Prosedur Penelitian Tindakan Kelas TP

(1)

Prosedur Penelitian Tindakan Kelas

1

Oleh Nugroho2

a. Pengantar

Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan hasil TIMMS menunjukkan bahwa kemampuan matematik siswa Indoensia di bawah level satu, demikian juga hasil pengukuran yang dilakukan PISA menunjukkan hal yang sama yakni siswa Indonesia kemampuan matematiknya rendah, kemampuan membacanya juga rendah. Akibatnya banyak lulusan yang tidak mampu berasing di pasar kerja dan tidak mampu membukan lapangan kerja secara mandiri. Mengacu pada pemahaman bahwa pendidikan sebagai sistem, maka diantara berbagai komponen dalam sistem pendidikan tersebut; kepala sekolah merupakan faktor sentral yang memiliki peran strategis dalam menentukan keberhasilan sekolah. Dalam semua literatur manajemen pendidikan dikatakan bahwa kemajuan sekolah antara lain ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah dalam memainkan peran kepemimpinan dan supervisi. Bagaimana kepala sekolah dan pengawas (supervisor) memainkan peran masing-masing secara efektif akan menjadi determinan faktor bagi keberhasilan sekolah.

1 Naskah disajikan dalam Forum Fasilitasi Penelitian Tindakan Kelas Guru SMA/SMK Propinsi

Jawa Tengah Tahun Anggaran 2013;


(2)

Atas dasar pemikiran tersebut maka penting bagi setiap kepala sekolah dan juga pengawas untuk mampu sedini mungkin mengidentifikasi masalah-masalah manajemen sekolah yang menjadi hambatan bagi tercapainya kinerja sekolah yang optimal.

Penelitian tindakan sekolah merupakan salah satu wujud upaya kepala sekolah - pengawas sekolah untuk memperbaiki kemampuannya dalam merancang dan mengelola proses pengelolaan sekolah yang kondusif bagi siswa agar dapat melejitkan potensi yang dimiliki.

Ringkasnya penelitian tindakan sekolah, merupakan upaya kepala sekolah - pengawas sekolah untuk memperbaiki kinerja pengelolaan sekolah sehingga bisa meningkatkan kualitas belajar mengajar di sekolah. Namun di negeri ini tujuan dan prinsip dasar penelitian tindakan sekolah telah direduksi oleh para kepala sekolah -pengawas sekolah menjadi sebatas kegiatan administratif untuk mengejar kenaikan pangkat dan sertifikasi. Akibatnya banyak sekali karya-karya penelitian tindakan sekolah yang sumbangannya terhadap peningkatan kualitas pengelolaan sekolah lemah, atau bahkan kurang bermakna.

b. Rumusan Masalah

Mencermati realitas empiric yang ada maka dapat dirumuskan dua masalah penting terkait dengan penelitian tindakan sekolah:

 masih banyak kepala sekolah - pengawas sekolah yang kurang paham dasar filosofis penelitian tindakan sekolah


(3)

 masih banyak kepala sekolah - pengawas sekolah yang lemah dalam melaksanakan penelitian tindakan sekolah sesuai

prosedur ilmiah yang disyaratkan sebuah PTK

c. Pembahasan

1. Filosofi PTK

Proses pengelolaan sekolah merupakan proses yang kompleks dan dinamis yang terus berubah setiap waktu baik yang terkait dengan subyek didik (siswa), guru, orangtua siswa, maupun subyek matter (konten materi pelajaran), perubahan regulasi dan sejenisnya sehingga membutuhkan pendekatan, strategi dan metode yang berbeda. Prinsip dasar PTK adalah upaya perbaikan kualitas pengelolaan sekolah yang akan bermuara pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah (teaching – learning quality). Jika kualitas pengelolaan sekolah meningkat maka oragnisasi sekolah akan sehat, dan jika organisasi sekolah sehat maka akan mampu menampilkan kinerja yang efektif dan efisien mencapai visi misi sekolah. Oleh karenanya PTK diniatkan untuk mencari pemecahan masalah yang dialami oleh kepala sekolah - pengawas sekolah dalam meingkatkan kinerja sekolah.

