bagaimana meningkatkan pendanaan daerah untuk penanggulangan hiv dan aids

POLICY BRIEF

01

BAGAIMANA
MENINGKATKAN
PENDANAAN
DAERAH UNTUK
PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS?

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM

PESAN POKOK
Peningkatan pendanaan daerah untuk
penanggulangan HIV dan AIDS menjadi
sangat pen ng dengan berkurangnya
ketersediaan dukungan pendanaan luar
negeri. Dengan upaya pemerintah saat ini
yang menggalakkan pengarusutamaan nilainilai kedaulatan dan kebangsaan dalam

pembangunan melalui Nawacita atau
sembilan harapan dan keinginan, upaya
untuk meningkatkan kontribusi pendanaan
daerah menjadi sangat relevan. Namun
semua ini memerlukan komitmen yang kuat
dalam berbagi kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pembagian kewenangan ini diharapkan
dapat memicu ketersediaan pendanaan
daerah dan integrasi penyusunan program,
perencanaan, penganggaran dan
pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS.
Integrasi tersebut dapat menjadi indikator
kinerja kunci dari masing-masing
pemerintahan, sementara policy brief ini
menyediakan input bagi aktor-aktor dalam
penanggulangan HIV dan AIDS serta sistem
kesehatan dalam mempertajam rencana
pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi
Nasional (SRAN) tahun 2015-2019.


MASALAH
Sasaran Pokok Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 menyatakan bahwa target penanggulangan HIV dan
AIDS adalah menekan prevalensi HIV pada tahun 2019 tetap di bawah 0,5%
sementara prevalensi HIV dan AIDS pada saat ini adalah 0,43%. Komisi
Penganggulangan AIDS Nasional (KPAN) merespon target RPJMN 20152019 tersebut melalui penyusunan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS
2015-2019, yang diharapkan dapat menjadi arahan bagi pelaksanaan
penanggulangan dalam lima tahun mendatang. Sayangnya, hingga saat ini
SRAN 2015-2019 belum mendapatkan legalitas dari pemerintah sehingga
arah tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS di masa depan menjadi
kurang jelas. Meskipun demikian, dokumen SRAN 2015-2109 ini tetap
digunakan sebagai acuan untuk pengembangan program-program
penanggulangan HIV dan AIDS oleh berbagai pihak termasuk dalam
penyusunan Concept Note for New Funding Model of Global Fund 20152017 atau Dokumen Konsep Model Pembiayaan Baru Gobal Fund 20152017.
Sebagaimana tercantum dalam SRAN 2015-2019, kebutuhan dana untuk
penyelenggaraan program HIV dan AIDS tahun 2015-2019 diperkirakan
mencapai Rp. 6,25 triliun atau kurang lebih USD 568 juta. Perkiraan dana
yang bisa dihimpun dengan berpedoman pada situasi saat ini hingga tahun

2019 hanya sebesar Rp. 4,42 triliun atau sekitar USD 402 juta yang hampir
separuhnya dibiayai oleh dana hibah luar negeri. Perhitungan mengenai
ketersediaan dana tersebut menggunakan asumsi pertumbuhan dana
pemerintah pusat dan dana pemerintah daerah masing-masing sebesar
20% per tahun. Sementara itu, jumlah kontribusi dana yang berasal dari
sektor swasta diperkirakan berkisar antara 3,4% - 4% dari total pendanaan
untuk HIV dan AIDS, termasuk didalamnya layanan kesehatan swasta,
bantuan swasta, dan Corporate Social Responsibility (CSR). Ketersediaan
dana tersebut juga mencakup dana hibah luar negeri dari Global Fund (GF)
dan dana bilateral lainnya, yang diperkirakan mencapai 49% dari total
pendanaan untuk HIV dan AIDS.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

