Index of /ProdukHukum/kehutanan
BAB VII
Peningkatan Nilai Tambah
Hasil Hutan Bukan Kayu
Melalui Pendekatan Teknologi
Oleh:
TA. PRAYITNO / Jurusan Teknologi Hasil Hut an Fakult as kehut anan Universit as Gadj ah Mada
PENDAHULUAN
H
asil hut an bukan kayu yang disingkat HHBK merupakan pot ensi besar yang
t erpendam di hut an dan belum digali unt uk dikelola secara lest ari sampai saat
ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya macam HHBK yang dapat dihasilkan oleh
hut an at au memang masih t erabaikan karena pilihan pengelolaan hut an unt uk produksi kayu.
Di beberapa t empat sudah dij umpai pengelolaan hasil hut an yang cukup maj u sepert i di
pengolahan get ah pinus sebagai HHBK hut an pinus di Perhut ani. Pengelolaan lebah madu
unt uk menghasilkan madu yang diolah menj adi bahan makanan bercampur madu di beberapa
daerah sudah cukup dikenal baik oleh masyarakat at au Perhut ani. Keput usan unt uk mengelola
HHBK yang dapat dihasilkan oleh hut an di seluruh Indonesia merupakan pilihan yang sangat
cerdas saat ini karena pengelolaan hut an sebagai produksi kayu sudah sampai pada t it ik yang
mengkawat irkan (Ekanayake et al . 07). Kerusakan hut an sebagai hasil dari pengelolaan hut an
yang kurang baik dan konsist en sert a kondisi masyarakat yang kurang mendukung usaha-usaha
pelest arian hut an, semakin luas dan sudah memberikan hasil yang mengerikan sepert i banj ir
di musim huj an sert a kekeringan di musim kemarau. Sepert inya bencana alam sepert i it u
t idak akan berkurang di t ahun-t ahun mendat ang sebelum hut an benar-benar dapat dipulihkan
kembali. Oleh sebab it u pengalihan energi manusia dari merusak hut an ke pengelolaan HHBK
akan mereduksi t ekanan dan hambat an pada pemulihan hut an. Keberhasilan pengalihan
energi manusia kedalam pengelolaan HHBK akan merupakan salah sat u pilar konservasi hut an,
karena t idak hanya mempert ahankan pohon-pohon sebagai penghasil kayu t et api j uga
biodiversit as nabat i dan hewani yang t erj amin kelest ariannya.
Sepert i disebut di at as, macam HHBK sangat banyak sekali sehingga mungkin t erj adi
kebingungan
at as
pilihan
HHBK
yang
dikembangkan.
Depart emen
Kehut anan
t elah
merumuskan HHBK sert a unggulan HHBK sehingga paling t idak mampu memberikan arahan
pada pengusaha at aupun masyarakat akan macam HHBK yang mampu dikembangkan pada
suat u daerah. Survei pust aka dan t inj auan lapangan menunj ukkan bahwa macam HHBK yang
dihasilkan oleh hut an Indonesia sangat luas dan sebagian besar mendukung kehidupan
masyarakat t erut ama yang berdomisili di sekit ar hut an.
Pilihan unt uk mengelola HHBK hut an Indonesia sangat t epat karena akan melest arikan
t eknologi t radisional HHBK at au t eknik dan kearif an lokal. Hal ini sangat pent ing di saat
sekarang karena nilai int elekt ual bangsa dapat t erselamat kan dalam bent uk hak pat en dan
pemilikan ilmu yang t elah dikembangkan nenek moyang dapat diwuj udkan kembali dan t idak
dialihkan bangsa lain.
VII-1
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Hasil
hut an
bukan
kayu
(HHBK)
sudah
dirumuskan
oleh
pemerint ah
melalui
Depart emen Kahut anan (Permenhut : 35/ MENHUT-II/ 2007). Def inisi HHBK adalah hasil hut an
baik nabat i dan hayat i besert a produk t urunannya dan budidayanya kecuali kayu. Sebagai
cont oh hasil hut an nabat i adalah hasil hut an dari pohon yait u daun, buah, akar, get ah dan
lain sebagainya yang bias dimanf aat kan baik unt uk menunj ang kehidupan at au sebagai
komodit i kebudayaan sert a rit ual keagamaan. HHBK hayat i berupa sat wa liar yang ada di
hut an maupun budidayanya di luar
dan di dalam kawasan hut an. HHBK yang lain dapat
berupa pangan, obat sepert i j amur dan lain sebagainya.
Sepanj ang sej arah pengelolaan hut an di Indonesia sepert i hut an j at i oleh Perhut ani,
sudah banyak dit emukan HHBK yang dikomersialkan sepert i sarang semut , kepompong, daun
j at i dan lain sebagainya. Komersialisasi HHBK t erbukt i sudah dilakukan oleh nenek moyang
bangsa ini. Kelest arian pengelolaan HHBK ini yang j ust ru t idak cukup diperhat ikan kalau t idak
disebut sebagi ket eledoran pemerint ah karena t erbius berkilaunya pancaran sinar pengelolaan
kayu. Meskipun begit u sampai saat ini sudah banyak HHBK komersial yang dij umpai baik pada
t ingkat lokal, nasional dan bahkan int ernasional. HHBK komersial yang t elah diinvent arisir
oleh Badan Lit bang Kehut anan disaj ikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 t ersebut t erlihat bahwa
penggolongan j enis HHBK mungkin masih membingungkan bila dihubungkan dengan Permenhut
35/ 2007, t et api usaha unt uk menggolongkan berdasarkan kelompok at au klust er bahan yang
diperoleh merupakan usaha yang bagus sehingga dapat dilanj ut kan ke t ingkat yang lebih baik.
Sebagai cont oh kelompok minyak lemak disat ukan dengan karbohidrat , t annin dan get ah,
t anaman obat dan t anaman hias merupakan cara at au t eknik pengelompokkan yang kurang
t elit i. Laporan FAO pada t ahun 2000 pada saat pembahasan HHBK 15 negara di Asia
menunj ukkan bahwa Indonesia masih belum menunj ukkan klasif ikasi HHBK yang t erst rukt ur,
t et api masih mengandalkan dat a pemanenan pada suat u daerah at au oleh suat u perusahaan,
dan belum berdasarkan pot ensi yang ada dalam suat u hut an suat u daerah at aupun t eknologi
warisan yang t elah dilest arikan at au bahkan dikembangkan. Laporan produksi HHBK t ahun
2007 (Anonim, 2007c) berdasarkan komodit i didominasi oleh rot an (21856 t on), bamboo (5616
t on) dan minyak kayu put ih (3416 t on).
Pengelompokkan sesuai dengan perat uran pemerint ah lebih kepada ket elit ian asal
bahan sehingga dapat t erbent uk pohon HHBK yang sangat diperlukan dalam aspek budidaya
dan pengelolaan secara lest ari pada pengembangan pengelolaan hut an berbasis mult iproduk.