PTK berfokus pada apakah di sekolah ada masalah, apa masalah yang muncul di sekolah sehingga guru dan siswa tidak bisa menampilkan potensinya secara optimal, apa solusi yang relevan dengan kondisi sekolah saat itu. Jadi masalah yang menjadi fokus kajian dalam PTK bukan bersumber dari lain tempat melainkan


(4)

bersumber dari sekolah dimana kepala sekolah - pengawas sekolah menjadi fasilitator pengelolaan sekolah yang baik. Fokus perhatian PTK adalah masalah riil, bukan masalah yang dibangun atas dasar ”wacana’ atau ”isu”; melainkan harus benar-benar realitas yang dialami kepala sekolah - pengawas sekolah dalam mengelola dan memfasilitasi (mensupervisi) kinerja guru dan siswa di sekolah. Dalam konteks ini kepala sekolah - pengawas sekolah harus memiliki kesadaran kritis bahwa profesi kepala sekolah - pengawas sekolah adalah profesi intelektual, sehinga ketika dia menghadapi masalah maka harus mampu mencari solusi dengan basis intelektual – kajian ilmiah.

PTK adalah contoh kegiatan intelektual – ilmiah yang dilakukan kepala sekolah - pengawas sekolah dalam mencari pemecahan masalah dengan menempuh prosedur dan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Filosofi yang terkandung dalam PTK sejatinya adalah ”refleksi diri” seorang kepala sekolah - pengawas sekolah dalam menjalankan tanggungjawab profesional yang senantiasa ingin terus mencapai kesempurnaan dalam melayani guru, orangtua (masyarakat) dan muridnya. Sebagaimana lazimnya kegiatan riset ilmiah maka dalam PTK kepala sekolah - pengawas sekolah dituntut mampu merumuskan masalah atas dasar pengamatan empirik yang didukung dengan kajian teoritik yang mutakhir dan valid.


(5)

Awal dari PTK adalah kajian kritis atas praksis pengelolaan sekolah yang dilakukan kepala sekolah - pengawas sekolah. Kepala sekolah - pengawas sekolah harus mampu melakukan kajian kritis terhadap apa yang dicapai dalam pengelolaan sekolah yang dipimpinnya. Masalah-masalah yang muncul dalam praksis pengelolaan sekolah harus dikaji secara secara kritis merujuk pada berbagai teori utama dan best practices yang sudah pernah dilakukan oleh pihak lain. Hasil kajian terhadap masalah-,masalah tersebut lantas direfleksikan untuk mendapatkan hipotesis tindakan yang akan dicobakan sebagai pemecahan masalah.

Kekuatan PTK terletak pada ketajaman kepala sekolah -pengawas sekolah dalam menemukan dan memformulasikan masalah; kecermatan dalam memilih alternatif pemecahan masalah yang bertumpu pada kajian teori yang akurat, valid dan komprehensif serta keterlibatan para kepala sekolah - pengawas sekolah sebagai sebuah kolega dan komunitas pembelajar dalam membantu melakukan observasi dan refleksi.

Sebagaimana lazimnya suatu pemecahan masalah tentu tidak ada model pemecahan masalah yang instan melainkan perlu beberapa tahap dan siklus perbaikan. Demikian juga dalam PTK ada sejumlah prosedur atau tahapan yang harus ditempuh dan sifatnya siklik. Berikut ini disajikan langkah-langkah pokok yang ditempuh pada siklus pertama dan siklus-siklus berikutnya adalah sebagai berikut.


(6)

(2) Perencanaan tindakan (3) Pelaksanaan tindakan

(4) Pengumpulan data (pengamatan/observasi) (5) Refleksi (analisis, dan interpretasi)

(6) Perencanaan tindak lanjut.

Untuk lebih jelasnya, rangkaian kegiatan dari setiap siklus dapat dilihat pada gambar berikut.


(7)

Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam sekolah sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan melalui tindakan yang akan dilakukan. PTK juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan nyata kepala sekolah - pengawas sekolah dalam pengembangan profesinya. Tujuan khusus PTK adalah untuk mengatasi berbagai persoalan nyata guna memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses pengelolaan sekolah. Secara lebih rinci tujuan PTK antara lain:

(1)Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pengelolaan sekolah yang dipimpimnya.

