ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI DALAM RANGKA MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU SD DI KAB. MAROS SULAWESI SELATAN.

DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................

i

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................

ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ...........................................................................

iii

MOTTO .............................................................................................................

iv

ABSTRAK ........................................................................................................

v


KATA PENGANTAR .......................................................................................

vi

DAFTAR ISI .....................................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................ xvi
BAB I

PENDAHULUAN ...........................................................................

1


A. Latar Belakang Masalah ............................................................

1

B. Rumusan Masalah ..................................................................... 13
C. Pertanyaan Penelitian ................................................................ 17
D. Definisi Operasional .................................................................. 12
E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 18
F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 18
BAB II

KAJIAN TEORITIS ........................................................................ 20
A. Konsep Pelatihan Berbasis Kompetensi .................................... 20
1.

Konsep Dasar Pelatihan....................................................... 20
a. Pengertian Pelatihan ...................................................... 20
b. Tujuan dan Manfaat Pelatihan ....................................... 22
v


Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

c. Langkah-langkah dan Prinsip Pelatihan Bagi Guru ....... 29
2.

Pemahaman Pelatihan Berbasis Kompetensi . .................... 36
a. Pengertian Kompetensi .................................................. 36
b. Pelatihan Berbasis Kompetensi ..................................... 41

B. Analisis Kebutuhan Pelatihan ................................................... 43
1. Pengertian Analisis Kebutuhan Pelatihan ............................ 43
2. Tujuan Analisis Kebutuhan Dalam Pelatihan ...................... 47
3. Model Penetapan Kebutuhan Pelatihan . ............................. 50
4. Jenis Analisis Kebutuhan Pelatihan ..................................... 52
C. Kompetensi Guru Profesional ................................................... 54
1. Pengertian Kompetensi Guru ................................................ 54
2. Pemahaman Terhadap Guru Professional .............................. 66
3. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru ............................ 68

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 71
A. Metode Penelitian...................................................................... 71
B. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 73
C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ......................................... 79
D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................... 85

BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ........................................ 87
A. Deskripsi Hasil Penelitian ........................................................ 87
1. Profil Lokasi Penelitian ................................................ ...... 87
2. Profil Responden ............................................................... . 88
3. Profil Penguasaan Standar Kompetensi Guru SD Negeri
di Kab. Maros ........... .......................................................... 99
vi

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu


4. Peta Kebutuhan Pelatihan Guru Berbasis Kompetensi
Guru SD di Kab. Maros ..................................................... . 197
5. Kompetensi-Kompetensi Yang Di Butuhkan Untuk
Dilatihkan pada Guru SD Negeri di Kabupaten Maros ...... 212
B. Pembahasan ......................................................................... ..... 214
BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 228
A. Kesimpulan ................................................................................ 228
B. Rekomendasi .............................................................................. 233

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 234
LAMPIRAN.
1.

Hasil Analisis Validitas Instrumen Uji Coba ..................................... ........ 239

2.


Hasil Uji Realibilitas Instrumen Uji Coba .................................................. 245

3.

Anket Penelitian ......................................................................................... 253

4.

Data Hasil Penelitian ................................................................................... 263

5.

Surat Keputusan Pembimbing .................................................................... 313

6.

Surat Izin Penelitian dari SPs UPI Bandung ............................................... 315

7.


Surat Izin Penelitian dari Dinas Pendidikan Kab. Maros .......................... 316

8.

Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Dinas Pendidikan
Kab. Maros ................................................................................................. 317
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... 318

vii
Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu prasyarat utama dalam meningkatkan
martabat dan kualitas bangsa. Dalam perubahan apa atau mengenai apapun,
pendidikan tetap merupakan faktor utama dalam setiap pertumbuhan dan
perkembangan bangsa dan negara, seperti dijelaskan dalam Pasal 3 UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa :

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan harus menjadi sarana bagi
pewarisan dan pengembangan nilai-nilai, sikap dan norma yang sesuai
dengan watak dan martabat bangsa ini.
Sampai saat ini, ada anggapan bahwa mutu pendidikan masih rendah.
Salah satu indikator yang menunjukkan mutu pendidikan adalah hasil Ujian
Nasional. Meski banyak mengundang kontraversi, tetapi setidak-tidaknya
hasil ujian nasional bisa dijadikan sebagai tolok ukur awal terhadap
rendahnya mutu pendidikan kita. Bila ditilik lebih jauh, rendahnya mutu
pendidikan bangsa ini tidak bisa lepas dari kondisi para guru sebagai salah
satu unsur penyelenggara pendidikan. Guru mempunyai posisi dan peranan

1
Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

2

yang sangat penting dan strategis dalam keseluruhan upaya pencapaian mutu
pendidikan.
Sukmadinata (2005:191) mengemukakan bahwa pendidikan berintikan
interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan
merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu
triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan.
Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur
lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik
adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama
pendidikan merupakan pendidik profesional. Sebagai pendidik professional,
guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi
juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional.
Baedhowi menyatakan (2009) bahwa dalam pembangunan sektor
pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah
jantungnya pendidikan. Sebagus dan semodern apapun kurikulum dan

perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas,
tidak akan membuahkan hasil yang optimal. Artinya pendidikan yang unggul
tetap

tergantung

pada

kondisi

mutu

guru.

