SKRIPSI HUBUNGAN RESILIENSI KELUARGA DENGAN KEKAMBUHAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

SKRIPSI HUBUNGAN RESILIENSI KELUARGA DENGAN KEKAMBUHAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

  PENELITIAN CROSS SECTIONAL DI RSJ Dr. RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG

  Oleh : Yhunika Nur Mastiyas

  NIM. 131611123077 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2017

HALAMAN JUDUL DAN PRASYARAT GELAR SKRIPSI HUBUNGAN RESILIENSI KELUARGA DENGAN KEKAMBUHAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

  PENELITIAN CROSS SECTIONAL DI RSJ Dr. RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG

  Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR Oleh :

  Yhunika Nur Mastiyas NIM. 131611123077 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

  2017 i

SURAT PERNYATAAN

  ii iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

  iv v

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI UCAPAN TERIMA KASIH

  Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbinganNya kami dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “HUBUNGAN

  RESILIENSI KELUARGA DENGAN KEKAMBUHAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

  ”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

  Bersama ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya dengan hati yang tulus kepada :

  1. Dr. Hj. Hanik Endang N, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

  2. Rr. Dian Tristiana, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Pembimbing II yang telah menyediakan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

  3. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Pendidikan Ners.

  4. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada kami untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Ners. vi

  5. Tiyas Kusumaningrum S.Kep., Ns., M.Kep selaku Kaprodi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

  6. Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mencari ilmu di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

  7. dr. Laurentius Panggabean, Sp.KJ, MKK selaku Direktur Utama RSJ Dr.

  Radjiman Wediodiningrat Lawang yang telah mengijinkan saya untuk mengikuti tugas belajar.

  8. Susiati, SST selaku Kepala Bidang Keperawatan RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang telah mengijinkan saya untuk mengikuti tugas belajar.

  9. Tut Wuri Handayani, SST selaku Kepala Ruang Melati RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang telah mengijinkan saya untuk mengikuti tugas belajar.

  10. Anang Nurwiyono, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.J selaku Pembimbing Lahan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang telah menyediakan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan saran selama proses pengambilan data.

  11. Bapak/ Ibu dosen beserta staf Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

  12. Responden penelitian di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang telah meluangkan waktu mengisi kuesioner penelitian ini.

  13. Kedua orang tua dan adik sa ya yang selalu mendukung dan mendo‟akan.

  14. Suami dan kedua jagoan (Mas Arka dan Adek Arya) yang selalu sabar menemani, mendukung, mendo‟akan dan mengiringi setiap langkah. vii viii

  15. Teman-teman Angkatan B19 Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, khususnya kelas AJ2 yang telah berbagi cerita dan cinta.

  16. Teman-teman RSJ Squad (Clara, Mas Bay, Dwiko, Mbak Crispin), MB28 (Ira, Aul, Dewi, Silvi, Nihil, Fitri) yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

17. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberi motivasi dan bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

  Kami sadar bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi keperawatan.

  Surabaya, 22 Desember 2017 Penulis,

ABSTRAK HUBUNGAN RESILIENSI KELUARGA DENGAN KEKAMBUHAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

  Penelitian Cross Sectional di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

  Oleh : Yhunika Nur Mastiyas Pendahuluan : Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam proses

  perawatan klien gangguan jiwa. Peningkatan resiliensi keluarga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berkaitan dengan kekambuhan, bermanfaat untuk kesejahteraan keluarga dan ODGJ itu sendiri serta mencegah kekambuhan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan resiliensi keluarga dengan kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Metode : Desain penelitian ini menggunakan cross sectional dengan populasi seluruh keluarga yang mengantar salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa periksa di Klinik Psikiatri RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Besar sampel penelitian ini adalah 258 responden yang memenuhi kriteria yaitu keluarga dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sedang mengantar periksa di Poliklinik Psikiatrik RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, keluarga dari ODGJ yang pernah menjadi pasien rawat inap di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang minimal 1 kali, keluarga dari klien ODGJ rawat jalan yang pernah menjadi pasien rawat inap minimal 1 kali, keluarga kooperatif, keluarga dapat membaca dan menulis. Variabel penelitian ini adalah kekambuhan ODGJ dan resiliensi keluarga dengan menggunakan kuesioner kemudian dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman

  ‟s rho. Hasil : Hasil penelitian

  menunjukkan bahwa ada hubungan lemah yang bernilai negatif antara resiliensi keluarga dengan kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) (p=0,002 dan r=

  ̵ 0,195). Semakin tinggi tingkat resiliensi keluarga maka semakin rendah terjadinya kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

  Diskusi : Resiliensi keluarga dapat menurunkan angka kekambuhan pada ODGJ.