Pert emuan para penelit i sert a semua pihak yang t erkait
diperlukan unt uk membuat
kesepakat an klasif ikasi HHBK ini sert a sekaligus dapat dilakukan invent arisasi j enis sert a
kapasit as produksi lokal, t ingkat pembudidayaan dan lainnya sehingga pengelolaan HHBK
Indonesia menj adi lebih ef ekt if dan ef isien.
VII-2
Tabel 1. Daf t ar HHBK yang dikembangkan di Indonesia
No
1
Jenis HHBK
Golongan HHBK
Resin
Gondorukem, kopal loba, kopal melengket , damar mat a kucing, d.
daging, d. rasak, d. pilau, d. bat u, kemenyan, gaharu, kemedangan,
shellak, j ernang, f rankensence, kapur barus, biga
2
Minyak at siri
Minyak cendana, m. gaharu, m. kayu put ih, m. keruing, m. lawang, m.
t erpent in, m. kenanga, m. ilang-ilang, m. eukalipt us, m. pinus, kayu
manis, vanili, cendana, m. sereh, m. daun cengkeh, m. pala, m.
kembang mas, m. t rawas, minyak kilemo
3
Minyak
lemak, - Minyak lemak : t engkawang, kemiri, j arak, wij en, saga pohon, kenari,
karbohidrat dan bij i
mangga,
m.
int aran
buah-buahan
- Karbohidrat at au buah-buahan : sagu, aren, nipah, lont ar, asam,
mat oa, makadamia, duren, duku, nangka, ment e, burahol, mangga,
sukun, saga, gadung, iles-iles, t alas, ubi, rebung, j amur, madu, garut ,
kolang-kaling, suweg
4
Tanin dan get ah - Tanin : akasia, bruguiera, rizophora, pinang, gambir, t ingi
- Get ah : j elut ung, perca, ket iau, get ah merah, balam, sundik,
hangkang, get ah karet hut an, get ah sundik, gemor
Tanaman obat : aneka j enis t anaman obat asal hut an
5
Tanaman
obat dan hias
- Tanaman hias : anggrek hut an, palmae, pakis, aneka j enis pohon
indah
6
Rot an
dan Segala j enis rot an, bambu dan nibung
bambu
7
Hasil hewan
Sarang burung, sut era alam, shellak, buaya, ular, t elur, daging, ikan,
burung, lilin lebah, t andung, t ulang, gigi, kulit , aneka hewan yang t idak
dilindungi
8
Jasa hut an
Air, udara (oksigen), rekreasi/ ekot urime, penyanggah ekosist em alam
9
Lain-lain
Balau, kupang, ij uk, lembai, pandan, arang, sirap, ganit ri, gemor,
purun, rumput gaj ah, sint ok, biga, kalapari, gelam, kayu salaro, pohon
angin, uyun, rumput kawat
Sumber : Sumadiwangsa dan Set yawan, 2001 dalam Anonim, 2007b
NILAI TAMBAH
Nilai t ambah secara umum didef inisikan sebagai pert ambahan nilai j ual yang diakui
oleh pembeli pada set iap t ahapan pengelolaan dan pengolahan suat u bahan, dalam hal ini
HHBK. Nilai t ambah j uga bisa diint erpret asikan sebagai kenaikan nilai j ual suat u produk yang
diset uj ui at au dianggap pent ing oleh pembeli (Vlosky, 2005). Jelas dari def inisi t ersebut
bahwa suat u nilai t ambah mest i diakui oleh pembeli, oleh sebab it u diperlukan negosiasi
ant ara produsen dan pembeli sehingga dicapai kesepakat an pada nilai t ambah t ersebut . Pada
umumnya suat u nilai t ambah yang diyakini pembeli berupa kegiat an-kegiat an dalam
pengelolaan dan pengolahan bahan t erdiri at as ant ara lain:
1. t ambahan energi yang diberikan ke dalam suat u produk sehingga kualit as produk semakin
meningkat .
VII-3
2. t ambahan t eknologi yang dit erapkan pada kegiat an budidaya,
pemanenan bahan,
pengolahan bahan menj adi bahan yang lebih mendekat i penggunaan akhir bahan t ersebut ,
diversif ikasi produk at u perubahan bahan menj adi bahan yang berf ungsi lebih t inggi
t ingkat annya.
3. nilai t ambah baru yang didasarkan at as peluang pencemaran lingkungan.
Sepert i yang diuraikan di at as, suat u nilai t ambah akan diberikan oleh pembeli bila
kegiat an penambahan energi dan t eknologi dianggap pent ing unt uk dilakukan. Bila t eknologi
yang dit erapkan t idak dianggap pent ing dan harus dilakukan maka pembeli t ak mau
memberikan nilai t ambah pada nilai j ual produk t ersebut . Oleh sebab it u perlu sekali kegiat an
pemasaran produk dengan memberikan j aminan kualit as produk akibat dit erapkannya suat u
t eknologi. Secara umum yang berlaku saat ini adalah nilai t ambah akan besar bila energi yang
diperlukan unt uk mengolah bahan t ersebut j uga besar. Berdasarkan pemahaman t ersebut
maka pengolahan sekunder at au pengolahan produk yang lebih lanj ut ( advanced t echnol ogy)
akan menghasilkan nilai t ambah yang besar pula. Di lain pihak pengolahan primer masih
dianggap sebagai t eknologi sederhana dan t ak memerlukan energi besar sehingga nilai t ambah
pada
produk primer seringkali cukup kecil. Konsep nilai t ambah yang t radisional ini akan
berubah bila alasan pencemaran dilibat kan mulai dari budidaya bahan t ersebut . Oleh sebab
it u porsi nilai t ambah produk bias diubah sesuai dengan perubahan paradigma baru t ent ang
energi dan t eknologi yang dit ambahkan pada suat u bahan.
PENINGKATAN NILAI TAMBAH HHBK DENGAN TEKNOLOGI
Bagaimana meyakinkan pembeli adanya nilai t ambah yang harus mereka bayar pada
suat u produk HHBK? Ini pert anyaan ut ama yang harus dicermat i agar HHBK dapat digunakan
sebagai komodit i hasil hut an yang bersif at lest ari. Kat a kunci yang ut ama adalah energi dan
t eknologi yang dit erapkan pada produksi HHBK. Oleh karenanya semua kegiat an yang
berhubungan dengan produksi harus dilakukan dengan masukan energi dan t eknologi. Dengan
demikian pengelolaan produksi HHBK harus dimulai dengan teknologi budidaya, teknologi
pemanenan, teknologi pengolahan primer, teknologi pengolahan sekunder dan disert ai
teknologi penj aminan mut u at au kualit as sert a teknologi pemasaran.
Penggunaan kat a
t eknologi pada set iap t ahapan produksi HHBK ini harus bermakna bet ul sehingga pembeli
meyakini bahwa it u memang harus dilakukan. Arahan Dirj en RLPS sepert inya sej alan dengan
pemikiran ini.