Pernyataan

ini

jelas


menggambarkan besarnya tanggung jawab seorang guru terhadap penciptaan
pendidikan yang bermutu.
Sinyalemen lain beranggapan bahwa kemerosotan pendidikan bukan
diakibatkan

oleh

kurikulum

tetapi

oleh

kurangnya

kemampuan

3

profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme
menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan
manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya
memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan.
Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa kualitas pendidikan
ditentukan oleh 60% kualitas guru. Jika kualitas gurunya jelek, maka 60%
jelek pula kualitas pendidikan. Sebaliknya jika kualitas gurunya baik, maka
60% kualitas pendidikan juga baik dan 40% lainnya dipengaruhi oleh
berbagai faktor lainnya. Artinya jika pendidikan ingin maju, maka harus
dimulai dulu dari gurunya. Guru benar-benar menjadi faktor kunci kalau
ingin memajukan pendidikan.
Undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun
2003, UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005, PP No. 19 Tentang Standar
Nasional Pendidikan,

secara singkat menyatakan bahwa guru yang

berkualitas atau yang berkualifikasi baik adalah yang memenuhi standar
pendidik, menguasai materi/isi pelajaran sesuai dengan standar isi,
menghayati dan melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan standar
proses pembelajaran.
Mengingat akan besarnya tanggung jawab seorang guru, maka
diperlukan upaya-upaya yang lebih signifikan dalam rangka meningkatkan

4

kompetensi guru secara optimal. Dengan meningkatnya kompetensi guru
diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh pemerintah adalah pemberian sertifikat pendidik untuk
guru. Sertifikasi guru pada hakikatnya untuk meningkatkan kesejahteraan
guru dan sekaligus untuk meningkatkan kualitas guru.
Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang
kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut
mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogik (2) kompetensi
profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Persoalan
yang muncul kemudian, bahwa guru yang telah memiliki kompetensi yang
hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi,
tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan
secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi sekarang,
yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah
sertifikasi. Karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka
sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul
sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi
guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang
hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan upaya
pengembangan kompetensi guru secara terus menerus dan berkelanjutan
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam tatanan
globalisasi. Hal ini perlu dipikirkan oleh semua pihak yang berkepentingan,

5

karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan
profesionalisme guru itu sendiri. (http://www.freewebs.com/santyasa/pdf/).
Fakta

lain

dari

hasil

penelitian

menunjukkan

rendahnya

profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar.
Menurut Balitbang Depdiknas, (http://goblogmedia.net/ 2009/08/26/), guruguru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta hanya
28,94%,

guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri

65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91%, swasta 58,26%.
Fakta di atas menunjukkan bahwa masih banyak guru yang tingkat
kelayakan mengajarnya belum memadai. Yang paling memprihatinkan adalah
guru pada tingkat SD baik negeri maupun swasta, hanya 28,94 yang layak
mengajar. Artinya sebagian besar guru SD tidak layak mengajar.
Salah satu fakta hasil temuan penelitian yang dilakukan LPMP
Kalimantan Selatan masih ditemukan bahwa kemampuan profesional yang
masih

sangat

rendah

adalah

pada

komponen

mengembangkan

keprofesionalan secara berkelanjutan yaitu pada aspek mengikuti kemajuan
zaman dengan belajar dari berbagai sumber, 5 (lima) dari 12 kabupaten
menunjukkan kemampuan yang sangat rendah atau 47%. Aspek lainnya
adalah pada aspek melakukan penelitian tindakan kelas, 4 (empat) dari 12
kabupaten menunjukkan kemampuan sangat rendah atau 30%.
Hasil uji kompetensi yang dilakukan terhadap 825 guru SD dan MI di
salah satu kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2008 hanya 1 guru yang
memenuhi standar dengan nilai 8 pada bidang studi Bahasa Indonesia. Untuk

6

bidang studi seperti Matematika dan IPS nilai para guru masih baik, nilai IPA
di bawah standar, yakni 2 dan 5, dan tidak satupun guru yang lolos ujian
Didaktik Metodik, 352 atau 42% guru peserta uji kompetensi memperoleh
nilai 4 dengan nilai rata-rata 40. (VHR media, 18 November 2008).
Mencermati fakta tersebut di atas, maka perlu di ambil langkah strategis
dan berkelanjutan dalam rangka membina guru baik yang sudah disertfikasi
maupun yang belum.
Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena
prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar
sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah
menyandang

sertifikat

pendidik,

guru

berkewajiban

untuk

terus

mempertahankan profesionalitasnya sebagai guru.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru
berkelanjutan telah dilakukan dengan

melibatkan Instansi Pusat, Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas
Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.
Selain pemberian sertifikat pendidik, upaya lain yang dilakukan untuk
meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui pelatihan-pelatihan, baik
yang dilakukan oleh lembaga diklat maupun yang dilakukan oleh organisasi
profesi guru itu sendiri. Peningkatan profesionalisme dilakukan melalui
pendidikan, pelatihan-pelatihan singkat maupun berkesinambungan, dengan