  Upaya keluarga dalam peningkatan resiliensi keluarga bisa dilakukan melalui selalu memberi dukungan pada ODGJ dalam pengobatan dan perawatan gangguan jiwanya.

  Kata Kunci : resiliensi keluarga, kekambuhan, orang dengan gangguan jiwa

  ix

  ABSTRACT THE CORRELATION OF THE FAMILY RESILIENCE WITH RELAPSES OF PEOPLE WITH MENTAL DISORDERS

  Cross Sectional Research at Dr. Radjiman Wediodiningrat Mental Hospital

  By : Yhunika Nur Mastiyas Introduction : Family had an important role in the mental care process. The

  increased family of people with mental disorders resilience associated with recurrence, beneficial to the well-being of families and people with mental disorders itself. This study to identify the relationship aimed of family resilience with recurrence in people with mental disorders. Methods : This study used cross sectional method with the entire family population who escorted family members who had mental disorders in Psychiatric Clinic of Dr. Radjiman Wediodiningrat Mental Hospital. The sample size of this study was 258 respondents who met the criteria, a family of people with psychiatric disorders who had been hospitalized at Dr. Radjiman Wediodiningrat Mental Hospital at least 1 times, the families of outpatient psychiatric clients who had been hospitalized at least 1 time. The variable of this research was the recurrence of people with mental disorder and family resilience by using questioner then analyzed using Spearman's rho correlation test . Results : The results showed that there was a weak negative relationship between family resilience and resurrence in people with mental disorders (p = 0,002 and r

  = ̵ 0,195). The higher the level of family resilience, the lower the occurrence of recurrence in people with mental disorders Discussion: There was a relationship of family resilience with recurrence in people with mental disorders. Family efforts in increasing family resilience can be done through always providing support to family members who have mental disorders in the treatment and treatment of mental disorders.

  Keywords: family resilience, recurrence, mental disorders

  x

  DAFTAR ISI

  Halaman

   DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

   xi

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  xii

  DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian .......................................................50Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian ......................................................64

  xiv

  DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Keaslian Penelitian ........................................................................41Tabel 4.1 Definisi Operasional ......................................................................57Tabel 4.2 Kisi-kisi Alat Ukur Resiliensi Keluarga .......................................59Tabel 5.1 Data umum responden (keluarga ODGJ) di RSJ Dr. Radjiman

  Wediodiningrat Lawang bulan Nopember 2017

  • – Desember 2017 ........................................................................................................69

Tabel 5.2 Data umum responden (data ODGJ) di RSJ Dr. Radjiman

  Wediodiningrat Lawang bulan Nopember 2017

  • – Desember 2017 ........................................................................................................72

Tabel 5.3 Frekuensi Kekambuhan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) selama satu tahun terakhir di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat

  Lawang bulan Nopember 2017

  • – Desember 2017 ........................73

Tabel 5.4 Frekuensi Tingkat Resiliensi Keluarga Orang Dengan Gangguan

  Jiwa (ODGJ) selama satu tahun terakhir di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang bulan Nopember 2017

  • – Desember 2017 ........................................................................................................74

Tabel 5.5 Uji Statistik Hubungan Resiliensi Keluarga dengan Kekambuhan pada ODGJ di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang bulan

  Nopember 2017

  • – Desember 2017 ................................................74 xv

  DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1 Permohonan Menjadi Responden Penelitian ............................... 92 Lampiran 2 Penjelasan Penelitian Bagi Responden ........................................ 93 Lampiran 3 Informed Consent ......................................................................... 95 Lampiran 4 Kuesioner Tentang Data Demografi ............................................ 96 Lampiran 5 Kuesioner Kekambuhan ............................................................... 99 Lampiran 6 Kuesioner Resiliensi Keluarga ................................................... 100 Lampiran 7 Sertifikat Uji Etik ....................................................................... 103 Lampiran 8 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ............................................ 104 Lampiran 9 Surat Permohonan Pengambilan Data ........................................ 106 Lampiran 10 Surat Jawaban Pengambilan Data .............................................. 107 Lampiran 11 Hasil Uji Statistik ....................................................................... 108 xvi

DAFTAR SINGKATAN

  xvii

  ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa WHO : World Health Organization PPDGJ : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa UU RI : Undang-Undang Republik Indonesia