Perkembangan t eknologi saat ini sudah sampai pada t at aran t eknologi yang selalu
t idak mengubah dunia at au mencemari lingkungan dan t idak mengubah diversit as bot ani dan
hayat i pada suat u lingkungan at au kawasan hut an. Dengan demikian penerapan t eknologi
mulai dari t ahapan budidaya suat u komodit i HHBK sampai pada pengolahan primer at au
pengolahan
sekunder
sehingga
menghasilkan
diversif ikasi
produk
j uga
harus
mempert imbangkan t ent ang pencemaran lingkungan dan konservasi ekologi ini. Oleh sebab it u
pemahaman t eknologi ramah lingkungan yang dit erapkan di set iap t ahapan produksi dimulai
VII-4
dari budidaya di lapangan sampai ke pabrik pengolahan harus sesuai dengan yang dipahami
oleh pembeli.
Teknologi Budidaya
Teknologi budidaya HHBK harus didasarkan at as penguasaan pert umbuhan t anaman
at au hewan produksi komodit i t ersebut . Sebagai cont oh penguasaan pert umbuhan t anaman
at au pohon pinus sebagai penghasil get ah dan bukan unt uk t uj uan penghasil kayu perkakas
at au kayu serat sangat membant u dalam penent uan penyadapan get ah pohon berdasarkan
umur. Selanj ut nya Riset budidaya pinus penghasil get ah dimulai dari pemilihan j enis,
pemuliaan pohon, penanaman, pemeliharaan t egakan, pert umbuhan pohon, produksi get ah
berdasar physiologi dan lain-lain harus segera dilakukan unt uk mengelola t egakan pinus
sebagai penghasil get ah. Menurut sej arah pengelolaan hut an pinus, t egakan pinus penghasil
get ah saat ini sebenarnya bukan unt uk penghasil get ah t et api t egakan pinus unt uk serat .
Kualit as pohon unt uk penghasil get ah berbeda dengan pohon penghasil serat at aupun unt uk
penghasil kayu perkakas. Teknologi budidaya sepert i cont oh pinus ini harus dan merupakan
suat u prasyarat unt uk pengembanngan HHBK get ah pinus. Hal yang sama berlaku pada HHBK
yang lain.
Teknologi Pemanenan
Teknologi pemanenan get ah pinus kembali diambil cont oh dalam uraian ini masih
menggunakan t eknologi yang sangat sederhana yang bila diperlihat kan pada pembeli mungkin
t idak mengundang inisiasi pemberian nilai t ambah. Oleh sebab it u harus dilakukan penelit ian
t eknologi pemanenan yang menghasilkan get ah yang berkualit as. Kualit as get ah yang dit erima
di suat u unit pengolah primer get ah pinus t idak pernah dihubungkan dengan t eknologi
pemanenan. Kej adian yang umum dij umpai adalah pihak pengolah primer selalu menerima
apa adanya get ah t ersebut , t anpa melakukan penelit ian korelasi kualit as get ah pinus dengan
t eknologi yang dit erapkan sebelum sampai pada pabrik pengolah primer. Hal ini berakibat
pembeli t idak memandang perlu memberikan nilai t ambah at as t eknik pemanenan yang
dit erapkan. Demikian set erusnya hal-hal sepert i it u berlanj ut sehingga set iap langkah yang
dit erapkan
at au
dipilih
dalam
pemanenan
t idak
menghasilkan
nilai
t ambah.
Unt uk
memperoleh nilai t ambah, maka t eknik pemanen harus berdasarkan pemilihan t eknologi yang
dikuasai sebelumnya dan dikembangkan agar kualit as HHBK lebih baik di kemudian hari.
Berbagai t eknik pemanenan at as HHBK diwarisi dari nenek moyang sepert i penebangan
rot an dan bamboo, penyadapan get ah pohon, pemet ikan daun kayuput ih, pencabut an j amur
dan lain sebagainya. Set iap t eknik pemanenan yang dinvent arisir belum berubah dari t ahun ke
t ahun ut nuk meningkat kan kualit as HHBK yang dipanen.
Saat ini perhat ian dunia at as ekologi dan perubahan lingkungan dunia semakin t aj am.
Semua
kegiat an
yang
berhubungan
dengan
bumi
sepert i
budidaya
t anaman
harus
mempert imbangkan pencemaran t erhadap lingkungannya at aupun kapasit as konservasi
VII-5
lingkungan yang dipunyainya. Teknologi budidaya yang menguruskan t anah dan merubah
lingkungan at au ekologi habit at dianggap sebagai pencemar lingkungan sehingga harus dicari
t eknologi budidaya yang bersahabat dengan lingkungan.
Teknologi Pengolahan Primer
Teknologi pengolahan primer adalah t eknologi pengolahan yang dit erapkan langsung
t erhadap bahan HHBK yang dipanen dari hut an at au lahan budidaya. Teknologi primer
berkisar dari t eknologi sort ir bahan, t eknol ogi peningkat an kualit as bahan at au t eknologi
pengemasan bahan unt uk pengiriman j arak j auh. Sebagai cont oh t eknologi pengolahan primer
rot an berupa pemot ongan panj ang dan sort ir diamet er dan kualit as bat ang sehingga rot an
yang dij ual bias seragam kualit asnya dalam kelompok at au klas kualit as t ert ent u. Pengolahan
selanj ut nya dapat berupa pengeringan rot an, pewarnaan yang akan meningkat kan kualit as
dan dipahami oleh pembeli.
Nilai t ambah pengolahan primer selama ini cukup kecil karena pada umumnya
dianggap t eknologi sederhana yang memerlukan input energi kecil dan peran t eknologi dapat
digant ikan oleh energi alam sepert i sinar mat ahari. Oleh sebab it u t eknologi primer harus
dikemas sedemikian rupa sehingga peran t eknologi cukup menonj ol sehingga pembeli yakin
bahwa hal t ersebut memang harus dilakukan unt uk meningkat kan kualit as HHBK yang
diproduksi dan dij ual ke pasar.
Teknologi Pengolahan Sekunder
Teknologi pengolahan sekunder adalah t eknologi pengolahan lanj ut dari pengolahan
primer. HHBK get ah pinus diolah oleh t eknologi primer menj adi gondorukem dan t erpent in.
Teknologi pengolahan lanj ut di lain pihak dapat mengolah t erpent in dan gondorukem yang
dihasilkan t eknik primeri menj adi uraian bahan-bahan kimia lain yang berf ungsi berbeda sat u
dengan yang lain sepert i bahan kosmet ik, bahan pelarut cat kualit as t inggi dan bahan
hidrokarbon lainnya.
Set iap j enis HHBK mempunyai t eknologi sekunder yang berbeda sat u dengan yang
lainnya t ergant ung kepada produk komersial yang dit uj u dan bahan aslinya. HHBK yang diolah
lebih lanj ut unt uk bahan kimia dilakukan dengan t eknologi penguraian kimia dan derivat isasi.
HHBK bamboo dan rot an dapat dit ingkat kan sebagai bahan konst ruksi dengan t eknologi
laminasi dan perekat an sert a komposit . HHBK j enis serat alam dapat diolah lebih lanj ut
dengan komposit serat dan keraj inan dan mebel. Dengan demikian penget ahuan yang
mendalam at as t eknologi bahan HHBK dan produk yang bersif at produk kualit as t inggi (high
end product s) dapat dit erapkan secara ef isien dan ef ekt if .