7

pembiayaan dari pemerintah, yang dikenal dengan Continuous Professional
Development (CDP) (Baedhowi, 2009).
Bebeberapa upaya yang dilakukan dengan pendekatan CPD ini adalah
dengan memberdayakan unsur Kelompok Kerja Guru (KKG) dan
Munyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Kepala
Sekolah (KKKS) dan Munsyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), LPMP
dan P4TK, Perguruan Tinggi (PT/LPTK), dan assosiasi profesi.
Pada

2009

Departemen

Pendidikan

Nasional

(Depdiknas)

menganggarkan dana Rp 1,2 triliun untuk meningkatkan kompetensi guru
melalui lembaga diklat dan kelompok kerja guru yang tersebar di kabupaten
dan kota. Dari dana yang dianggarkan tersebut, sebesar Rp. 496 miliar di
antaranya digunakan untuk meningkatkan kompetensi guru SD di daerah
terpencil (http://www.kapanlagi.com/h/). Besarnya dana yang dianggarkan
adalah merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah dalam upaya
meningkatkan profesionalisme guru.
Indikator

keseriusan

pemerintah

dalam

upaya

meningkatkan

profesionalisme guru perlu didukung usaha-usaha lain yang lebih terencana,
sistematis dan berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya
jumlah

guru yang perlu dikembangkan. Pada sisi lain keberadaan guru

tersebar pada beberapa daerah baik perkotaan maupun di daerah pedesaan dan
terpencil. Melihat hal tersebut, maka kelihatannya perlu
dilakukan upaya lain dalam pengembangan guru.

dipikirkan dan

8

Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional
development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok
kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP
tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan
berbagi

pengalaman

mengajar

antar

guru,

tetapi

dengan

strategi

mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Sutjipto (2009) menawarkan beberapa pikiran dalam kaitannya dengan
pengembangan guru, salah satunya adalah perlunya strategi dan usaha untuk
menciptakan dan mengembangkan sistem yang mengedepankan budaya guru
untuk belajar berkelanjutan. Sistem pembenahan dalam pendidikan dan
pengembangan guru tidak ditujukan hanya sekedar formalitas dan legalitas
saja serta sistem pembenahan dalam pendidikan dan pengembangan guru
tidak ditujukan hanya sekedar formalitas dan legalitas saja.
Mencermati pemikiran tersebut, jelas tergambar bahwa hanya dengan
kucuran anggaran yang besar belumlah cukup dalam upaya pengembangan
profesionalisme guru.

Perlu dipikirkan upaya lain yang mungkin lebih

efesien, efektif, sistematis, dan berkelanjutan. Sehingga dapat menjangkau
semua guru yang jumlahnya sangat besar dan tersebar pada beberapa daerah,
terutama pada daerah terpencil.
Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses belajar mengajar,
dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu sangat ditentukan
oleh kualitas kemampuan guru, meskipun ada faktor lain yang terkait.

9

Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan pada suatu jenjang
pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru perlu ditingkatkan
pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas pendidikan itu disinyalir
kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu yang akan lebih dulu
mendapat tudingan adalah guru. Kita sering juga mendengar keluhan dari
beberapa masyarakat tentang kualitas kemampuan guru dalam melaksanakan
tugasnya.
Tugas dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen
utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk selalu mampu mengimbangi
bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan guru di sekolah diharapkan
mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap
menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang
tinggi. Sekarang dan ke depan, sekolah (pendidikan) harus mampu
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, baik secara keilmuan
(akademis) maupun secara sikap mental.
Gurulah yang berada digarda terdepan dalam menciptakan kualitas
sumber daya manusia. Guru berhadapan langsung dengan para peserta didik
dikelas melalui proses belajar mengajar. Di tangan gurulah akan dihasilkan
peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian),
kematangan emosional, dan moral serta spiritual. Dengan demikian, akan
dihasilkan generasi masa depan yang siap hidup dengan tantangan zamannya.

10

Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang mempunyai kualifikasi,
kompetensi,

dan

dedikasi

yang

tinggi

dalam

menjalankan

tugas

profesionalnya. Dengan kata lain bahwa sangat tidak mungkin bisa
menghasilkan peserta didik yang memiliki penguasaan kompetensi tinggi bila
guru hanya memiliki kompetensi seadanya.
Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik
melalui

belajar

sendiri

maupun

melalui

program

pembinaan

dan

pengembangan yang dilembagakan oleh pemerintah atau masyarakat. Sejalan
upaya meningkatkan profesional guru, Rusman (2010) mengemukakan bahwa
rendahnya kualitas pendidikan saat ini merupakan indikasi perlunya
keberadaan guru professional. Lebih jauh di uraikan bahwa guru tidak hanya
sebatas menjalankan profesinya, tetapi guru harus memiliki interest yang kuat
untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah guru yang
dipersyaratkan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
profesional guru adalah melalui pelatihan. Menurut Suwondo, (2003)
program peningkatan kemampuan profesional guru adalah peningkatan
kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan dan pengalaman melalui
program magang atau on the job training. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
seorang guru minimal mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi dua kali
dalam lima tahun. Hal ini didasarkan pada dua hal. Pertama, agar mereka
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
yang demikian cepat. Kedua, untuk memberi kesempatan kepada yang

11

bersangkutan agar dapat memenuhi persyaratan angka kredit atau kenaikan
pangkat atau jabatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelatihan bagi guru perlu
dilakukan

secara

berkesinambungan.

