. I (IV/b)
- Instansi : Kampus IPDN Jatinangor
- Alamat : Komp. Singgasana Pradana Jl. Karangkamulyan No.2 A Cibaduyut-Bandung
- Email/HP : 122445916
PENDAHULUAN
Masalah mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebenarnya lebih disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural antara lain kurang kuatnya keberpihakan secara praktik dari Pemerintah Pusat terhadap status dan kedudukan pemerintah desa, sehingga sampai saat ini terdapat ambivalensi. Pemerintah desa pada kenyataannya bukanlah pemerintah yang sebenarnya, melainkan cenderung merupakan lembaga kemasyarakatan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Sejarah pembangunan pedesaan di Indonesia telah
menempuh perjalanan yang sangat panjang, dan bahkan
lebih tua dari Republik Indonesia sendiri. Sebelum
kolonial menginjakkan kaki di Indonesia, di berbagai
daerah telah mengenal kelompok-kelompok masyarakat
yang bermukim di suatu wilayah atau tempat tertentu,
yang umumnya hadir karena ikatan kekerabatan/
keturunan atau geneologi. Pemukiman-pemukiman
seperti ini kemudian berkembang terus dalam ukuran
maupun jumlahnya, sehingga mereka tumbuh menjadi
kesatuan-kesatuan pemukiman yang sesungguhnya
berasal dari keturunan atau ikatan emosional
kekeluargaan yang masih sangat kental. Lokasi-lokasi
pemukiman itu disebut dengan istilah-istilah lokal sesuai
dengan keadaan daerah masing-masing. Misalnya desa.
Dusun, dusundati, kampung atau seperti wanua, lili,
benteng di Sulawesi, dan di Sumatera dikenal dengan
Ketika kolonial menginjakkan kakinya ke
Indonesia pada jaman pra-kemerdekaan, mereka
mulai melakukan intervensi dalam tata organisasi
desa, sesuai dengan kepentingan sehingga secara
bertahap sifat dan bentuk-bentuk desa mulai
mengalami transisi dan geologis menjadi suatu
wilayah teritorial atau mempunyai wilayah
hukum. Selama pemerintahan Belanda, telah
diterbitkan berbagai aturan dan undang-undang
disusun berbasis pada kepentingan kolonial. Posisi
pimpinan desa meskipun dalam proses penentuan/
pemilihannya masih belum dicampuri, namun
dilihat dari aspek kepentingan, Belanda mulai
memposisikan pimpinan desa sebagai perwakilan
mereka secara samar-samar.
Ketika Indonesia mencapai kemerdekaannya,
kebijakan intervensi terhadap organisasi dan
kelembagaan masyarakat cenderung mulai
meningkat. Namun, jika dibandingkan dengan apa
yang diterapkan pemerintah kolonial, intervensi
yang dilakukan oleh pemerintah sangat radikal
dengan dianutnya konsep homogenisasi. Pada
jaman kolonial, mereka masih menyadari adanya
perbedaan dalam organisasi masyarakat tersebut
sehingga membedakan berbagai undang-undang
dan aturan yang berbeda antara pulau Jawa dengan
pulau lainnya (IGO, Inlandche Gemeente
Ordonantie untuk Jawa dan IGOB, Inlandche
Gemeente Ordonantie Buitengewesten, untuk luar
jawa).