VII-6
PENGELOLAAN HHBK KEDEPAN
Pengelolaan HHBK Indonesia yang diinvent arisir saat ini adalah pengelolaan pada
t ingkat menengah dan sederhana at au bahkan belum bisa disebut sebagai pengelolaan HHBK
karena dilakukan dengan cara sporadic, bersif at sesaat bila ada pesanan at au order pembeli
sehingga j auh dari sif at pengelolaan yang berdasar at as kelest arian. Oleh sebab it u bila
keput usan at au pilihan pengembangan HHBK ini menj adi priorit as dalam pengelolaan hut an
saat ini maka diperlukan perubahan yang mendasar. Hal yang perlu diperhat ikan adalah
sebagai berikut :
1. Pengelolaan HHBK harus diubah ke pengelolaan berbasis riset . Ini art inya suat u j enis HHBK
harus diket ahui seluruh dat a produksinya besert a f akt or-f akt or yang mempengaruhinya,
pola pert umbuhan dan physiologinya, pemanenan sert a pengolahan t ingkat primernya. Di
set iap langkah harus dit ekankan pada j aminan mut u produk sehingga selalu dihasilkan
HHBK berkualit as t inggi. Pengendalian mut u t erpadu dari mulai t eknologi budidaya,
pemanenan,
pengolahan
primer,
pengolahan
sekunder
bila
memungkinkan
sert a
pengemasan dan pemasaran harus digunakan sebagai mot t o at au semboyan seluruh pihak
yang t erkait . Dengan demikian pengelolaan dapat diubah ke basis mut u at au j aminan
mut u yang lest ari.
2. Pengelolaan HHBK ke depan sebaiknya didasarkan at as dat a yang akurat dan presisi. Ini
berart i pengelolaan HHBK harus didasarkan at as pengukuran dan evaluasi. Pengukuran dan
evaluasi harus dilakukan di set iap t ingkat an proses produksi sehingga kesalahan mut u dan
kuant it as produksi dapat dit elusuri penyebabnya dan kemudian bisa dibuat kan cara
pengendalian dan pencegahannya at au kemudian langkah koreksi. Konsep pencegahan
didasarkan at as penekanan t erj adinya kesalahan, sedangkan koreksi adalah pembet ulan
arah dan t indakan bila sudah t erj adi kesalahan dalam produksi HHBK yang sedang dikelola.
3. Pengelompokan dan klast erisasi HHBK menurut lokasi, iklim yang opt imal dan t eknologi
warisan nenek moyang (kearif an lokal) yang mungkin digali. Hal ini disiapkan agar j angan
t ercapai suat u keadaan yang bersif at boomerang dimana kenaikan produksi HHBK j ust ru
menurunkan pendapat an. Hal ini seringkali masih diabaikan oleh pengambil keput usan.
Banyak cont oh di masa lalu sampai sekarang yang menunj ukkan bahwa produksi komodit i
yang sangat besar j ust ru menurunkan harga sepert i cengkeh, plywood, kelapasawit dan
lain nya. Bila suat u kawasan at au wilayah memang kurang maksimal secara alami t idak
perlu direkayasa sepoert i kasus sawah di t anah gambut .
4. Pengelolaan HHBK harus dikembangkan ke arah pencapaian hak kepemilikan hasil ilmiah
at au hak pat en. Ini sangat pent ing saat ini karena dunia sudah begit u t erbuka baik ant ar
daerah, bangsa dan ant ar individu sehingga kesalahan masa lalu dengan wuj ud kehilangan
hak pat en j angan sampai t erj adi lagi. Penelusuran sej arah t eknologi HHBK t ert ent u dan
kaj ian pengembangan sampai kepada hak pat en perlu didorong pemerint ah kepada semua
yang t erkait dengan HHBK t ersebut .
5. Era ot onomi daerah seringkali membuat pengelompokkan at au klast erisasai HHBK akan
t erasa sulit karena pengembangan HHBK cenderung sama dan t idak didasarkan at as
penelit ian kesesuaian lahan yang dipunyainya. Pemet aan HHBK diperlukan dan dibuat
VII-7
bersama-sama sehingga ot onomi daerah akan t erasa signif ikan kont ribusinya dalam
pengembangan HHBK yang cocock dengan daerahnya.
6. Pemet aan pasar produk HHBK hasil olahan primer dan sekunder perlu dibuat sebagai
ref erensi
nilai t ambah yang mungkin dilakukan. Pemasaran sendiri berkont ribusi pada
nilai t ambah ini.
7. Pengelolaan HHBK harus memenuhi sert if ikasi ramah lingkungan dan konservasi sehingga
sej ak saat budidaya harus dipilih t eknologi yang t idak menimbulkan pencemaran sert a
berkont ribusi mengubah kondisi lingkungan. Dengan demikian pengelolaan HHBK j uga
harus memenuhi sert if ikasi budidaya, sert if ikasi pengolahan primer dan sert if ikasi
pengolahan sekunder.
PENUTUP
Sepert inya pengelolaan HHBK Indonesia masih perlu melakukan pembenahan yang
begit u besar. Invent arisasi j enis HHBK yang t elah dilakukan membuka kesempat an penelit ian
yang begit u banyak agar pengelolaan HHBK menj adi berbasis riset . Opt imisme sangat
diperlukan unt uk menyelesaikan pekerj aaan besar ini. Pendelegasian wewenang sert a f okus
penelit ian HHBK dapat dilakukan oleh pemerint ah (Depart emen Kehut anan) bekerj asama
dengan pemerint ah daerah (ot onomi daerah) sehingga pekerj aan besar t ersebut dapat dipikul
oleh seluruh pihak yang t erkait . Dengan demikian HHBK akan membuka peluang pekerj aan
yang besar baik dit inj au dari aspek sumberdaya manusia pekerj a, penelit i, t eknologi yang
dikembangkan secara lokal dan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007a. Perat uran Ment eri Kehut anan No 35/ Menhut II/ 2007: t ent ang Hasil Hut an
Bukan Kayu.
Anonym. 2007b. Konsepsi St rat egi Penelit ian Hasil Hut an Bukan Kayu di Indonesia
Anonim. 2007c. Produksi hasil hut an bukan kayu. t ahun 2007. Depart emen kehut anan.
Ekayanake S. , D. Angammana, S. Fernando, P. Samarawickrama, N. Perera and S. Perera.
2007. Sust ainable of Ext ract ion of Non Timber Forest Product s (NTFP) in Dipt orocarp
Dominant Lowland Rain Forest s – A Case St udy in Sout h West ern Lowland Rain Forest in
Sri Lanka. IUCN- The World Conservat ion Union.
FAO. 2000. Non wood f orest product s in 15 count ries in Asia.
Vlosky, R. 2005. Developing Louisiana’ s Forest Product s Indust ry: Adding Value f or t he Fut ure.
School of Renewable Nat ural Resources. LSU. a Forest Product s Development Cent er.