Melalui

pelatihan

yang

berkesinambungan, maka diharapkan seorang guru dapat secara terus
menerus meningkatkan dan memperharui kompetensinya seiring dengan
perkembangan IPTEK.
Pengembangan profesionalisme guru diarahkan untuk penguatan
kompetensi guru

berdasarkan standar kompetensi guru, (pedagogik,

kepribadian, sosial, dan profesional). Cara pengembangan profesi dapat
dilakukan melalui (antara lain); forum KKG/MGMP, seminar/workshop,
penerbitan majalah ilmiah, lesson study, pelatihan, dan studi lanjut
Pengakuan terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan (Diklat)
sebagai salah satu upaya peningkatan profesional guru mungkin sudah tepat.
Tapi masalahnya banyak diklat yang diselenggarakan, tidak atau kurang
memenuhi kebutuhan sesungguhnya. Diklat yang dilakukan kadang hanya
didasarkan pada anggaran, sehingga program pelatihan yang dilakukan hanya
disesuaikan dengan jumlah anggaran yang tersedia. Masalah lain yang sering
terjadi adalah diklat yang diselenggarakan didesain dari pusat, guru hanya
mengikutinya saja. Sehingga terkadang diklat yang diikuti tidak sesuai
dengan kebutuhan guru tersebut, atau kadang hanya sekedar untuk
mengumpulkan sertifikat untuk kenaikan pangkat, tidak didasarkan pada
kebutuhan peningkatan profesional guru secara berkelanjutan. Akibatnya
investasi yang ditanamkan melalui diklat kurang dapat dilihat hasilnya. Pada

12

akhirnya pelatihan yang diberikan kepada guru tidak mampu meningkatkan
mutu pendidikan.
Timbulnya masalah ini tentu disebabkan banyak hal. Salah satu
penyebabnya adalah tidak dilakukannya Needs Assessment terhadap
pelatihan-pelatihan yang dilakukan.

Banyak hal yang terjadi diakibatkan

tidak dilakukannya needs assessment tersebut, misalnya kurikulum pelatihan
yang didesain tidak tepat sasaran, kebutuhan guru dengan materi pelatihan
tidak sesuai, metode dan sasaran pelatihan tidak relevan dengan tujuan
pelatihan yang ditetapkan.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Pusat Inovasi Balitbang
Depdiknas (Saondi, 2010) mengemukakan bahwa terdapat tiga permasalahan
yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru dalam pembangunan
pendidikan, yaitu; a) sistem pelatihan guru; b) kemampuan profesional; c)
profesi, jenjang karier dan kesejahteraan.
Hubungannya dengan sistem pelatihan guru, maka implikasi yang
dapat diambil berupah langkah-langkah sebagai berikut; a) adanya sistem
pelatihan guru yang didahului dengan needs assessment sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing, b) adanya koordinasi sistem monitoring
dalam penyelenggaraan pelatihan guru, c) melakukan penilaian proses dan
dampak terhadap efektifitas dan efesiensi pelatihan guru oleh lembaga
independen, d) membentuk dan pemberdayakan pusat-pusat pelatihan.
Mencermati permasalah yang timbul dalam hubungannya dengan
efektifitas

dan

efesiensi

pelaksanaan

pelatihan

guru

yang

masih

13

dipertanyakan, maka perlu dicari alternatif model pelatihan yang mampu
memberi solusi terhadap masalah tersebut. Salah model pelatihan yang dapat
dipilih adalah model pelatihan berbasis kompetensi.
Pelatihan berbasis kompetensi diperlukan karena secara tradisi atau
konvensional pelatihan yang selama ini terjadi hanya menghasilkan peserta
pelatihan yang hanya memiliki pengetahuan apa yang harus dilakukannya,
tapi tidak mampu mengimplemtasikan dalam tugasya sebagai guru.
Sementara pada model pelatihan yang berbasis kompetensi, peserta setelah
selesai mengikuti pelatihan diharapkan tidak saja sekedar tahu tetapi juga
dapat melakukan sesuatu yang harus dikerjakan.
Dalam sistem berbasis kompetensi, pelatihan difokuskan pada kinerja
aktual baik kinerja individu maupun kinerja organisasi. Sementara dalam
model pelatihan tradisional setiap peserta akan mengikuti pelatihan yang
sudah dirancang. Kemudian agar supaya kinerja pembelajaran dapat
diketahui, maka peserta melakukan pre dan post test yang sudah dirancang.
Setelah selesai pelatihan para peserta akan mendapat sertifikat atau piagam.
Dalam sistem pelatihan berbasis kompetensi tahap awal yang harus
dirumuskan adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilakukan seseorang dengan
baik. Dari uraian tersebut maka suatu pelatihan dirancang agar peserta dapat
menjalankan fungsinya sesuai standar. Dengan demikian, seorang guru yang
sudah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi diyakini dapat menguasai
standar kompetensi yang telah ditentukan. Setelah itu peserta pelatihan akan