Berdasarkan proyeksi kebutuhan terhadap potensi ketersediaan
pendanaan penganggulangan HIV dan AIDS untuk lima tahun mendatang,
terdapat kesenjangan pendanaan yang berkisar antara USD 12.057 pada
tahun 2015 hingga USD 55.870 pada tahun 2019. Kesenjangan ini akan
semakin membesar setelah tahun 2017 dengan besaran pendanaan yang
tersedia diperkirakan hanya sekitar 56%-57% dari kebutuhan (lihat Gambar
1.1). Kesenjangan yang terjadi dalam dua tahun terakhir (2018 dan 2019)

disebabkan oleh berakhirnya pendanaan dengan skema pendanaan New
Funding Model (NFM) dari Global Fund pada tahun 2017. Pada sisi lain,
Pemerintah Australia (DFAT) dan Pemerintah Amerika Serikat (USAID) yang
pada tahun 2014 memberikan bantuan sebesar USD 27.816.495 dan USD
24.496.612 akan mulai mengurangi dukungan pendanaannya mulai tahun
2015 sehingga kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan dana
untuk lima tahun ke depan jelas akan bertambah besar.
Gambar 1.1: Kebutuhan, Ketersediaan dan Sumber Pendanaan Program HIV dan AIDS 2015-2019

Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2015)

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

KPAN telah mempersiapkan rencana untuk mengurangi kesenjangan ini
melalui pengembangan beberapa strategi, antara lain: peningkatan
efisiensi program, peningkatan pendanaan di tingkat pusat dan daerah
dengan bekerja sama dengan sektor swasta dan masyarakat sipil, dan
penguatan kelembagaan dan regulasi terkait penganggaran pemerintah
daerah. Pertanyaan penting dalam menanggapi berbagai strategi tersebut
adalah apakah mungkin strategi-strategi tersebut dilaksanakan ketika sifat

pendanaan program HIV dan AIDS yang tengah berjalan selama ini disusun,
direncanakan, dianggarkan, dan dikelola secara terpisah di bawah masingmasing pemerintah daerah dan pemerintah pusat? Jika hal ini
memungkinkan untuk dilaksanakan, bagaimana penyaluran dana tersebut
akan dilakukan dengan adanya berbagai tantangan baik secara
kelembagaan maupun teknis dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang
harus ditangani terlebih dahulu?
Salah satu tantangan kelembagaan yang utama dan jelas terlihat adalah
upaya mendorong para pemangku kepentingan kunci di daerah untuk
meningkatkan kontribusi pendanaannya dalam kerangka peningkatan
sumber dana dalam negeri. Program penanggulangan HIV dan AIDS selama
20 tahun terakhir ini merupakan program yang dihibahkan secara vertikal
dari pemerintah pusat dan belum terintegrasi dengan sistem perencanaan
dan penganggaran pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah
selama ini lebih sebagai pelaksana program di daerahnya saja, bukan
sebagai perencana program. Hasil dari National AIDS Spending Assessment
(NASA) menunjukkan bahwa dana yang dibelanjakan oleh pemerintah
daerah sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 masih berada pada kisaran
20% dari total dana yang dibelanjakan oleh pemerintah (pusat dan daerah).
Dana dari pemerintah daerah ini sebagian besar digunakan untuk
komponen pencegahan yang berupa sosialisasi kepada masyarakat,

pengelolaan, administrasi serta pelatihan. Sementara intervensi
pencegahan pada populasi kunci yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan
perawatan HIV dan AIDS yang dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) masih sangat bergantung pada dana dari pusat, baik dana yang
bersumber dari pemerintah maupun dari para donor.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

Dengan berkurangnya dukungan pendanaan luar negeri di masa yang akan
datang serta keterbatasan pendanaan daerah dan sektor swasta, menjadi
sangat penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan
program-program yang efektif dan efisien dan dapat didukung sepenuhnya
oleh pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan yang relevan di
Indonesia. Tantangan teknis yang muncul adalah bahwa semua
perencanaan program setelah tahun 2017 harus menggunakan suatu
kerangka yang dapat memicu pencarian dana sebagai pengganti
pendanaan luar negeri. Kerangka ini harus sejalan dengan pola pendanaan
penanggulangan HIV dan AIDS dan dimasukkan ke dalam proses rutin
perencanaan dan penganggaran pemerintah.
Kontribusi organisasi masyarakat sipil (OMS) dan organisasi berbasis

masyarakat (OBM) selama ini sangat besar, khususnya dalam upaya
pencegahan penularan pada kelompok populasi kunci, dan pendampingan
dan dukungan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA). Berkurangnya
dana bantuan luar negeri yang selama ini menjadi tumpuan OMS dan OBM
dalam penyediaan layanan di lapangan akan menjadi tantangan yang cukup
menghambat. Pertama, tidak mudah bagi OMS dan OBM untuk menerima
dana dari pemerintah terbentur regulasi terkait proses administrasi
keuangan negara dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, adanya
keterbatasan kapasitas OMS dan OBM dalam pengelolaan dana kegiatan
mereka terutama dalam hal akuntabilitas dan pelaporan keuangan. Ketiga,
sulit untuk menjalin komunikasi yang harmonis antara pemerintah, OMS,
dan OBM karena perbedaan ideologi antara institusi yang satu dengan
lainnya.