Gejala intervensi terhadap kehidupan organisasi dan
kelembagaan pedesaan semakin menjadi-jadi, setelah pasca
kemerdekaan. Baik orde lama, maupun orde baru. Desa
telah menjadi korban sasaran kebijaksanaan pembangunan
yang deterministik sentralistik, bahkan dalam banyak hal
ditujukan untuk kepentingan politik. Dinamika
kelembagaan desa terpinggirkan sehingga pembangunan
berjalan secara tidak berkelanjutan. Kecenderungan
kekeliruan pembangunan pedesaan akibat paradigma yang
tidak tepat ternyata menjadi penyebab utama gagalnya
kemandirian masyarakat pedesaan. Bahkan lebih jauh,
khususnya pada jaman 60-an, ketika partai politik
menjadikan desa sebagai basis untuk menggalang kekuatan,
tatanan masyarakat yang waktu masih kohesif menjadi
tersegmentasi secara maya. Pelapisan atau “patron-client”
terdesak oleh arus pertentangan politik orang-orang kota,
sehingga desa atau masyarakat pedesaan mengalami
pengikisan nilai-nilai kelembagaan dan kemandirian. Filosifi Pemerintahan Desa Janganlah kita terjebak dalam romantisme masa lalu, dengan pengertian berusaha agar tatanan, dan kelembagaan masyarakat desa dikembalikan kedalam formatnya sesuai dengan masa lalu. Setiap periode pasti memiliki spirit zaman bersama dengan perangkat kelembagaan dan pranata menurut jamannya. Apa yang dinilai baik mungkin hanya berlaku pada jamannya, dan belum tentu seperti itu ke depan atau pada tempat yang lain. Kini, struktur dan komposisi masyarakat pedesaan jauh berbeda, dimana generasi muda penerus adalah komponen yang dominan, yang justru akan bingung dengan upaya pengembalian nilai-nilai lama tersebut. Yang perlu disadari adalah menerima kenyataan tersebut sebagai suatu realitas yang tidak dapat dihindari sehingga upaya yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan perkembangannya ke arah yang lebih kondusif. Apa yang dimaksud dengan kondisi yang lebih kondusif tentu saja masih perlu dirumuskan lebih lanjut dengan melibatkan semua stakeholder secara konsetual (Radi A Gany, 1999)
Kondisi Desa pada saat ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah dalam pengaturan masyarakat Desa yang kurangintensif dan kurang menyentuh kebutuhan dan permasalah dasar yang dihadapi masyarakat di Desa. Salah satu fakta dari keadaan tersebut adalah ketidakmampuan Pemerintah Desa dalam mengakomodasikan dan memfasilitasi dinamika masyarakat pedesaan yang sudah relatif cepat berkembang.
Pengaturan terhadap Pemerintah Desa dimaksudkan bukan untuk membatasi atau menghambat dinamika dan kreativitas masyarakat desa dalam menjalankan pemerintahannya. Namun pengaturan terhadap pemerintahan desa diharapkan mampu menjembatani dan memfasilitasi segenap potensi dan kreativitas masyarakat, agar dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien bagi jalannya roda pemerintahan desa.
Pengalaman menunjukkan bahwa pengaturan terhadap pemerintahan desa yang kurang mendasarkan pada karakteristik masyarakatnya, hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan masyarakat desa dalam mengembangkan dirinya.
Penyeragaman dalam pengaturan masyarakat desa justru menghambat tumbuhnya kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, sehingga relatif lebih tertinggal dari masyarakat yang tertinggal di wilayah perkotaan.
Pengertian Desa Secara Ekonomi dicirikan : Secara Umum dicirikan : - Dengan komunitas masyarakat - Dengan bahasa ibu yang kental yang memiliki model produksi - Tingkat Pendidikan yang relatif yang khas rendah Mata pencaharian yang umumnya - di sektor pertanian
Desa Secara Sosilogis dicirikan : Secara Hukum dan Politik dicirikan: - Dengan dua makna positif dan - Dengan adanya otonomi yang negatif membangun tata klehidupan desa Makna positif yang melekat dari - bagi kepentingan penduduk, yang desa antara lain kebersamaan dan sebenarnya hanya diketahui dan kejujuran. disediakan sendiri oleh - Makna negatif seperti kebodohan masyarakat desa, bukan pihak dan keterbelakangan. luar.
Desa UU No.5 /1979 “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didadalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah Camat dan berhak langsung di bawah menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik Indonesia” UU No.22 /1999 “Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten”
Susunan Desa-desa
membentuk persekutuan masyarakat hukum di kategorikan atas tiga tipe : 1. Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepadateritorial/wilayah tempat
bersama sebagai dasar utama 2. Tipe kesatuan masyarakat umum berdasarkan persamaan keturunan/genetik (suku, warga atau
calon) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal dalam suatu wilayah tersebut. 3. Tipe kesatuan hukum berdasarkan atas campuran(teritorial dan keturunan
(F. Tonies dalam Unang
Sunaryo, 1984)
Desa sebagai persekutuan masyarakat hukum berdasarkan adat, hukum dan kebiasaan,
memiliki unsur-unsur: a. terdapat wilayah sendiri yang telah ditentukan batas-batas,b. terdapat harta benda dan sumber-sumber kekayaan sendiri, c. berhak mengurus
rumah tangganya sendiri, d. berhak memilih Kepala Desanya sendiri, e. susunan
kemasyarakatannya masih diatur dengan adat, hukum adat dan kebiasaan dan f. terdapat
Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Th. 1906 - Stablat No. 591 - Stablat 1913 No.235 - Stablat 1919 No. 217 - IGO (daerah Jawa) - IGOB (luar Jawa) Th. 1948 - UU No. 22/1948 - UU No. 22/1948 beberapa tahun kemudian diganti oleh UU No. 1/1957
IGO dan IGOB tidak berlaku lagi Th. 1965 - UU No. 1/1957 diganti oleh UU No. 19/1965 Desa Praja
Setelah Orde Baru UU No. 5/1979
Masalah yang timbul dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan
desa berdasarkan UU No. 5/1979 :1. Apa yang dianggap oleh pemerintah Pusat, secara otomatis dianggap baik bagi desa, padahal dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
Karena pada dasarnya desalah yang lebih mengetahui tentang apa kebutuhannya, permasalahan apa yang dihadapi, serta bagaimana mengatasi masalah tersebut.