14

mendapat pengakuan kemampuan mengerjakan fungsi-fungsi standar berupa
sertifikasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari gambaran umum pada latar belakang masalah yang
telah diuraikan di atas, maka dapat dikemuakan rumusan masalah sebagai
berikut: Kompetensi apa yang dibutuhkan untuk dilatihkan dalam
rangka meningkatkan profesionalisme guru SD di Kab. Maros Sulawesi
Selatan?

C. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman terhadap beberapa istilah yang
berkaitan dengan masalah penelitian, maka perlu dijelaskan secara
operasional. Istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:
1.

Analisis Kebutuhan Pelatihan atau sering disebut dengan istilah Training
Needs Assessment (TNA) adalah istilah umum untuk menggunakan
analisis kegiatan pelatihan untuk menilai dan memahami masalah kinerja
atau teknologi baru (Rossett & Arwady, 1987;14). Menurut Barbazette
(2006:5) A Needs assessment is the process of collecting information
about an expressed or implied organizational need that could be met by
conducting training. Sedangkan Lawson (2006;6) berpendapat bahwa
Needs assessment is the process of determining the cause, extent, and
appropriate cure for organizational ills.

Pendapat yang serupa

dikemukakan oleh Palomo dan Luna (1999:1)

adalah proses untuk

15

mendapatkan dan menganalisis informasi untuk menentukan status dan
layanan kebutuhan suatu populasi tertentu dan/atau daerah tertentu.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dirumuskan secara
operasional tentang pengertian analisis kebutuhan pelatihan yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu proses pengumpulan,
analisis data dan informasi dalam rangka mengidentifikasi program atau
hal-hal apa saja yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kompetensi
seseorang tersebut menjadi meningkat.
2.

Pelatihan menurut Ridha dalam Fuad & Ahmad (2009) adalah
sekumpulan kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan
(knowledge) dan keterampilan (skill) seseorang, dengan berdasarkan pada
pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa dipraktikkan dalam
pekerjaan. Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan
sebagai: “proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan
prosedur yang sistematis dan terorganisir. Menurut Good, 1973 pelatihan
adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan
pengetahuan (M. Saleh Marzuki, 1992:5). Sedangkan Michael J. Jucius
dalam Moekijat (1991:2) menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan
setiap

proses

untuk

mengembangkan

bakat,

keterampilan

dan

kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Menurut Sujana (2007) pengertian pelatihan

dapat lihat dari sudut

pandang secara axiologis, yakni pelatihan dikaji dari kegunaannya bagi
individu atau peserta pelatihan adalah terjadinya peningkatan berbagai

16

kemampuan (kompetensi) melalui perolehan keterampilan, pengetahuan
dan sikap dan nilai-nilai baru setelah mengikuti pelatihan, yang
ditampilkan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan/atau kehidupan
mandiri
Mencermati dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka
pelatihan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses
pendidikan yang di lakukan pada individu maupun kelompok orang
dalam jangka waktu tertentu (jangka pendek), yang bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang dapat
diterapkan dalam pekerjaannya.
3.

Pelatihan berbasis kompetensi (competency based training) menurut
Sulipan dalam Fuad & Ahmad (2009:80) adalah suatu cara pendekatan
pelatihan yang penekenan utamanya berada pada apa yang dapat
dikerjakan seseorang sebagai hasil dari pelatihan (training outcome).
Lebih lanjut Sulipan mengemukakan bahwa salah satu hal yang perlu
diperhatikan

dalam

pelatihan

berbasis

kompetensi

adalah

mengindetifikasi semua pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang
dibutuhkan dalam suatu pekerjaan yang tercermin dalam standar
kompetensi. Sedangkan menurut Australian Chamber of Commerce and
Industry, (1992)adalah suatu cara pendekatan pelatihan yang memberikan
penekanan utama pada apa yang seseorang dapat lakukan sebagai hasil
dari pelatihan (hasilnya).

17

Dari kedua pendapat tersebut di atas, maka dirumuskan definisi
operasional dalam penelitian ini bahwa yang dimaksud dengan pelatihan
berbasis kompetensi

adalah bahwa pelatihan yang dilakukan dengan

memperhatikan kebutuhan perserta pelatihan (traine) yang menekankan
pada penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat
dimiliki oleh peserta pelatihan setelah mengikuti pelatihan.
4.