(2)Membantu kepala sekolah - pengawas sekolah dan tenaga kependidikan lainnya dalam mengatasi masalah pengelolaan sekolah dan pendidikan di dalam dan luar sekolah.

(3)Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan.

(4)Membangun dan menumbuhkembangkan tradisi ilmiah serta budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan/pengelolaan sekolah secara berkelanjutan.


(8)

a. Pada Tingkat Penyusunan Proposal

Kesalahan prosedur yang sering dilakukan para peneliti dalam menyusun proposal antara lain adalah:

 Pada bagian latar belakang masalah tidak mampu mendeskripsikan secara rinci dan meyakinkan bahwa secara obyek ontologis masalah penelitian yang hendak diteliti itu benar-benar ada. Kelemahan umum para peneliti adalah pada ketidakmampuan menampilkan adanya gap (kesenjangan) antara kondisi riil (data awal yang sesungguhnya) dengan kondisi ideal (kerangka teoritikyang menjadi acuan) . Kegagalan dalam menampilkan gap antara realitas di sekolah dengan kondisi ideal dalam teori ini menjadikan “kehadiran” masalah terkesan “mengada-ada” atau kurang meyakinkan.

 Pemilihan pemecahan masalah (biasanya berbagai

metode) seringkali kurang dilandasi argument yang kuat atas kajian teori dan data awal sebagai pendukung yang komprehensif. Umumnya mereka hanya membaca dari laporan PTK orang lain lantas ditiru dengan berbagai modifikasi. Hal ini sangat tidak memadai untuk benar-benar melakukan perbaikan kualitas pengelolaan sekolah; PTK seperti ini hanya cocok untuk kepala sekolah


(9)

-pengawas sekolah yang karakternya adalah “kepala sekolah pengawas sekolah buser” (kepala sekolah -pengawas sekolah pemburu sertifikasi)

 Kajian pustaka. Banyak sisi lemah dalam membuat kajian pustaka. Sepertinya kurang dipahami apa makna kajian pustaka atau untuk apa dilakukan kajian pustaka. Kajian pustaka mestinya dijadikan pijakan dalam menjelaskan variable yang diteliti dan menjelaskan kenapa rencana pemecahan masalah tertentu menjadi pilihan (dianggap cocok). atas dasar pemikiran tersebut maka kajian pustaka menjadi pijakan dalam merumuskan hipotesis tindakan yang akurat. Umumnya para peneliti miskin bacaan dan tidak menempatkan kajian pustaka sebagai mana paparan diatas. Bahkan banyak kepala sekolah - pengawas sekolah yangh tampak “miskin’ bahan bacaan sehingga sering emnggunakan buku-buku yang sudah kedaluwarsa, tidak relevan,

 Prosedur pelaksanaan tindakan. Pada fase ini dalam

penulisan proposal mestinya dibuat serinci dan sedetail mungkin scenario pelaksanaan tindakan tahap demi tahap.


(10)

Penyusunan alat pengumpul data. Para peneliti TK seringkali menulis bahwa alat pengumpul data yang digunakan adalah Observasi dan Studi Dokumentasi (ini yang paling sering saya jumpai). tapi sayangnya mereka ini tidak bisa menyusun pedoman observasi yang rigit, akurat dan fokus pada obyek apa yang akan diobservasi, dimana dan kapan. Umumya pedoman observasi dibuat secara global (kurang detail) sehingga potensial menghasilkan data hasil observasi kurang kredibel. Dalam hal penyusunan alat pengumpul data baik itu Observasi ataupun Studi Dokumentasi umumnhya peneliti juga lemah dalam menentukan skoring dan kriteria keberhasilan; lagi-lagi hal ini terkait dengan kejernihan dan katajaman dalam memilih kajian pustaka.

