Buya AR Sutan Mansur

, Buya AR Sutan Mansur ,
Perkawinan Pembaharuan Muhammadiyah dan Minangkabau
Muhammadiyah dilahirkan di Yogyakarta dan dibesarkan di Minangkabau. Pernyataan ini sering
kita dengar, bahkan sejumlah simpatisan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan mengira
Muhammadiyah itu berasal dari Kauman Padangpanjang, bukan Kauman Yogyakarta. Karena
memang yang menyebarluaskan Muhammadiyah di tempat ini adalah orang-orang dari tanah
Minang. Terlebih ide-ide pembaharuan Islam itu banyak lahir dari Ranah Minang. Dari Tanah
Minang ini pula Muhammadiyah menyebar ke seantero Sumatera. Kondisi ini tidak bisa kita
pisahkan dari sosok Buya AR Sutan Mansur.
Dari ide-ide pembaharuan Islam yang ia pelajari sejak kecil di Minangkabau, Buya AR Sutan
Mansur ternyata merasa tertarik dengan Gerakan Muhammadiyah yang dilahirkan oleh KH
Ahmad Dahlan dari Kauman Yogyakarta. Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang
dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di
Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah
dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat
ummat Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain.
Di samping itu, Buya AR Sutan Mansur juga menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak
hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara
detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan
membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah di
Pekalongan menyembelih qurban seuasai menunaikan Shalat Idul Adha dan membagibagikannya pada fakir miskin.

Pada tahun 1923, ia menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua
pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihakpihak yang tidak suka dengan keberadaan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah
Cabang Pekajangan, Kedungwuni, di samping tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru
agama.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di
Ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk
memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau.
Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap
para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan
baik dan mengalami perkembangan pesat. Bahkan terdapat jok di kalngan aktivis
Muhammadiyah di Minangkabau, jika bayi lahir di Indonesia ini umumnya lahir sudah Islam
tetapi di Ranah Minang bayi lahir tidak hanya sudah Islam tetapi juga Muhammadiyah.
Dalam hal mengembangkan gerakan Muhammadiyah, Buya AR Sutan Mansur tidak hanya
berhenti di tanah kelahirannya Minangkabau saja tetapi juga keluar Minangkabau. Pada tahun
1927 bersama Fachruddin, ia melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan
dan Aceh. Melalui kebijaksanaannya dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang
berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat
didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai dan Amuntai. Dengan
demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau

Jawa.

Selain dalam Muhammadiyah, Sutan Mansur—sebagaimana Ahmad Dahlan—pada dasawarsa
1920an hingga 1930an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS Tjokroaminoto
dan H Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih
Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota
Muhammadiyah.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di
setiap karisedenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul
Muhammadiyah. Oleh karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul
Muhammadiyah (sekarang Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) daerah Minangkabau yang
meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan sejak masuknya Jepang
ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar
Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.
Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan
memimpin Kulliyyah al-Mubalighin Muhammadiyah di Padangpanjang, tempat membina
mubaligh kelas atas. Di sini dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang
menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar.
Kelak mubaligh-mubaligh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari
Yogyakarta dalam menggerakkan roda Persyarikatan Muhammadiyah. Ia oleh Konsul-konsul

daerah lain di Sumatera dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera. (eff)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004