2. Dengan kebijakan tersebut, segala unsur di luar struktur kekuasaan
pemerintahan, yang merupakan institusi lokal tidak mempunyai kesempatan untuk tumbuh, kecuali yang sejalan dengan kepentingan pemerintah.
3. Aspirasi masyarakat kurang mendapatkan tempat, karena semua
kebijakan lebih cenderung untuk kepentingan negara dan bukan kepentingan masyarakat. Kondisi demikian berakibat bahwa berbagai proses pembaharuan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap desa tidak selalu berdampak pada meningkatnya kualitas hidup masyarakat di desa. Namun yang terjadi justru munculnya kesenjangan yang semakin lebar antara desa dan dan kota. Aparat Pemerintah Desa juga lebih terasa sebagai alat kekuasaan pemerintah pusat daripada pelayan masyarakat, yang berkewajiban menampung aspirasi dan melayaniMasa - UU No. 5/1979 Berpijak pada nilai : Reformasi diganti oleh UU No.
1. Demokratisasi 22/1999
2. Pemberdayaan dan
3. Pelayanan
Desa pada hakekatnya tetap merupakan kesatuan masyarakat
hukum asli yang mampu bertahan hidup dan berkembang
mengikuti dinamika kehidupan bangsa seiring dengan
perkembangan jaman semenjak jaman Hindia Belanda, jaman
pendudukan Jepang, jaman kemerdekaan sampai era reformasi,
dengan berlandaskan pada aturan Hukum Adat. Oleh karenanya
pemerintahan desa yang lahir dari sistem hukum yang berlaku
bersifat demokratis sesuai dengan filosofi terbentuknya desa dan
diharapkan pemerintah desa dapat menjalankan tiga peran
utamanya yaitu sebagai Struktur Perantara, sebagai pelayan
masyarakat dan sebagai agen pembaharuan.(Sadu Wasistiono, 1996:5) Kelembagaan Pemerintahan Desa
Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat
Desa terdiri dari :
1. Unsur Staf, yaitu unsur pelayanan seperti
Sekretaris Desa dan perangkat tata usaha;
2. Unsur Pelaksana, yaitu pelaksana teknis
lapanganseperti urusan Pamong Tani Desa, urusan keamanan desa, dan urusan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya;
3. Unsur Wilayah, yaitu pembantu Kepala Desa di
wilayah yaitu kepala-kepala dusun. Jumlah dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat (Pasal 8 Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999).Tugas dan Kewajiban Kepala Desa adalah : a) Memimpin Penyelenggaran Pemerintahan Desa;
b) Membina kehidupan masyarakat desa;
c) Perekonomian desa;
d) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
desa; e) Mendamaikan Perselisihan masyarakat di desa;
f) Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan
dapat menujuk kuasa hukumnya;g) Mengajukan Rancangan Peraturan desa dan bersama
BPD menetapkan sebagai peraturan desa;h) menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan
berkembang di desa yang bersangkutan;i) Pelaksanaan pendataan penduduk untuk kepentingan
nasional dan melaporkan kepada pemerintah melaluiKewenangan Desa mencakup :
1. Kewenangan yang sudah berdasarkan hak asal-usul;
2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku, belum dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Pemerintah;
3. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah
Propinsi dan Pemerintah Kabupaten.
Hubungan Kerja Pemerintah Desa yang secara umum
dapat digolongkan :
1. Hubungan dengan Pemerintahan yang lebih tinggi
tingkatannya, yaitu Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kecamatan;
2. Hubungan kerja dengan Pemerintah Desa yang lainnya;
3. Hubungan Kerja dengan Kepala Dusun;
4. Hubungan Kerja dengan lembaga-lembaga lain yang
Hubungan kerja antara pemerintah yang lebih
tinggi tingkatannya, dengan Pemerintah Desa
pada dasarnya bersifat koordinatif dan fasilitatif,
tidak lagi hirarkis. Sebagai kesatuan masyarakat
yang memiliki kewenangan mengatur dirinya
sendiri (self governing society), secara
organisatoris desa pemerintah Kabupaten. Akan
pula dapat dilihat dari kepentingannya, terdapat
hubungan yang bersifat hirarkis. Prinsip umum
yang dipakai adalah bahwa kepentingan
masyarakat yang lebih kecil tunduk kepada
kepentingan masyarakat yang lebih luas. (Sadu
Wasistiono, 2000)Pengukuran Kinerja
Untuk mengukur kinerja pemerintahan Desa dapat dilakukan dengan mengacu pada model pengukuran kinerja Pemerintahan, yang disesuaikan dengan kewenangan, objek layanan, personil, sumber daya keungan dsb, anatar lain :
1. Model Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
2. The Balance Score Card dan Norton dan Kaplan (1992) yang dimodifikasi menjadi Government Score Card
3. Performance Pyramid Model dari Lynh dan Cross
4. Stakeholders dari Curtis dan Kastner
Hubungan Pemerintah Desa dengan Pihak Luar Desa
I. Pola Hubungan dengan Pemerintah Kabupaten
Sebagai perwujudan dari filosofis “keaneka-
ragaman” dalam Pasal 93 UU No. 22 Tahun 1999, ditegaskan :
1. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan atau digabung dengan memperhatikan asal usulnya atau prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan desa sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan peraturan daerah.
Memperhatikan penegasan di atas, maka setiap kabupaten dimungkinkan adanya perbedaan nama dan struktur organisasi pemerintah desa yang satu dengan yang lainnya. Hak dari masyarakat desa untuk mengurus dan
mengatur urusan rumah tangganya sangat diperhatikan
oleh Pemerintah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam decentralisasi Wet 1903 yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang meliputi tigabentuk desentralisasi, yakni desentralisasi politik, yakni
hak untuk memilih kepala desanya sendiri, desentralisasi
budaya, merupakan hak untuk memelihara adat istiadat
yang ada pada masyarakatnya dan desentralisasi fungsional, yakni untuk mengatur dan memelihara hal- hal khusus yang ada pada masyarakatnya(SaduII. Pola Hubungan dengan Pemerintah Kecamatan
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 bahwa Kepala Desa bersifat ambilaven (berperan ganda) baik dalam posisinya sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai ketua LMD. Hubungan kerja Pemerintah Desa dengan Pemerintah Kec. Sudah tidak lagi bersifat hirarkhis. Karena tidak adanya hubungan hirarkhis oleh Camat sebagai perangkat daerah, adalah melakukan Koordinasi, pembinaan, fasilitasi dan pengawasan terhadap desa-desa yang ada di wilayahnya.
Adapun jenis-jenis kewenangan pemerintahan yang dapat dilakukan oleh Camat dalam pelaksanaan koordinasi, pembinaan, fasilitasi dan pengawasan pemerintahan terhadap desa-desa yang ada di wilayahnya sangat tergantung dari jumlah dan jenis kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati kepada Camat.
III. Pola Hubungan dengan BPD
Hubungan antara Pemerintah Desa yang dipimpin oleh Kepala Desa dengan BPD merupakan sesuatu yang relatif baru. Dikatakan demikian, karena dalam UU No. 22 Tahun 1999
Pasal 102 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Hal ini, juga dipertegas dengan Pasal 103 ayat 2, yang menyatakan bahwa apabila pertanggungjawaban kepala desa ditolak oleh BPD, maka kepala Desa diusulkan kepada Bupati untuk
Dengan adanya pertanggungjawaban Kepala Desa kepada rakyat melalui BPD, menunjukkan adanya nuansa demokrasi yang kuat. Dikatakan demikian, karena secara filosofis pemerintahan demokratis adalah pemerintahan dari untuk dan oleh rakyat, maka merupakan hal yang wajar apabila penyelenggaraan pemerintahan desa dipertanggungjawabkan kepada yang memiliki pemerintah (rakyat).
IV. Pola Hubungan BPD dan Pemerintah Desa
dengan Masyarakat
BPD sebagai badan perwakilan yang berasal dari masyarakat desa, di samping menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan masyarakat desa, juga harus dapat menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 104 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa fungsi BPD adalah mengayomi adat istiadat, membuat Peranan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Adapun dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat desa, masing-masing unsur pemerintahan desa dapat menjalankan fungsinya dengan mendapat dukungan dari unsur yang lain. Dengan demikian hubungan yang bersifat kemitraan antara BPD dengan Pemerintah Desa harus didasari pada filosofi sebagai berikut :
1. Adanya kedudukan yang sejajar diantara yang bermitra.
2. Adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai.
3. Adanya saling menghoramti.
4. Adanya niat baik untuk saling membantuk & saling mengingatkan (Sadu Wasistiono,2001:52)
Pola kemitraan antara legislatif (BPD) dengan eksekutif (Pemerintah Desa) menurut Sadu Wasistiono (2001:53), dikatakan bahwa : “Didasarkan pada budaya politik lokal yang berbasis pada filosofi “musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara tentang hasil. Hasil yang baik diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak sampai menimbulkan goncangan-goncangan yang merupakan masyarakat luas.
Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Desa
Tidak adanya akuntabilitas kepala desa kepada masyarakat pemilih menyebabkan kontrol sosial menjadi sangat lemah. Kepala Desa akan lebih berorientasi ke atas daripada kepada masyarakat pemilih. Keadaan ini akan memperlemah dukungan masyarakat desa, dan tanpa dukungan masyarakat, pemerintah desa tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. (Sadu Wasistiono, 1983:90)
Akuntabilitas Kepala Desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 Pemerintah Supra Desa
Tanggung Jawab Kepala Desa
Keterangan Pertanggungjawaban Masyarakat Pemilih
Model Pertanggungjawaban Kepala Desa
Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, secara tegas dinyatakan : Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa, dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. (Pasal 102). Pola pertanggunugjawaban kesamping tidak hanya berlaku bagi Pemerintah Desa melainkan juga bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/kota serta daerah Propinsi. Pola pertanggungjawaban ke atas digantikan dengan pola pertanggung-jawaban kesamping berdasarkan prinsip orbitasi.
PUSAT PEMERINTAH PROPINSI PEMERINTAH KAB/KOTA PEMERINTAH DESA Pemerintah Kecamatan BPD DPRD DPRD Tanggung Jawab Tanggung Jawab Tanggung Jawab Pembinaa n Pembinaan Pengawasan Pengawasan Pengawasan Keterangan: = garis komando = garis penugasan
Orbitasi BAGAN HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH
MPR PEMERINTAH
(LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN
KE SAMPING)
BAGAN MODEL MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN KEPADA DESA
Keterangan :
2. BPD membahas LPJ Kades dengan penduduk desa yang1. Kepala Desa mengajukan bahan pertanggungjawaban kepada mempunyai hak pilih, menurut masing-masing dusun. Pola
BPD
BUPATI RAKYAT
dusun, kemudian dibuat berita secara rapat yang berisi jumlah penduduk desa pada dusun tersebut yang sekaligus dengan yang digunakan satu anggota BPD menggunakan pola satu 3. Hasil pembahasan tersebut dibahas ke rapat lengkap BPD, desa yang mempunyai hak pilih (konstituen). sehingga akan diperoleh kesepakatan pendapat penduduk LPJ Kades, sebagian dengan catatan atau menolak LPJ Kades.
5
3 4. Berdasarkan hasil tersebut, kemudian BPD mengambil sikap
2 terhadap LPJ Kades dengan tiga opsi: - menerima dengan catatan - menerima 5. Apabila mayoritas konstituen menolak LPJ Kades, maka Kades diberi kesempatan untuk memperbaiki selama 30 hari. - menolak
1 maka BPD dapat mengajukan pemberhentian Kades kepada Apabila perbaikan dianggap tidak memuaskan anggota BPD, KEPALA
Bupati.
5. Selain menyampaikan LPJ kepada rakyat melalui BPD, Kades DESA juga mengajukan laporan pertanggungjawaban Pemerintahan
4 BPD
Pembentukan Badan Perwakilan Desa Adapun proses pembentukan BPD, lazimnya ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu :
a. Tahap sosialisasi
b. Tahap persiapan
c. Tahap pelaksanaan Jumlah anggota BPD ditentukan oleh jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan : 1. Jml penduduk s.d. 1.500 jiwa diwakilkan 5 angg.