Prosedur Pengumpulan data. Pada tahap ini pertanyaan

krusial yang harus dijawab para peneliti adalah bagaimana data digali dan dikumpulkan. Jika menggunakan observasi misalnya, maka harus jelas aspek apa yang diobservasi, bagaimana intensitas dan frekuensi kemunculan dari aspek yang diobservasi itu terjadi. Yang tidak kalah pentingnya adalah konteks kapan dan dimana observasi dilakukan. Jika konteknya dalam situasi pengelolaan sekolah maka perlu


(11)

siswa, jika perhatian siswa yang diteliti) dan frekuensi observasi nya seperti apa. Di lain pihak jika yang digunakan adalah Studi Dokumentasi misalnya hasil pekerjaaan siswa maka peneliti perlu mencermati secara detail kualitas pekerjaan siswa, jenis kesalahan dalam pekerjaan itu sehingga bisa dibuat kategorisasi kesalahan dan dilanjutkan pada distribusi frekuensi kesalahan. Pada umumnya kepala sekolah - pengawas sekolah sebagai peneliti tidak sampai detail seperti itu tapi hanya berhenti pada berapa persen derajad ketuntasan siswa di sekolah tanpa melacak dimensi hermeunetiknya. Akibatnya data yang dihasilkan data sangat mentah dan sulit dipercaya.

c. Pada Tingkat Analisis. PTK tidak membutuhkan analisis data yang terlalu canggih seperti regresi ganda dan sejenisnya apalagi LISREL, SEM. PTK hanya membutuhkan analisis distribusi frekuensi sebaran kurve normal. Namun inipun banyak yang sering mengabaikan tolok ukur yang akan digunakan untuk mengolah dan menginterpretasikan hasil analisis data. menentukan kriteria keberhasilan untuk setiap variabel, setiap indikator perilaku atau prestasi (jika variabel yang diteliti adalah prestasi belajar siswa). Harus ditetapkan lebih dulu berdasarkan teori dan acuan statistik indikator-indikator keberhasilan masing-masing variabel yang diteliti.


(12)

d. Pada Tingkat Pembahasan Hasil. Lazimnya para peneliti melakukan pembahasan hasil dengan cara yang sangat rancu; yakni memindahkan angka-angka hasil peningkatan setiap siklus kemudian dinarasikan. Padahal, maksud pembahasan hasil adalah mempertajam hasil-hasil temuan, bukan sekedar pengulangan dari tampilan data kemudian dinarasikan. Membahas artinya mendiskusikan hasil temuan dengan berbagai teori yang terkait ataupun hasil-hasil temuan dari penelitian sejenis (atau yang agak mirip) yang sudah pernah diteliti pihak lain sebelumnya. Pembahasan yang komprehensif akan dapat meyakinkan penelti ataupun pembaca laporan peneltiian bahwa temuan-temuan yang dihasilkan memang kredibel sehingga dapat dirumuskan kesimpulan yang sahih dan tajam. Atas dasar simpulan yang sahih dan tajam itulah nantinya penbeliti dapat merumuskan rekomendasi yang tepat.

4. Rekomendasi. Kesesatan yang sering terjadi dalam menyusun rekomendasi adalah merekomendasikan sesuatu yang berdada di luar konteks masalah yang dipecahkan dalam penelitian. Misalnya, yang diteliti adalah peningkatan motivasi siswa tapi keluar rekomendasi tentang perbaikan sarana prasarana sekolah. Padahal PTK yang disusun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengkaji masalah sarana prasarana sekolah. Hal semacam ini sering kurang


(13)

5. Penutup

Secara konseptial maupun secara empirik, PTK sejatinya memiliki kekuatyan yang hebat untuk membantu gru meningkakan kinerja profesional yang dampaknya adalah pencapaian prestasi para siswa. Namun di Indonesia, PTK seringkali direduksi menjadi sebatas kegiatan administrasi yang dimaksudkan untuk mengejar kredit point mencari kenaikan pangkat dan sertifikasi.

Sisi lain yang menjadikan PTK kurang bermakna adalah masih lemahnya kepala sekolah - pengawas sekolah dalam memahami peran dan tanggungjawabnya sebagai orang profesional. Hal ini dapat dilihat dari masih ”malasnya’ para kepala sekolah - pengawas sekolah dalam melakukan kegiatan PTK secara sungguh-sungguh. Kebanyakan dari mereka hanya mencari contoh laporan PTK dari pihak lain lantas disadur dengan sedikit merubah topik. Kepala sekolah - pengawas sekolah juga masih jarang yang secara gigih membaca buku-buku referensi yang mutakhir sehingga ketika merumuskan alterantif pemecahan masalah benar-benar punya argumen ilmiah yang mantap.

Kepala sekolah - pengawas sekolah Indonesia masih terjebak pada urusan-urusan artificial (kulit-kulit luar) seperti masalah seragam baju, upacara-upacara dan berbagai seremoni yang sering mengorbankan jam efektif pengelolaan sekolah. PTK diharapkan mampu mengatasi hal-hal di atas sehingga kinerja profesional kepala


(14)

sekolah - pengawas sekolah meningkat . Tentu saja para kepala sekolah - pengawas sekolah harus melaksanakan PTK dengan prosedur yang benar.


(1)

pengawas sekolah yang karakternya adalah “kepala sekolah pengawas sekolah buser” (kepala sekolah -pengawas sekolah pemburu sertifikasi)

 Kajian pustaka. Banyak sisi lemah dalam membuat kajian pustaka. Sepertinya kurang dipahami apa makna kajian pustaka atau untuk apa dilakukan kajian pustaka. Kajian pustaka mestinya dijadikan pijakan dalam menjelaskan variable yang diteliti dan menjelaskan kenapa rencana pemecahan masalah tertentu menjadi pilihan (dianggap cocok). atas dasar pemikiran tersebut maka kajian pustaka menjadi pijakan dalam merumuskan hipotesis tindakan yang akurat. Umumnya para peneliti miskin bacaan dan tidak menempatkan kajian pustaka sebagai mana paparan diatas. Bahkan banyak kepala sekolah - pengawas sekolah yangh tampak “miskin’ bahan bacaan sehingga sering emnggunakan buku-buku yang sudah kedaluwarsa, tidak relevan,

 Prosedur pelaksanaan tindakan. Pada fase ini dalam penulisan proposal mestinya dibuat serinci dan sedetail mungkin scenario pelaksanaan tindakan tahap demi tahap. b. Pada Tingkat Pelaksanaan Pengumpulan Data


(2)

Penyusunan alat pengumpul data. Para peneliti TK seringkali menulis bahwa alat pengumpul data yang digunakan adalah Observasi dan Studi Dokumentasi (ini yang paling sering saya jumpai). tapi sayangnya mereka ini tidak bisa menyusun pedoman observasi yang rigit, akurat dan fokus pada obyek apa yang akan diobservasi, dimana dan kapan. Umumya pedoman observasi dibuat secara global (kurang detail) sehingga potensial menghasilkan data hasil observasi kurang kredibel. Dalam hal penyusunan alat pengumpul data baik itu Observasi ataupun Studi Dokumentasi umumnhya peneliti juga lemah dalam menentukan skoring dan kriteria keberhasilan; lagi-lagi hal ini terkait dengan kejernihan dan katajaman dalam memilih kajian pustaka.

Prosedur Pengumpulan data. Pada tahap ini pertanyaan krusial yang harus dijawab para peneliti adalah bagaimana data digali dan dikumpulkan. Jika menggunakan observasi misalnya, maka harus jelas aspek apa yang diobservasi, bagaimana intensitas dan frekuensi kemunculan dari aspek yang diobservasi itu terjadi. Yang tidak kalah pentingnya adalah konteks kapan dan dimana observasi dilakukan. Jika konteknya dalam situasi pengelolaan sekolah maka perlu dipastikan seberapa besar intensitas (misalnya perhatian


(3)

siswa, jika perhatian siswa yang diteliti) dan frekuensi observasi nya seperti apa. Di lain pihak jika yang digunakan adalah Studi Dokumentasi misalnya hasil pekerjaaan siswa maka peneliti perlu mencermati secara detail kualitas pekerjaan siswa, jenis kesalahan dalam pekerjaan itu sehingga bisa dibuat kategorisasi kesalahan dan dilanjutkan pada distribusi frekuensi kesalahan. Pada umumnya kepala sekolah - pengawas sekolah sebagai peneliti tidak sampai detail seperti itu tapi hanya berhenti pada berapa persen derajad ketuntasan siswa di sekolah tanpa melacak dimensi hermeunetiknya. Akibatnya data yang dihasilkan data sangat mentah dan sulit dipercaya. c. Pada Tingkat Analisis. PTK tidak membutuhkan analisis data

yang terlalu canggih seperti regresi ganda dan sejenisnya apalagi LISREL, SEM. PTK hanya membutuhkan analisis distribusi frekuensi sebaran kurve normal. Namun inipun banyak yang sering mengabaikan tolok ukur yang akan digunakan untuk mengolah dan menginterpretasikan hasil analisis data. menentukan kriteria keberhasilan untuk setiap variabel, setiap indikator perilaku atau prestasi (jika variabel yang diteliti adalah prestasi belajar siswa). Harus ditetapkan lebih dulu berdasarkan teori dan acuan statistik indikator-indikator keberhasilan masing-masing variabel yang diteliti.


(4)

d. Pada Tingkat Pembahasan Hasil. Lazimnya para peneliti melakukan pembahasan hasil dengan cara yang sangat rancu; yakni memindahkan angka-angka hasil peningkatan setiap siklus kemudian dinarasikan. Padahal, maksud pembahasan hasil adalah mempertajam hasil-hasil temuan, bukan sekedar pengulangan dari tampilan data kemudian dinarasikan. Membahas artinya mendiskusikan hasil temuan dengan berbagai teori yang terkait ataupun hasil-hasil temuan dari penelitian sejenis (atau yang agak mirip) yang sudah pernah diteliti pihak lain sebelumnya. Pembahasan yang komprehensif akan dapat meyakinkan penelti ataupun pembaca laporan peneltiian bahwa temuan-temuan yang dihasilkan memang kredibel sehingga dapat dirumuskan kesimpulan yang sahih dan tajam. Atas dasar simpulan yang sahih dan tajam itulah nantinya penbeliti dapat merumuskan rekomendasi yang tepat.

4. Rekomendasi. Kesesatan yang sering terjadi dalam menyusun rekomendasi adalah merekomendasikan sesuatu yang berdada di luar konteks masalah yang dipecahkan dalam penelitian. Misalnya, yang diteliti adalah peningkatan motivasi siswa tapi keluar rekomendasi tentang perbaikan sarana prasarana sekolah. Padahal PTK yang disusun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengkaji masalah sarana prasarana sekolah. Hal semacam ini sering kurang disadari oleh peneliti seakan mengalir begitu saja.


(5)

5. Penutup

Secara konseptial maupun secara empirik, PTK sejatinya memiliki kekuatyan yang hebat untuk membantu gru meningkakan kinerja profesional yang dampaknya adalah pencapaian prestasi para siswa. Namun di Indonesia, PTK seringkali direduksi menjadi sebatas kegiatan administrasi yang dimaksudkan untuk mengejar kredit point mencari kenaikan pangkat dan sertifikasi.

Sisi lain yang menjadikan PTK kurang bermakna adalah masih lemahnya kepala sekolah - pengawas sekolah dalam memahami peran dan tanggungjawabnya sebagai orang profesional. Hal ini dapat dilihat dari masih ”malasnya’ para kepala sekolah - pengawas sekolah dalam melakukan kegiatan PTK secara sungguh-sungguh. Kebanyakan dari mereka hanya mencari contoh laporan PTK dari pihak lain lantas disadur dengan sedikit merubah topik. Kepala sekolah - pengawas sekolah juga masih jarang yang secara gigih membaca buku-buku referensi yang mutakhir sehingga ketika merumuskan alterantif pemecahan masalah benar-benar punya argumen ilmiah yang mantap.

Kepala sekolah - pengawas sekolah Indonesia masih terjebak pada urusan-urusan artificial (kulit-kulit luar) seperti masalah seragam baju, upacara-upacara dan berbagai seremoni yang sering mengorbankan jam efektif pengelolaan sekolah. PTK diharapkan mampu mengatasi hal-hal di atas sehingga kinerja profesional kepala


(6)

sekolah - pengawas sekolah meningkat . Tentu saja para kepala sekolah - pengawas sekolah harus melaksanakan PTK dengan prosedur yang benar.