OPSI KEBIJAKAN
Pengelolaan dana penanggulangan HIV dan AIDS mencakup penentuan dan
mobilisasi sumber pendanaan, pengalokasian dan distribusi dana yang
tersedia. Peran pengelolaan dana selama ini didominasi oleh pemerintah
pusat dan mitra pembangunan internasional, dengan peran yang minim
dari pemerintah daerah. Sesuai dengan strategi yang akan dikembangkan

oleh KPAN dalam mempersiapkan transisi ke pola pendanaan yang lebih
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

mengandalkan sumber dalam negeri setelah 2017, maka pengelolaan
pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS perlu diintegrasikan ke dalam
sistem umum pengelolaan dana sektor kesehatan. Konsep integrasi secara
umum merujuk pada pengaturan organisasional dan pengelolaan yang
ditujukan untuk mengadopsi sebuah inovasi dalam upaya pembangunan
kesehatan, kerja sama, kemitraan, layanan yang berkelanjutan dan
terkoordinasi, penyesuaian-penyesuaian, jaringan atau hubungan antar
program (Shigayeva et al., 2010; Coker et al., 2010).
Integrasi dalam aspek pengelolaan dana ke dalam sistem yang ada diyakini
dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan sebuah
program kesehatan. Keputusan Presiden (Keppres) No. 75 Tahun 2006,
Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat
(Permenkokesra) Tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 20 Tahun 2007, Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 21 Tahun 2013 dan sejumlah peraturan daerah di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan payung hukum guna
mengintegrasikan penanggulangan AIDS ini ke dalam sistem perencanaan

dan penganggaran yang berlaku. Dalam kenyataannya, aturan dan regulasi
normatif tidak mudah dilaksanakan karena keputusan perihal
pengintegrasian ini tergantung pada dinamika dan interaksi antar aktor
baik yang berada dalam lingkup program penanggulangan HIV dan AIDS
maupun sektor kesehatan lainnya atau di tingkat pemerintah daerah (HCPI,
2013; Atun, 2010). Sesuai dengan mandat yang Keppres No. 75 Tahun
2006, KPA tingkat Nasional, Provinsi dan Daerah merupakan ruang untuk
mempertemukan berbagai aktor penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia sehingga mereka dapat berperan secara strategis dalam
mendorong terwujudnya integrasi ini. Meskipun demikian, peran ini dapat
dilakukan oleh KPA dengan mempertimbangkan aspek kepemimpinan,
legitimasi kelembagaan dan akuntabilitas di dalam tata kelola
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Implikasi dari peran ini adalah
perlunya lembaga-lembaga KPA di tingkat nasional dan daerah untuk
direvitalisasi agar mampu mendorong integrasi program HIV dan AIDS ini
ke dalam sistem kesehatan Indonesia.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

STRATEGI IMPLEMENTASI

Beberapa strategi yang harus dilaksanakan agar integrasi pengelolaan dana
penanggulangan HIV dan AIDS ini bisa berjalan, diantaranya adalah:




Merumuskan kembali kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan
pembagian kewenangan pemerintahan yang diatur dalam UndangUndang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perumusan kewenangan ini merupakan suatu syarat penting agar
semangat kedaulatan dan kebangsaan selain desentralisasi dalam
penanggulangan HIV dan AIDS ini dapat terwujud. Berdasarkan
kewenangan ini, maka skema pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS
dapat dikembangkan untuk masing-masing tingkat pemerintahan
sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas keuangan di masing-masing
daerah.
Masih banyak daerah yang belum memprioritaskan sektor kesehatan di
dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerahnya. Hal
ini dapat dilihat dari minimnya alokasi anggaran untuk sektor kesehatan
yang saat ini jumlahnya masih dibawah 10% dari jumlah Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar komponen gaji seperti
diamanatkan dalam UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 171 Ayat 2.
Peningkatan alokasi dana kesehatan di tingkat daerah perlu
ditingkatkan hingga minimal 10% dari APBD di luar gaji sehingga dapat
memberikan ruang yang lebih besar bagi program penanggulangan HIV
dan AIDS untuk memperoleh pendanaan dari pemerintah daerah
karena program ini merupakan bagian dari pembangunan kesehatan
yang wajib dilakukan oleh pemerintah daerah. Sementara bagi
pemerintah daerah yang sudah mengalokasikan 10% atau lebih dana
untuk sektor kesehatan
dapat mengalokasikan dana bagi
penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan situasi epidemiologi
daerahnya. Adalah penting bagi pemerintah daerah untuk membangun
atau memperkuat ketersediaan data epidemiologis di tingkat lokal
sehingga memudahkan daerah tersebut dalam menentukan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

perencanaan dan penganggaran daerahnya. Pengumpulan data
epidemiologis melalui survei biologis dan perilaku yang telah
dilaksanakan selama ini lebih banyak dilakukan dan dimiliki oleh
pemerintah pusat.


Mengarusutamakan HIV dan AIDS sebagai sebuah permasalahan
kesehatan yang tidak dapat dipisahkan dari permasalahan sosial yang
lain yang ditangani oleh sektor-sektor lain. Dalam RPJMN 2015-2019
dinyatakan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan
upaya lintas sektoral sehingga perlu adanya integrasi program
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem perencanaan dan
penganggaran baik di sektor kesehatan maupun sektor lainnya.
Meskipun demikian, hal ini akan sulit dilakukan jika sektor-sektor lain
dalam lingkup pemerintah daerah tidak sensitif dan membiarkan
integrasi isu-isu HIV dan AIDS ke dalamnya. Hal ini tergambar dalam
kutipan berikut:
͞Kalau untuk dianggarkan di APBD pasti selalu dilihat tupoksi. Jadi kita
misalnya di Dinas Sosial, begitu mereka lihat ada kata-kata HIV, mereka
langsung bilang mengapa kalian urusi masalah kesehatan (yang bukan
tupoksi). Jadi ini yang susah karena kalaupun kita tunjukkan bahwa ini ada
aturannya, seperti Perpres 75 ada Permendagri 2007 itu yang menyebutkan
ada pasal-pasalnya untuk wajib dianggarkan, tapi Bappeda dan juga DPRD
selalu mengatakan penganggaran berbasis tupoksi.͟ (DKT, Dinas Sosial Kota
Makassar)

Bahkan ketika sudah ada komitmen politik untuk memberikan alokasi
anggaran bagi penanggulangan AIDS di daerah, masih diperlukan upaya
advokasi dari KPAD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) secara
terus-menerus untuk memastikan alokasi ini bisa direalisasikan. Oleh
karena itu perlu adanya kepemimpinan dan legitimasi yang kuat dari
KPAD agar mampu mengelola integrasi penanggulangan AIDS ke dalam
perencanaan dan penganggaran daerah.


Pengelolaan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS perlu
memperhatikan proporsi alokasi yang efektif dan efisien antara
program-program promosi atau pencegahan dan perawatan atau
pengobatan serta mitigasi dampak. Demikian juga perlu diperhatikan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

ketepatan dalam mengalokasikan dana untuk kegiatan pada masingmasing program. Kontribusi pemerintah pusat sangat mendominasi
program perawatan dan pengobatan khususnya penyediaan ARV (79%
dari pembelanjaan pemerintah pusat pada tahun 2012), sementara
alokasi untuk program pencegahan lebih banyak ditanggung oleh mitra
pembangunan internasional (46% dari pembelanjaan pada tahun 2012)
dan pemerintah daerah (47% dari pembelanjaan pemerintah daerah).
Meskipun sudah berfokus pada program pencegahan, akan tetapi
alokasi kegiatan tersebut belum mampu untuk meningkatkan cakupan
program mengingat dana lebih banyak digunakan untuk kegiatan
sosialisasi dan pelatihan. Alokasi dana untuk program mitigasi hampir
tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah karena
hingga tahun 2012 dana yang dibelanjakan untuk program ini hanya
sedikit di atas 3%. Dalam pelaksanaannya, alokasi dan distribusi
kebutuhan pendanaan ini perlu mempertimbangkan situasi politik,
ekonomi, hukum dan epidemi HIV di masing-masing daerah karena
situasi-situasi tersebut lebih dominan dalam menentukan sustainability
(keberlanjutan), opportunity (kesempatan) dan desirability (harapan)
dari integrasi sebuah program kesehatan ke dalam sistem yang lebih
besar.