LSU Agricult ural Cent er 2005 Ag Out look Conf erence-January 12, 2005
VII-8
Peningkatan Nilai Tambah
Hasil Hutan Bukan Kayu
Melalui Pendekatan Teknologi
Oleh:
TA. PRAYITNO / Jurusan Teknologi Hasil Hut an Fakult as kehut anan Universit as Gadj ah Mada
PENDAHULUAN
H
asil hut an bukan kayu yang disingkat HHBK merupakan pot ensi besar yang
t erpendam di hut an dan belum digali unt uk dikelola secara lest ari sampai saat
ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya macam HHBK yang dapat dihasilkan oleh
hut an at au memang masih t erabaikan karena pilihan pengelolaan hut an unt uk produksi kayu.
Di beberapa t empat sudah dij umpai pengelolaan hasil hut an yang cukup maj u sepert i di
pengolahan get ah pinus sebagai HHBK hut an pinus di Perhut ani. Pengelolaan lebah madu
unt uk menghasilkan madu yang diolah menj adi bahan makanan bercampur madu di beberapa
daerah sudah cukup dikenal baik oleh masyarakat at au Perhut ani. Keput usan unt uk mengelola
HHBK yang dapat dihasilkan oleh hut an di seluruh Indonesia merupakan pilihan yang sangat
cerdas saat ini karena pengelolaan hut an sebagai produksi kayu sudah sampai pada t it ik yang
mengkawat irkan (Ekanayake et al . 07). Kerusakan hut an sebagai hasil dari pengelolaan hut an
yang kurang baik dan konsist en sert a kondisi masyarakat yang kurang mendukung usaha-usaha
pelest arian hut an, semakin luas dan sudah memberikan hasil yang mengerikan sepert i banj ir
di musim huj an sert a kekeringan di musim kemarau. Sepert inya bencana alam sepert i it u
t idak akan berkurang di t ahun-t ahun mendat ang sebelum hut an benar-benar dapat dipulihkan
kembali. Oleh sebab it u pengalihan energi manusia dari merusak hut an ke pengelolaan HHBK
akan mereduksi t ekanan dan hambat an pada pemulihan hut an. Keberhasilan pengalihan
energi manusia kedalam pengelolaan HHBK akan merupakan salah sat u pilar konservasi hut an,
karena t idak hanya mempert ahankan pohon-pohon sebagai penghasil kayu t et api j uga
biodiversit as nabat i dan hewani yang t erj amin kelest ariannya.
Sepert i disebut di at as, macam HHBK sangat banyak sekali sehingga mungkin t erj adi
kebingungan
at as
pilihan
HHBK
yang
dikembangkan.
Depart emen
Kehut anan
t elah
merumuskan HHBK sert a unggulan HHBK sehingga paling t idak mampu memberikan arahan
pada pengusaha at aupun masyarakat akan macam HHBK yang mampu dikembangkan pada
suat u daerah. Survei pust aka dan t inj auan lapangan menunj ukkan bahwa macam HHBK yang
dihasilkan oleh hut an Indonesia sangat luas dan sebagian besar mendukung kehidupan
masyarakat t erut ama yang berdomisili di sekit ar hut an.
Pilihan unt uk mengelola HHBK hut an Indonesia sangat t epat karena akan melest arikan
t eknologi t radisional HHBK at au t eknik dan kearif an lokal. Hal ini sangat pent ing di saat
sekarang karena nilai int elekt ual bangsa dapat t erselamat kan dalam bent uk hak pat en dan
pemilikan ilmu yang t elah dikembangkan nenek moyang dapat diwuj udkan kembali dan t idak
dialihkan bangsa lain.
VII-1
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Hasil
hut an
bukan
kayu
(HHBK)
sudah
dirumuskan
oleh
pemerint ah
melalui
Depart emen Kahut anan (Permenhut : 35/ MENHUT-II/ 2007). Def inisi HHBK adalah hasil hut an
baik nabat i dan hayat i besert a produk t urunannya dan budidayanya kecuali kayu. Sebagai
cont oh hasil hut an nabat i adalah hasil hut an dari pohon yait u daun, buah, akar, get ah dan
lain sebagainya yang bias dimanf aat kan baik unt uk menunj ang kehidupan at au sebagai
komodit i kebudayaan sert a rit ual keagamaan. HHBK hayat i berupa sat wa liar yang ada di
hut an maupun budidayanya di luar
dan di dalam kawasan hut an. HHBK yang lain dapat
berupa pangan, obat sepert i j amur dan lain sebagainya.
Sepanj ang sej arah pengelolaan hut an di Indonesia sepert i hut an j at i oleh Perhut ani,
sudah banyak dit emukan HHBK yang dikomersialkan sepert i sarang semut , kepompong, daun
j at i dan lain sebagainya. Komersialisasi HHBK t erbukt i sudah dilakukan oleh nenek moyang
bangsa ini. Kelest arian pengelolaan HHBK ini yang j ust ru t idak cukup diperhat ikan kalau t idak
disebut sebagi ket eledoran pemerint ah karena t erbius berkilaunya pancaran sinar pengelolaan
kayu. Meskipun begit u sampai saat ini sudah banyak HHBK komersial yang dij umpai baik pada
t ingkat lokal, nasional dan bahkan int ernasional. HHBK komersial yang t elah diinvent arisir
oleh Badan Lit bang Kehut anan disaj ikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 t ersebut t erlihat bahwa
penggolongan j enis HHBK mungkin masih membingungkan bila dihubungkan dengan Permenhut
35/ 2007, t et api usaha unt uk menggolongkan berdasarkan kelompok at au klust er bahan yang
diperoleh merupakan usaha yang bagus sehingga dapat dilanj ut kan ke t ingkat yang lebih baik.
Sebagai cont oh kelompok minyak lemak disat ukan dengan karbohidrat , t annin dan get ah,
t anaman obat dan t anaman hias merupakan cara at au t eknik pengelompokkan yang kurang
t elit i. Laporan FAO pada t ahun 2000 pada saat pembahasan HHBK 15 negara di Asia
menunj ukkan bahwa Indonesia masih belum menunj ukkan klasif ikasi HHBK yang t erst rukt ur,
t et api masih mengandalkan dat a pemanenan pada suat u daerah at au oleh suat u perusahaan,
dan belum berdasarkan pot ensi yang ada dalam suat u hut an suat u daerah at aupun t eknologi
warisan yang t elah dilest arikan at au bahkan dikembangkan. Laporan produksi HHBK t ahun
2007 (Anonim, 2007c) berdasarkan komodit i didominasi oleh rot an (21856 t on), bamboo (5616
t on) dan minyak kayu put ih (3416 t on).
Pengelompokkan sesuai dengan perat uran pemerint ah lebih kepada ket elit ian asal
bahan sehingga dapat t erbent uk pohon HHBK yang sangat diperlukan dalam aspek budidaya
dan pengelolaan secara lest ari pada pengembangan pengelolaan hut an berbasis mult iproduk.