2. Jml penduduk 1.501-2.000 jiwa diwakilkan 7 angg.
3. Jml penduduk 2.001-2.500 jiwa diwakilkan 9 angg.
4. Jml penduduk lebih dari 3.000 jiwa diwakilkan 13 angg.
Manajemen Keuangan Desa
Anggaran Desa adalah gambaran dari kebijaksanaan Pemerintahan Desa yang dinyatakan dalam ukuran uang, yang meliputi baik kebijaksanaan pengeluaran Pemerintah untuk satu periode di masa depan maupun kebijaksanaan penerimaan Pemerintah untuk menutup pengeluaran tersebut. Anggaran Desa berfungsi sebagai pedoman kerja bagi Pemerintahan Desa dalam mengelola Desa untuk suatu periode di masa yang akan datang.
Karena sebelum Anggaran Desa dijalankan, ia harus dapat pengesahan terlebih dahulu dari BPD, berarti Anggaran Desa juga berfungsi sebagai alat/instrumen pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan yang dipilih Pemerintah Desa. Karena pada akhirnya setiap Anggaran Desa harus dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa) kepada Badan Perwakilan Desa (BPD), berarti Anggaran Desa juga berfungsi sebagai alat/instrumen pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaan yang telah dipilihnya.
Teknik Pembuatan Peraturan Desa (PERDES)
dan Keputusan Kepala Desa (KEPDES)
Dalam membuat Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa harus diperhatikan : 1. Peraturan tersebut tidak berlaku surut.
2. Peraturan yang dibuat mempunyai penguasa lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
3. Peraturan terakhir membatalkan peraturan yang terdahulu
4. Peraturan yang dibuat mempunyai kekuatan hukum yang kuat (tidak dapat diganggu gugat)
5. Peraturan itu merupakan sarana yang maksimal dapat mencapai kesejahteraan masyarakat baik material maupun spiritual.
Pola Pemberian Bantuan dari Pemerintah
Propinsi Kepada Desa / Kelurahan
Bantuan desa yang diberikan Pemerintah Propinsi kepada Desa/Kelurahan dimaksudkan untuk mendukung empat strateg, yaitu :
1. Memberdayakan atau meningkatkan perekonomian desa
2. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di pedesaan.
3. Untuk pengadaan atau peningkatan prasarana di pedesaan.
4. Untuk memberdayakan lembaga pemerintahan desa dan atau lembaga kemasyarakatan di desa.
Pembangunan desa yang berkesinambungan senantiasa
memperhatikan perhatian yang dalam dan pemikiran yang
tuntas dalam menyelesaikan masalah-masalah pemba-
ngunan di Desa. Selama ini Desa senantiasa di dikte oleh
Pemerintah di atasnya agar senantiasa seragam baik dari
bentuk pemerintahannya hingga pola pembangunannya
termasuk dalam program memajukan desa, bahwasanya
pemberian bantuan senantiasa seragam tanpa melihat
kenyataan di lapangan dan kondisi asli masyarakatnya
baik dari keadaan wilayah maupun dari kondisi kehidupan
masyarakatnya. Terkadang masyarakat tidak bisa
menolak atau memberikan pendapatnya untuk kebaikan
pola bantuan yang diberikan kepada desa selama ini, tidak
ada niat baik (goodwil) dari pemerintah di atasnya, namun
demikian disini kami berikan gambaran tipe-tipe desa
untuk memandu nantinya pemerintah dalam memberikan
Ds. Persawahan Desa Nelayan Ds. Perladangan Ds. Jasa/
Perdagangan Tipe Desa
Ds. Perkebunan Ds. Indust. Sedang & besar
Ds. Pertam- Ds. Indus. bangan/gal. C Kecil
Ds. Peternakan & kerajinan