Guru Profesional menurut Kunandar (2009;46) adalah guru yang
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas
pendidikan.

Sedangkan menurut Rusman (2010) guru profesional

adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk
melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran. Dalam UU No. 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru professional adalah
guru yang menguasai 4 (empat) kompetensi secara utuh. Keempat
kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, keperibadian, sosial
dan profesional.
Secara opersioanal guru profesional yang dimakusdkan adalah guru
yang menguasai secara utuh 4 (empat) kompetensi yang dipersyaratkan
meliputi kompetensi pedagogik, keperibadian, sosial dan profesional.
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
D. Pertanyaan Penelitian
Rumusan pertanyaan penelitian berdasarkan masalah pokok di atas adalah:
1.

Bagaimana profil kompetensi guru kelas pada SD Negeri di Kab.
Maros yang ada saat ini?

18

2.

Bagaimana peta kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi untuk
peningkatan profesionalisme guru kelas pada SD di Kab. Maros?

3.

Kompetensi apa saja yang dibutuhkan untuk pelatihan peningkatan
profesionalisme guru kelas pada SD di Kab. Maros?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari pertanyaan penelitan yang telah dirumuskan, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan profil kompetensi guru kelas pada SD Negeri di Kab.
Maros saat ini.
2. Menyusun peta kompetensi kebutuhan pelatihan guru kelas pada SD
Negeri di Kab. Maros berdasarkan hasil penilaian kebutuhan pelatihan
(training needs assessment)
3. Mengindentifikasi kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh guru
SD Negeri di Kab. Maros untuk di latihkan dalam rangka meningkatkan
profesionalismenya.
F. Manfaat Penelitian
1.

Secara Teoritis
Penelitian ini difokuskan pada peran analisis kebutuhan dalam
mengindentifikasi kesenjangan (gap) terhadap kompetensi calon peserta
pelatihan. Pelatihan yang didasarkan pada hasil analis kebutuhan,
diyakini dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
pelatihan. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

19

masukan kepada pengelola pendidikan dan pelatihan mengenai
pentingnya melakukan analisis kebutuhan pelatihan, sehingga pencapaian
tujuan pelatihan dapat tercapai lebih optimal.
2.

Secara Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan menghimpung data dan informasi
program-program pelatihan apa saja yang dibutuhkan oleh guru untuk
meningkatkan profesionalisme guru.
b. Menjadi pedoman bagi pihak-pihak terkait (Dinas Pendidikan, LPMP,
dan P4TK) dalam melaksanakan pelatihan peningkatan profesional
guru dengan barbasis needs assessment.
c. Menjadi bahan evaluasi bagi pihak-pihak terkait (Dinas Pendidikan)
terhadap efektifitas pelatihan dalam meningkatkan profesional guru.
d. Bagi mahasiswa (Peneliti), melalui penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan keterampilan memperoleh, mengolah, menganalisis,
mensintesis, dan mempresentasikan informasi.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif.
Menurut Sujana & Ibrahaim (2007:64) bahwa penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang terjadi pada saat sekarang. Pendapat yang sama dikemukakan Sugiyono
(2009:35) bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent)
tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu
dengan variabel yang lain. Pendapat serupa sebagaimana yang dikemukakan
oleh Suharsimi Arikunto, (2005) mengatakan bahwa, penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa
adanya pada saat penelitian dilakukan. Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah
untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam artian bahwa
pada penelitian deskriptif sebenarnya tidak perlu mencari atau menerangkan
saling hubungan atau komparasi, sehingga juga tidak memerlukan hipotesis.
Jenis penelitian ini hanya berusaha memotret peristiwa atau kejadian
yang menjadi fokus
sebagamaimana adanya.

penelitian kemudian digambarkan (description)
Penelitian deskriptrif ini hanya berusaha
71

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

72

menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap pertanyaan penelitian
yang telah ditentukan sebelum peneliti terjun ke lapangan dan tidak
menggunakan hipotesis sebagai petunjuk arah atau guide dalam penelitian.
Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama,
yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan
subjek yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini,
metode penelitian deskriptif juga banyak di lakukan oleh para penelitian
karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian
besar laporan penelitian di lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode
deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang
berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku manusia
Jenis penelitian ini adalah deskriptif survey.

Penelitian ini sering

disebut sebagai penelitian normatif atau penelitian status. Penelitian survey
merupakan penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel
dengan menanyakannya melalui angket atau interview supaya nantinya
menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Frankel dan Wallen, 1990).
Donald Arry dalam Sujana dan Ibrahim (2007;74) berpendapat bahwa survey
berusaha mengungkap jawaban melalui pertanyaan apa, bagaimana, berapa,
bukan pertanyaan mengapa.
karateristik

metode

penelitian

Lodico (2006; 156-157) mengemukakan
deskriptif

survey

(Characteristics

of

Descriptive-Survey Research) sebagai berikut;



A preestablished instrument has most likely been developed by the
researcher.
Most responses to the questions on the survey are quantitative
(e.g., ratings) or will be summarized in a quantitative way.