Salah satu arah kebijakan RPJMN 2015-2019 adalah upaya reformasi
yang berfokus pada penguatan upaya kesehatan dasar yang berkualitas
melalui upaya promotif dan preventif sehingga pemerintah secara
eksplisit harus mengupayakan sumber dan alokasi pendanaan untuk
pencegahan penularan HIV di daerah. Hal ini menjadi penting untuk
dilakukan karena upaya pencegahan selama ini juga dilakukan oleh
OMS dan OBM. Namun demikian, mereka tidak memiliki akses kepada
pendanaan pemerintah. Pendanaan yang mereka dapatkan melalui
mekanisme bantuan sosial tidak akan mencukupi kebutuhan lapangan
karena adanya berbagai pembatasan dalam mekanisme tersebut,
khususnya perihal penyediaan layanan yang berkelanjutan.
Terobosannya adalah melaksanakan program-program melalui
mekanisme pemerintah yakni kontrak kinerja bagi kelompok
masyarakat sipil untuk melaksanakan program pencegahan HIV dan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

AIDS di daerah tertentu, seperti halnya sebuah kontraktor yang dibayar
untuk menyelesaikan konstruksi tertentu milik pemerintah daerah.
Namun upaya ini perlu dibarengi dengan alokasi pendanaan untuk
peningkatan kapasitas masyarakat sipil agar siap dan secara hukum
memenuhi syarat untuk berpartisipasi sebagai peserta lelang pada
instansi-instansi pemerintah terkait. Untuk itu perlu ada suatu
terobosan dalam hal regulasi yang memungkinkan masyarakat sipil
untuk memperoleh pendanaan dari pemerintah daerah agar bisa
melanjutkan upaya pencegahan baik pada populasi kunci maupun
masyarakat umum.
Sejak munculnya epidemik HIV di Indonesia, organisasi-organisasi mitra
pembangunan internasional telah berinvestasi pada program-program
pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil di berbagai daerah
dan investasi ini telah terbukti efektif dalam mendorong perubahanperubahan perilaku dan perilaku pencarian bantuan kesehatan pada
populasi yang marjinal secara sosial maupun ekonomi. Jika upaya
pencegahan melalui keterlibatan kelompok masyarakat sipil ini
dilanjutkan maka akan berimplikasi positif yaitu pada menurunnya
biaya perawatan dan pengobatan ODHA secara keseluruhan.


Sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019 dan sejalan dengan
semangat reformasi untuk meningkatkan kualitas dan akses pelayanan
kesehatan melalui jaminan kesehatan, optimalisasi pemanfaatan skema
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk perawatan dan pengobatan
bagi ODHA menjadi sama pentingnya dengan upaya untuk memastikan
kualitas hidup mereka. Hingga saat ini masih banyak kendala struktural,
administratif, dan teknis bagi ODHA atau kelompok marjinal lainnya
dalam memanfaatkan JKN yang harus ditangani di tingkat regulasi dan
di lapangan.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM

DAFTAR PUSTAKA
Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. (2010). Integration of targeted health
interventions into health systems: a conceptual framework for analysis. Health Policy
and Planning, (November 2009), 104–111. doi:10.1093/heapol/czp055.
Coker, R., Balen, J., Mounier-jack, S., Shigayeva, A., Lazarus, J. V, Rudge, J. W., Atun, R.
(2010). A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case
studies: HIV and TB control programmes and health systems integration. Health
Policy and Planning, 25, 21–31. doi:10.1093/heapol/czq054.
HCPI. (2012). Institutional Assessment and Development – AIDS Response in Indonesia
(pp. 1–94).
Shigayeva, A., Atun, R., Mckee, M., & Coker, R. (2010). Health systems, communicable
diseases and integration. Health Policy and Planning, 25, 4–20.
doi:10.1093/heapol/czq060.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM