NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN GENDHING JAWI.

(1)

NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN GENDHING JAWI

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1)

Filsafat Agama

OLEH: M. DWI ILHAMI

NIM: E71211039

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(2)

NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN

GENDHING JAWI

Skripsi Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Filsafat Agama

Oleh :

Mochamad Dwi Ilhami E71211039

PROGRAM STUDI FILSAFATAGAMA JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

MOTTO

฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀

฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat nama Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi

tentram.” (QS. Ar-Ra’d 13:28)


(7)

KATA PENGANTAR

Segenap puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, skripsi ini telah terselesaikan dengan lancar dan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap penyusunan.

Sholawat serta salam atas kehadirat junjungan umat manusia, baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, pembawa risalah suci yang penulis harap-harapkan syafaatnya.

Seiring dengan itu penulis sangat berterima kasih kepada kedua orang tua secara lahir dan batin, karena kesuksesan ini dapat penulis peroleh tidak lepas dari segala pengorbanannya, baik materil maupun spiritual, yang selalu menuntun dan mengarahkan penulis dalam memaknai hidup.

Ucapan terima kasih dengan rasa hormat, juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul A’la, S.Ag., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya.

2. Bapak Dr. Muhid, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

3. Bapak Helmi Umam, M. Hum, selaku ketua Program Studi Filasafat Agama yang

telah memberi izin dan persetujuan hingga penelitian ini dapat diuji pada level program pencapaian gelar sarjana.

4. BapakDrs. Tasmuji, M. Ag.selaku Dosen Pembimbingyang berkenan meluangkan

waktu dan tenaganya guna memberikan bimbingan, petunjuk, ilmu, nasehat dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis.


(8)

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis.

6. Staf-staf akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya,

atas kelancaran dalam penanganan administrasinya.

7. Staf-staf perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah sudi meminjamkan

buku-buku yang sangat membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kedua Orangtuaku tercinta dan kakak-ku tersayang, Bapak H. Mchamad Ilyas dan

Ibu Hj. Suherti Ningsih serta Saudari Elyani Inggar Sari, yang tiada lelah membimbing dan mendidik dari kecil hingga dewasa kini, serta lautan do’a, perhatian dan semangat di setiap waktu untukku.

9. Terimakasih kepada para pemikir dan cendekiawan yang telah menyumbangkan

pengetahuan dan wawasan kepada penulis.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Surabaya, 31 Januari 2016


(9)

ABSTRAK

Mochamad Dwi Ilhami, NIM. E71211039, 31 Januari 2016. (Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi). Skripsi Program Studi Filsafat Agama Jurusan Pemikiran Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci: Tembang, Gendhing Jawi, Spiritualitas

Skripsi dengan judul “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi” ini adalah hasil penelitian pustaka untuk mengetahui bagaimanakah Nilai-nilai spiritualitas yang ada dalam kesenian Tembang dan Gendhing Jawi dan apa saja unsur-unsur dalam Tembang dan Gendhing Jawi yang menjadi pengaruhnya terhadap spiritualitas itu sendiri. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan secara deskriptif-historis, yakni menggambarkan Tembang dan Gendhing Jawi yang menjadi pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat Jawa karena nilai-nilai spiritualitas didalamnya. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan selama proses penelitian ini adalah dengan teknik pengumpulan data-data dari beberapa literatur atau buku-buku.

Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa, adapun hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas sebenarnya sangat banyak, akan tetapi dalam penulisan skripsi ini penulis lebih menekankan hal-hal yang menjadi pengaruh spiritualitas dari ranah seni, yaitu Tembang dan Gendhing Jawi yang lebih mempunyai kesan yang berbeda dengan nuansa spiritualitas yang berbeda pula. Semua itu dikarenakan, Tembang dan Gendhing Jawi adalah musik atau kesenian yang berkembang dari hasil interrelasi agama dan akulturasi budaya lokal, baik itu Hindu-Buda, Islam dan adat-istiadat masyarakat jawa sendiri.

Hal yang demikian ini yang akan melahirkan karakteristik spiritual yang berbeda dan tidak terkesan kaku, karena dengan interrelasi agama dan budaya maka memupuk spiritualitas yang lebih dewasa dengan kesadaran yang tinggi akan betapa pentingnya perbedaan dan keberagaman, memahami norma-norma dan arti hidup yang sesungguhnya dalam beragama dan bermasyarakat.


(10)

DAFTAR ISI

COVER DALAM ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

PERSEMBAHAN... xii

MOTTO ...xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

G. Tinjauan Pustaka ... 9

H. Metode Penelitian ... 10


(11)

BAB II SPIRITUALITAS DAN MACAM-MACAMNYA ... 15

A. Pengertian Spiritualitas ... 15

B. Macam-macam Spiritualitas ... 22

1. Spiritualitas Islam ... 22

2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat dan Timur ... 25

BAB III TEMBANG DAN GENDHING JAWI SERTA NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DI DALAMNYA ... 27

A. Pengertian Tembang ... 27

B. Sejarah Perkembangan Tembang ... 28

C. Macam-macam Jenis Tenbang ... 30

D. Pengertian Gendhing Jawi ... 35

E. Sejarah Perkembangan Gendhing Jawi ... 36

F. Laras (tangga nada) Dalam Kesenian Gendhing... 39

G. Macam-macam dan Pengelompoakan Gendhing Jawi ... 42

H. Fungsi-fungsi Gendhing ... 45

I. Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang dan Gendhing Jawi ... 49

BAB IV ALASAN YANG MENDASARI TEMBANG DAN GENDHING JAWI BERPENGARUH TERHADAP SPIRITUALITAS ... 68

A. Masyarakat Jawa Dalam Agama dan Seni Budaya ... 68

1. Interrelasi Agama dan Akulturasi Budaya Sebagai Pembentuk Nilai-nilai Spiritualitas Masyarakat Jawa ... 68


(12)

2. Ritualitas Masyarakat Jawa Yang Lahir Dari Akulturasi Budaya Islam

Dan Jawa ... 75

B. Hal-hal Yang Melandasi Seni Kebudayaan Jawa Dalam Ranah Nilai-nilai Spiritualitas ... 79

1. Pengaruh Islam Yang Melebur Dalam Sastra Dan Penyerapan Bahasa Jawa……….79

2. Esensi Ritual Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi………85

BAB V PENUTUP ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Musik memang tak akan bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.1

Dengan demikian dalam sejarah perkembanganya, musik seringkali dideskripsikan sebagai sebuah bentuk ekspresi jiwa manusia untuk menyampaikan sesuatu yang disajikan dalam kesatuan nada dan irama juga dengan bahasa yang berbeda berupa sajak, syair, puisi banyak hal lainnya.

Bahkan musik tak hanya mengilhami jiwa pemusik. Setiap bayi setelah dilahirkan ke dunia mulai menggerakan lengan dan kaki kecilnya dengan ritme musik, kehidupan bergantung pada ritme musik karena bila diteliti pada setiap manusia sendiri akan menemukan bahwa denyut nadi, jantung, hembusan nafas, hirupan nafas, semuanya adalah pekerjaan ritmis. Demikian pula yang disimbolkan dalam Islam, setiap bayi lahir ke dunia akan selalu diperdengarkan adzan yang juga mempunyai unsur ritme.2 Tetapi sampai pada saat ini musik semakin banyak berkembang dengan berbagai corak dan warna yang beragam, bila dikaji dalam setiap jenis musik yang lahir dan terbentuk dari latarbelakang budaya, adat-istiadat maupun agama. Maka, musik akan menjelaskan bahwa pada dasarnya ia mempunyai fungsi dan nilainya masing-masing. Terlebih lagi bila kita mendengar istilah tentang ”spiritualitas tanpa agama”, tentunya dalam hal

1

Yusuf Al-Qardhawi, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, (Bandung: Mujahid Press, t.th),

hal. 9.

2

Haszrat Inayah Khan, Dimensi Mistik Musik Dan Bunyi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,


(14)

2

pencapaian spiritualitas yang seperti ini akan membutuhkan banyak komponen yang lebih luas lagi dan tak terbatas sebagai alat pencapaianya yang cenderung bersifat universal.3 Akan tetapi dewasa kini lebih marak munculnya musik di kalangan masyarakat yang hanya menonjolkan unsur hiburan dan terkesan tanpa muatan positif bila ditelaah lebih dalam untuk konsumen musik itu sendiri, padahal bila dilihat dari antusias masyarakat akan perkembangan industri musik baik luar maupun dalam negeri sangatlah pesat, tentu sangat di sayangkan bila fenomena yang seperti ini tidak dimanfaatkan dengan baik sebagai jalan untuk member pengaruh terhadap orang lain untuk mengarah pada hal yang lebih positif, baik sikologi maupun spiritualitas masyarakat modern saat ini. Munculnya gagasan dalam penulisan judul ini contohnya, berawal dari hal kecil di akhir pekan pada pagi hari ketika menyeduh kopi hitam dibawah pohon asem nan rindang di warung kopi depan rumah, tiba-tiba muncul dalam benak yang mempertanyakan tentang banyakya tempat hiburan seperti studio karaoke maupun warung kopi pinggir-pinggir jalan yang tak terhitung banyaknya. Hal itu nampaknya selalu jadi pelarian bagi masyarakat baik yang tua ataupun muda untuk melepas penat di padatnya aktivitas keseharian mereka, bahkan bukan hanya itu saja, sebagian tempat yang juga menyodorkan sarana menikmati berbagai khas musik seperti warung kopi ataupun studio karaoke ini juga mempunyai kesan sebagai sarana relaksasi bagi para konsumenya untuk menenangkan diri, seolah-olah hal ini terlihat sudah menjadi mediasi bagi mereka untuk mendapatkan semacam ketenangan batin secara praktis.

3

Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad

Al-Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hal. 2.


(15)

3

Pada zaman modern seperti saat ini, keadaan hidup yang opsional dan semakin berkembang bidang teknologinya maka, akan semakin mempengaruhi cara berfikir manusia yang semakin menginginkan hal praktis pula. Bahkan dalam bagian terintim dalam hidup, yaitu “spiritualitas”. Maka dalam hal inilah musik mempunyai peran penting sebagai opsi praktis manusia untuk mempengaruhi keadaan kebatinanya sehingga dapat mencapai taraf spiritualitas tertentu (ketenangan jiwa) yang sudah jarang ditemukan dalam kehidupan yang penuh polemik seperti saat ini. Yang menjadi pertanyaanya, bagaimanakah musik dapat mempengaruhi keadaan batin seseorang?. Yang jelas, hal inilah yang menjadi pembahasan pokok dalam penulisan skripsi kali ini bahwa musik-musik tertentu dan syair-syairnya juga bisa digunakan sebagai hal yang mempengaruhi spiritual diri seseorang karena adanya nilai-nilai spiritual yang diusung, dalam pandangan umum bisa dijelaskan bahwa batin adalah sesuatu yang lembut maka, secara spontanitas ia akan menangkap pula hal-hal yang lembut yang ada disekitarnya sehingga menimbulkan suasana kebatinan yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang ditangkapnya.4 Musik yang mendayu-dayu akan memberi nuansa sedih, musik yang keras akan memberi nuansa berapi-api, musik yang terkesan mistik akan membawa nuansa yang menakutkan bagi pendengarnya, beginilah dengan mudahnya musik membawa pengaruh dan perubahan besar dalam diri seseorang.5

Terlebih lagi jika kita melihat bagaimana para sufi dan yogi dalam mencapai spiritualitasnya dengan mediasi musik pada setiap ritualnya. Menurut mereka musik adalah perahu yang dapat mengusung berbagai bentuk maksud

4

Ibid, hal 52. 5

Ibid, hal 36.


(16)

4

batin mereka dengan nuansa yang lebih dalam dan intim melewati penangkapan pengindraan atau pendengaran, dikarenakan dengan mediasi musik yang mempunyai resonansi tertentu semua keadaan tubuh manusia akan meng-iyakan maksud atau sejalan dengan hati dan fikiran yang pada ahirnya akan mencapai pada taraf ekstase.6 Dalam keadaan yang seperti inilah manusia akan dihantarkan pada berbagai macam keadaan batin sesuai dengan apa yang diilustrasikan olehnya, seperti sedih, keluh kesah, penyesalan penderitaan, harapan dan lain sebagainya sebelum mencapai kebahagiaan tertinggi yang sebenarnya.

Bila dicontohkan, tentunya banyak terlihat ataupun terdengar tentang beberapa kelompok atau jama’ah dzikir tertentu di sekitar kita yang melalukan ritual peribadatan keagamaanya secara bersama-sama, mereka membunyikan dan melantunkan suatu kalimat, do’a atau dzikir dari mulut mereka yang ditujukan pada Tuhan Maha Esa secara berulang-ulang dengan menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri atau bahkan ada yang sampai menangis terseduh-seduh seakan mereka telah merasakan sebuah pencerahan yang luar biasa dalam hatinya. Nah, dalam hal inipun dapat dicermati bahwasanya apa yang mereka lakukan dalam prosesi ritualnya adalah mengandung unsur musik juga, keselarasan mereka melantunkan dzikir dengan serempak yang beralun-alun hingga merdu terdengar bila sampai ke telinga masing-masing dengan penghayatan maknanya yang dalam akan merubah suasana menjadi hening dan hanyut dengan diikuti gerak tubuh yang terus bersambutan hingga mereka merasa rileks seperti telah lepas semua beban-beban, itulah yang membuat tercucurnya air

6

Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 234.


(17)

5

mata karena mereka sudah dalam fase ekstase. Semua ini tentunya sangat berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan dari musik itu sendiri yang selaras dan alami.

฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀

฀ ฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS ar-Ra’du:28). 7

Sebenarnya bila mengingat kembali tentang banyaknya peninggalan kebudayaan Nusantara khususnya di daerah Jawa, maka akan diketahui bahwa Indonesia mempunyai salah satu peninggalan kesenian musik kuno yang sangat berpengaruh dengan masalah spiritualitas yaitu “Gendhing Jawi dan tembang”, namun sayangnya kesenian yang mulai luntur terkikis zaman ini semakin jarang dan lepas dari perhatian publik, padahal sebetulnya banyak hal positif yang dapat diambil jika mau mentelaahnya lebih dalam.

Gaya musiknya yang khas dan mempunyai karakter tersendiri sangatlah berpengaruh untuk perkembangan moral dan peradaban manusia pada zaman kejayaanya, musik yang penuh dengan falsafah hidup dan unsur keagamaan yang sangat kental itulah yang mengubah secara perlahan namun pasti pada cara berfikir dan laku orang-orang jawa terdahulu dan pula secara efisien mengikis ketegangan dan meredam perbedaan suku, ras maupun agama, hal inilah yang

7

Al-qur’an dan terjemahan, Departenen Republik Indonesia, hal.373.


(18)

6

menjadi senjata dakwah bagi tokoh-tokoh agama pada masa itu (Wali Songo) untuk menyebarkan dan mengembangkan spiritualitas keagamaan di tanah jawa.8 Jika orang-orang terdahulu sebelumnya dapat mengmbangkan konsep spiritualitas dengan baik melalui Tembang dan Gendhing jawi, maka apa peradaban manusia yang berada di zaman modern ini tidak mau menengok kebelakang dan mau mengambil pelajaran penting yang mestinya juga diterapkan pada saat ini?.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas telah diketahui, bahwa dalam kehidupan sehari-hari musik (khususnya Tembang dan Gendhing Jawi) pada dasarnya memiliki berbagai macam perkembangan dan bentuk yang dapat mempengaruhi keadaan diri seseorang, di antaranya sosial, mental, psikologi dan tingkat spiritualnya. Khususnya dikalangann tertentu yang menjadikannya sebagai alat utama atau mediasi untuk menuju pencapaian ketenangan batin. Akan tetapi, bagaimanakah musik (Tembang dan Gendhing Jawi) itu bila dikaji secara khusus sebagai hal yang berpengaruh karena mempunyai nilai-nilai spiritualitas dan sejauh mana signifikansi pengaruhnya bila dikembangkan dan di kaji secara universal, sehingga musik (khususnya Tembang dan Gendhing Jawi) dapat menjadi pilihan konkrit dan praktis yang relevan untuk keadaan masyarakat pada saat ini, disamping itu juga bernilai positif untuk tetap mempertahankan peninggalan kebudayaan Nusantara.

8

Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003), hal. 7-8.


(19)

7

C. Rumusan Masalah

Latar belakang dan identifikasi masalah di atas menghasilkan beberapa perumusan masalah yang nantinya akan menjadi pembahasan dalam tiap bab di dalam karya tulis ilmiah ini. Adapun rumusan masalah yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah spiritualitas dan macam-macamnya?

2. Bagaimana Tembang dan Gendhing Jawi serta nilai-nilai spiritualitas di dalamnya?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian dalam karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui bagaimana spiritualitas dan macam-macamnya.

2. Untuk mengetahui Tembang dan Gendhing Jawi serta nilai-nilai spiritualitas di dalamnya.

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, diharapkan pembuatan karya tulis ilmiah ini akan bermanfaat dan berguna sebagai tambahan wawasan khazanah keilmuan khususnya dalam ranah musik (Tembang dan Gendhing Jawi) yang juga mempunyai nilai-nilai spiritualitas yang dapat berpengaruh pula terhadap spiritualitas, yang mana telah diketahui oleh masyarakat luas bahwasannya musik memang cuma sebagai hiburan saja tanpa mengetahui adanya manfaat yang sangat penting dalam pengaruhnya terhadap spiritualitas. Tentunya secara praktis,


(20)

8

karya tulis ilmiah ini akan memberi manfaat bagi para pembaca dari seluruh kalangan masyarakat dan dapat menjadi sumbangsi yang berarti dalam ranah spiritualitas.

F. Penegasan Judul

Untuk memperjelas penulisan penilitian ini serta menghindari adanya kesalahpahaman, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai maksud dari masing-masing kata yang tedapat dalam judul penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut:

spiritualitas: Berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani,

batin).9

Tembang: Sebuah bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional yang

dilantunkan dalam bahasa Jawan yang setiap baitnya mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu dan disetiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu.10

Gendhing Jawi: Alunan musik atau irama yang disajikan untuk mengiringi

tembang-tembang jawa juga sebagai pengiring dalam pagelaran pewayangan atau juga ludruk.11

Musik (Tembang dan Gendhing Jawi) bukan hanya sebagai sarana mendengar atau menyanyikan lagu saja, namun Gendhing juga dapat menjadi

9

Departemen Pendidikan Nasional, (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,

Jakarta:2008), hal. 1373. 10

F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta, 2009, penerbit Wedatama Widya

Sastra. hal. 74

11

Esther L. Siagian, Goong, (Jakarta, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 1970), hal.8.


(21)

9

pengaruh besar terhadap spiritualitas bagi para musisi Gendhing Jawi. Namun demikian, pengaruh spiritualitas dari musik sendiri masih awam dalam masyarakat mayoritas yang notabene pemikirannya musik adalah sarana untuk hiburan saja. Sedangkan masyarakat minoritas yang mengetahui bahwa adanya musik juga sebenarnya berpengaruh besar terhadap spiritualitas, pemikirannya musik adalah mediasi untuk mengantarkan ketenangan batin. Sehingga dalam tahap tertentu dapat mencapai pada fase ekstase yang menjadikannya berada dalam keadaan yang paling intim.

G. Telaah Pustaka

Pada penelitian sebelumnya, sebenarnya telah ditemukan beberapa karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang mengakaji tentang musik sebagai metode pencapaian spiritualitas, diantaranya ialah:

1. Spiritualitas Musik Dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh Muhamad Muzayin di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2008. Akan tetapi dalam penelitian tersebut membahas tentang pandangan Seyyed Hossein Nasr mengenai relevansi spiritualitas Islam dalam apresiasi musik.

2. Musik sebagai sarana sufi mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam pemikiran Hazrat Inayat Khan yang ditulis oleh M. Taajuddin Muslim di Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2006. Pada penelitian ini, M. Taajuddin mengkaji musik dalam pandangan Hazrat Inayat Khan yang mana menjelaskan pendekatan pada Tuhan yang Maha Esa masih secara interen dalam ruang lingkup keagamaan Islam bagi para sufi.


(22)

10

3. Serat Sastra Gendhing Dalam Kajian Strukturalisme Semiotik oleh Aldila Syarifatul Na’im di Universitas Negri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa pada tahun 2010. Akan tetapi Aldila Syarifatul Na’im pada penulisan skripsinya hanya focus mengarah pada kesusastraan bahasanya dan strukturalisme semiotik.

Oleh karena itu, penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi” ini merupakan karya ilmiah yang baru dalam penulisan skripsi ini, karena dalam penelitian ini membahas tentang beberapa pengaruh yang mendasar dalam Gendhing Jawi terhadap spiritualitas serta Gendhing Jawi.

H. Metode Penelitian

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam dan interpretatif.12

Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait persoalan tentang permasalahan yang diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semulanya didapatkan dari pembahasan umum. Sedang interpretatif adalah penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat, atau pertanyaan.

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2012), hal.2.


(23)

11

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan library research (kajian pustaka). Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya diolah melelui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku, dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian. 3. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data tentang nilai-nilai spiritualitas dalam Tembang dan Gendhing Jawi dapat pula menggunakan metode-metode penelitian sebagai berikut:

a. Deskriptif, adalah bersifat menggambarkan, menguraikan sesuatu hal

menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu. Pendiskripsian ini digunakan oleh penulis dalam memaparkan hasil data-data yang diperoleh dari literatur kepustakaan. 13

b. Adapun metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis yaitu suatu metode yang bermaksud menjelaskan dari berbagai aspek. 14

4. Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya. Melalui metode dokumentasi, diperoleh data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

13

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, cet III (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005), hal.31.

14

Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal.274.


(24)

12

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data memakai pendekatan metode deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat tematik memaparkan data-data yang diperoleh dari permasalahan pokok. Dengan metode ini akan dideskripsikan mengenai musik Gendhing Jawi sebagai pengaruh terhadap spiritualitas.

6. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini diantaranya adalah:

a. Sumber data primer

Sebagai sumber primer dalam penelitian ini data yang digunakan adalah dengan kajian pustaka yang juga dikombinasikan terhadap berbagai pokok permasalahan yang ada dalam masalah Musik Spiritual. b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yang dimaksud di sini adalah sumber-sumber data yang mengacu pada buku-buku teks Dimensi Musik Mistik dan Bunyi, Kidung Rumi, Tasyawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa dan Raga, Psikologi Sufi Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh dan sumber data lainnya yang berfungsi untuk melengkapi sumber data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini, penulis juga merujuk pada pendapat para tokoh tentang metode-metode pencapaian spiritualitas serta musik yang juga dapat digunakanya sebagai metodenya.


(25)

13

I. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan ini disusun atas lima bab, sebagai berikut:

yang mana dalam bab yang pertama berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematiak pembahasan. Dalam bab satu ini berisikan hal tersebut karena untuk memudahkan pembaca mengetahui apa masalah dan isi tentang “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi” dalam skripsi ini.

Dalam bab dua berisi tentang spiritualitas dan macam-macamnya. Dalam hal ini dibahas didalamnya beberapa hal, yaitu: Pengertian spiritualitas, spiritualitas dalam Islam dan yang terahir adalah spiritualitas dalam kajian barat dan timur.

Kemudian dalam bab tiga berisikan tentangTembang dan Gendhing Jawi yang mencaku pada beberapa hal, yaitu: Pengertian Tembang dan Gendhing Jawi, sejarah perkembangan Tembang dan Gendhing Jawi, macam-macam dan pengelompokan Tembang dan Gendhing Jawi, serta yang terahir adalah nilai-nilai spiritualitas dalam Tembang dan Gendhing Jawi.

Dalam bab empat sendiri adalah analisis yang berisikan alasan yang mendasari Tembang dan Gendhing jawi berpengaruh terhadap spiritualitas yang mana dalam bab ini adalah inti dari penulisan skripsi. Dalam pembahasanya mencakup beberapa hal, yaitu: Masyarakat Jawa dalam agama dan seni, kandungan dan nilai-nilai filosofis dalam kesenian Tembang dan Gendhing Jawi.


(26)

14

Terakhir dalam bab lima berisi tentang kesimpulan dan saran dalam penulisan skripsi “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang dan Gendhing Jawi” ini serta daftar pustaka.


(27)

15

BAB II

SPIRITUALIATAS DAN MACAM-MACAMNYA A. Pengertian Spiritualitas

Spiritual berasal dari kata spirit yang berarti “semangat, jiwa, roh, sukma, mental, batin, rohani dan keagamaan”.1 Sedangkan Anshari dalam kamus psikologi mengatakan bahwa spiritual adalah asumsi mengenai nilai-nilai transcendental2. Dengan begini maka, dapat di paparkan bahwa makna dari spiritualitas ialah merupakan sebagai pengalaman manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas.

Spiritualitas atau jiwa sebagaimana yang telah digambarkan oleh tokoh-tokoh sufi adalah suatu alam yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan alam semesta, karena ia adalah salinan dari-Nya segala hal yang ada di dalam alam semesta terjumpai di dalam jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di dalam jiwa ada di alam semesta, oleh sebab inilah, maka ia yang telah menguasai alam semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh jiwanya pasti diperintah oleh seluruh alam semesta.

‘Jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu dengan jasad penyatuan ruh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Sebab dari pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh ruh. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek dari kegiatan “spiritual”. Penyatuan dari jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 857.

2


(28)

16

Tuhan. Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan dibutuhkan standarisasi pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan keseimbangan dalam menyatu dengan ruh3.

Ruh merupakan jagat spiritualitas yang memiliki dimensi yang terkesan Maha Luas, tak tersentuh (untouchable), jauh di luar sana (beyond). Disanalah ia menjadi wadah atau bungkus bagi sesuatu yang bersifat rahasia. Dalam bahasa sufisme ia adalah sesuatu yang bersifat esoterisme (bathiniah) atau spiritual. Dalam esoterisme mengalir spiritualitas agama-agama. Dengan melihat sisi esoterisme ajaran agama atau ajaran agama kerohanian, maka manusia akan dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan manusia. Dari sanalah jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan kebahagiaan setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan, dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan.

Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan pusat vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus, merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk pribadi. Para sufi mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan ekspresi ringkas terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Kebenaran-kebenaran ajarannya mudah mengarah pada perkembangan tanpa batas dan karena peradaban Islam telah menyerap warisan budaya pra Islam tertentu, para guru sufi dapat

3

Sa’id Hawa, Jalan Ruhaniah, terj : Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali, (Mizan,

Bandung, 1995), hlm. 63


(29)

17

mengajarkan warisannya dalam bentuk lisan atau tulisan. Mereka menggunakan gagasan-gagasan pinjaman yang telah ada dari warisan-warisan masa lalu cukup memadai guna menyatakan kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima jangkauan akal manusia waktu itu dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi yang ketat dalam suatu bentuk praktek yang singkat.

Dari warisan-warisan yang telah ada yaitu kebenaran-kebenaran hakiki dari para kaum sufi, maka terciptalah prilaku-prilaku yang memiliki tujuan objektif (Tuhan) tidak lain seperti halnya esoterisme dalam agama-agama tertentu, langkah awal untuk menjadikan umatnya mencari tujuan yang objektif, mereka memiliki metode-metode khusus untuk menggali tingkat spiritualitasnya. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengalaman keagamaan merupakan kegiatan yang tidak pernah surut dari sejarah. Hal ini disebabkan karena pengalaman keagamaan, tidak akan pernah hilang, dan tidak pernah selesai untuk diteliti. Dari pengalaman-pengalaman keagamaan (religiusitas) itulah akan memberikan dampak positif bagi individu yang menjalaninya.

Sebagaimana telah tampak bahwa kegersangan spiritual semakin meluas hal itu terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin

didambakan orang untuk mendapatkan manisnya spiritualitas the taste of

spirituality. The taste of spirituality, bukanlah diskursus pemikiran, melainkan ia merupakan diskursus rasa dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna hidup.4 Dalam khazanah Islam, pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah

4

Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan Jama’ah

Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan Walisongo Press, Semarang, 2003), hlm. 17


(30)

18

berhasil dicapai oleh manusia adalah peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad SAW., sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi yang selalu dirindukan hampir semua orang, bahkan apapun agamanya.

Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas sangat didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya. Dan untuk menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits itu, maka diperlukan upacara-upacara khusus guna mencapainya. Sebab dari pengalaman keagamaan itu, umumnya muncul hati yang mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan kepekaan. Sehingga sifat cinta itu akan melahirkan “kasih” kepada sesama makhluk tanpa membedakan ras serta keberagamaan yang berbeda. Secara substansi (esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan satu. Perbendaannya terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian memunculkan “eksoterisme” agama. Pada aspek eksoterik inilah muncul pluralitas agama. Di mana setiap agama memiliki tujuan yang sama dan objektif yaitu untuk mencapai kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Antropologi spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia, yaitu meliputi5:

1. Upaya dan perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan disiplin. 2. Kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya. 3. Hubungan individu dengan Tuhan.

4. Hubungan dimensi sosial individu manusia.

5

M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, (Penerbit Qalam, Yogyakarta,

2000), hlm. 7


(31)

19

Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk terlibat jihad setiap saat dan dalam berbagai tingkat. Model analisis klasik tentang jiwa manusia meletakkan “hati” manusia sebagai pusat perjuangan, yakni tarik menarik yang ketat antara “spirit” (kebaikan) dan “ego” (kejahatan).

Kebutuhan manusia akan Tuhan-nya merupakan fitrah yang tidak bisa dinisbatkan manusia. Jika manusia menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia tersebut telah memarjinalkan potensi beragamanya atau spiritualnya. Seperti halnya firman Allah SWT dalam surat ar-Ruum ayat 30 ;

฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀ ฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀ ฀ ฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀

Artinya : “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah

SWT)., (tetaplah atas) fitrah Allah SWT., yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah SWT., itulah agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S. ar-Ruum : 30).6

Jiwa atau ruh merupakan hakikat pada diri manusia yang abadi, yang perenial, dan tidak akan berubah sepanjang masa, yaitu fitrahnya, yang membuat selamanya merindukan kebenaran, dengan puncaknya ialah kerinduan kepada Tuhan. Seperti yang telah digambarkan dalam al-Qur'an surat al-Fajr ayat 27-30.

6

Al-qur’an dan terjemanya, Departemen Agama Republik Indonesia, hal.345.


(32)

20 ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀฀฀฀ ฀฀฀฀

Artinya : “Hai jiwa yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang

puas lagi diridhai-Nya. Kemudian, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (Q.S. al-Fajr: ayat 27-30).7

Oleh karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan kenikmatan religiusitas sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini terjadi karena pengalaman keagamaan terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan (puncak) kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang bersifat universal, yaitu yang merupakan kebutuhan kodrati setelah kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi, yakni kebutuhan cinta dan mencintai Tuhan, dan kemudian melahirkan kesediaan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian disinyalir sebagai jiwa keagamaan atau kejiwaan agama. Para peneliti saling berbeda pendapat tentang darimana sumber jiwa keagamaan yang menimbulkan keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan tersebut. Namun secara umum terdapat tiga teori psikologi agama yang mencoba untuk memberikan jawaban atas persoalan di atas. Diantaranya teorimonistik, teori faculty dan Teori the Four Whises.

1. Teori Monistik (mono = satu)

Teori ini berpendapat bahwa hanya terdapat satu sumber kejiwaan (sumber tunggal) dalam keagamaan. Dari teori ini disebutkan sumber kejiwaan agama adalah sebagai hasil proses berfikir oleh Thomas Van Aquino dan Fredrick Hegel, rasa ketergantungan kepada yang mutlak (sense of depend)

7

Al-qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, hal.1059.


(33)

21

oleh Fredrick Schleimaceher, perasaan kagum yang berasal dari “yang sama sekali lain” (the wholly other) Rudolf Otto yang kemudian diistilahkan numinous. Proses libido sexuil atas proses odepus complex dan father image oleh Sigmund Freud, dan karena sekumpulan instink pada diri manusia oleh William Mac Dougall. Namun pandangan William ini dipandang lemah oleh para psikolog.8

2. Teori Faculti (faculty theory)

Teori ini yang memandang bahwa sumber kejiwaan agama bukan bersifat tunggal, namun terdiri dari berbagai fungsi. Menurut teori ini sumber jiwa keagamaan berasal dari cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Dari teori dasar ini, para psikologi aliran ini menyebutkan bahwa sumber kejiwaan keagamaan adalah adanya konflik pada diri manusia yang diperlopori G. M. Straton, sebagai akibat gabungan dari enam kebutuhan pokok, yaitu rasa kasih sayang, rasa aman, harga diri, bebas, sukses, ingin tahu, dalam hal ini untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itulah manusia memerlukan agama menurut Zakiyah Daradjat.9

3. Teori the Four Whises

Melalui teori ini W. H. Thomas mengemukakan bahwa sumber kejiwaan agama adalah karena adanya empat macam keinginan dasar dalam diri manusia, yaitu: keselamatan (security), mendapat penghargaan (recognition),

8

Drs. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta,

2004), hal. 54-56.

9

Ibid, 59-62


(34)

22

untuk ditanggapi (response), dan keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).

Dari ketiga teori mengenai sumber jiwa keberagamaan di atas pada kenyataannya, antara satu sumber dengan sumber yang lain, kadang saling terkait, kadang juga saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Jadi tidak bisa dipastikan sumber mana yang paling kuat dan dominan. Tapi terdapat pengaruh antar sumber jiwa keagamaan dengan sikap beragama yang ditempuh, dan juga akan menghasilkan pengalaman yang berbeda, akan memunculkan kembali sikap-sikap yang berbeda pula.

B. Macam-macam Spiritualitas 1. Spiritualitas Islam

Secara tidak langsung spiritualitas Islam muncul sejak pada abad ke-7 M diawali dari pencerahan Nabi Muhammad saw kepada seluruh pengikutnya. Beliau memberikan pencerahan itu mengenai nilai-nilai moral dan spiritual yang telah diperoleh dari Allah SWT. Apa yang telah ditanamkan oleh Nabi saw kepada para pengikutnya yang awal, dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, adalah perasaan yang mendalam pada pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam duniawi dan kepatuhan yang mekanis kepada hukum, kepada alam kegiatan moral.10 Nilai-nilai moral dan spiritual yang telah diajarkan Nabi ternyata dapat memberikan perubahan bagi umat manusia hususnya Islam dalam mencapai derajat tertinggi (kehidupan hakiki). Pengalaman-Pengalaman

10

Ibid, hal. 184


(35)

23

spiritual tersebut dapat memberikan posisi kehidupan yang lebih baik dan dapat dirasakan dan dinikmati kalayak muslim (Islam).

Akhirnya apa yang telah dibawa Nabi saw itu dijadikan sebagai “sendi” dalam Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah SWT. Lima sendi itu yang sering kita kenal dengan sebutan “Rukun Islam” dan kelima hal itu tetap berguna selama seseorang ingat bahwa dasar-dasar tersebut merupakan bagian kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah singkat yang diangkat.11 Lima sendi rukun Islam tersebut adalah: Pertama, Percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT. Kedua, Shalat wajib lima kali dalam sehari semalam. Ketiga, Membayar Zakat kepada yang berhak menerimanya. Keempat, Puasa dari matahari terbit hingga terbenam selama tiga puluh hari pada bulan kesembilan, “Ramadhan” dan Kelima, Ibadah Haji ke Makkah sekali seumur hidup jika mampu secara materi dan sehat jasmani.

Dari lima sendi itulah yang akan membawa manusia pada tingkatan tertinggi dari agama Islam ketika manusia itu mau melaksanakan dan mencari titik temu dalam segi keagamaan. Karena dalam ajaran Islam tingkatan teritinggi terletak pada tingkat kesalehan manusia. Dimana kunci dari kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab kepada cita moral, atau yang sering disebut dengan istilah “taqwa”.12

Konsep al-Qur'an tentang berserah diri kepada Tuhan (taqwa), sebagaimana telah ditekankan oleh paham kesalehan dalam arti etisnya,

11

Ibid, hal. 5

12

Ibid, hal. 184


(36)

24

berkembang dalam kelompok-kelompok tertentu menjadi suatu doktrin ekstrim tentang pengingkaran dunia. Maka dalam perilaku atau motivasi dari seseorang harus berlandaskan kesucian. Begitupun dalam semua aktifitas kegiatan manusia, hendaklah harus memiliki kesadaran akan pengawasan Tuhan. Taqwa merupakan salah satu kata yang paling tinggi nilainya, yang memiliki arti kurang lebih ‘kemuliaan’ dan ‘kedermawanan’. Hingga pada akhirnya yang akan membawa manusia pada tingkat esoterisme atau yang tidak lain disebut dengan tingkat “spiritualitas”. Spiritualitas Islam itu senantiasa identik dengan upaya menyaksikan yang satu, mengungkap yang satu, dan mengenali yang satu, sang tunggal itu yang ditegaskan dalam al-Qur'an adalah dengan nama “Allah SWT”.13 Oleh karena itu, seseorang ketika ingin mencapai tingkatan spiritualitas harus membersihkan hijab-hijab yang telah menghalangi penyatuan diri manusia dengan Tuhannya.

Dalam bahasa tasawuf untuk mencapai tingkat spiritual ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan, yakni Petama, mengosongkan dan membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawiaan yang tercela (takhalli).14 Kedua, upaya mengisi atau menghasi dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, prilaku, dan akhlak terpuji (tahalli).15 Ketiga, lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan (tajalli). Dalam

13

Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, (Pustaka Nuun,

Semarang, 2004), hal. 4

14

Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi ; Telaah Pemikiran

Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Atas Kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002), hal. 9

15

Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (cv.

Pustaka setia, Bandung, 2000), hal.56


(37)

25

tradisi tasawuf, banyak sekali teori yang menyebut karakterkarakter keluhuran yang seharusnya dimiliki oleh manusia.

2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat Dan Timur

Spiritualitas dalam pangdangan barat tidak selalu berkaitan dengan penghayatan agama bahkan Tuhan. Spiritualitas yang ada dalam pandangan mereka lebih mengarah pada bentuk pengalaman psikis yang pada ahirnya dapat member makna yang mendalam pada individu tersebut. Sebaliknya dalam pandangan orang-orang timur spiritualitas lebih mengarah dan terkait pada penghayatan religiusitas terhadap Tuhan dengan berbagai ajaran dan aturan didalamnya. Pada pandangan barat dan timur tentang spiritualitas pada ahirnya dapat mendasari penilaian dan perlakuan terhadap seni khususnya musik.16 Dalam sikologi barat, dikatakan bahwasanya puncak kesadaran manusia seutuhnya ditekankan terhadap tingkat rasionalitasnya, sedangkan dalam ranah kesufian orang-orang timur tidaklah begitu, kesadaran yang hanya diukur dari aspek rasionalitas sepertihalnya “tidur dalam sadar”, dikarenakan sisi spiritualitas dalam pendekatan diri terhadap tuhan tak pernah bisa terukur dengan hanya menggunakan ukuran rasionalitas.17

Beberapa contoh spiritualitas barat yang merefleksikan kesulitan orang barat dalam hal emosional dan seksualitas adalah aktris ternama Madona yang menjadi ikon seksualitas musik pop didunia barat, ekspresi yang digelar

16

Jhon Storey, pengantar komperhensif teori dan metode, hal.126.

17

Robert Frager, Ph.D. Psikologi Sufi, trasformasi hati, jiwa dan ruh. (Zaman, 2014

Jakarta Timur), hal.38.


(38)

26

menyerukan kebutuhan untuk menjalani hidup secara langsung dan intens.18 Hal tersebut sekaligus mencerminkan kurangnya suatu autentisitas, terlebih lagi autentisitas terhadap pemaknaan musik dan fungsinya. Hal tersebut menggambarkan tergadap kita bahwa musik yang dikonsumsi oleh barat secara fungsional hanya mengarah pada sebuah kepuasan yang tidak lebih dari ranah fenomena psikis yaitu seksualitas dan emosional.

18

Sayyed Hossein Nasr, menjelajah dunia modern, hal,112.


(39)

27

BAB III

TEMBANG DAN GENDHING JAWI SERTA NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DI DALAMNYA

A. Pengertian Tembang

Tembang yang sering kali kita dengar sebagai sebuah kesenian masyarakat Jawa yang masih dan mampu bertahan sampai sekarang agaknya mempunyai makna dan pengertian yang cukup rumit, Tembang sendiri dalam budaya Jawa berpengertian sebagai, “sebuah bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional yang dilantunkan dalam bahasa Jawan yang setiap baitnya mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu dan disetiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir (guru lagu; guru suara

tertentu).1 Cara membawakan Tembang pun terbilang unik dan mempunyai

pakem-pakem tertentu dalam melagukanya.

Suwardi Endrawara dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Jawa: Warisan Abadi Budaya Leluhur menggolongkan tembang dalam genre tradisi lisan Jawa sebagai salah satu bentuk puisi.2 Menurutnya, puisi, sebagai tradisi lisan yang berupa syair-syair rakyat memiliki beberapa bentuk, di antaranya adalah: (a). Nyanyian rakyat, yaitu puisi yang dilagukan rakyat seperti halnya lagu dolanan anak, (b). parikan (pantun Jawa), yaitu sajak semi terikat, dan (c). tembang, yaitu puisi yang terikat oleh aneka aturan, seperti tembang gehe dan macapat. Sedangkan makna istilah Tembang yang terdapat dalam Kamus

1

F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta, 2009, penerbit Wedatama Widya

Sastra. hal. 94

2

Suwardi Endraswara, Tradisi Jawa Lisan: Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta,


(40)

28

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua makna, yang pertama bermakna syair yang diberi berlagu (untuk dinyanyikan) dan yang kedua bermakna puisi. Jadi, makna tembang Jawa dalam pandangan umum adalah lagu Jawa.

B. Sejarah Perkembangan Tembang

Perkembangan sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang.3

Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India secara riel mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum. Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa.4 Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa.

3

Purwadi. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta, 2006, penerbit Panji Pustaka. hal. 13

4

Ibid. hal. 14


(41)

29

Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap karya-karya tersebut.

Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga munculah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ranggawarsita kebanyakan berupa manuskrip.5 Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babak baru sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas Prawirasudirya.6

Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah. Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan

pesan-5

Ibid, hal. 14 6

Ibid, hal. 17


(42)

30

pesan pendidikan.7 Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan karya sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja (Samuel Martaatmaja), Kartimay (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja), dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya). Sastra Jawa modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat masuk kedalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam masyarakat Jawa. Selain itu pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan pengembangan sastra Jawa.8 Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra barat dalam bentuk pengenalan genre baru.

C. Macam-macam Jenis Tembang

Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh para ahli, di Jawa terdapat beberapa jenis tembang yang masih bisa dilacak jejak-jejak keberadaannya, diantara jenis-jenis Tembang Jawa ialah sebagai berikut:9

7

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, 1995, penerbit Gajah Mada

Univercity Press. hal. 28

8

http://dari-enol.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-perkembangan-sastra-jawa.html 9

Ki Rejomulyo, Pengenalan Sekilas Tentang Tembang Jawa. Yogyakarta, 2001,

DinasPendidikan dan Kebudayaan Sleman. hal. 67


(43)

31

1. Tembang Kawi (kakawin)

Kakawin adalah karya sastra puisi pada jaman sastra Jawa Kuna. Oleh karena itu menggunakan media bahasa Jawa Kuna atau disebut juga bahasa Kawi. Jenis karya sastra ini tergolong tembang karena memiliki aturan

tertentu, serta pembacaannya menggunakan lagu.10 Adapun aturan

penyusunannya adalah:

a) satu bait terdiri dari empat baris. b) jumlah suku kata tiap baris sama. c) pola metrum tiap baris sama. d) berbahasa Jawa Kuna.

Perpaduan aturan kedua dan keempat menghasilkan metrum (nama-nama) tembang. Beberapa contoh metrum (nama) tembang kakawin:

- Asambhada - Kuwalayakusuma - Kumudasara - Wrsabhagati wilasita - Sagaralango - Basantatilaka.

Tradisi pembacaan kakawin dengan lagu khusus, meskipun di Jawa sendiri sudah tidak ada, tetapi di Bali masih terus berlangsung hingga kini. Tradisi itu disebut dengan makakawin. Kakawin tertua yang ditemukan adalah Kakawin Ramayana yang diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Dyah Balitung (820-832 Saka).11 Tradisi penulisan kakawin masih berlanjut hingga kini di Bali, meskipun hanya sebatas penyalinan dari lontar-lontar kuna. Beberapa contoh karya sastra yang berbentuk kakawin: kakawin Ramayana yang tidak diketahui pengarangnya; kakawin Arjunawiwaha karya Kanwa;

10

R.S Subalidinata, Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: 1994, Yayasan Pustaka

Nusatama. hal. 112

11

Ibid, hal.116


(44)

32

kakawin Gatotkacasraya karya Panuluh; kakawin Bharatayuddha karya Sedah dan Panuluh; kakawin Nagarakrtagama karya Prapanca.

2. Tembang Gedhe

Kesusatraan jaman Surakarta, oleh Poerbatjaraka disebut sebagai jaman pembangunan dan juga jaman pembuatan karya-karya baru. Pada masa ini banyak sekali karya sastra Jawa Kuna yang digubah ulang dalam bahasa Jawa Baru. Gubahan itu menghasilkan bentuk karya sastra yang baru pula.

Salah satunya adalah tembang gedhe atau sekar ageng.12 Bentuk ini

merupakan derivasi dari kakawin, oleh karena itu beberapa aturan kakawin masih terlihat, yaitu jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris. Selengkapnya aturan dalam penggubahan tembang gedhe ini adalah:13

a) setiap satu bait (sapada) terdiri dari empat baris atau empat pada pala,

b) setiap dua pada pala disebut satu pada dirga,

c) empat pada pala disebut satu padeswara,

d) jumlah suku kata setiap pada pala sama, dikenal sebagai laku ataulampah. Berdasarkan jumlah suku kata setiap pada pala atau satu laku, tembang gedhe

dibagi menjadi empat:

1) 10 suku kata atau kurang disebut salisir,

2) 11 sampai 20 suku kata disebut siliran atau siriran,

3) 21 sampai 30 suku kata disebut raketan,

4) 31 suku kata atau lebih disebut dhendha atau simparan.

12

Ibid, hal. 122

13

Zoetmulder, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuna. Terjemahan Dick Hartoko.

Jakarta:1983, Djambatan. hal. 97


(45)

33

Beberapa contoh tembang gedhe:14

Sudirawicitra, Maduretna, Merak nguwuh, Kuswarini, Candrakusuma, Manggalagita, Pamularsih, Sikarini, Kuswaraga.

Sampai saat ini tembang gedhe masih sering dilagukan. Jenis tembang ini tidak asing bagi para praktisi karawitan, karena banyak di antaranya digunakan sebagai cakepan bawa maupun gerongan.

3. Tembang Tengahan

Tembang tengahan merupakan turunan dari bentuk karya sastra Jawa

Tengahan yang bernama Kidung. Bentuk karya sastra ini timbul pada jaman

Majapahit, kemudian tradisi penulisannya dilanjutkan di Bali. Kidung sendiri tidak dimasukkan dalam golongan tembang karena tidak dapat dilacak

jejak-jejak penggunaan lagu dalam pembacaannya.15 Sedangkan tembang tengahan

masih dapat didengarkan pelantunannya, karena memiliki fungsi yang sama

dengan tembang gedhe dalam dunia karawitan. Penggubahan tembang

tengahan adalah ditentukan oleh:

a). jumlah gatra (baris) setiap pada (baris), b). jumlah suku kata

setiap gatra atau setiap pada lingsa (baris), disebutguru wilangan, c). suara vokal setiap akhir gatra (baris), disebut guru wilangan.

Beberapa contoh metrum tembang tengahan:16

Balabak, Wirangrong, Juru demung, Dudukwuluh, Gambuh, Lontang, Palugon.

14

Ibid, hal. 124 15

Tuntunan Sekar Tengahan, Sekar Ageng dan Gendhing Ki Nartosabdo. Sukoharjo:2006, penerbit Cenderawasih. Hal.44

15

Ibid, hal. 47


(46)

34

4. Tembang Dhagelan

Tembang dhagelan dulu berdiri sebagai jenis tembang tersendiri. Pada

perkembangannya tembang ini hanya merupakan varian dari tembang

tengahan. Bahkan sekarang tidak dibedakan lagi dari tembang tengahan.

Contoh: tembang dhagelan adalah tembang balabak.17

5. Tembang Macapat

Tembang macapat disebut juga tembang cilik.18 Jenis tembang ini

mulai terkenal sejak jaman Surakarta awal. Banyak karya sastra jaman

Surakarta yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Satu karya sastra

jaman Surakarta yang sangat terkenal yang digubah dalam bentuk tembang

macapatadalah Serat Rama, gubahan Yasadipura.19 Penggubahan tembang

macapat didasari oleh:

1) guru gatra: jumlah gatra (baris) setiap bait (pada)

2) guru lagu: suara vokal setiap akhir gatra

3) guru wilangan: jumlah suku kata setiap gatra (baris)

Nama-nama tembang macapat adalah:

Asmaradana, Dhandhanggula, Durma, Kinanthi, Maskumambang, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom.

Dari lima jenis tembang tersebut, saat ini di Jawa hanya tinggal dikenal tiga: tembang gedhe; tembang tengahan dan tembang macapat.

17

Ibid, hal.56 18

Nanang Windardi, Suluk, Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Sukoharjo: 2002,

Cenderawasih. hal. 52 19

Tentrem Warsena, Tuntunan Sekar Macapat. Sukoharjo:2006, Cenderawasih, hal.28


(47)

35

D. Pengertian Gendhing Jawi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian Gendhing itu sendiri berarti “alunan musik, instrumentalia atau irama atau langgem yang digunakan sebagai pengiring tembang-tembang yang berbahasa jawa”.20 Gendhing sendiri selalu identik dengan seni kebudayaan Jawa, namun dalam penulisan ini menggunakan istilah Jawi agar tidak keluar jauh dari pembahasan yang nantinya juga mengarah pada aspek kebahasaan, bila dikaji lagi dalam kebiasaan orang jawa didalam penyebutan Jawa dan Jawi sangatlah jauh berbeda sekalipun itu dalam arti atau makna yang masih sama. Dalam unsur kebahasaan orang jawa mereka mempunyai strtifikasi atau tingkatan-tingkatan bahasa yang juga kegunaanya berbeda-beda, diantaranya: Boso Ngoko, Ngoko Alus dan Kromo Inggil.21 Hal yang demikian ini dimaksudkan agar secara kebahasaan dalam berkomunikasi mempunyai unggah-ungguh dan dapat membedakan lawan bicara yang tua atau muda. Sedangkan pemilihan kata jawi sendiri dalam penulisan skripsi ini tergolong masuk pada tata kebahasaan Kromo Inggil dalam pandangan orang jawa.

Dapat disederhanakan lagi bahwasanya pengertian Gendhing yang lebih umum lagi yang biasa dipahami oleh masyarakat jawa ialah suatu insterumentalia musik yang penyajiannya menggunakan tetabuhan-tetabuhan sebagai pengiring tembang-tembang jawa atau pengiring pada pagelaran pewayangan juga pada kesenian ludruk, dalam hal ini tetabuhan yang dimaksudkan tidaklah terbatas pada

20

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat,

Jakarta:2008), hal.952.

21

Khusnin. Unggah-Unggah Bahasa Jawa Dan Implikasinya Pada Masyarakat.

(Yogyakarta;2008), hal.26.


(48)

36

alat-alat musik gamelan saja, akan tetapi alat-alat musik selain gamelan pun juga kerap digunakan dalam pengiringan Gendhing misalnya, rebab, seruling, angklung dan lain sebagainya. Orientasi pagelaran Gendhingan biasanya menggunakan alat-alat musik yang bernada, akan tetapi juga ada alat-alat-alat-alat musik selain itu yang digunakan yang tidak bernada, seperti Gedhog atau biasa disebut dengan dog-dogan (sebuah kotak dari kayu yang biasanya dipukul oleh dalang).22

Khusus untuk penggunaan alat musik yang tidak bernada dalam pagelaran Gendhing kali ini bila dimainkan secara personalia atau pribadi, hal ini juga biasa digunakan oleh pemain musik Gendhing untuk menggambarkan suatu hal yang dalam hal lain mempunyai suara yang sama dengan alat ini misalnya, bunyian alu atau bunyian lesung bila di pukul akan mengeluarkan bunyi yang sama pula dengan alat musik gedogan ini, sehingga dengan penggambaran seperti itu seakan-akan si pemain musik dan rangkaian pagelaran itu mengisyaratkan atau mengabstraksikan pada suatu suasana atau nuansa tertentu.

E. Sejarah Perkembangan Gendhing Jawi

Jika berbicara mengenai sejarah perkembangan Gendging Jawi dan asal mula kemunculanya, maka juga akan sangat perlu terlebih dahulu mengkaji bagaimanakah diketemukannya seperangkat alat-alat musik yang dipergunakan didalam pagelarang Gendhing Jawi itu sendiri. Dikarenakan bila membahas masalah Gendhing Jawi ini maka juga perlu mengenal tentang seni kebudayaan orang Jawa yang bernama Gamelan dan Karawitan yang juga menjadi satu kesatuan dari Gendhing Jawi itu sendiri yang termasuk didalamnya juga perlu

22

Sultan Agung, Serat Sastra Gendhing, (Surakarta: Museum Radya Pustaka 1821), hal.

405.


(49)

37

menelaah bagaimana kebudayaan dan kesenian ini berkembang dan apa yang melatarbelakanginya.

1. Asal-usul logam sebagai alat musik di Jawa

Belum ada kejelasan yang pasti tentang sejarah yang membahas kapankah kali pertama masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa mulai mengenal dan membuat alat-alat dari logam (termasuk Gong, Kenongan atau Bonang dan lain sebagainya) yang kini dipergunakan sebagai alat musik dalam pagelaran Gendhing. Akan tetapi, pakar arkeolog, Peter Bellwood, mengatakan bahwa terdapat bukti kegiatan pembuatan logam di Bali sebelum tahun 200M.23

Dan di beberapa lain daerah di Indonesia seperti, Jawa, Madura, Sumatra bagian selatan, Riau, Flores sebelum tahun 500M. perkiraan kegiatan itu agak berdekatan dengan selisih tahun yang tak jauh dari masuknya gendang perunggu di Indonesia.24

Dan ada teori yang mengatakan bahwa gong sebagai alat musik merupakan transformasi dan perkembangan dari gendang perunggu. Jika kedalaman gendang perunggu diperpendek maka, alat tersebut lebih mirip dengan alat musik Gong datar (tanpa pencu). Saat ini, Gong datar lebih umum dijumpai di daerah pegunungan di Vietnam dan Vilipina, daripada di

23

Ibid, hal.21.

24

Esther L. Siagian, Gong, (Jakarta 1970 : Lembaga Pendidikan Seni Nusantara), hal.

21-22.


(50)

38

Indonesia. Sedangkan Gong berpencu lebih umum diketemukan di berbagai wilayah di Asia Tenggara.25

Benarkah asalmula adanya Gaong atau alat musik logam lainnya berasal dari transformasi atau ubahan gendang perunggu datar hingga masuk ke Nusantara menjadi berpencu? Yang jela para ahli arkeolong menuturkan bahwasanya sewjak dari abad ke-12 dan sesudahnya Gong kecil berpencu sudah menjadi alat musik di Nusantara khususnya di Jawa pada zaman itu. Dan adapun alat itu juga pada zaman tersebut sudah digunakan dalam berbagai acara pertunjukan seperti-halnya pagelaran Wayang Kulit. Hal tersebut juga bisa dibuktikan dengan banyaknya relief yang diketemukan pada candi-candi di Jawa Timur yang dibangun sejak abad ke-14 yang terdapat gambar Gong26.

2. Asal-usul perkembangan Pagelaran Seni Musik di Jawa

Jawa merupakan suatu pulau kecil dari sebagian di kepulauan Nusantara yang begitu luas. Namun demikian Jawa merupakan pusat dari pemerintahan, dan sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan terbesar di Nusantara. Semua itu tidak lepas dari kiprah kerajaan Majapahit yang pada abad ke-14 sampai pada abad 15 mencapai puncak kejayaanya, yang mana pengaruhnya bukan hanya merambah dan meluas di Nusantara, akan tetapi juga merambah sampai ke kepulauan madagaskar dan afrika.

Pengaruh kerajaan Majapahit yang amat kental dengan kebudayaan dan adat jawa terlebih lagi bisa kita jumpai di Nusantara di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa barat. Terutama tentang Kesenian Karawitan

25

Ibid,24. 26

Ferdinandus, Alat Musik Jawa Kuno, (Yayasan Mahardhika, Yogyakarta;2003), hal.26.


(51)

39

yang berwujud Gamelan, yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya di daerah kerajaan Surakarta dan kerajaan Jogyakarta. Begitu pula di Jawa Barat, berupa kesenian Sunda bekas dari kerajaan Pasundan dan kesenian di Bali yang juga bekas peninggalan kerajaan Bali. Semua peninggalan kebudayaan tersebut tidak terlepas dari warisan budaya dari kerajaan Majapahit yang luhur.27

Kendatipun pada ahirnya kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan, namun para empuh karawitan masih banyak yang selamat dan melarikan diri dengan membawa kebudayaan itu. Mereka lari keberbagai macam daerah di Jawa, para empuh yang lari ke-arah utara mereka menuju ke daerah Lamongan dan Gersik, mereka yang lari ke-arah timur menyebar di daerah Surabaya, Sidoarjo sampai Pasuruan, sedangkan yang ke-arah selatan mereka berlari ke daerah malang. Dan di daerah inilah para empuh yang masih selamat pada ahirnya melestarikan dan mengembangkan kesenian Karawitan hingga tetap ada sampai pada saat sekarang ini.28

F. Laras (Tangga Nada) Dalam Kesenian Gendhing

Menurut istilah Jawa, gendhing merupakan jalinan nada-nada yang membentuk sebuah lagu. Dalam karawitan terdapat beberapa bentuk gendhing, yaitu dari bentuk sederhana sampai pada bentuk yang rumit. Gendhing biasanya ditulis dengan notasi kepatihan atau notasi angka, notasi ditulis dalam beberapa

27

Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 122.

28

Soetrisno. Sejarah Karawitan, (Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta, 1981). hal

215.


(52)

40

kelompok sesuai dengan panjang dan pendek gendhing. Setiap kelompok terdiri dari empat angka. Selanjutnya, tiap kelompok angka ini disebut gatra.29

Sedangkan kegunaan Laras dalam kesenian Gendhing sendiri ialah susunan nada dalam suatu oktaf atau nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya (frekuensi) dalam satu gembyang (oktaf), jadi dengan demikian laras atau titilaras adalah notasi atau tulisan untuk menginterpretasikan nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya dalam satu gembyang (oktaf).30 Laras dalam kesenian Gendhing Jawa dibedakan menjadi dua bagian, sebagai berikut:

1. Larasa Slendro

Laras slendro merupakan sistem urutan nada yang terdiri dari lima nada dalam satu gembyang (oktaf), nada tersebut diantaranya ; 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (mo), 6 (nem). Istilah ji, ro, lu, mo, nem tersebut merupakan nama singkatan angka dari bahasa jawa, ji berarti siji (satu), ro berarti loro (dua) lu berarti telu (tiga), mo berarti limo (lima) dan nem berarti enem (enam). Selain menggunakan singkatan nama, dalam laras juga sering digunakan istilah tradisional lainnya untuk menyebut setiap nada. Istilah tradisional tersebut diantaranya (1) Panunggal yang berarti kepala, (2) gulu yang berarti leher, (3) dada, (5) lima yang berarti lima jari pada tangan, dan (6) enem.31 Dalam pertunjukan wayang kulit laras slendro seringkali dimainkan untuk adegan perang, barisan prajurit dan adegan lainnya.

29

Raden Lurah Wulan Karahinan, Gendhing-Gendhing Mataraman Gaya Yogyakarta dan

Cara Menabuh (Yogyakarta: Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat), hal.4-5.

30

Ibid, hal.13

31

Priadi Harjito, ”Kebinekaan Laras, Keserupaan Laras, dan Metode Penetapannya”.

Bandung:2001, STSI. hal. 85


(53)

41

secara umum suasana yang dihasilkan dari laras slendro adalah suasana yang bersifat riang, ringan, gembira dan terasa lebih ramai. Hal ini dibuktikan banyaknya adegan perang, perkelahian atau baris diiringi gending laras slendro. Penggunaan laras slendro dapat memberikan kesan sebaliknya, yaitu sendu, sedih atau romantis. Misalnya pada gending yang menggunakan laras slendro miring.32 Nada miring adalah nada laras slendro yang secara sengaja dimainkan tidak tepat pada nada-nadanya. Oleh karena itu banyak adegan rindu, percintaan kangen, sedih, sendu, kematian, merana diiringi gendhing yang berlaras slendro miring.

2. Laras Pelog

Secara umum menghasilkan suasana yang bersifat memberikan kesan gagah, agung, keramat dan sakral khususnya pada permainan gendhing yang menggunakan laras pelog nem. Oleh karena itu banyak adegan persidangan agung yang menegangkan, adegan masuknya seorang Raja ke sanggar pamelegan (tempat pemujaan).33 adegan marah, adegan yang menyatakan sakit hati atau adegan yang menyatakan dendam diiringi gendhing-gendhing laras pelog. Tetapi pada permainan nada-nada tertentu laras pelog dapat juga memberikesan gembira, ringan dan semarak. misalnya pada gendhing yang dimainkan pada laras pelog barang.34

32

Ibid, hal.97

33

Ibid, hal.101


(54)

42

G. Macam-Macam dan Pengelompokan Gendhing Jawi

Dalam kesenian Gendhing Jawi yang sngat banyak keanekaragamannya, maka dapat di kategorikan kesenian Gendhing dalam budaya masyarakat Jawa dibeda-bedakan dalam macam-macam dan pengelompokannya, sebagai berikut:

1. Macam-macam Gendhing

Menurut nada dan iramanya Gendhing dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

a. Gendhing Irama Merdeka

Dalam Gendhing irama merdika, alat yang bersangkutan lebih menjurus kepada alat-alat yang bersifat individu. Hal ini dapat dimengerti karena justru dengan irama yang bebas improvisasi yang penuh dengan pemanis akan lebih terasa memberikan sifatnya yang khas, dalam hal ini juga bisa dikatakan bahwa dalam jenis Gendhing ini lebih mengarah pada jenis Gendhing kreasi.

b. Gendhing Irama Tandak

Sesuai dengan arti tandak yang mempunyai arti tetap atau ajeg, maka pengertian gending tandak adalah “gending yang mempunyai aturan ketukan-ketukan dan irama yang tetap dan tak berubah-ubah”, terutama dalam tabuhan kenongan dan goongan.35

2. Pengelompokan Gendhing

Pengelompokan Gendhing sendiri memiliki beberapa bentuk seperti banyak ditulis oleh beberapa para penulis dari pengamatannya yang

35

R. Wiranto, metode pendidikan seni karawitan jawa untuk sekolah menengah pertama,

hal.18.


(55)

43

didasarkan dan disandarkan dari gaya garapan Kendangan, Saron serta pada penyusunan Gendhing itu sendiri. Adapun pengelompokanya adalah sebagai berikut :

a. Kelompok Gendhing Giro

Kelompok Gendhing Giro suatu kelompok dari Gendhing yang disajikan pada awal-awal suatu sajian Gendhing. Kelompok Gendhing Giro ini mempunyai bagian yang biasa disebut dengan mbok-mbokan serta anak-anakan dalam hal ini Gendhing Giro mempergunakan alat sebagai ciri utamanya yaitu kendang gedhe dan kendang ketipung. Gendhing Giro mempunyai dua golongan yang menjadi komponen pentingnya, yaitu36 :

1. Golongan Gendhing Giro, golongan ini adalah Gendhing yang pertama disajikan sebagai awal permulaan pagelaran Gendhing.

2. Golongan Gendhing Gagahan, Gendhing ini disajikan setelah sajian Gendhing Giro selesai. Namun terkadang Gendhing Gagahan ini ditabuh juga sebagai pengganti dari Gendhing Giro, yang dinamakan dengan Gendhing Giro-giroan yang dipergunakan untuk menyambut dan mengiringi para tamu yang baru datang. Golongan Gendhing Gagahan ini banyak sekali, tidak seperti Gendhing Giro yang hanya mempunyai tiga buah Gendhing. Golongan Gendhing Giro dan Gagahan sama-sama mempergunakan kendang gedhe dan ketipung yang cara penabuhanya memakai alat pukul yang dinamakan Jedul yang terbuat dari iratan bambu dengan panjang 20 sampai 25cm, ia

36

Ibid, 34-35


(56)

44

mempunyai ujung serupa pentolan yang terbuat dari kain dan tehnik tabuhan kendangnya dinamakan penanggulan.37

b. Kelompok Gendhing Alit/cilik

Ciri yang sangat menonjol dari kelompok Gendhing ini adalah bahwa Gendhing ini hanya terdiri atas satu bagian saja, jadi tidak mempunyai mbok-mbokan atau anak-anakan seperti pada Gendhing Giro. Gendhing Alit bila digolongkan menurut panjang dan pendeknya ia mempunyai tiga golongan, mulai dari golongan terpendek yaitu Gendhing Cokronegoro (misalnya Gendhing Ijo-ijo, Walangkekek, Dendo), golongan Gendhing Samirah (Gonggomino,Sontoloyo) dan golongan Gendhing Luwung (Gagaksetro, Sapujagad). 38

c. Kelompok Gendhing Tengahan

Kelompok Gendhing tengahan mempunyai ciri yang hampir sama

dengan Gendhing Giro yang sama-sama mempunyai mbok-mbokan dan

anak-anakan, namun pada ukuran panjang dan pendeknya kelompok Gendhing ini lebih mirip pada Gendhing Alit dan dalam bagian notasi

Gendhing ini menggunakan kendang gedugan seperti-halnya pada

Gendhing Ageng.39 Oleh karena itu Kelompok Gendhing ini disebut kelompok Gendhing Tengahan karena ada sedikit bagian-bagianya yang mirip dengan Kelompok Gendhing lain yaitu, Gendhing Giro, Alit dan Ageng.

37

Soenarto, tehnik tabuhan karawitan Jawa Timur gaya Mojokerto-Surabaya,

(CV.Cendrawasih, Surakarta;2014). hal.24.

38

Ibid, hal.26.

39

Ibid, hal.26.


(57)

45

d. Kelompok Gendhing Ageng /gedhe

Kelompok Gendhing Ageng ini mempergunakan tiga gedukan didalamnya, yaitu gedugan mbok-mbokan, gedugan anak-anakan dan gedugan batangan. Gendhing Ageng digolongkan atas dasar panjang dan

pendeknya, yang panjang sepertihalnya Golongan Gendhing

Tawangbangkalan (Gambirsawit, Kutut manggung) dan yang pendek ialah Golongan Gendhing Sekartejo ( Sumbrang, Onang-onang).40

e. Kelompok Gendhing Gedog

Kelompok Gendhing ini memiliki cirri tabuhan tersendiri dari tabuhan saron, dimana tabuhan saron satu dan saron dua tabuhannya imbal atau ngintili. Adapun yang termasuk dalam Gendhing Gedog ini ialah krucilan, gemblak dan Gendhing ayak.

H. Fungsi-fungsi Gendhing

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian gending dengan segala ragamnya, sehingga dapatlah ditarik suatu kesimpulan yang memberi batasan tentang fungsi-fungsinya. Adapun beberapa fungsi-fungsi Gendhing adalah :

1. Pemberi Suasana

Kehadiran Gending terasa dibutuhkan, misalnya pada penerimaan tamu atau memberi suasana dalam kesenggangan keadaan yang santai. Kita mendengar ada musik pagi, musik siang hari, musik malam, inilah pemberi

40

Ibid,hal.27.


(58)

46

suasana dari kehadiran gending.41 Bentuk lagunya kebanyakan dibawakan secara instrumentalia atau gendingan dan lagu-lagunya disesuaikan pula dengan keadaan waktunya sehingga terasa ada jalinan suasana antara waktu dan lagu. Perkembangan lain beranjak pada pembacaan puisi, gending berfungsi sebagai ilustrasi. Di samping itu, terasa adanya suasana yang akrab antara pembaca puisi dan lagu. Apalagi apabila puisi berbahasa daerah, kemudian karawitan menjadi pendamping suasananya, terasa kepaduan itu terjalin dengan harmonis. Secara tidak disengaja, banyak pula orang yang akan tidur mudah terlena apabila mendengar seruling dan rebab. Mungkin saja hal disebabkan oleh lagunya yang melankolis, tetapi dari segi lain kita dapat merasakan bahwa warna rebab dan seruling (terutama dalam tembang) suasananya sangat erat sekali mendukung suasana malam.

2. Pengungkap Cerita

Apabila sebuah cerita diungkapkan melalui bahasa atau dari bahasa diungkapkan lagi dalam sekar sudah menjadi hal yang biasa. Sebagai contoh dalam Gending Karesmen. Tetapi apabila jalinan cerita itu diungkapkan dalam komposisi gending hal itu masih merupakan barang langka dalam perkembangan karawitan. Padahal, sebenarnya lagu-lagu degung instrumental pada zaman dahulu sudah merupakan dasar-dasar kuat dalam bentuk ini.42

Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi gending di sini sebagai pengungkap interpretasi cerita yang dikomposisikan secara khusus menurut gaya dan citra si seniman itu sendiri. Mengenai interpretasi penonton atau

41

Pengrawit Marto, Pengetahuan Karawitan Jilid 1, (ASKI Surakarta 1969), hal.23.

42

Ibid, hal.27.


(59)

47

pendengar pada karya cipta ini mungkin saja berbeda-beda dan apabila terjadi hal seperti ini, sang komponis tidak akan mempersoalkannya karena telah demikianlah adanya, di mana ia telah menyusun berdasarkan interpretasi dirinya melalui liku nada dan melodinya.43

3. Sebagai Iringan

Gendhing dalam fungsi sebagai iringan atau pengiring terhadap komponen yang lainya secara umum diartikan sebagai aspek yang menjadikan lengkap atau membuat lengkap hal lain dengan adanya Gendhing, jadi Gendhing dalam ranah ini tidak berdiri sendiri, dikarenakan bila Gendhing berdiri sendiri atau sebaliknya maka tak akan ada kelengkapan dan bahkan maksud yang terkandung tak akan sampai.44 Dalam tradisi Jawa, kesenian Gendhing sendiri biasa dipadukan atau dipakai iringan dalam hal-hal tertentu diantaranya:

a. Iringan Tari

Untuk mengiringi tarian-tarian biasanya Gendhing dalam hal ini mempergunakan instrument yang lengkap. Sifatnya dalam mengirimgi tari-tarian lepas atau bebas, namun tanpa menggunakan kecer dan ponggang. Gendhing-Gendhing yang dipergunakan harus terikat pada jenis tarian yang diiringinya.45

b. Iringan Wayang

43

https://sanggarwaringin.files.wordpress.com/2012/02/karawitan-gending.pdf

44

Ibid, hal.28.

45

Ibid, hal.31.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang mengulas tentang berbagai pengertian juga macam-macam spiritualitas ini, penulis mendapat kesimpulan bahwasanya spiritualitas bukanlah hal yang selalu mengarah pada ranah keberagamaan saja sekalipun dalam semua agama nilai-nilai mengenai spiritualitas ini banyak diajarkan, dengan kata lain spiritualitas adalah hal yang luas namun sangat kompleks mengenai kejiwaan, batin juga rasa dalam diri manusia yang tidak bisa dibatasi atau diperoleh hanya dengan satu jalan saja karena sifatnya yang fleksibel yang menjadi kontrol akan diri manusia yang selalu merindukan ketentraman, kebenaran atau Tuhan dan semacamnya.

Penelitian kali ini penulis juga menarik kesimpulan bahwa fungsi kesenian Jawa dalam kehidupan masyarakat sangat dominan. Esensi kesenian Tembang dan Gendhing yang sangat menonjol adalah sebagai sarana berkomunikasi. Suatu bentuk seni yang berbobot harus mampu menyampaikan atau mengkomunikasin nilai-nilai didalamnya dengan baik sehingga maksud atau makna dari suatu karya seni itu akan sampai pada penikmat seni secara efektif dan interpretatif, seni Tembang dan Gendhing dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal dalam budaya Jawa kesenian dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Dalam konteks yang lain dapat di interpretasikan bahwa melodi musik jawa (Tembang dan Gendhing) mempunyai kaitan erat dengan sistem kepercayaan


(2)

92

dan theologies masyarakat Jawa sendiri. Secara horisontal, komunikasi pada seni ini tercermin dari hasil sajian instrumrntalia yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni Tembang dan Gendhing, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan pakem dan strukturalnya. Hal ini sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, lebih mengutamakan kebersamaan dalam keberagaman dan perbedaan.

B. Saran

Hendaknya dalam hal ini kita lebih memperhatikan bagaimana orang-orang terdahulu mewariskan kebudayaan kepada kita berupa Gendhing Jawi bukan hanya sebagai simbol peninggalan budaya jawa yang tidak lagi relevan bila dipandang dari sudutpandang modernis, tetapi yang perlu ditekankan adalah bagaiman maksud orang-orang terdahulu mewariskanya kepada kita sebagai hal yang juga berpengaruh untuk kehidupan selanjutnya terutama dalam ranah spiritualitas. Saya menyadari bahwasanya dengan keterbatasan kapasitas data dan waktu dalam penulisan skripsi ini, maka perlu adanya kritik dan juga saran yang kontruktif dan positif demi perbaikan dan pengembangan penulisan selanjutnya. Harapan saya kiranya dalam penulisan kali ini dapat menambah khazanah intelektual yang berpengaruh terhadap perkembangan keilmuan yang bisa menerima keberagaman pemikiran dan menghargai pemikiran orang lain tanpa mengklaim “kami yang paling benar” dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.


(3)

93

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Sultan, 1821, Serat Sastra Gendhing, Surakarta: Museum Radya Pustaka.

Ahmad Anas, 2003, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan

Jama’ah Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Bekerja Sama dengan Walisongo Press, Semarang.

Al-Kumayi, Sulaiman, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, 2007, Pustaka Nuun, Semarang.

Al-Qardhawi, Yusuf, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, 2006, Mujahid Pers, Bandung.

Abdul Jamil, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:2000 Gama Media.

Al-qur’an dan terjemahan, 1984,Departenen Republik Indonesia.

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Alquran, 2005, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bambang, Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, 1998, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.

Darori Amin, M, Islam dan Kebudayaan Jawa, 2002, Gema Media, Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat, Jakarta.

Djoko Damono, Sapardi, Bilang Begini Maksudnya Begitu, 2014, PT.Gramedia, Jakarta.

Djohan, Psikologi Musik, 2003, Buku Baik, Yogyakarta.


(4)

94

Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, 2000, cv. Pustaka setia, Bandung.

Edraswara, Suwardi, Mutiara Adhi Luhung Orang Jawa, 2005, Penerbit

Gelombang Pasang, Yogyakarta.

Esther L. Siagian, Gong, 1970, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, Jakarta.

Ferdinandus, PEJ. 2003. Alat Musik Jawa Kuno, Yayasan Mahardhika,

Yogyakarta.

Frager, Robet Ph.D. Psikologi Sufi, Transformasi Hati, Jiwa Dan Ruh, 2014, Zaman, Jakarta.

Geertz, Clifford, 1981 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta Pusat.

Hafi Anshori, M, Kamus Psikologi, 1995, Usaha Kanisius, Surabaya.

Hajar, Ibnu, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan,

1999, PT. Raja Grafindo Persada, Jakart.

Hariwijaya, M, Islam Kejawen, 2006, Penerbit Gelombang Pasang, Yogyakarta. Hasyim, Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Pemikiran

Psikologi Humanistik Abraham Maslow, 2002, Walisongo Press Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Haszrat Inayah Khan, Dimensi Mistik Musik Dan Bunyi, 2002, Pustaka Sufi, Yogyakarta.

Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha, Jakarta;1971, Badan penerbit

Kristen.

http://blog.ikanmasteri.com/journal/jarwodhosok-pansus-century.html

Khalim, Samidi, Islam dan Spiritualitas Jawa, 2008, RaSIL Media Group, Semarang.


(5)

95

Khusnin. 2008, Unggah-Unggah Bahasa Jawa Dan Implikasinya Pada Masyarakat, Yogyakarta.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 2002, Karya Unipress, Jakarta.

M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, 2000, Penerbit Qalam,

Yogyakarta.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2012, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Muhaya, Abdul, 2003, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi

Oleh Ahmad Al-Ghazali, Yogyakarta: Gama Media.

Pengrawit Marto, Pengetahuan Karawitan Jilid 1, 1996, ASKI, Surakarta.

Ridin Sufwan, Merumuskan kembali Interelasi Islam Jawa, 2004, Gama Media, Yogyakarta.

Sidik Jtmiko, Urip Mung Mampir Ngguyu, 2009, KANISIUS, Deresan Yogyakarta.

Shihab, Alwi, 1999, Islam Inklusif, Bandung: Mizan.

Sitomorang, Oloan, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya,1988, Angkasa, Bandung.

Soetrisno, Sejarah Karawitan, 1981, Akademi Seni Tari, Yogyakarta.

Sumarsam, Gamelan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 2003, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Samsuri, Analisis Bahasa, 1985, Penerbit Erlangga, Jakarta.


(6)

96

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, Balai Pustaka, Jakarta.

Zaini, Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, 2002, Selemba diniyah, Jakarta.

Zoetmulder, P.J, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, 1990, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.