KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 126 KPTS II 2003

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR 126/KPTS-II/2003
TENTANG
PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
MENTERI KEHUTANAN,

Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Bab VII Pasal 73, ditetapkan
bahwa dalam rangka melindungi hak-hak negara atas hasil hutan dan kelestarian hutan, dilakukan
pengendalian peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu menetapkan Penatausahaan Hasil Hutan
dengan Keputusan Menteri Kehutanan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Keten-tuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonomi;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet
Gotong Royong;
12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kehutanan.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENATA-USAHAAN HASIL HUTAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1


Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Penatausahaan Hasil Hutan adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan
produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian,
pengangkutan/peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan.
2. Hasil hutan adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) selain tumbuhan dan satwa liar.
3. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
4. Hutan hak/rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
5. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan selain kayu, termasuk komoditas hasil
perkebunan yang dipungut dari hutan negara.
6. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam yang sebelumnya disebut
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya
terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan,
dan pemasaran hasil hutan kayu.
7. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) pada hutan alam adalah izin untuk
memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan, penanaman, pemeliharaan,
pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan bukan kayu.
8. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman yang sebelumnya
disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

(HPHTI) adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan
lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau
penebangan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan kayu.
9. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) pada hutan tanaman adalah izin
untuk memanfaatan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran
hasil hutan bukan kayu.
10. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah izin untuk melakukan pengambilan hasil hutan
kayu meliputi pemanenan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran untuk jangka waktu tertentu
dan volume tertentu di dalam hutan produksi.
11. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) adalah izin dengan segala bentuk kegiatan
untuk mengambil hasil hutan bukan kayu antara lain rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan,
tanaman obat-obatan dan lain sebagainya di dalam hutan lindung dan atau hutan produksi.
12. Pemegang izin adalah Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi dan Perorangan yang diberi izin untuk melakukan
kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan dan atau pemungutan hasil hutan.
13. Pemegang Izin Lainnya yang Sah (ILS) adalah penugasan khusus kepada Badan Usaha Milik
Negara, IPK dan IPHHK.
14. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin untuk melaksanakan penebangan dan penggunaan kayu
dari areal hutan yang telah ditetapkan atau pada Areal Penggunaan Lain (APL), Kawasan Budidaya

Non Kehutanan (KBNK) untuk keperluan pembangunan hutan tanaman atau keperluan non
kehutanan.
15. Industri primer hasil hutan kayu adalah industri yang mengolah langsung kayu bulat dan atau kayu
bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi berupa kayu gergajian, serpih kayu, veneer, kayu
lapis/panel kayu dan barang jadi sebagai kelanjutan proses pengolahan barang setengah jadi.
16. Industri primer hasil hutan bukan kayu adalah industri yang mengolah hasil hutan bukan kayu dalam
bentuk mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
17. Industri pengolahan kayu lanjutan (wood working) adalah industri pengolahan kayu selain industri
primer hasil hutan kayu yang mengolah kayu gergajian dan kayu lapis (raw plywood) sebagai bahan
bakunya untuk diproses menjadi kusen, pintu, jendela, moulding, dowel, komponen set dan barang
jadi lainnya.
18. Blok Kerja Tebangan adalah satuan luas hutan tertentu yang akan ditebang dalam jangka waktu 1
(satu) tahun.
19. Petak Kerja Tebangan adalah bagian dari blok tebangan yang luasnya tertentu dan menjadi unit
usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan silvikultur yang sama.
20. Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) adalah tempat untuk pengumpulan kayu-kayu hasil
penebangan/pemanenan di sekitar petak kerja tebangan yang bersangkutan.
21. Tempat Penimbunan Kayu (TPK) adalah tempat untuk menimbun kayu yang merupakan
penggabungan kayu-kayu dari beberapa TPn.
22. Tempat Penimbunan Kayu Antara (TPK Antara) adalah TPK di luar hutan baik berada di air

(logpond) atau di darat (logyard) untuk menampung kayu bulat milik IUPHHK atau IPHHK atau ILS
atau badan usaha lainnya.
23. Tempat Penimbunan Kayu Industri (TPK Industri) adalah TPK yang berada di lokasi industri dalam
bentuk logpond atau logyard.
24. Tempat Penampungan adalah tempat tertutup atau terbuka milik badan usaha yang dijadikan
tempat penampungan dan pendistribusian kayu bulat atau kayu bulat kecil atau kayu olahan atau
hasil hutan bukan kayu yang berada di luar industri hasil hutan.
25. Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan (P2LHP) adalah Pegawai Kehutanan yang memenuhi
kualifikasi minimal sebagai Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi tugas, tanggung jawab
serta wewenang untuk melakukan pengesahan laporan hasil penebangan/pemanenan yang

26.

27.

28.
29.
30.
31.


32.

33.
34.
35.
36.

37.
38.

39.
40.

41.

42.
43.
44.
45.


selanjutnya disebut P2LHP dan untuk pengesahan laporan produksi hasil hutan bukan kayu disebut
P2LP-HHBK.
Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat/kayu Gergajian/Kayu Lapis/ Hasil Hutan Bukan Kayu
(P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK)) adalah Pegawai Kehutanan yang mempunyai kualifikasi minimal
sebagai Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan
atas kayu bulat/kayu gergajian/kayu lapis/hasil hutan bukan kayu yang diterima industri primer hasil
hutan/industri pengolahan kayu lanjutan, TPK Antara, Tempat Penampungan, Tempat pelelangan
hasil hutan atau pelabuhan umum.
Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH) adalah Pegawai Kehutanan
(PNS maupun non PNS) yang mempunyai kualifikasi minimal sebagai Penguji Hasil Hutan yang
diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan dokumen SKSHH di TPK Hutan, TPK Antara,
Industri Primer Hasil Hutan, Tempat Penampungan, tempat pelelangan hasil hutan atau Pelabuhan
Umum.
Badan Usaha adalah perusahaan yang berbadan hukum dan memiliki perizinan yang sah dari
instansi yang berwenang dan bergerak dalam bidang usaha kehutanan.
Perorangan dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan adalah orang seorang yang melakukan
usaha di bidang kehutanan.
Pemenang Lelang adalah perorangan atau badan usaha yang telah ditetapkan sebagai pemenang
lelang hasil hutan kayu atau bukan kayu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Timber cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon (yang

direncanakan akan ditebang), pohon inti, pohon yang dilindungi, permudaan, data lapangan lainnya,
untuk mengetahui jenis, jumlah, diameter, tinggi pohon, serta informasi tentang keadaan
lapangan/lingkungan, yang dilaksanakan dengan intensitas tertentu sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
Laporan Hasil Cruising (LHC) Petak Kerja Tebangan Tahunan adalah dokumen hasil pengolahan
data pohon dari pelaksanaan kegiatan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) pada
petak kerja yang bersangkutan yang memuat nomor pohon, jenis, diameter, tinggi pohon bebas
cabang, dan taksiran volume kayu.
Laporan Hasil Cruising (LHC) Blok Kerja Tebangan Tahunan adalah dokumen hasil pengolahan
data pohon dari LHC setiap petak kerja dalam blok kerja tebangan tahunan yang memuat kelompok
jenis, kelas diameter, jumlah pohon dan taksiran volume kayu.
Checking Cruising adalah kegiatan pengecekan hasil cruising dan dilaksanakan oleh personel
instansi kehutanan di tingkat Kabupaten/Kota dengan intensitas sebesar 10% (sepuluh persen).
Faktor pengaman (Fp) adalah angka pengali sebesar 0,8 dari perhitungan massa (volume) tegakan
yang digunakan sebagai faktor kelestarian.
Faktor eksploitasi (Fe) adalah efektivitas penebangan yang besarnya berkisar antara 0,7 sampai
dengan 0,9 yang ditetapkan berdasarkan kemampuan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) dan izin lainnya yang sah (ILS) untuk menekan limbah dalam suatu kegiatan
penebangan/pemanenan pohon.
Rekapitulasi LHC Kerja Blok Tebangan Tahunan adalah dokumen hasil pengolahan data pohon dari

LHC setiap petak kerja tebangan dalam blok kerja tebangan tahunan yang memuat kelompok jenis,
kelas diameter, jumlah pohon dan taksiran volume yang disahkan oleh Bupati/Walikota.
Buku Ukur (BU) adalah catatan harian atas hasil penebangan yang dibuat di TPn, berisi nomor
batang, jenis, panjang dan volume kayu bulat yang telah diberi penandaan pada fisik kayunya dari
petak/blok tebangan tahun bersangkutan, dan digunakan sebagai dasar pengisian Laporan Hasil
Penebangan, sedangkan untuk KBK atau Bakau tidak perlu dilakukan penandaan dan jumlahnya
diukur dalam stapel meter atau ton.
Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP-KB) adalah dokumen yang berisi nomor batang, jenis,
panjang, diameter dan volume kayu bulat dari hasil penebangan/pemanenan pohon pada petak/blok
yang ditetapkan, pengisiannya berasal dari buku ukur dan dibuat di TPK.
Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat Kecil (LHP-KBK) adalah dokumen yang berisi kelompok
jenis, jumlah batang, dan ukuran stapel meter atau meter kubik (m3) atau berat dari kayu bulat kecil
hasil penebangan /pemanenan pohon dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan
(THPB), yang pengisiannya berdasarkan buku produksi harian dan dibuat di TPn.
Laporan Hasil Penebangan Bakau (LHP-Bakau) adalah dokumen yang berisi jumlah batang, dan
ukuran (berat/volume) hasil penebangan pohon Bakau pada petak/blok yang ditetapkan,
pengisiannya berdasarkan buku produksi harian atau hasil pencatatan pada saat pemuatan di atas
alat angkut (tongkang/ponton dan lain sebagainya) dan dibuat di TPn.
Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) adalah catatan hasil
produksi/pemungutan/pengumpulan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang berisi jenis dan ukuran

(volume / berat) HHBK dan dibuat di tempat pengumpulan.
Kayu Bulat Sedang (KBS) adalah bagian dari pohon yang sesuai dengan ketentuan diperbolehkan
untuk ditebang.
Kayu Bulat (KB) adalah bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi batang dengan
ukuran diameter 30 (tiga puluh) cm atau lebih.
Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah kayu yang mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 (tiga puluh)
cm berupa KBS, cerucuk, tiang jermal, tiang pancang, galangan rel, sisa pembagian batang,

46.
47.
48.
49.
50.
51.

52.

53.
54.


55.
56.
57.
58.
59.
60.

61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.

tonggak, cabang, kayu bakar, bahan arang, dan kayu bulat dengan diameter 30 (tiga puluh) cm atau
lebih yang direduksi karena mengalami cacat/gerowong lebih dari 40% (empat puluh persen).
Kayu Bahan Baku Serpih adalah KB, KBK, Bakau dan sisa pembalakan yang akan diolah menjadi
serpih.
Kayu Olahan adalah hasil pengolahan langsung kayu bulat dan atau kayu bulat kecil dan atau
Bakau menjadi kayu gergajian, serpih/chip/pulp, veneer, kayu lapis, dan Laminating Veneer Lumber.
Moulding (kayu bentukan) adalah kayu gergajian rimba (selain Jati) atau kayu lainnya yang dibentuk
secara khusus melalui mesin pembentuk (moulder) yang berkadar air (kering udara) £ 20% (dua
puluh persen) serta mempunyai tujuan penggunaan tertentu.
Kayu pacakan adalah kayu berbentuk persegi yang diolah langsung dari KB atau KBK dengan
menggunakan kapak, gergaji rantai atau alat sejenis di luar industri pengolahan kayu primer.
Hasil hutan lelang adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari pelelangan
dan dibuktikan dengan risalah lelang yang sah dan asli.
Kayu hutan hak/rakyat adalah kayu yang berasal dari pohon yang ditanam dan tumbuh di tanah
lahan/pekarangan yang dibebani hak atas tanah, dengan jenis antara lain Mindi, Cempaka, Sengon,
Mahoni, Jati, Sungkai, Cendana dan jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan seperti Nangka,
Durian, Kecapi, Mangga, Duku, Cempedak, Manggis, Sawo, Randu, Asam dan lain sebagainya
termasuk kayu yang berasal dari tanaman perkebunan seperti Karet dan Kelapa.
Daftar Hasil Hutan (DHH) adalah dokumen yang berisi nomor dan tanggal LHP, nomor batang, jenis
kayu, panjang, diameter dan volume setiap batang untuk kayu bulat; atau nomor urut bundel, jenis
kayu, ukuran sortimen, jumlah keping/bundel dan volume untuk kayu olahan; atau jenis, jumlah
bundel dan berat untuk HHBK, yang merupakan lampiran tak terpisahkan dengan dokumen SKSHH.
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen resmi yang diterbitkan pejabat
yang berwenang yang digunakan dalam pengangkutan, penguasaan dan pemilikan hasil hutan,
sebagai alat bukti atas legalitas hasil hutan.
Daftar Pengangkutan Pengganti (DPP) adalah dokumen angkutan sementara pengganti SKSHH
yang melengkapi bersama-sama pengangkutan hasil hutan dari pelabuhan umum ke industri atau
konsumen dalam Kabupaten/Kota kecuali dari pelabuhan di wilayah DKI Jakarta ke wilayah Jakarta,
Bogor, Tanggerang dan Bekasi (Jabotabek), yang berisi nomor SKSHH, nomor batang/jumlah
bundel, jenis dan ukuran hasil hutan.
Faktur Angkutan Bahan Baku Serpih (FA-BBS) adalah dokumen angkutan sementara yang
digunakan untuk pengangkutan kayu bahan baku serpih selain KB ke industri pulp, yang berisi
kelompok jenis kayu, jumlah batang, volume (stapel meter) dan atau berat.
Faktur Angkutan Bakau (FA-Bakau) adalah dokumen angkutan sementara yang digunakan untuk
pengangkutan kayu Bakau ke industri chip/pulp/arang, yang berisi kelompok jenis kayu, jumlah
batang, volume (stapel meter) dan atau berat.
Nota/Faktur adalah tanda bukti perolehan/pembelian kayu olahan dari tempat penjualan atau
Industri Pengolahan Kayu Lanjutan, yang berfungsi sebagai dokumen pengangkutan dan bukti
keabsahan hasil hutan.
Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) adalah dokumen mutasi kayu yang berisi persediaan awal,
penambahan, pengurangan dan persediaan akhir kayu bulat yang dibuat di TPK hutan atau di TPK
Antara atau di tempat penampungan atau di industri.
Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK) adalah dokumen mutasi HHBK yang berisi
persediaan awal, penambahan, pengurangan dan persediaan akhir HHBK yang dibuat di tempat
pengumpulan atau di tempat penampungan atau di industri.
Laporan Mutasi Hasil Hutan Olahan (LMHHO) adalah dokumen mutasi hasil hutan olahan yang
berisi persediaan awal, perolehan/penambahan, penggunaan, pengurangan (penjualan, pemakaian
sendiri) dan persediaan akhir hasil hutan olahan di industri, yang terdiri dari Laporan Mutasi Hasil
Hutan Olahan Kayu (LMHHOK) dan Laporan Muitasi Hasil Hutan Olahan Bukan Kayu (LMHHOBK).
Penandaan kayu bulat adalah kegiatan penomoran, peneraan jenis dan peneraan Tok DK dengan
menggunakan Palu Tok DK pada fisik kayu bulat.
Palu Tok DK adalah alat untuk memberi tanda legalitas pada kayu bulat yang berisi kode
Departemen Kehutanan, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Nomor Urut Palu Tok.
Tenaga Teknis Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan adalah petugas perusahaan pemegang izin
yang dapat diberi tugas dan wewenang untuk menetapkan ukuran, jenis, dan kualitas hasil hutan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Bina
Produksi Kehutanan.
Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab dibidang kehutanan di daerah
Provinsi.
Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan
di daerah Kabupaten/Kota.
Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (BSPHH) adalah unit pelaksana teknis di bidang sertifikasi
penguji hasil hutan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina
Produksi Kehutanan.

Pasal 2
(1) Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada semua pihak yang
melakukan usaha atau kegiatan di bidang kehutanan, sehingga penatausahaan hasil hutan berjalan
dengan tertib dan lancar, agar kelestarian hutan, pendapatan negara, dan pemanfaatan hasil hutan
secara optimal dapat tercapai.
(2) Obyek penatausahaan hasil hutan adalah semua jenis hasil hutan yang berasal dari hutan negara, hutan
hak/rakyat, hasil hutan olahan dari industri primer hasil hutan dan industri pengolahan kayu lanjutan
(wood working) serta hasil hutan lelang.
Pasal 3
(1) Semua hasil hutan yang berasal dari hutan negara wajib dilakukan pengukuran dan pengujian oleh
tenaga teknis pengukuran dan pengujian.
(2) Semua hasil hutan yang berasal dari hutan hak/rakyat wajib dilakukan pengukuran dan penetapan jenis
oleh petugas yang berwenang.
(3) Tata cara pengukuran dan pengujian hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 4
(1) Hasil hutan berupa kayu bulat yang berada di petak kerja tebangan/ blok kerja tebangan dalam hutan
dinyatakan sah, apabila berasal dari izin penebangan/pemanenan yang sah.
(2) Hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu olahan di luar hutan (TPK Antara/perjalanan/industri/tempat
penampungan dan lain-lain) dinyatakan sah, apabila dilengkapi bersama-sama dokumen sahnya hasil
hutan, dan untuk kayu bulat, pada fisiknya tertera tanda legalitas berupa tok DK dan identitas yang
terdiri dari nomor batang, jenis dan ukuran kayu.
(3) Hasil hutan berupa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dinyatakan sah, apabila berasal dari izin
pemungutan atau pengumpulan yang sah dan atau dilengkapi bersama-sama dengan dokumen sahnya
hasil hutan.
(4) Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dinyatakan sah, apabila menggunakan blanko dokumen
SKSHH yang ditetapkan oleh Departemen, diterbitkan oleh P2SKSHH, isi dokumen sesuai dengan fisik
hasil hutan yang diangkut (jumlah, jenis, dan ukuran), dan tidak terdapat coretan/hapusan/ tindisan.
(5) Apabila pengisian Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Keputusan ini, maka dinyatakan sebagai dokumen yang tidak sah.
(6) SKSHH yang telah diterbitkan oleh P2SKSHH, kesesuaian isi dokumen dengan fisik hasil hutan yang
diangkut menjadi tanggung jawab pemilik dan atau pengangkut hasil hutan.
BAB II
PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI HUTAN
Bagian Kesatu
Pembuatan Laporan Hasil Cruising
Pasal 5
(1) Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan pemegang Izin Lainnya yang Sah
(ILS) yang akan melakukan penebangan/ pemanenan, wajib melaksanakan timber cruising.
(2) Timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat bulan Desember, 2
(dua) tahun sebelum penebangan dengan intensitas cruising :
a. 100% (seratus persen) untuk IUPHHK pada hutan alam dan IUPHHK pada hutan tanaman jenis
kayu perkakas/pertukangan,

b. 10% (sepuluh persen) untuk IUPHHK pada hutan tanaman jenis kayu bukan kayu
perkakas/pertukangan.
(3) Hasil pelaksanaan timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a khusus untuk IUPHHK
pada hutan alam, wajib dibuatkan LHC Petak Kerja Tebangan dengan menggunakan blanko model
DK.A.101a.1 (Lampiran I.A.1).
(4) Atas LHC Petak Kerja Tebangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selanjutnya wajib dibuatkan
LHC Blok Kerja Tebangan Tahunan, dengan menggunakan Blanko model DK.A.101a.2 (lampiran
I.A.2)
(5) Hasil pelaksanaan timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (2) haruf a dan b untuk IUPHHK
pada hutan tanaman, wajib dibuatkan LHC tegakan Hutan tanaman dengan menggunakan blanko
model DK.A.101b (lampiran I.A.3)
(6) LHC sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) wajib dilaporkan kepada
Bupati/Walikota sebagai dasar pelaksanaan checking crusing, dengan tembusan Kepala Dinas
Propinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Direktur Jenderal.
(7) Berdasarkan LHC yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bupati/Walikota menugaskan
Dinas Kabupaten/Kota untuk melaksanakan checking cruising dengan intensitas cruising 10% (sepuluh
persen) dari hasil cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat bulan Desember, 1
(satu) tahun sebelum penebangan.
(8) Berdasarkan hasil checking cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (7), apabila telah memenuhi
syarat, selanjutnya Kepala Dinas Kabupaten/Kota wajib :
a. Membuat Rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan berdasarkan LHC Blok Kerja Tebangan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dengan menggunakan blanko model DK.A.101c (lampiran
I.A.4) dan menyampaikan kepada Bupati/Walikota untuk disahkan.
b. Menandatangan LHC Tegakan Hutan Tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
menyampaikan kepada Bupati/Walikota untuk disahkan.
(9) Rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan dan/atau LHC Tegakan Hutan Tanaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) disahkan oleh Bupati/ Walikota paling lambat pada akhir bulan Juni, 6 (enam) bulan
sebelum penebangan dengan memperhatikan jatah tebangan tahunan yang dite-tapkan Kepala Dinas
Provinsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2).
(10) Dalam pelaksanaan pengesahan sebagaimana pada ayat (9) Bupati/walikota dapat menugaskan
kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(11) Rekapitulasi LHC Tebangan tahunan dibuat dalam rangkap 5 (lima), dengan peruntukan sebagai
berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Asli untuk pemegang izin
Tembusan kesatu untuk Kepala Dinas Provinsi.
Tembusan kedua untuk Direktur Jenderal
Tembusan ketiga untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota
Tembusan keempat untuk arsip Bupati/Walikota

Bagian Kedua
Penetapan Quota Tebangan Tahunan
Pasal 6
(1) Direktur Jenderal menetapkan Quota Tebangan Tahunan untuk setiap Provinsi sebagai pedoman bagi
Kepala Dinas Provinsi untuk mengatur/ menetapkan Jatah Tebangan Tahunan di wilayahnya.
(2) Kepala Dinas Provinsi mengatur/menetapkan pembagian jatah produksi tahunan kepada masingmasing pemegang HPH/IUPHHK pada hutan alam dengan mempedomani Quota Tebangan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang penetapan Quota Tebangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri tersendiri.
Bagian Ketiga
Rencana Penebangan/Pemanenan/Pemungutan
Pasal 7
(1) Berdasarkan Rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan dan/atau LHC Tegakan Hutan Tanaman yang
sudah disahkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (9) pemegang IUPHHK atau pemegang Izin
Lainnya yang Sah menyusun dan mengusulkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) atau Bagan Kerja (BK)
kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan.
(2) Berdasarkan RKT atau BK yang telah disahkan, pemegang IUPHHK atau ILS dapat melakukan
penebangan/pemanenan atas hasil hutan kayu.
(3) Berdasarkan target penebangan atas izin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK) yang telah disahkan,
pemegang IPHHK dapat melakukan penebangan/pemanenan atas hasil hutan kayu.
(4) Berdasarkan target pemungutan hasil hutan bukan kayu atas Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu (IUPHHBK) atau Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK), pemegang
IUPHHBK/IPHHBK dapat melakukan pemungutan atas hasil hutan bukan kayu.
(5) Berdasarkan hasil penebangan/pemanenan/pemungutan, pemegang IUPHHK, ILS, IUPHHBK, IPHH
atau IPHHBK, wajib membuat :
a. Laporan Hasil Penebangan/Pemanenan Kayu Bulat (LHP-KB) menggunakan model blanko
DK.A.104a (lampiran I.D.1) dan Rekapitulasi LHP-KB dengan blanko model DK. A.104e (lampiran
I.D.5);
b. Laporan Hasil Penebangan/Pemanenan Kayu Bulat Kecil (LHP-KBK) menggunakan model blanko
DK.A 104b (lampiran I.D.2) dan Rekapitulasi LHP-KBK dengan blanko model DK.A.104f (lampiran
I.D.6);
c. Laporan Hasil Penebangan Bakau (LHP-Bakau) menggunakan model blanko DK.A.104c (lampiran
I.D.3) dan Rekapitulasi LHP-Bakau dengan blanko model DK.A.104g (lampiran I.D.7);
d. Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) menggunakan model blanko DK.A.104d
(Lampiran I.D.4) dan Rekapitulasi LP-HHBK dengan blanko model DK.A.104h (lampiran I.D.8);
Bagian Keempat
Pembuatan dan Pengesahan LHP/LP
Paragraf Kesatu
Pembuatan LHP-KB
Pasal 8
(1) Pemegang IUPHHK, IPHHK dan ILS, setelah melaksanakan penebangan/ pemanenan dan pembagian
batang di TPn, wajib melakukan penandaan batang, pengukuran/pengujian sesuai ketentuan yang
berlaku.
(2) Penandaan batang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah peneraan hasil pengukuran/pengujian
berupa pemberian nomor batang, jenis kayu, ukuran diameter, dan panjang batang.
(3) Nomor batang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah nomor petak dan nomor pohon saat
cruising.
(4) Penandaan batang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dilakukan dengan cara menoreh
dengan alat pahat :
a. pada kedua bontos untuk kayu hutan tanah kering;
b. pada badan kayu untuk kayu hutan rawa.
(5) Pada setiap pohon yang telah ditebang, pada setiap tunggaknya wajib diberi tanda dengan cara
menoreh dengan alat pahat berupa nomor pohon pada LHC, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak

kerja tebangan/blok kerja tebangan tahunan dan tahun Rencana Kerja Tahunan (RKT) atau Bagan
Kerja (BK).
(6) Dalam hal satu pohon dipotong menjadi beberapa bagian batang, maka penomoran batang dimulai
dengan huruf A pada potongan bagian pangkal dan seterusnya.
(7) Setiap kayu bulat yang telah diberi penandaan batang, wajib dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur
Kayu Bulat oleh petugas perusahaan dengan menggunakan blanko DK.A.102a (lampiran I.B.1).
(8) LHP-KB berikut rekapitulasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf a dibuat dua kali
dalam setiap bulan, yaitu pada setiap pertengahan dan akhir bulan dan dilakukan di TPK hutan dengan
memasukkan data yang berasal dari Buku Ukur.
(9) LHP-KB dibuat menurut masing-masing blok kerja tebangan, sehingga apabila dalam satu tahun
penebangan terdapat lebih dari satu blok kerja tebangan, maka LHP-KB dibuat untuk masing-masing
blok kerja tebangan yang dibuat secara terpisah.
(10) Dalam hal tidak ada realisasi penebangan/pemanenan pohon, maka pemegang izin diwajibkan
membuat LHP-KB nihil dengan menyebutkan alasan-alasannya pada kolom keterangan.
Pasal 9
(1) Lokasi tempat pembuatan LHP-KB di TPK hutan, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas
Kabupaten/Kota setempat berdasarkan usulan pemegang izin yang bersangkutan.
(2) Pada setiap blok kerja tebangan wajib ditempatkan minimal satu orang pembuat LHP-KB, apabila dalam
1 tahun terdapat 2 blok tebangan atau lebih, maka ditempatkan 2 orang atau lebih petugas pembuat
LHP-KB sesuai jumlah blok kerja tebangan.
(3) Dalam hal 1 (satu) blok kerja tebangan berada dalam 2 (dua) wilayah Kabupaten/Kota atau lebih, maka
pembuatan LHP-KB dibuat di masing-masing Kabupaten/Kota bersangkutan.
Paragraf Kedua
Pengesahan LHP-KB
Pasal 10
(1) Setiap pertengahan dan akhir bulan, Pembuat LHP-KB wajib mengajukan permohonan pengesahan
usulan LHP-KB kepada P2LHP dengan melampirkan bukti pembayaran PSDH dan atau DR atas kayu
bulat tersebut dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah kerjanya
dengan menggunakan contoh format sesuai lampiran VII A.
(2) Berdasarkan permohonan pengesahan usulan LHP-KB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila
atas kayu bulat tersebut telah dibayar PSDH dan atau DR-nya, maka P2LHP segera melakukan
pemeriksaan sesuai tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur pada lampiran III.
(3) Apabila hasil pemeriksaan fisik kayu bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dinyatakan
benar, maka LHP-KB disahkan oleh P2LHP.
(4) Terhadap fisik kayu bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selanjutnya dilakukan pengetokan
dengan Palu Tok DK sebagaimana contoh pada lampiran V, pada kedua bontos kayu untuk kayu hutan
tanah kering dan pada badan kayu untuk kayu hutan rawa.
(5) Dalam hal kayu bulat diperlukan segera untuk diangkut, maka LHP-KB dapat disahkan terlebih dahulu
setelah dilakukan pemeriksaan oleh P2LHP.
(6) LHP-KB berikut rekapitulasinya dibuat 5 (lima) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Lembar ke-1 : untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota
Lembar ke-2 : untuk Kepala Dinas Provinsi
Lembar ke-3 : untuk Kepala BSPHH
Lembar ke-4 : untuk P2LHP
Lembar ke-5 : untuk arsip perusahaan

Paragraf Ketiga
Pembuatan LHP-KBK dan LHP-Bakau
Pasal 11
(1) Pemegang IUPHHK dan Pemegang ILS yang memproduksi KBK dan Bakau setelah melaksanakan
penebangan dan pembagian batang di TPn wajib melakukan pengukuran dengan menggunakan satuan
stapel meter.
(2) Untuk keperluan pengukuran dengan stapel meter, maka KBK atau Bakau hasil penebangan wajib
dikumpulkan di suatu tempat pengumpulan terbuka yang memudahkan dilakukan pengukuran, namun
apabila kondisi lapangan tidak memungkinkan, maka pengukuran dapat dilakukan pada saat kayu
sudah berada di alat angkut.
(3) Hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat setiap hari dalam Buku Ukur Kayu
Bulat Kecil/Bakau oleh petugas perusahaan yang ditunjuk dengan menggunakan blanko DKA 102.b
(lampiran I B.2).
(4) Berdasarkan data pada Buku Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dibuat usulan LHP-KBK
atau LHP-Bakau berikut rekapitulasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b atau c
oleh petugas pembuat LHP di TPK.
Paragraf Keempat
Pengesahan LHP-KBK dan LHP-Bakau
Pasal 12
(1) Setiap pertengahan dan akhir bulan, pembuat LHP-KBK atau LHP-Bakau, wajib mengajukan
permohonan pengesahan usulan LHP-KBK atau LHP-Bakau kepada P2LHP dengan melampirkan bukti
pembayaran PSDH dan atau DR atas kayu tersebut dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota
yang berada dalam wilayah kerjanya dengan menggunakan contoh format dalam lampiran VII.A.
(2) Berdasarkan permohonan pengesahan usulan LHP-KBK atau LHP-Bakau sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), apabila atas KBK atau Bakau tersebut telah dibayar PSDH dan atau DR-nya maka P2LHP
segera melakukan pemeriksaan sesuai tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur pada lampiran III.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan administrasi dan fisik dinyatakan telah sesuai dengan yang
tercantum dalam LHP-KBK/LHP-Bakau, dan telah melunasi PSDH dan atau DR, maka LHP-KBK/LHPBakau segera disahkan oleh P2LHP.
(4) Dalam hal KBK/Bakau diperlukan segera untuk diangkut sebelum periode pengesahan, maka LHPKBK/LHP-Bakau dapat disahkan terlebih dahulu setelah dilakukan pemeriksaan oleh P2LHP serta telah
dibayar PSDH dan atau DR-nya.
(5) LHP-KBK/LHP-Bakau berikut rekapitulasinya dibuat 5 (lima) rangkap dengan peruntukan sebagai
berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Lembar ke-1 : untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota
Lembar ke-2 : untuk Kepala Dinas Provinsi
Lembar ke-3 : untuk Kepala BSPHH
Lembar ke-4 : untuk P2LHP
Lembar ke-5 : untuk arsip perusahaan

Paragraf Kelima
Pembuatan LP-HHBK
Pasal 13
(1) Pemegang IUPHHBK dan IPHHBK, setiap pertengahan dan akhir bulan wajib membuat Laporan
Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) berikut rekapitulasinya sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (5) huruf d dan menyampaikan laporannya kepada Dinas Kabupaten/Kota.

(2) Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan pengukuran
berat/volume/jumlah atas hasil produksi/pengumpulan HHBK dan dimasukkan dalam LP-HHBK.
Paragraf Keenam
Pengesahan LP-HHBK
Pasal 14
(1) Setiap pertengahan dan akhir bulan, pembuat LP-HHBK wajib mengajukan permohonan pengesahan
usulan LP-HHBK kepada Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LPHHBK)
dengan melampirkan bukti pembayaran PSDH atas HHBK tersebut dengan tembusan Kepala Dinas
Kabupaten/Kota yang berada dalam areal kerjanya.
(2) Berdasarkan permohonan pengesahan usulan LP-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
P2LPHHBK segera melakukan pemeriksaan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur pada
lampiran III.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, fisik HHBK telah sesuai dengan LP-HHBK dan telah dibayar
PSDH-nya, maka LP-HHBK segera disahkan oleh P2LPHHBK.
(4) LP-HHBK berikut rekapitulasinya dibuat 5 (lima) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Lembar ke-1 : untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota
Lembar ke-2 : untuk Kepala Dinas Provinsi
Lembar ke-3 : untuk Kepala BSPHH
Lembar ke-4 : untuk P2LP HHBK
Lembar ke-5 : untuk arsip perusahaan

Paragraf Ketujuh
Pengangkatan Petugas Pembuat LHP
Pasal 15
(1) Pemegang IUPHHK, IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK dan ILS, wajib memiliki pembuat LHP-KB/LHPKBK/LHP-Bakau/LP-HHBK.
(2) Pembuat LHP-KB/LHP-KBK/LHP-Bakau/LP-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Tenaga Teknis Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan.
(3) Sebelum diangkat sebagai pembuat LHP-KB/LHP-KBK/LHP-Bakau/LP-HHBK, pemegang izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengusulkan nama-nama tersebut kepada Kepala Dinas
Provinsi, dengan dilampiri :
a.
b.

Copy sertifikat dan Kartu Penguji (KP) yang masih berlaku;
Lokasi/wilayah kerja penugasan dan specimen tanda tangan;

dan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota, untuk ditunjuk dan diangkat dengan Keputusan.
(4) Keputusan pengangkatan Pembuat LHP-KB/LHP-KBK/LHP-Bakau/LP-HHBK disertai dengan
pemberian nomor register masing-masing petugas dan disampaikan kepada pemegang izin dengan
tembusan Kepala Dinas Kabupaten/ Kota dan Kepala BSPHH.
(5) Pemberian nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan cara memberi
nomor urut register, kode provinsi, kode kabupaten/kota, kependekan nama perusahaan pemegang
izin, kependekan nama pembuat LHP dan komoditi hasil hutan bersangkutan, dengan contoh sebagai
berikut :
Nomor register pembuat LHP-KB di Provinsi Kalimantan Timur : 001/19/1904/BT/SLM/KB, dengan
penjelasan :
001
19
1904
BT

=
=
=
=

Nomor urut register
Kode provinsi Kalimantan Timur
Kode Kabupaten Berau
Kode PT. Begitu Terang

SLM
KB

= Kependekan nama petugas a.n. Solomon
= Kependekan nama komoditi Kayu Bulat

(6) Keputusan pengangkatan pembuat LHP-KB atau LHP-KBK atau LHP-Bakau atau LP-HHBK berlaku
untuk 1 (satu) tahun rencana tebangan atau rencana tebangan tahun berjalan atau rencana
pemungutan.
Bagian Kelima
Pengangkutan Hasil Hutan
Paragraf Kesatu
Umum
Pasal 16
(1) Setiap pengangkutan hasil hutan kayu dari lokasi penebangan/pemanenan ditempat tebangan atau dari
TPn yang akan diangkut ke TPK hutan wajib menggunakan Daftar Pengangkutan (DP) yang diterbitkan
oleh Petugas Perusahaan Pemegang IUPHHK, IPHHK atau ILS dengan menggunakan blanko model
DK .A. 202 (lampiran I.H.4).
(2) Daftar Pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai dokumen pengangkutan
antara dan bukti keabsahan hasil hutan
(3) Setiap pengangkutan hasil hutan kayu dari TPK/TPn di hutan ke tempat lain, wajib menggunakan
dokumen sebagaimana ditetapkan dalam keputusan ini.
(4) Sebagai dasar untuk penerbitan dokumen angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemilik hasil
hutan wajib mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan dokumen
angkutan.
(5) Atas rencana hasil hutan yang akan diangkut, wajib dibuatkan Daftar Hasil Hutan (DHH) sebagai dasar
mengajukan permohonan penerbitan dokumen angkutan kepada pejabat yang berwenang, dengan
menggunakan model blanko DK.A.105 (lampiran I.E), kecuali untuk pengangkutan KBK/Bakau ke
industri pulp/chip/arang tidak perlu DHH.
(6) Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pejabat yang ditunjuk wajib melakukan
pemeriksaan atas kebenaran fisik hasil hutan yang akan diangkut tersebut dengan prosedur
sebagaimana diatur pada lampiran III.
(7) Dokumen angkutan yang sah, terdiri dari :
a.
b.
c.

SKSHH (model blanko DK.B. 201), lampiran I.H.1
DPP (model blanko DK.B. 202), lampiran I.H.3.
FA-BBS/FA-Bakau (model blanko DK.A. 201) lampiran I.H.2.

(8) SKSHH, DPP, FA-BBS, dan FA-Bakau hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pengangkutan dari 1 (satu)
pemilik, 1 (satu) jenis komoditas hasil hutan dan untuk 1 (satu) alat angkut dengan 1 (satu) tujuan
pengangkutan.
(9) Apabila dalam satu alat angkut terdapat beberapa partai hasil hutan dengan tujuan yang berbeda, maka
setiap partai wajib dibuatkan SKSHH sesuai dengan tujuan pengangkutannya masing-masing.
(10) Produksi KBK, yang diangkut dari TPn/TPK Hutan ke industri pulp dapat menggunakan FA-BBS yang
diterbitkan oleh petugas perusahaan yang ditunjuk.
(11) Produksi KBK, yang diangkut dari TPn/TPK Hutan ke selain industri pulp wajib dilengkapi bersamasama dengan dokumen SKSHH yang diterbitkan oleh P2SKSHH.
(12) Produksi bakau yang akan diangkut dari TPn ke industri chip/arang dapat menggunakan FA-Bakau
yang diregister oleh Dinas Provinsi setempat, dan FA-Bakau diterbitkan oleh petugas perusahaan yang
ditunjuk
(13) KBK yang diangkut keluar provinsi dengan tujuan industri pulp dapat menggunakan FA-BBS setelah
mendapat persetujuan Direktur Jenderal.

(14) Selain menggunakan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (10), ayat (12), Pasal 41
ayat (1) dan bukti pengangkutan berupa Nota/Faktur, semua hasil hutan yang diangkut wajib
menggunakan dokumen SKSHH kecuali untuk pengangkutan hasil hutan impor.
Paragraf Kedua
Tata Cara Pembuatan dan Pengisian Daftar Hasil Hutan (DHH)
Pasal 17
(1) Ketentuan pembuatan DHH ditetapkan sebagai berikut :
a.
b.
c.

Setiap pengangkutan hasil hutan dengan dokumen SKSHH, wajib dibuatkan DHH yang
pengisiannya menggunakan mesin tik;
DHH dibuat oleh pemegang izin yang bersangkutan dan selanjutnya dipergunakan sebagai
dasar permohonan penerbitan SKSHH;
DHH dibuat 6 (enam) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai dokumen SKSHH.

(2) Pengisian DHH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk KB, pengisian nomor batang, jenis kayu, panjang, diameter dan volume harus sama dengan
yang tercantum dalam LHP atau DHH pada SKSHH asal atau SKSHH sebelumnya serta dengan
mencantumkan nomor dan tanggal LHP/DHH tersebut;
b. Dalam penomoran sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila terjadi pemotongan dari satu
batang menjadi dua batang atau lebih, maka penomoran potongan kayu bulat dalam pengisian DHH
harus sama dengan nomor batang pada LHP dengan menambahkan huruf a, b, dan seterusnya,
demikian pula penomoran serta penandaan pada fisik kayu potongan harus sesuai dengan
perubahan tersebut;
c. Untuk KBK/Bakau yang diangkut dari hutan dengan tujuan selain ke industri pulp/chip/arang, diisi
dengan nomor dan tanggal LHP, kelompok jenis dan volume/stapel meter serta keterangan dengan
mencantumkan penjelasan lain bila diperlukan;
d. Untuk kayu olahan, diisi dengan nomor urut, jenis olahan/sortimen, ukuran, jumlah
keping/ikat/lembar/bundel dan volume, serta keterangan dengan mencantumkan penjelasan lain bila
diperlukan;
e. Untuk HHBK, diisi dengan nomor urut, jenis HHBK, jumlah satuan dan keterangan yang berisi
penjelasan lain bila diperlukan.

Paragraf Ketiga
Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan Faktur
Angkutan Bahan Baku Serpih (FA-BBS)
Pasal 18
(1) Setiap badan usaha, perorangan dan pemegang izin industri hasil hutan yang akan mengangkut hasil
hutan, wajib mengajukan permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH dengan tembusan
kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(2) Permohonan penerbitan SKSHH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri :
a.
b.
c.
d.

Laporan mutasi hasil hutan (LMKB;LMKBK/Bakau;LMHHOK;LMHHBK; LMHHOBK);
DHH;
Identitas pemohon ;
Bukti-bukti pemilikan hasil hutan yang sah, bagi pemilik yang akan mengangkut kembali hasil
hutannya.

(3) Setiap permohonan berlaku untuk setiap penerbitan SKSHH atau maksimal untuk keperluan 1 (satu)
hari penerbitan beberapa SKSHH.
Pasal 19
(1) Pengisian blanko SKSHH didasarkan pada rekapitulasi DHH.

(2) Pengisian blanko SKSHH wajib dilakukan dengan mesin tik.
(3) Tata cara pengisian blanko dokumen SKSHH, mengikuti tata cara sebagaimana contoh pada lampiran
IV.
Pasal 20
(1) Tata cara penerbitan SKSHH untuk kayu bulat (KB) adalah sebagai berikut :
a. P2SKSHH selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH,
wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB sesuai tata cara pada lampiran III;
b. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, P2SKSHH wajib meneliti terlebih dulu terhadap DHH yang
diajukan untuk memastikan bahwa KB dalam DHH adalah berasal dari LHP-KB yang telah disahkan;
c. Dalam pemeriksaan KB, P2SKSHH dibantu oleh 1 (satu) orang atau lebih, yang mempunyai
pengetahuan dan pengalaman dibidang pengukuran dan pengujian.
d. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan fisik KB sebagaimana dimaksud huruf a, P2SKSHH segera
menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH;
e. Dalam hal alat angkut tidak dapat merapat di tempat pemuatan/TPK, sehingga proses pemuatan KB
ke alat angkutnya dilakukan secara bertahap dan/atau memerlukan waktu lebih dari 1 (satu) hari,
maka proses pemuatan tersebut dapat dilakukan setelah BAP ditandatangani oleh P2SKSHH,
sehingga BAP dan DHH tersebut merupakan bukti proses pemuatan dan berfungsi sebagai bukti
keabsahan KB yang diangkut menuju tempat pemuatan sebelum SKSHH diterbitkan.
f. Penerbitan SKSHH untuk alat angkut yang tidak dapat merapat di tempat pemuatan/TPK
sebagaimana dimaksud huruf e atau proses pemuatan KB di TPK ke atas alat angkut memerlukan
waktu, maka SKSHH diterbitkan setelah seluruh hasil hutan yang tercantum dalam DHH termuat di
atas alat angkut.
g. Setelah penerbitan SKSHH, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH kepada yang
berhak/pemohon disertai dengan Berita Acara Serah Terima.
h. Pengangkutan kayu bulat maupun kayu olahan yang karena sesuatu hal tidak efisien dalam
pengangkutan yang disebabkan faktor alam atau hambatan dalam pengangkutan, maka
pelaksanaan pengangkutan diatur secara khusus oleh Kepala Dinas Provinsi.
(2) Tata cara penerbitan SKSHH untuk KBK/Bakau adalah sebagai berikut :
a. P2SKSHH selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH,
wajib melakukan pemeriksaan sesuai dengan tata cara pemeriksaan pada lampiran III;
b. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, P2SKSHH wajib meneliti terlebih dulu terhadap DHH yang
diajukan untuk memastikan bahwa KBK/Bakau dalam DHH adalah berasal dari LHP-KBK atau LHPBakau yang telah disahkan;
c. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan KBK/Bakau sebagaimana dimaksud huruf a, P2SKSHH
segera menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH;
d. Khusus bagi KBK/Bakau yang digunakan untuk bahan baku industri pulp/chip/arang dalam satu
wilayah provinsi dan pengangkutannya dilengkapi FA-BBS/FA-Bakau maka SKSHH untuk
KBK/Bakau diterbitkan 1 (satu) kali per hari berdasarkan rekapitulasi hasil penimbangan sesuai
kumpulan FA-BBS/FA-Bakau (rekapitulasi hasil penimbangan dilampirkan) oleh P2SKSHH yang
berada di industri.
e. Khusus bagi KBK dari luar provinsi yang digunakan untuk bahan baku industri pulp dan dalam
pengangkutannya menggunakan FA-BBS, maka SKSHH diterbitkan untuk setiap bulan oleh
P2SKSHH di provinsi asal berdasarkan rekapitulasi hasil penimbangan setiap bulan yang ditanda
tangani oleh P3KB pada industri pulp.
f. Setelah penerbitan SKSHH, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH kepada yang
berhak/pemohon disertai dengan Berita Acara Serah Terima.
(3) Tata cara penerbitan SKSHH untuk HHBK adalah sebagai berikut :
a. Selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH, P2SKSHH
wajib melakukan pemeriksaan/pengujian HHBK sesuai dengan tata cara pemeriksaan pada
lampiran III;
b. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan, P2SKSHH segera menandatangani DHH dan menerbitkan
SKSHH.
c. Setelah penerbitan SKSHH, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH kepada yang
berhak/pemohon disertai dengan Berita Acara Serah Terima.
(4) Tata cara penerbitan FA-BBS dan FA-Bakau adalah sebagai berikut :

a. KBK yang akan diangkut untuk bahan baku serpih industri pulp, dapat menggunakan FA-BBS
perusahaan industri pulp apabila asal KBK tersebut merupakan group dari perusahaan industri;
b. Bagi KBK yang berasal dari perusahaan di luar group perusahaan industri pulp, pengangkutannya
dapat menggunakan FA-BBS perusahaan industri bersangkutan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Direktur Jenderal;
c. FA-BBS diterbitkan di TPK hutan oleh petugas perusahaan asal kayu yang ditunjuk oleh Direksi
perusahaan bersangkutan dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Provinsi setempat;
d. Khusus untuk Bakau yang akan diangkut ke industri chip/arang, dapat menggunakan FA-Bakau
yang diterbitkan oleh petugas perusahaan yang ditunjuk oleh Direksi perusahaan bersangkutan dan
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Provinsi setempat;
e. engisian FA-BBS atau FA-Bakau dapat dilakukan dengan tulis tangan.

Paragraf Keempat
Masa Berlaku SKSHH/DPP/FA-BBS/FA-Bakau
Pasal 21
(1) Ketentuan masa berlaku SKSHH, DPP, FA-BBS, FA-Bakau diatur sebagai berikut :
a. Masa berlaku SKSHH ditetapkan paling lama 25 (dua puluh lima) hari;
b. Masa berlaku DPP ditetapkan paling lama 1 (satu) hari (24 jam);
c. Masa berlaku FA-BBS/FA-Bakau ditetapkan paling lama 2 (dua) hari.
(2) Masa berlaku SKSHH, DPP dan FA-BBS/FA-Bakau ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas
Provinsi setempat.
(3) Perhitungan masa berlaku dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan atas waktu
tempuh normal dan jarak pengangkutan serta jenis alat angkut.
(4) Peruntukan dokumen SKSHH diatur sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Lembar ke-1 dan ke-2 : Melengkapi bersama-sama hasil hutan yang diangkut;
Lembar ke-3 : Untuk Kepala BSPHH asal hasil hutan;
Lembar ke-4 : Untuk Kepala Dinas Provinsi tujuan pengangkutan;
Lembar ke-5 : Untuk arsip P2SKSHH;
Lembar ke-6 : Untuk arsip perusahaan yang mengguna-kan SKSHH.

(5) Peruntukan dokumen DPP diatur sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 dan ke-2 : Melengkapi bersama-sama hasil hutan yang diangkut;
b. Lembar ke-3 : Untuk Kepala Dinas Kab. / Kota tujuan;
c. Lembar Ke-4 : Untuk arsip penerbit.
(6) Peruntukan dokumen FA-BBS diatur sebagai berikut :
a.
b.
c.

Lembar ke-1 dan ke-2 : Melengkapi bersama-sama KBK yang diangkut;
Lembar ke-3 : Untuk Kepala Dinas Kab. / Kota tujuan;
Lembar Ke-4 : Untuk arsip penerbit.

(7) Peruntukan dokumen FA-Bakau diatur sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 dan ke-2 : Melengkapi bersama-sama kayu Bakau yang diangkut;
b. Lembar ke-3 : Untuk Kepala Dinas Kab. / Kota tujuan;
c. Lembar Ke-4 : Untuk arsip penerbit .
Bagian Keenam
Pembuatan Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB)
Paragraf Kesatu
Pembuatan LMKB Untuk Kayu Bulat di Hutan

Pasal 22
1) Pemegang IUPHHK, IPHHK dan ILS, wajib membuat LMKB di TPK (logpond/logyard) di hutan dengan
menggunakan model blanko DK.A.106a (lampiran I F. 1).
(2) Tata cara pengisian LMKB adalah sebagai berikut :
a. Pengisian kolom penambahan didasarkan pada rekapitulasi LHP-KB yang telah disahkan untuk
setiap bulan;
b. Pengisian kolom pengurangan didasarkan pada rekapitulasi penerbitan DHH/SKSHH selama 1
(satu) bulan;
c. Pada kolom keterangan dicantumkan nomor seri dan tanggal penerbitan SKSHH serta tujuan
pengangkutan;
d. Berdasarkan jumlah persediaan pada bagian penambahan dikurangi jumlah pengurangan, maka
sisanya merupakan sisa persediaan akhir bulan yang bersangkutan;
e. Apabila terjadi perubahan sisa persediaan karena hilang/tenggelam dan lain-lain hal selama dalam
satu bulan, maka wajib dibuatkan berita acara yang diketahui oleh P2LHP dan diperhitungkan pada
kolom persediaan.
(3) LMKB dibuat 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Kepala Dinas Kabupaten/ Kota;
b. Lembar kedua untuk P2LHP;
c. Lembar ketiga untuk P2SKSHH; dan
d. Lembar ketiga untuk arsip pemegang izin.
(4) LMKB lembar kesatu, lembar kedua, dan lembar ketiga wajib dikirim sesuai peruntukannya, dan
diterima selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya.
(5) LMKB sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan jenis, jumlah dan volume fisik
kayu.
Paragraf Kedua
Pembuatan LM-KBK/Bakau
Pasal 23
(1) Pemegang IUPHHK, IPHHK dan ILS yang memproduksi KBK/Bakau, setiap bulan wajib membuat LMKBK/Bakau di TPn/TPK, dengan menggunakan model blanko DK.A.106b (lampiran I F.2).
(2) Tata cara pengisian LM-KBK/Bakau adalah sebagai berikut :
a. Pengisian kolom penambahan didasarkan pada rekapitulasi LHP-KBK/ LHP-Bakau yang telah
disahkan untuk setiap bulan;
b. Pengisian kolom pengurangan didasarkan pada rekapitulasi penerbitan SKSHH/ FA-BBS/FA-Bakau
selama 1 (satu) bulan;
c. Pada kolom keterangan dicantumkan nomor seri dan tanggal penerbitan SKSHH/FA-BBS/FA-Bakau
serta tujuan pengangkutan;
d. Berdasarkan jumlah persediaan pada bagian penambahan dikurangi jumlah pengurangan, maka
sisanya merupakan sisa persediaan akhir bulan yang bersangkutan;
e. Apabila terjadi perubahan sisa persediaan karena hilang/tenggelam dan lain-lain hal selama dalam
satu bulan, maka waji