  ICD : International Classification of Disease DSM : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Dissorder AFI : Analisis Fenomenologi Interpretatif FRAS : Family Resilience Assessment Scale Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar Kemenkes : Kementerian Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang kembali muncul gejala seperti bicara dan tertawa sendiri, berteriak, mengamuk, bahkan memaki orang lain ditambah pandangan negatif masyarakat, menyebabkan keluarga malu dan menimbulkan beban pada keluarga yang merawat. Keluarga sudah berusaha melakukan berbagai cara untuk kesembuhan dan telah menghabiskan banyak biaya, tetapi penderita tetap kambuh, sehingga keluarga menganggap tempat terbaik bagi penderita adalah di Rumah Sakit Jiwa (Widiastutik, Winarni dan Lestari, 2016a, 2016b; Tlhowe, du Plessis dan Koen, 2017). Begitu juga penelitian yang dilaksanakan oleh Amalia (2009) menemukan bahwa keluarga pasien gangguan jiwa belum siap menerima kepulangan pasien gangguan jiwa yang telah dinyatakan sembuh., disebabkan oleh rasa malu akibat memiliki keluarga yang mengalami gangguan jiwa, kebingungan dalam melaksanakan perawatan di rumah terhadap anggota keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa, atau ketakutan akan kekambuhan yang tidak mampu diatasi oleh anggota keluarga (Shoviana, 2011). Hasil penelitian Fitrikasari (2012) menunjukkan bahwa beban keluarga bisa menimbulkan dampak terhadap perasaan nyaman, beratnya masalah gangguan yang dihadapi, dampak terhadap hubungan dengan orang lain, apresiasi terhadap peran perawatan dan dampak terhadap kualitas hubungan perkawinan.

  Ekspresi emosi tinggi anggota keluarga melalui komentar-komentar kritis, sinis, tajam, sikap permusuhan dan emosi yang berlebihan pada keluarga melalui

  1 kata-kata spontan anggota keluarga, merupakan faktor resiko terjadinya kekambuhan penderita psikosis (Addington dan Burnett 2004 dalam Afriyeni dan Subandi, 2015; Poegoeh dan Hamidah, 2016). Faktor kekambuhan lainnya, antara lain tinggal sendiri, kurangnya dukungan religius, dukungan sosial dan kepatuhan pengobatan (Fikreyesus, Soboka dan Feyissa, 2016).

  World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa gangguan jiwa

  sudah menjadi masalah yang sangat serius di seluruh dunia dan jumlahnya saat ini masih tinggi. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010 prevalensi gangguan jiwa berat mencapai sekitar 4,6 per mil, yang artinya dalam 1.000 penduduk ada sekitar 4 sampai 5 penduduk yang menderita gangguan jiwa. Sedangkan hasil Riskesdas Kemenkes tahun 2013 prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebanyak 1,7 per mil, yang berarti dalam 1.000 penduduk ada sekitar 1

  • – 2 penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat dan di provinsi Jawa Timur, prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis/ skizofrenia) menurut Riskesdas tahun 2013 sebesar 2,2 per mil (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

  Penderita gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan secara umum, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Skotlandia, Kanada, Kalifornia dan Inggris sekitar 50% sampai 92% (Weret dan Mukherjee, 2014). Penderita yang tidak tinggal dengan keluarga memiliki resiko mengalami kekambuhan sebesar 72%, tidak patuh terhadap pengobatan beresiko mengalami kekambuhan sebesar 69%, tidak mendapat dukungan sosial akan beresiko mengalami kekambuhan sebesar 48%, serta penderita yang tidak mencari dukungan religius beresiko kambuh sebesar 45% (Fikreyesus, Soboka dan Feyissa, 2016). Peneliti mendapatkan data awal jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJ Dr. Radiman Wediodiningrat Lawang selama tahun 2016 sebanyak 4.252 dengan angka kekambuhan sebesar 47,25%.

  Gibbons (1988) dalam McDonnel, dkk (2003) menyatakan bahwa sekitar 50%

  • –80% keluarga yang merawat penderita gangguan psikotik menunjukkan tingginya beban merawat anggota keluarganya, yaitu menambah beban stigma sosial (Poegoeh dan Hamidah, 2016; Heru dan Drury, 2011). Hoenig dan Hamilton (1966) membedakan beban keluarga menjadi beban obyektif dan beban subyektif. Beban obyektif berhubungan dengan gejala, perilaku dan karakteristik sosiodemografi penderita, seperti perubahan dalam keluarga, hubungan keluarga atau hubungan sosial, pekerjaan, waktu luang, kesehatan fisik sedangkan beban subyektif adalah kesehatan mental dan kesulitan subyektif antara anggota keluarga (Chan, 2011; Fitrikasari, 2012). Meningkatnya beban tersebut akan mempengaruhi angka kejadian relaps dan beratnya gejala yang timbul pada penderita (Nasr dan Kausar, 2009). Keluarga memerlukan dukungan dari tenaga kesehatan untuk membantu mengatasi beban tersebut. Salah satu pendekatannya dengan mengeksplorasi resiliensi keluarga untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan ODGJ, dengan cara melihat bagaimana keluarga dapat dibantu untuk merawat dan mengatasi kekambuhan pada ODGJ. Resiliensi keluarga mencakup kemampuan untuk mengembangkan kemampuan interpersonal yang adaptif dan kualitas keluarga yang positif (Heru dan Drury, 2011). Jika suatu keluarga telah