Pert emuan para penelit i sert a semua pihak yang t erkait
diperlukan unt uk membuat
kesepakat an klasif ikasi HHBK ini sert a sekaligus dapat dilakukan invent arisasi j enis sert a
kapasit as produksi lokal, t ingkat pembudidayaan dan lainnya sehingga pengelolaan HHBK
Indonesia menj adi lebih ef ekt if dan ef isien.
VII-2
Tabel 1. Daf t ar HHBK yang dikembangkan di Indonesia
No
1
Jenis HHBK
Golongan HHBK
Resin
Gondorukem, kopal loba, kopal melengket , damar mat a kucing, d.
daging, d. rasak, d. pilau, d. bat u, kemenyan, gaharu, kemedangan,
shellak, j ernang, f rankensence, kapur barus, biga
2
Minyak at siri
Minyak cendana, m. gaharu, m. kayu put ih, m. keruing, m. lawang, m.
t erpent in, m. kenanga, m. ilang-ilang, m. eukalipt us, m. pinus, kayu
manis, vanili, cendana, m. sereh, m. daun cengkeh, m. pala, m.
kembang mas, m. t rawas, minyak kilemo
3
Minyak
lemak, - Minyak lemak : t engkawang, kemiri, j arak, wij en, saga pohon, kenari,
karbohidrat dan bij i
mangga,
m.
int aran
buah-buahan
- Karbohidrat at au buah-buahan : sagu, aren, nipah, lont ar, asam,
mat oa, makadamia, duren, duku, nangka, ment e, burahol, mangga,
sukun, saga, gadung, iles-iles, t alas, ubi, rebung, j amur, madu, garut ,
kolang-kaling, suweg
4
Tanin dan get ah - Tanin : akasia, bruguiera, rizophora, pinang, gambir, t ingi
- Get ah : j elut ung, perca, ket iau, get ah merah, balam, sundik,
hangkang, get ah karet hut an, get ah sundik, gemor
Tanaman obat : aneka j enis t anaman obat asal hut an
5
Tanaman
obat dan hias
- Tanaman hias : anggrek hut an, palmae, pakis, aneka j enis pohon
indah
6
Rot an
dan Segala j enis rot an, bambu dan nibung
bambu
7
Hasil hewan
Sarang burung, sut era alam, shellak, buaya, ular, t elur, daging, ikan,
burung, lilin lebah, t andung, t ulang, gigi, kulit , aneka hewan yang t idak
dilindungi
8
Jasa hut an
Air, udara (oksigen), rekreasi/ ekot urime, penyanggah ekosist em alam
9
Lain-lain
Balau, kupang, ij uk, lembai, pandan, arang, sirap, ganit ri, gemor,
purun, rumput gaj ah, sint ok, biga, kalapari, gelam, kayu salaro, pohon
angin, uyun, rumput kawat
Sumber : Sumadiwangsa dan Set yawan, 2001 dalam Anonim, 2007b
NILAI TAMBAH
Nilai t ambah secara umum didef inisikan sebagai pert ambahan nilai j ual yang diakui
oleh pembeli pada set iap t ahapan pengelolaan dan pengolahan suat u bahan, dalam hal ini
HHBK. Nilai t ambah j uga bisa diint erpret asikan sebagai kenaikan nilai j ual suat u produk yang
diset uj ui at au dianggap pent ing oleh pembeli (Vlosky, 2005). Jelas dari def inisi t ersebut
bahwa suat u nilai t ambah mest i diakui oleh pembeli, oleh sebab it u diperlukan negosiasi
ant ara produsen dan pembeli sehingga dicapai kesepakat an pada nilai t ambah t ersebut . Pada
umumnya suat u nilai t ambah yang diyakini pembeli berupa kegiat an-kegiat an dalam
pengelolaan dan pengolahan bahan t erdiri at as ant ara lain:
1. t ambahan energi yang diberikan ke dalam suat u produk sehingga kualit as produk semakin
meningkat .
VII-3
2. t ambahan t eknologi yang dit erapkan pada kegiat an budidaya,
pemanenan bahan,
pengolahan bahan menj adi bahan yang lebih mendekat i penggunaan akhir bahan t ersebut ,
diversif ikasi produk at u perubahan bahan menj adi bahan yang berf ungsi lebih t inggi
t ingkat annya.
3. nilai t ambah baru yang didasarkan at as peluang pencemaran lingkungan.
Sepert i yang diuraikan di at as, suat u nilai t ambah akan diberikan oleh pembeli bila
kegiat an penambahan energi dan t eknologi dianggap pent ing unt uk dilakukan. Bila t eknologi
yang dit erapkan t idak dianggap pent ing dan harus dilakukan maka pembeli t ak mau
memberikan nilai t ambah pada nilai j ual produk t ersebut . Oleh sebab it u perlu sekali kegiat an
pemasaran produk dengan memberikan j aminan kualit as produk akibat dit erapkannya suat u
t eknologi. Secara umum yang berlaku saat ini adalah nilai t ambah akan besar bila energi yang
diperlukan unt uk mengolah bahan t ersebut j uga besar. Berdasarkan pemahaman t ersebut
maka pengolahan sekunder at au pengolahan produk yang lebih lanj ut ( advanced t echnol ogy)
akan menghasilkan nilai t ambah yang besar pula. Di lain pihak pengolahan primer masih
dianggap sebagai t eknologi sederhana dan t ak memerlukan energi besar sehingga nilai t ambah
pada
produk primer seringkali cukup kecil. Konsep nilai t ambah yang t radisional ini akan
berubah bila alasan pencemaran dilibat kan mulai dari budidaya bahan t ersebut . Oleh sebab
it u porsi nilai t ambah produk bias diubah sesuai dengan perubahan paradigma baru t ent ang
energi dan t eknologi yang dit ambahkan pada suat u bahan.
PENINGKATAN NILAI TAMBAH HHBK DENGAN TEKNOLOGI
Bagaimana meyakinkan pembeli adanya nilai t ambah yang harus mereka bayar pada
suat u produk HHBK? Ini pert anyaan ut ama yang harus dicermat i agar HHBK dapat digunakan
sebagai komodit i hasil hut an yang bersif at lest ari. Kat a kunci yang ut ama adalah energi dan
t eknologi yang dit erapkan pada produksi HHBK. Oleh karenanya semua kegiat an yang
berhubungan dengan produksi harus dilakukan dengan masukan energi dan t eknologi. Dengan
demikian pengelolaan produksi HHBK harus dimulai dengan teknologi budidaya, teknologi
pemanenan, teknologi pengolahan primer, teknologi pengolahan sekunder dan disert ai
teknologi penj aminan mut u at au kualit as sert a teknologi pemasaran.
Penggunaan kat a
t eknologi pada set iap t ahapan produksi HHBK ini harus bermakna bet ul sehingga pembeli
meyakini bahwa it u memang harus dilakukan. Arahan Dirj en RLPS sepert inya sej alan dengan
pemikiran ini.