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

73



The sample is selected from a larger population or group to allow
the study’s findings to be generalized back to the larger group.

Penelitian survey biasanya tidak membatasi dengan satu atau beberapa
variabel. Penelitian survey adalah penelitian yang bertujuan mengambarkan
suatu fenomena atau melukiskan fakta atau karakteristik populasi tertentu
atau bidang tertentu secara sistematis, faktual dan cermat. Penelitian survey
pada umumnya dapat menggunakan variabel serta populasi yang luas sesuai
dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Hasil yang dari penelitian
survey juga dapat digunakan untuk tujuan seperti berikut:
1) Penelitian ini dapat digunakan sebagai bentuk awal penelitian yang
direncanakan untuk ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian lain yang
lebih spesifik.
2) Dengan penelitian survey ini, peneliti dapat melakukan eksplorasi dan
deskriptif sebagai tujuan penelitian.
3) Penelitian ini juga bertujuan untuk melakukan klasifikasi terhadap
permasalahan yang hendak dipecahkan.

B. Populasi dan Sampel
1.

Populasi
Menurut Sugiyono (2009;80) bahwa populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan. Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh
Sujana dan Ibrahim (2007;84) bahwa populasi adalah kumpulan dari

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

74

sejumlah elemen. Definisi yang sama di kemukakan oleh Singh (2007:88) A
population is a group of individuals, objects, or items from among which
samples are taken for measurement.
Populasi dalam penelitian ini adalah guru SD Negeri yang ada di
Kabupten Maros. Jumlah total populasi sebanyak 1.598 orang. Populasi ini
tersebar di 14 kecamatan. Secara lengkap dapat disajikan pada tabel di bawah
ini:
Tabel 3.1. Sebaran Populasi Guru SD Negeri di Kabupaten Maros
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Kecamatan
Mandai
Moncongloe
Maros Baru
Marusu
Turikale
Lau
Bontoa
Bantimurung
Simbang
Tanralili
Tompobulu
Camba
Cenrana
Malawa
Jumlah Total

Jumlah
Sekolah
14
8
17
13
18
15
25
27
17
20
13
21
18
17
243

Guru
141
58
104
101
187
103
119
190
100
129
45
128
101
92

1.598

Sumber : Data Dinas Pendidikan Kab. Maros.

2.

Sampel
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sampel adalah perwakilan
dari populasi. Menurut Sujana dan Ibrahim (2007;85) sampel adalah
sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama dengan
populasi. Senada dengan itu Sugiyono (2009:80) mengemukakan bahwa

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

75

sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Sedangkang menurut Singh (2007;88) mendefinisikan sampel
sebagai berikut:
A sample can be defined as a finite part of a statistical population
whose properties are used to make estimates about the population
as a whole (Webster, 1985). When dealing with people, it can be
defined as a set of target respondents selected from a larger
population for the purpose of a survey.
Karena pertimbangan besarnya jumlah populasi yang tersebar pada
14 keacamatan serta keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka
penelitian ini menggunakan sampel yang diambil dari populasi.
Teknik sampling yang dipilih adalah cluster random sampling.
Teknik ini digunakan mengingat luasnya lokasi dimana populasi
penelitian berada. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah
two stage cluster sampling (Nazir, 2005). Sejalan dengan

pendapat

Sugiyono (2009) bahwa teknik ini menggunakan dua tahap pengambilan
sampel. Tahap pertama menentukan sampel daerah dan tahap berikut
menentukan orang-orang yang ada pada daerah tersebut.
Adapun tahapan pengambilan sampel dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Tahap pertama adalah memilih sampling dari primery sampling unit
(PSU) dari total PSU. Dalam penelitian ini yang menjadi total PSU 14
kecamatan yang ada di Kab. Maros. PSU ini pilih dengan dengan cara
random. Sampling yang terpilih pada tahap pertama ini kita sebut

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

76

dengan fraction tahap pertama. Besarnya sampel fraction yang dipilih
pada tahap pertama ini adalah 25% dengan menggunakan rumus:
m

f1 =

(Nazir, 2005;315

M

Dimana :
f1 = besarnya sampel fraction tahap pertama
m = besarnya sampel
M = Besarnya PSU
Besarnya sampel pada tahap pertama ini dapat dihitung dengan
menggunakan rumus tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Diketahui:
f = 0,25 %
M = 16 (kecamatan)
Maka:
25

f1 =

100

x 14 = 3,5

Untuk pertimbangan matematis, maka besarnya sampel yang diambil
dibulatkan menjadi 4 (empat). Dengan demikian jumlah sampel yang
terpilih sebanyak 4 (empat) kecamatan.
Dari hasil penentuan sampel tersebut di atas, maka dipilih 4
(empat) kecamatan secara random. Adapun kecamatan yang terpilih
sebagai sampel tahap pertama dapat lihat pada tabel di bawah ini.

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

77

Tabel 3.2. Sampel Penelitian Tahap ke-1

1.
2.
3.
4.