  resilience maka dapat dengan mudah menanggulangi stress berkaitan dengan proses perawatan terhadap penderita gangguan jiwa. Teori resilience berfokus pada kekuatan yang dimiliki individu atau keluarga yang memungkinkan mereka mengatasi krisis. Ada tujuh indikator resiliensi keluarga, termasuk penerimaan, ketahanan, harapan, penguasaan, kemampuan diri, rasa koherensi, dan akal yang telah dipelajari keluarga penderita gangguan jiwa (Zauszniewski, Bekhet dan Suresky, 2010, 2015).Walsh membagi proses resiliensi menjadi 3 kunci utama yaitu model kepercayaan, pola organisasi dan komunikasi/ penyelesaian masalah (Walsh, 2007).

  Resiliensi keluarga pada dasarnya merupakan kerangka kerja positif, yang berfokus pada kekuatan keluarga dan sumber daya yang tersedia (Power et al., 2016). Penelitian Afriyeni dan Subandi (2015) mengungkapkan bahwa karakteristik kekuatan keluarga penderita psikosis antara lain penerimaan positif keluarga, kemampuan menyelesaikan masalah, komunikasi efektif dan terbuka, kedekatan dan kebersamaan dalam keluarga, dukungan keluarga, ketaatan beribadah dan saling mendo‟akan, serta sumber daya ekonomi dan status sosial yang dipandang lebih di masyarakat. Kekuatan keluarga menurut Mokgothu, Du Plessis dan Koen (2015) bisa bersifat eksternal dan bersifat internal. Ada empat kekuatan yang ditekankan pada keluarga untuk mengurangi kekambuhan pada ODGJ, antara lain penerimaan melalui pendidikan kesehatan jiwa, beriman kepada Tuhan, melibatkan ODGJ dalam kegiatan sehari

  • – hari serta keluarga juga harus mempertahankan sikap tenang, mengetahui apa saja yang dapat memperburuk keadaan ODGJ dan menggunakan komunikasi yang baik, saling berinteraksi secara terbuka, positif, jujur dan sering (Tlhowe, et al 2017).
Add ington dan Burnett (2004) dan O‟Callaghan dkk (2010), menyatakan bahwa keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam mencari pengobatan yang efektif, menyediakan lingkungan yang mendukung dan aman untuk membantu penderita selama pemulihan. Keluarga harus dilibatkan sejak awal perawatan karena keberhasilan perawat di Rumah Sakit akan sia-sia apabila tidak diteruskan di rumah dan hal ini mengakibatkan klien harus dirawat kembali atau kambuh (Afriyeni dan Subandi, 2015; Tlhowe, et al 2017; Keliat, 1992 dalam Widiastutik dkk, 2016b).

  Resiliensi keluarga ditunjukkan dengan berinteraksi secara dinamis, mengintegrasikan faktor perlindungan dan pemulihan optimisme, spiritualitas, kesepakatan, fleksibilitas, komunikasi, manajemen keuangan, waktu dan rekreasi, rutinitas dan ritual, serta dukungan sosial (Black dan Lobo, 2008). Kualitas resiliensi keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan resiliensi dan fungsi keluarga diidentifikasi sebagai berikut, yaitu pendapatan keluarga, menemukan dukungan di komunitas mereka, kebersamaan keluarga, gaya komunikasi selama krisis, menegaskan dan mendukung pola komunikasi, kekuatan keluarga, komitmen dalam keluarga, membingkai kembali krisis sebagai tantangan, kontrol internal dalam keluarga. Resiliensi keluarga juga dipengaruhi oleh durasi kesulitan yang dihadapi, tahap perkembangan keluarga serta sumber dukungan internal dan eksternal (Wandasari, 2012; Bishop dan Greeff, 2015).

  Menurut Monyaluoe, Plessis dan Koen (2014), untuk meningkatkan resiliensi keluarga penderita gangguan jiwa bisa melalui pendidikan tentang kesehatan jiwa oleh tenaga kesehatan, seperti penyebab, perawatan selama di rumah, kebersihan diri, cara menangani pasien yang agresif, siapa yang harus dihubungi untuk merujuk serta hak ODGJ. Selain itu, dukungan budaya dan spiritualitas dapat digunakan untuk memperkuat ketahanan keluarga yang merawat dan tinggal dengan ODGJ. Penelitian Van Breda AD (2001) menunjukkan bahwa peningkatan resiliensi keluarga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berkontribusi pada kesejahteraan keluarga dan ODGJ itu sendiri (Zauszniewski, et al 2015).

  Melihat pentingnya resiliensi keluarga pada keluarga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), peneliti ingin mengetahui hubungan resiliensi keluarga dengan kekambuhan.

   1.2 Rumusan Masalah

  Bagaimana hubungan antara resiliensi keluarga dengan kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang?

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan umum

  Mengidentifikasi hubungan antara resiliensi keluarga dengan kekambuhan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.

  1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

  2. Mengidentifikasi tingkat resiliensi keluarga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

  3. Mengidentifikasi hubungan resiliensi keluarga dengan kekambuhan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

1.4 Manfaat

  1.4.1 Manfaat teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan jiwa dengan memberikan informasi mengenai hubungan resiliensi keluarga dengan kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

  1.4.2 Manfaat praktis

  1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang hubungan resiliensi keluarga dengan kekambuhan pada penderita gangguan jiwa.

  2. Bagi Responden Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh keluarga sebagai dasar pertimbangan peningkatan resiliensi keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa agar tidak terjadi kekambuhan.

  3. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan membuat intervensi kepada keluarga penderita gangguan jiwa untuk mencegah kekambuhan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang konsep gangguan jiwa, konsep kekambuhan, konsep keluarga, konsep resiliensi keluarga dan keaslian penelitian.

2.1 Konsep Gangguan Jiwa

  2.1.1 Definisi Gangguan Jiwa

  Gangguan jiwa menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010 dalam Yusuf, 2015).

  American Psychiatric Association (1994) dalam Videbeck (2008)

  mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distres (misal gejala nyeri) atau disabilitas (kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan.

  2.1.2 Definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa

  UU RI nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa menjelaskan, Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang

  8 mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia (UU Kesehatan RI, 2014).

2.1.3 Penyebab Gangguan Jiwa

  Penyebab gangguan jiwa menurut Yusuf (2015) dan Nasir dan Muhith (2011) ada beberapa antara lain :

  1. Faktor somatik (somatogenik), yaitu akibat gangguan pada neuroanatomi, neurofisiologi dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan perinatal.

  2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persaingan antar saudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri dan pola adaptasi juga akan mempengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu dan rasa bersalah yang berlebihan.

  3. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan dan masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang tidak memadai serta pengaruh rasial dan keagaman.

  Menurut Puri, Laking dan Treasaden (2011) gangguan jiwa pada seorang pasien bisa memiliki berbagai penyebab, yang dapat diklasifikasikan menjadi :

  1. Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempredisposisikan seseorang sehingga menjadi rentan terhadap suatu gangguan jiwa. Misal susunan genetik, komplikasi obstetrik, serta kepribadian seseorang.

  2. Faktor presipitasi merupakan faktor yang terjadi sesaat sebelum gangguan psikiatrik timbul dan yang kemungkinan memicunya. Misal peristiwa hidup, seperti kematian salah satu keluarga.

  3. Faktor perpetuasi merupakan faktor yang menyebabkan gangguan psikiatri yang sudah ada menjadi berlanjut. Misal penarikan diri dari lingkungan sosial yang sebenarnya sering disebabkan gangguan psikiatri itu sendiri (seperti depresi dan skizofrenia).

2.1.4 Kategori Gangguan Jiwa

  Gangguan jiwa dikategorikan berdasarkan gejala dan perjalanan gangguannya. Gangguan jiwa dikelompokkan sebagai berikut (Baputty, Hitam dan Sethi, 2008) :

  1. Gangguan psikotik Gangguan ini ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi (Keliat, 2011). Kelompok ini terdiri dari skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya seperti gangguan delusional dan gangguan skizoafektif (Baputty et al., 2008)

  2. Gangguan alam perasaan Kelompok ini terdiri dari berbagai macam depresi (depresi episode tunggal, depresi episode berulang, distimia) dan gangguan suasana hati bipolar (mania, episode maniak dan depresi serta siklotimik).

  3. Kecemasan Gejala kecemasan, baik akut maupun kronis, merupakan komponen utama bagi semua gangguan psikiatri. Sebagian besar komponen kecemasan itu menjelma dalam bentuk gangguan panik, fobia, obsesi kompulsi (Nasir dan Muhith, 2011), gangguan somatoform dan gangguan konversi, seperti gangguan stres pasca trauma, reaksi stres akut dan gangguan penyesuaian merupakan reaksi terhadap stres atau berbagai kejadian dalam hidup (Baputty et al., 2008).

  4. Gangguan kepribadian Kelompok kelainan ini terjadi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa yang bersifat luas dan berlanjut. Pasien dengan gangguan ini tidak sesuai dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka dan tidak paham tentang masalah mereka (Baputty et al., 2008). Menurut Maramis (2009), suatu gangguan kepribadian dianggap telah terjadi bila sebuah atau lebih sifat kepribadian individu merugikan dirinya sendiri atau masyarakat di sekitarnya.

  5. Gangguan pada anak dan remaja Biasanya gangguan ini pertama kali didiagnosa pada anak atau remaja.

  6. Gangguan jiwa yang lain Gangguan ini memiliki gejala spesifik tunggal seperti gangguan tidur, gangguan makan dan kelainan seksual.

  Sistem klasifikasi pada International Classification of Disease (ICD) dan

  Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) menggunakan

  sistem kategori. ICD menggunakan sistem aksis tunggal (uniaksis), yang mencoba menstandarkan diagnosis menggunakan definisi deskriptif dari berbagai sindroma, serta memberikan pertimbangan untuk diagnosa banding. Kriteria diagnosis pada DSM menggunakan sistem multiaksis, yang menggambarkan berbagai gejala yang harus ada agar diagnosis dapat ditegakkan (Katona, 2012 dalam Yusuf, 2015). Multiaksis tersebut meliputi :

  1. Aksis 1 : sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian klinis.

  2. Aksis 2 : gangguan kepribadian dan retardasi mental.

  3. Aksis 3 : kondisi medis secara umum.

  4. Aksis 4 : masalah lingkungan dan psikososial.

  5. Aksis 5 : penilaian fungsi secara global.

  Klasifikasi gangguan jiwa menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) antara lain (Maslim, 2014) :

  1. F00-F09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).

  2. F10-F19 : gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.

  3. F20-F29 : skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham.

  4. F30-F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif).

  5. F40-F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan terkait stres.

  6. F50-F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.

  7. F60-F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.

  8. F70-F79 : retardasi mental.

  9. F80-F89 : gangguan perkembangan psikologis.

  10. F90-F98 : gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak dan remaja.

  Klasifikasi gangguan jiwa menurut Riskesdas 2013 yaitu gangguan jiwa berat yaitu psikosis/ skizofrenia dan gangguan jiwa ringan yang meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

  Menurut Yusuf (2015), diagnosis keperawatan terbanyak yang sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia berdasarkan hasil penelitian tahun 2005 yaitu : 1. Perilaku kekerasan.

  2. Resiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, verbal).

  3. Gangguan persepsi sensori : halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba, penciuman).

  4. Gangguan proses pikir.

  5. Kerusakan komunikasi verbal.

  6. Resiko bunuh diri.

  7. Isolasi sosial.

  8. Kerusakan interaksi sosial.

  9. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi).

  10. Harga diri rendah kronis.

2.1.4 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

  Tanda adalah pengamatan dan temuan obyektif yang diperoleh dokter, misal afek menyempit atau retardasi psikomotor pada pasien sedangkan gejala adalah pengalaman subyektif yang dideskripsikan oleh pasien, seringkali diungkapkan sebagai keluhan utama misal mood depresif atau kurang energi (Sadock, 2010). Pasien yang menderita gangguan jiwa menunjukkan berbagai gejala yang mempengaruhi berbagai domain. Banyak gejala mungkin relatif spesifik untuk gangguan tertentu dan gangguan lainnya, seperti gangguan tidur dan makan yang tidak spesifik. Selanjutnya, kehidupan pekerjaan, sosial dan pribadi pasien juga terpengaruh, sebagai konsekuensi gejala gangguan (Baputty et al., 2008). Gejala umum yang terjadi pada penderita gangguan jiwa menurut Baputty, et al (2008) yaitu :

  1. Kecemasan Gejala gangguan kecemasan antara lain (Baputty et al., 2008): 1) Merasa takut 2) Peningkatan denyut jantung 3) Palpitasi/ jantung berdebar 4) Berkeringat 5) Tangan dan kaki dingin dan lembap 6) Mulut dan tenggorokan terasa kering

  7) Kesulitan bicara dan bernapas 8) Pusing 9) Tangan gemetar 10) Gelisah

  2. Depresi Gejala depresi antara lain (Baputty et al., 2008): 1) Sedih berkepanjangan 2) Mudah tersinggung 3) Mudah menangis 4) Penurunan sosialisasi 5) Kering pada mulut dan tenggorokan 6) Kesulitan bernapas dan berbicara 7) Pusing 8) Tangan gemetar 9) Gelisah Menurut Nasir dan Muhith (2011) depresi ditandai dengan kemurungan, kelesuan, tidak bergairah, perasaan tidak berguna, putus asa. Beberapa perilaku yang menunjukkan depresi (Keliat, 2011) adalah : 1) Terdapat satu atau lebih gangguan fisik (kelelahan, rasa nyeri).

  2) Penurunan konsentrasi dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang menjadi kebiasaannya.

  3) Sensitif (cepat marah dan tersinggung). 4) Berdiam diri dan memperlihatkan ekspresi wajah datar atau sedih.

  5) Gerakan cenderung lamban dan tidak bersemangat melakukan aktivitas.

  6) Khusus pada anak dan remaja, depresi sering ditunjukkan dalam bentuk gejala gangguan tingkah laku, menarik diri atau perilaku acting

  

out (misal sikap menentang, ngebut, perkelahian atau perilaku

mencederai diri).

  7) Beberapa kondisi yang menunjang depresi seperti baru melahirkan, menderita stroke, menderita penyakit Parkinson atau multiple

  sclerosis.

  3. Mania Gejala mania menurut Baputty et al (2008) antara lain : 1) Rasa bahagia berlebihan dan tidak semestinya 2) Harga diri meningkat 3) Terlalu aktif 4) Bicara cepat dan nada meninggi 5) Membuat rencana besar 6) Menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak perlu 7) Kontrol diri buruk 8) Peningkatan sosialisasi 9) Penurunan kebutuhan tidur

  4. Skizofrenia Gejala skizofrenia dibagi dalam dua kategori utama, yaitu gejala positif atau gejala nyata yang mencakup waham, halusinasi dan disorganisasi pikiran, bicara, dan perilaku yang tidak teratur, serta gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman. Gejala positif dapat dikontrol dengan pengobatan, tetapi gejala negatif seringkali menetap setelah gejala psikotik berkurang (Videbeck, 2008).

  Gejala umum pada penderita skizofrenia menurut Baputty, et al (2008) adalah : 1) Afek tidak tepat 2) Penurunan sosialisasi 3) Mengabaikan kebersihan diri dan mengabaikan pekerjaan 4) Bicara sendiri 5) Mendengar suara-suara 6) Curiga 7) Perilaku agresif 8) Pikiran yang tidak biasa dan tidak logis 9) Kurang minat di lingkungan dan aktivitas

2.2 Konsep Kekambuhan

2.2.1 Definisi Kekambuhan

  Kekambuhan adalah kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda. Kekambuhan menunjukkan kembalinya gejala-gejala penyakit sebelumnya cukup parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari dan memerlukan perawatan inap dan rawat jalan yang tidak terjadwal (Dorland, 2015).

  Kekambuhan sering terjadi selama tahun-tahun pertama dan mungkin terkait dengan kemunduran klinis dan biasanya penghentian terapi obat (Robinson, 1999 dalam Weret dan Mukherjee, 2014). Menurut The Free Dictionary (2016) yang dikutip dalam Tlhowe, et al (2017) kekambuhan adalah kambuhnya gejala penyakit jiwa serupa dengan yang pernah dialami sebelumnya.

2.2.2 Tanda Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa

  Tanda-tanda kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ada beberapa macam (Keliat, 1996) yaitu :

  1. Secara fisik 1) Makan dan minum kurang atau berlebihan.

  2) Tidur kurang atau terganggu. 3) Penampilan diri kurang rapi atau tidak rapi. 4) Perawatan diri kurang (badan bau, kuku panjang dan kotor, rambut dan kulit kotor).

  5) Keberanian kurang atau berlebihan.

  2. Secara emosi 1) Bicara tidak jelas, merengek, menangis seperti anak kecil.

  2) Merasa malu, bersalah. 3) Ketakutan. 4) Gelisah. 5) Mudah panik, tiba-tiba marah tanpa sebab. 6) Menyerang. 7) Bicara dan tertawa sendiri. 8) Memandang ke satu arah, duduk terpaku. 9) Malas, tidak ada inisiatif. 10) Komunikasi kacau.

  11) Bermusuhan dan curiga. 12) Merasa rendah diri, tidak berdaya dan hina.

  3. Secara sosial 1) Duduk menyendiri, melamun.

  2) Tunduk. 3) Menghindar dari orang lain. 4) Tergantung pada orang lain. 5) Tidak peduli pada lingkungan sekitar. 6) Interaksi kurang. 7) Kegiatan kurang. 8) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.

2.2.3 Faktor Penyebab Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa

  Sullinger (n.d) dalam Keliat (1996) mengidentifikasi empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa, antara lain :

  1. Klien Klien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Penelitian Fikreyesus, et al (2016) menyatakan bahwa penderita yang patuh terhadap pengobatan 69% lebih rendah mengalami kekambuhan.

  2. Lingkungan Lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak mendukung, kurangnya dukungan sosial dan adanya stigma di masyarakat dapat meningkatkan kekambuhan. Penelitian Fikreyesus, et al (2016) menemukan bahwa penderita yang memiliki dukungan sosial 48% lebih rendah mengalami kekambuhan dibanding penderita yang tidak mempunyai dukungan sosial.

  3. Penanggung jawab Setelah penderita gangguan jiwa pulang ke rumah, maka petugas kesehatan yang ada di Puskesmas terdekat mempunyai tanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah. Dokter memegang peranan dalam mempertanggungjawabkan program pengobatan klien, seperti memberikan resep obat dan mewaspadai efek samping obat yang mungkin dapat mengganggu aktivitas.

  4. Keluarga Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan yang tinggi pada penderita gangguan jiwa. Selain itu, penderita mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan atau menyedihkan.

2.2.4 Tahap-Tahap Kekambuhan

  Sundeen (2006) membagi kekambuhan menjadi 4 tahap, yaitu :

  1. Overextension Tahap ini menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Penderita mengeluh perasaannya terbebani. Gejala dari cemas makin intensif dan energi yang besar digunakan untuk mengatasi hal ini.

  2. Restricted consciousnes Tahap ini menunjukkan kesadaran yang terbatas. Gejala yang sebelumnya cemas, digantikan oleh depresi.

  3. Disinhibition Tahap ini ditunjukkan dengan munculnya hipomania awal, yang ditandai dengan mood yang tinggi, kegembiraan, optimisme dan percaya diri.

  Gejala lain hipomania adalah percaya diri yang berlebihan, waham kebesaran, mudah marah, senang dan suka menghambur-hamburkan uang,

  euphoria.

  4. Psychotic disorganization Gejala psikotik pada tahap ini sangat jelas terlihat. Tahap ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Penderita tidak lagi mengenal lingkungan/ orang yang familiar dan mungkin menuduh anggota keluarga menjadi penipu. Agitasi yang ekstrim mungkin terjadi, fase ini dikenal sebagai penghancuran dari dunia luar.

  2)

Penderita kehilangan identitas dan mungkin melihat dirinya sebagai

  pihak ketiga. Fase ini menunjukkan kehancuran pada diri.

  3)

Total fragmentation adalah kehilangan kemampuan untuk

  membedakan realitas dari psikosis dan kemungkinan, dikenal sebagai loudly psychotic.

  4)

Psychotic resolution terjadi di rumah sakit, penderita diberikan

  pengobatan dan masih mengalami psikosis tetapi gejala berhenti atau diam.

2.3 Konsep Keluarga

  2.3.1 Definisi Keluarga

  Keluarga adalah kumpulan dua individu atau lebih yang terikat oleh darah, perkawinan, atau adopsi yang tinggal dalam satu rumah atau jika terpisah tetap memperhatikan satu sama lain (Muhlisin, 2012). Menurut Friedman (2010) keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga.

  2.3.2 Tipe Keluarga

  Tipe keluarga tradisional terdiri dari :

  1. Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan anak (kandung atau angkat) (Muhlisin, 2012). Menurut Friedman (2010) keluarga inti adalah keluarga yang terbentuk karena pernikahan, peran sebagai orang tua atau kelahiran, terdiri atas suami, istri dan anak-anak mereka (biologis, adopsi atau keduanya).

  2. Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek, paman, bibi atau keluarga yang terdiri dari tiga generasi yang hidup bersama dalam satu rumah, seperti keluarga inti disertai paman, tante, orang tua (kakek, nenek) dan keponakan (Muhlisin, 2012). Friedman (2010) juga mengungkapkan bahwa keluarga besar adalah keluarga dengan pasangan yang berbagi pengaturan rumah tangga dan pengeluaran keuangan dengan orang tua, kakak/ adik dan keluarga dekat lainnya. Anak-anak kemudian dibesarkan oleh beberapa generasi dan memiliki pilihan model pola perilaku yang akan membentuk perilaku mereka.

  3. The dyad family (keluarga “dyad”), yaitu keluarga yang terdiri dari suami dan istri (tanpa anak) yang hidup bersama dalam satu rumah (Muhlisin,

  2012).

  4. Orang tua tunggal, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung atau angkat) yang disebabkan oleh perceraian atau kematian (Muhlisin, 2012). Menurut Friedman (2010), yaitu keluarga dengan kepala rumah tangga duda/ janda yang bercerai, ditelantarkan atau berpisah.

  5. The single adult living alone/ single adult family, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri dari seorang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya atau perpisahan (Muhlisin, 2012).

  6. Blended family, yaitu keluarga yang terdiri dari duda/ janda (karena perceraian) yang menikah kembali dan membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya (Muhlisin, 2012).

  7. Kin network family, yaitu beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan dan saling menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama (Muhlisin, 2012).

  8. Keluarga multigenerasi, yaitu keluarga dengan beberapa generasi atau kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah (Muhlisin, 2012).