BAGAN ARUS INFORMASI KEBUTUHAN BANTUAN DARI MASYARAKAT DESA SAMPAI PADA INSTANSI PEMBAGI BANTUAN Pemerintah Pusat Gubernur Propinsi
Pemerintah Kabupaten/
Kota Pemerintah Kecamatan Pemerintah Desa Pemerintah Desa Masyarakat Desa Masyarakat DesaBAGAN ARUS PEMBERIAN BANTUAN KEPADA PEMERINTAH DESA DAN ATAU MASYARAKAT DESA Pemerintah Pusat Donor Pemerintah Gubernur Propinsi Pemerintah Kab/Kota Pemerintah Camat Desa Masyarakat Desa Keterangan :
BAGAN POLA PEMBERIAN BANTUAN DESA DARI PROPINSI KEPADA DESA Koordinasi Pusat Propinsi Bantuan Identifikasi Mampu Pemeliharaan & Pengembangan -perencanaan -teknik -manajemen Desa Menurut Kemampuan Sumber Kurang Bantuan Ung- Desa Keuangan mampu Pengem- - sumber keuangan desa gulan Desa Tidak Pemberian bangan - manajemen mampu Modal Awal dengan semua aspek sesuai Bantuan dalam Koordinasi Kabupaten/ Kota karakteristik desa
Pola Pemberian Tugas Pembantuan
No Uraian Menurut Menurut 1 Hakekat pengertian Tugas turut serta dalam Penugasan pemerintahan UU 5/1974 UU 22/1999 2 Institusi yang menugaskan 1. Pemerintah Pusat pemerintahan melaksanakan urusan 1. Pusat 3 Institusi yang menerima DT. I2. Pemerintah Daerah Tingkat atasnya (Propinsi DT. I) Kabupaten/Kota) 1. Daerah (Propinsi, 2. Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) 4 Fasilitas yang menyertai Pembiayaan DT. II 2. Sarana dan Prasarana 1. Pembiayaan 2. Desa 5 Kewajiban penerima Mempertanggungjawab-kan Tugas penugasannya penugasan 1. Melaporkan pelaksanaan
3. Sumberdaya Manusia 6 Hak penerima tugas Tidak ada hak untuk menolak Menolak pelaksanaan tugas tugas pembantuan pembantuan apabila tidak disertai
2. Mempertanggungjawabkan penugasan manusia prasarana serta sumber daya dengan pembiayaan, sarana dan
Urusan Pemerintah yang dapat ditugasperbantukan pada seluruh desa Urusan Pemerintah yang dapat ditugasperbantukan pada desa secara selektif berdasarkan
- -Karakteristik Desa -Kebutuhan -Kemampuan Daftar Urusan Pemerintah yang dapat ditugasperbantu-kan kepada Desa Inventarisasi kebutuhan -pembiayaan -sarana & prasarana -SDM untuk menjalankan tugas Pembantuan Pemberi- tahuan kepada Desa Persetuju an dari Desa bersang- kutan Pelaksa naan Tugas Pemban tuan Inventarisasi Urusan Pemerintah yang dapat ditugasperban- tukan kep. Desa -Setda -Dinas Daerah -Lembaga Teknis Daerah Kewena ngan Prop. Sebagai DO Pelaporan & Pertang- gungja- waban PP 52/2001 PP 39/2001 PP 20/2001 PP 25/2000 PP 22/1999
BAGAN MEKANISME PEMBERIAN TUGAS PEMBANTUAN DARI PROPINSI KEPADA DESA
TATA CARA PEMBERIAN TUGAS PEMBANTUAN
DARI PEMERINTAH KABUPATEN KEPADA DESA
BUPATI BUPATI SEKRETARIS DAERAH SEKRETARIS DAERAH DESA DESA DINAS DINAS DPRD DPRD BAPPEDA BAPPEDA BPD BPD CAMAT CAMAT= JALUR INFORMASI PENUGASAN
= JALUR INFORMASI PENUGASAN
= JALUR KOORDINASI = JALUR KOORDINASI
TATA CARA PEMBERIAN TUGAS PEMBANTUAN
DARI PEMERINTAH PROPINSI KEPADA DESA GUBERNUR GUBERNUR SEKRETARIS DAERAH SEKRETARIS DAERAH DESA DESA DINAS DINAS DPRD DPRD BAPPEDA BAPPEDA BPD BPD KABUPATEN KABUPATEN = JALUR INFORMASI PENUGASAN = JALUR INFORMASI PENUGASAN = JALUR KOORDINASI = JALUR KOORDINASIBagimu Negeri Jiwa Raga Kami Amiin.
Hatur Nuhun Hatur Nuhun
TERIMAKASIH TERIMAKASIH
Atas Perhatiannya
Atas Perhatiannya
Mohon Maaf Kalau
Mohon Maaf Kalau
KurangKurang Memuaskan!!!!
Memuaskan!!!!