Buya AR Sutan Mansur

Buya AR Sutan Mansur
Ideolog Muhammadiyah
Buya AR Sutan Mansur sebagai seorang yang telah kenyang asam-garam dalam melaksanakan
gerakan Muhammadiyah amat sangat mengerti ruh Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA
Dahlan. KHA Dahlan sendiri yang mengenalkan gerakan Muhammadiyah kepada Buya AR
Sutan Mansur. Karenanya, dalam setiap kesempatan meski ia tak memegang lagi pimpinan
Muhammadiyah, ia selalu menekankan anggota Muhammadiyah untuk memiliki ruh
Muhammadiyah. Karena kesungguhannya dalam memegang ruh Muhammadiyah ini, Buya
HAMKA yang juga adik iparnya, menyebut Buya AR Sutan Mansur sebagai seorang ideolog
Muhammadiyah.
Setelah malang melintang menyebarkan ide-ide Muhammadiyah ke seantero Nusantara, Buya
AR Sutan Mansur diberi kepercayaan untuk memimpin Muhammadiyah. Ia terpilih sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah untuk pertama kalinya dalam. Kongres Muhammadiyah
ke-32 di Banyumas Purwokerto pada tahun 1953. Ini berarti ia dikukuhkan sebagai Ketua PB
Muhammadiyah periode tahun 1953-1956. Oleh karena itu, ia pun pindah ke Yogyakarta.
Padahal sebelumnya ia menolak ketika diminta berulangkali untuk pindah dari Bukiittinggi ke
Jakarta untuk dijadikan pejabat. Ia lebih cinta kepada dunianya, dunia tabligh dan dunia
Muhammadiyah.
Buya AR Sutan Mansur menjadi Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode. Setelah
memimpin Muhammadiyah pada periode 1953-1956, pada kongres berikutnya yaitu Kongres
Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB

Muhammadiyah periode 1956-1959. Ini menjadikannya untuk bertekad bulat dalam pemulihan
ruh Muhammadiyah yang memang hampir menipis.
Karenanya, dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh Muhammadiyah di kalangan
warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal,
pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji,
menanam roh tauhid dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah
(tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap
waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk
mengharap rahmat, melatih puasa sunat Senin dan Kamis juga pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap
bulan Islam sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan
taqwa. Di samping itu ia juga mengupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan
anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara majelis dengan cabang atau ranting
banyak diselenggarakan.
Dalam periode kepemimpinannya pula, Muhammadiyah berhasil merumuskan khittahnya tahun
1956-1959 atau yang popular dengan Khittah Palembang, yaitu:
1. Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan
mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’,
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan
Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggungjawab;
2. Melaksanakan uswatun hasanah;

3. Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi;
4. Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak;
5. Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader;

6. Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk
mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan; dan
7. Menuntun penghidupan anggota.
Meskipun setelah 1959 tidak lagi menjabat ketua, Sutan Mansur yang sudah mulai udzur tetap
menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia meski jarang
sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah akan tetapi ia
tetap menjadi guru oengajian keluarga Muhammadiyah.
Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa
tulisannya yang antara lain berjudul Jihad; Seruan kepada Kehidupan Baru; Tauhid Membentuk
Kepribadian Muslim; dan Ruh Islam nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling
lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan
dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan
keterangan al-Qur’an sendiri dan hadits.
Sebagai seorang yang mempunyai pengetahuan agama mumpuni, Buya AR Sutan Mansur
banyak diminta berbagai kalangan untuk menjadi penasehat dalam bidang agama, baik itu
perorangan maupun institusi. Ketika Bung Karno diasingkan ke Bungkulu pada tahun 1938,

Sutan Mansur menjadi penasehat agama Islam bagi Bung Karno. Karenanya tidak mengherankan
jika kemudian, Bung Karno, pada waktu itu, aktif dalam Muhammadiyah menjadi pengurus
Bagian Pendidikan. Dalam keadaan ini pula, kemudian Bung Karno bertemu dengan Fatmawati,
anak tokoh Muhammadiyah Bengkulu, yang akhirnya diperistri dan salah satu anaknya adalah
Megawati Sukarno Putri, Presiden RI saat ini.
Karena kemampuannya dalam bidang agama ini pula, Buya AR Sutan Mansur sejak tahun 1947
sampai 1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta diangkat menjadi Imam atau Guru Agama
Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi
dengan pangkat Mayor Jendral Tituler. Tugas ini ia laksanakan dengan baik dan penuh
tanggungjawab.
Karenanya, setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI
Angkatan Darat, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan
itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka
Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno pun memintanya lagi menjadi Penasehat
Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan
itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus
berhijrah ke Jakarta.
Sebagaimana tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya di masa perjuangan kemerdekaan, Buya AR
Sutan Mansur tidak bisa melepaskan diri dari dunia politik. Karena ketokohannya di masyarakat,
pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang

anggota Tsuo Sang Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat.
Demikian pula pada masa awal-awal kemerdekaan. Sebagaimana umumnya warga
Muhammadiyah, dalam berpolitik pun Buya AR Sutan Mansur aktif dalam Masyumi. Karena
kemampuannya beragama dan ketokohannya ini pula, dalam Kongres Masyumi tahun 1952, ia
diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Pada saat pemilihan umum 1955, ia
terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari
Masyumi sejak Konstitunate berdiri sampai dibubarkannya oleh Presiden Soekarno. Tahun 1958
ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, ia
pun berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan

kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya
sendiri tidak terlalu besar.
Buya H Ahmad Rasyid Sutan Mansur akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 25 Maret
1985 yang bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Ia
meninggalkan kesan yang mendalam pada warga Muhammadiyah. Sang ulama, da’i,
pendidik,dan pejuang kemerdekaan ini setiap hari Ahad Pagi senatiasa memberikan pelajaran
agama terutama tentang Tauhid di Ruang Pertemuan Gedung Muhammadiyah jalan Menteng
Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum Buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir,
Jakarta Selatan setelah disahalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
Terhadap peran-peran yang dilakukan Buya AR Sutan Mansur., beberapa tokoh mengungkapkan

penting dan kecermelangan tokoh yang satu ini. Buya Hamka menyebutnya sebagai ideolog
Muhammadiyah dan M Yunus Anis dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan,
bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang. Bintang Timur adalah KH Mas Mansur dari
Surabaya, Ketua PP Muhammadiyah 1937-1943 dan Bintang Barat adalah AR Sutan Mansur dari
Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.(eff).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004