Perkembangan t eknologi saat ini sudah sampai pada t at aran t eknologi yang selalu
t idak mengubah dunia at au mencemari lingkungan dan t idak mengubah diversit as bot ani dan
hayat i pada suat u lingkungan at au kawasan hut an. Dengan demikian penerapan t eknologi
mulai dari t ahapan budidaya suat u komodit i HHBK sampai pada pengolahan primer at au
pengolahan
sekunder
sehingga
menghasilkan
diversif ikasi
produk
j uga
harus
mempert imbangkan t ent ang pencemaran lingkungan dan konservasi ekologi ini. Oleh sebab it u
pemahaman t eknologi ramah lingkungan yang dit erapkan di set iap t ahapan produksi dimulai
VII-4
dari budidaya di lapangan sampai ke pabrik pengolahan harus sesuai dengan yang dipahami
oleh pembeli.
Teknologi Budidaya
Teknologi budidaya HHBK harus didasarkan at as penguasaan pert umbuhan t anaman
at au hewan produksi komodit i t ersebut . Sebagai cont oh penguasaan pert umbuhan t anaman
at au pohon pinus sebagai penghasil get ah dan bukan unt uk t uj uan penghasil kayu perkakas
at au kayu serat sangat membant u dalam penent uan penyadapan get ah pohon berdasarkan
umur. Selanj ut nya Riset budidaya pinus penghasil get ah dimulai dari pemilihan j enis,
pemuliaan pohon, penanaman, pemeliharaan t egakan, pert umbuhan pohon, produksi get ah
berdasar physiologi dan lain-lain harus segera dilakukan unt uk mengelola t egakan pinus
sebagai penghasil get ah. Menurut sej arah pengelolaan hut an pinus, t egakan pinus penghasil
get ah saat ini sebenarnya bukan unt uk penghasil get ah t et api t egakan pinus unt uk serat .
Kualit as pohon unt uk penghasil get ah berbeda dengan pohon penghasil serat at aupun unt uk
penghasil kayu perkakas. Teknologi budidaya sepert i cont oh pinus ini harus dan merupakan
suat u prasyarat unt uk pengembanngan HHBK get ah pinus. Hal yang sama berlaku pada HHBK
yang lain.
Teknologi Pemanenan
Teknologi pemanenan get ah pinus kembali diambil cont oh dalam uraian ini masih
menggunakan t eknologi yang sangat sederhana yang bila diperlihat kan pada pembeli mungkin
t idak mengundang inisiasi pemberian nilai t ambah. Oleh sebab it u harus dilakukan penelit ian
t eknologi pemanenan yang menghasilkan get ah yang berkualit as. Kualit as get ah yang dit erima
di suat u unit pengolah primer get ah pinus t idak pernah dihubungkan dengan t eknologi
pemanenan. Kej adian yang umum dij umpai adalah pihak pengolah primer selalu menerima
apa adanya get ah t ersebut , t anpa melakukan penelit ian korelasi kualit as get ah pinus dengan
t eknologi yang dit erapkan sebelum sampai pada pabrik pengolah primer. Hal ini berakibat
pembeli t idak memandang perlu memberikan nilai t ambah at as t eknik pemanenan yang
dit erapkan. Demikian set erusnya hal-hal sepert i it u berlanj ut sehingga set iap langkah yang
dit erapkan
at au
dipilih
dalam
pemanenan
t idak
menghasilkan
nilai
t ambah.
Unt uk
memperoleh nilai t ambah, maka t eknik pemanen harus berdasarkan pemilihan t eknologi yang
dikuasai sebelumnya dan dikembangkan agar kualit as HHBK lebih baik di kemudian hari.
Berbagai t eknik pemanenan at as HHBK diwarisi dari nenek moyang sepert i penebangan
rot an dan bamboo, penyadapan get ah pohon, pemet ikan daun kayuput ih, pencabut an j amur
dan lain sebagainya. Set iap t eknik pemanenan yang dinvent arisir belum berubah dari t ahun ke
t ahun ut nuk meningkat kan kualit as HHBK yang dipanen.
Saat ini perhat ian dunia at as ekologi dan perubahan lingkungan dunia semakin t aj am.
Semua
kegiat an
yang
berhubungan
dengan
bumi
sepert i
budidaya
t anaman
harus
mempert imbangkan pencemaran t erhadap lingkungannya at aupun kapasit as konservasi
VII-5
lingkungan yang dipunyainya. Teknologi budidaya yang menguruskan t anah dan merubah
lingkungan at au ekologi habit at dianggap sebagai pencemar lingkungan sehingga harus dicari
t eknologi budidaya yang bersahabat dengan lingkungan.
Teknologi Pengolahan Primer
Teknologi pengolahan primer adalah t eknologi pengolahan yang dit erapkan langsung
t erhadap bahan HHBK yang dipanen dari hut an at au lahan budidaya. Teknologi primer
berkisar dari t eknologi sort ir bahan, t eknol ogi peningkat an kualit as bahan at au t eknologi
pengemasan bahan unt uk pengiriman j arak j auh. Sebagai cont oh t eknologi pengolahan primer
rot an berupa pemot ongan panj ang dan sort ir diamet er dan kualit as bat ang sehingga rot an
yang dij ual bias seragam kualit asnya dalam kelompok at au klas kualit as t ert ent u. Pengolahan
selanj ut nya dapat berupa pengeringan rot an, pewarnaan yang akan meningkat kan kualit as
dan dipahami oleh pembeli.
Nilai t ambah pengolahan primer selama ini cukup kecil karena pada umumnya
dianggap t eknologi sederhana yang memerlukan input energi kecil dan peran t eknologi dapat
digant ikan oleh energi alam sepert i sinar mat ahari. Oleh sebab it u t eknologi primer harus
dikemas sedemikian rupa sehingga peran t eknologi cukup menonj ol sehingga pembeli yakin
bahwa hal t ersebut memang harus dilakukan unt uk meningkat kan kualit as HHBK yang
diproduksi dan dij ual ke pasar.
Teknologi Pengolahan Sekunder
Teknologi pengolahan sekunder adalah t eknologi pengolahan lanj ut dari pengolahan
primer. HHBK get ah pinus diolah oleh t eknologi primer menj adi gondorukem dan t erpent in.
Teknologi pengolahan lanj ut di lain pihak dapat mengolah t erpent in dan gondorukem yang
dihasilkan t eknik primeri menj adi uraian bahan-bahan kimia lain yang berf ungsi berbeda sat u
dengan yang lain sepert i bahan kosmet ik, bahan pelarut cat kualit as t inggi dan bahan
hidrokarbon lainnya.
Set iap j enis HHBK mempunyai t eknologi sekunder yang berbeda sat u dengan yang
lainnya t ergant ung kepada produk komersial yang dit uj u dan bahan aslinya. HHBK yang diolah
lebih lanj ut unt uk bahan kimia dilakukan dengan t eknologi penguraian kimia dan derivat isasi.
HHBK bamboo dan rot an dapat dit ingkat kan sebagai bahan konst ruksi dengan t eknologi
laminasi dan perekat an sert a komposit . HHBK j enis serat alam dapat diolah lebih lanj ut
dengan komposit serat dan keraj inan dan mebel. Dengan demikian penget ahuan yang
mendalam at as t eknologi bahan HHBK dan produk yang bersif at produk kualit as t inggi (high
end product s) dapat dit erapkan secara ef isien dan ef ekt if .
VII-6
PENGELOLAAN HHBK KEDEPAN
Pengelolaan HHBK Indonesia yang diinvent arisir saat ini adalah pengelolaan pada
t ingkat menengah dan sederhana at au bahkan belum bisa disebut sebagai pengelolaan HHBK
karena dilakukan dengan cara sporadic, bersif at sesaat bila ada pesanan at au order pembeli
sehingga j auh dari sif at pengelolaan yang berdasar at as kelest arian. Oleh sebab it u bila
keput usan at au pilihan pengembangan HHBK ini menj adi priorit as dalam pengelolaan hut an
saat ini maka diperlukan perubahan yang mendasar. Hal yang perlu diperhat ikan adalah
sebagai berikut :
1. Pengelolaan HHBK harus diubah ke pengelolaan berbasis riset . Ini art inya suat u j enis HHBK
harus diket ahui seluruh dat a produksinya besert a f akt or-f akt or yang mempengaruhinya,
pola pert umbuhan dan physiologinya, pemanenan sert a pengolahan t ingkat primernya. Di
set iap langkah harus dit ekankan pada j aminan mut u produk sehingga selalu dihasilkan
HHBK berkualit as t inggi. Pengendalian mut u t erpadu dari mulai t eknologi budidaya,
pemanenan,
pengolahan
primer,
pengolahan
sekunder
bila
memungkinkan
sert a
pengemasan dan pemasaran harus digunakan sebagai mot t o at au semboyan seluruh pihak
yang t erkait . Dengan demikian pengelolaan dapat diubah ke basis mut u at au j aminan
mut u yang lest ari.
2. Pengelolaan HHBK ke depan sebaiknya didasarkan at as dat a yang akurat dan presisi. Ini
berart i pengelolaan HHBK harus didasarkan at as pengukuran dan evaluasi. Pengukuran dan
evaluasi harus dilakukan di set iap t ingkat an proses produksi sehingga kesalahan mut u dan
kuant it as produksi dapat dit elusuri penyebabnya dan kemudian bisa dibuat kan cara
pengendalian dan pencegahannya at au kemudian langkah koreksi. Konsep pencegahan
didasarkan at as penekanan t erj adinya kesalahan, sedangkan koreksi adalah pembet ulan
arah dan t indakan bila sudah t erj adi kesalahan dalam produksi HHBK yang sedang dikelola.
3. Pengelompokan dan klast erisasi HHBK menurut lokasi, iklim yang opt imal dan t eknologi
warisan nenek moyang (kearif an lokal) yang mungkin digali. Hal ini disiapkan agar j angan
t ercapai suat u keadaan yang bersif at boomerang dimana kenaikan produksi HHBK j ust ru
menurunkan pendapat an. Hal ini seringkali masih diabaikan oleh pengambil keput usan.
Banyak cont oh di masa lalu sampai sekarang yang menunj ukkan bahwa produksi komodit i
yang sangat besar j ust ru menurunkan harga sepert i cengkeh, plywood, kelapasawit dan
lain nya. Bila suat u kawasan at au wilayah memang kurang maksimal secara alami t idak
perlu direkayasa sepoert i kasus sawah di t anah gambut .
4. Pengelolaan HHBK harus dikembangkan ke arah pencapaian hak kepemilikan hasil ilmiah
at au hak pat en. Ini sangat pent ing saat ini karena dunia sudah begit u t erbuka baik ant ar
daerah, bangsa dan ant ar individu sehingga kesalahan masa lalu dengan wuj ud kehilangan
hak pat en j angan sampai t erj adi lagi. Penelusuran sej arah t eknologi HHBK t ert ent u dan
kaj ian pengembangan sampai kepada hak pat en perlu didorong pemerint ah kepada semua
yang t erkait dengan HHBK t ersebut .
5. Era ot onomi daerah seringkali membuat pengelompokkan at au klast erisasai HHBK akan
t erasa sulit karena pengembangan HHBK cenderung sama dan t idak didasarkan at as
penelit ian kesesuaian lahan yang dipunyainya. Pemet aan HHBK diperlukan dan dibuat
VII-7
bersama-sama sehingga ot onomi daerah akan t erasa signif ikan kont ribusinya dalam
pengembangan HHBK yang cocock dengan daerahnya.
6. Pemet aan pasar produk HHBK hasil olahan primer dan sekunder perlu dibuat sebagai
ref erensi
nilai t ambah yang mungkin dilakukan. Pemasaran sendiri berkont ribusi pada
nilai t ambah ini.
7. Pengelolaan HHBK harus memenuhi sert if ikasi ramah lingkungan dan konservasi sehingga
sej ak saat budidaya harus dipilih t eknologi yang t idak menimbulkan pencemaran sert a
berkont ribusi mengubah kondisi lingkungan. Dengan demikian pengelolaan HHBK j uga
harus memenuhi sert if ikasi budidaya, sert if ikasi pengolahan primer dan sert if ikasi
pengolahan sekunder.
PENUTUP
Sepert inya pengelolaan HHBK Indonesia masih perlu melakukan pembenahan yang
begit u besar. Invent arisasi j enis HHBK yang t elah dilakukan membuka kesempat an penelit ian
yang begit u banyak agar pengelolaan HHBK menj adi berbasis riset . Opt imisme sangat
diperlukan unt uk menyelesaikan pekerj aaan besar ini. Pendelegasian wewenang sert a f okus
penelit ian HHBK dapat dilakukan oleh pemerint ah (Depart emen Kehut anan) bekerj asama
dengan pemerint ah daerah (ot onomi daerah) sehingga pekerj aan besar t ersebut dapat dipikul
oleh seluruh pihak yang t erkait . Dengan demikian HHBK akan membuka peluang pekerj aan
yang besar baik dit inj au dari aspek sumberdaya manusia pekerj a, penelit i, t eknologi yang
dikembangkan secara lokal dan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007a. Perat uran Ment eri Kehut anan No 35/ Menhut II/ 2007: t ent ang Hasil Hut an
Bukan Kayu.
Anonym. 2007b. Konsepsi St rat egi Penelit ian Hasil Hut an Bukan Kayu di Indonesia
Anonim. 2007c. Produksi hasil hut an bukan kayu. t ahun 2007. Depart emen kehut anan.
Ekayanake S. , D. Angammana, S. Fernando, P. Samarawickrama, N. Perera and S. Perera.
2007. Sust ainable of Ext ract ion of Non Timber Forest Product s (NTFP) in Dipt orocarp
Dominant Lowland Rain Forest s – A Case St udy in Sout h West ern Lowland Rain Forest in
Sri Lanka. IUCN- The World Conservat ion Union.
FAO. 2000. Non wood f orest product s in 15 count ries in Asia.
Vlosky, R. 2005. Developing Louisiana’ s Forest Product s Indust ry: Adding Value f or t he Fut ure.
School of Renewable Nat ural Resources. LSU. a Forest Product s Development Cent er.
LSU Agricult ural Cent er 2005 Ag Out look Conf erence-January 12, 2005
VII-8