Jumlah
Sekolah
14
15
17
18
64

Kecamatan

No.

Mandai
Lau
Maros Baru
Turikale
Jumlah Total

Guru
141
103
104
187
535

b. Karena pertimbangan terlalu banyaknya jumlah sekolah ditiap
kecamatan yang terpilih serta jumlah guru sebagai populasi yang akan
dijadikan sebagai responden, maka dilakukan pengambilan sampel
tahap kedua. Tahap kedua adalah menentukan sampling secara
random dan berimbang dengan memilih unit elementer dari unit
elementer yang ada dalam PSU yang terpilih pada sampling tahap
pertama. Adapun rumus yang digunakan pada tahap kedua adalah
sebagai berikut:
n

f2 = N1

(Nazir, 2005;315)

1

Dimana:
f2 = Jumlah sampel fraction tahap kedua
n1 = Jumlah unit elementer yang dipilih dari PSU
N1 = Jumlah unit elementer dari PSU
Unit elementer yang dimaksudkan pada tahap kedua ini adalah
sekolah yang ada pada setiap kecamatan (fraction) dimana populasi
berada.
Sampel fraction yang digunakan pada tahap kedua adalah
sebesar 30%.

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

78

Tabel 3.3. Sampel Penelitian Tahap ke-2
Kecamatan

No.
1.
2.
3.
4.

Sekolah
14
15
17
18
64

Mandai
Lau
Maros Baru
Turikale
Jumlah Total

Jumlah
Sampel (30%)
4,2
4,5
5,1
5,1

Dibulatkan
4
5
5
5
19

Karena yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah guru
kelas (1 – 6), maka sampel diambil dari jumlah total guru kelas dari
setiap sekolah yang dipilih.
Adapun jumlah sampel (responden) yang ada dari sekolah yang
terpilih pada tahap kedua adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4. Sampel Penelitian dari Sekolah yang Terpilih pada
Tahap ke-2
No.

Kecamatan

Nama Sekolah

1.

Mandai

1.
2.
3.
4.

2.

Lau

1.
2.
3.
4.
5.

3.

Maros Baru

1.
2.
3.
4.
5.

SD No. 7 Inp. Batangase
SD No. 6 Inp. Bontoa
SD No. 5 Inp. Hasanuddin
SD No. 14 Baddo-Baddo
Jumlah
SD No. 20 Barandasi
SD No. 22 Bontokapeta
SD No. 31 Galanggara
SD No. 42 Inp. Lemo-Lemo
SDN No. 23 Soreang
Jumlah
SDN No. 4 Maros
SDN No. 6 Padang Setang
SDN No. 30 Lekoala
SD No. 40 Inp. Tekolabbua
SDN No. 6 Maros
Jumlah

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Jumlah
Guru
12
8
12
6
38
9
12
7
12
6
46
18
6
9
6
8
47

79

4.

Turikale

1.
2.
3.
4.
5.

SDN No. 10 Sanggalea
SD No. 49 Inp Sanggalea
SDN No. 5 Maros
SDN No. 3 Maros
SDN No. 1 Maros
Jumlah
Jumlah Total

12
12
12
12
12
60
191

Berdasarkan tabel di atas, maka jumlah total sampel dalam
penelitian ini sebesar 191 guru.

C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
1. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Dokumentasi:
Dokumenntasi digunakan untuk mengumpulkan data awal seperti
jumlah, karatateristik dan profil populasi (guru) pada Dinas Pendidikan
Kab. Maros
b. Angket/Kuesioner
Angket dalam penelitian ini digunakan sebagai instrumen untuk
mengumpulkan

data yang berupa serangkaian pertanyaan yang

diajukan pada responden untuk mendapat jawaban. Angket ini terdiri
dari 2 (dua) bagian, yakni pernyataan dengan dengan jawaban yang
sudah disediakan (tertutup) dan pernyataan/pertanyaan yang meminta
responden untuk menjawab sebebas-bebasnya (terbuka).

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

80

Jawaban yang disediakan terdiri dari 4 (empat) alternatif yaitu :
Sangat Baik, Baik, Kurang, dan Sangat Kurang. Untuk alternatif
jawaban Sangat Baik = 4, Baik = 3, Kurang = 2, dan Sangat Kurang =
1.
Penentuan alternatif jawaban atas pernyataan kompetensi yang
ada

mengadaptasi

tabel

informasi

penilaian

kompetensi

yang

dikemukakan oleh Marthin dalam Tajuddin (2008:90) sebagai berikut:
Tabel 3.5. Informasi Penilaian Kompetensi
Nama Kompetesi : PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN KERJA
Definisi : Pengetahuan dan keterampilan mengenai pekerjaan yang dilakukan
serta pemahaman tentang tugas-tugasnya
5
Sangat Baik
Sangat Istimewa dalam pengetahuan dan
keterampilan dalam menyelesaikan pekerjaan saat
ini, memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang
tinggi berkaitan dengan bidang tugasnya dan
mampu mengaitkan tugasnya pada bidang-bidang
dan fungsi lain melalui pekerjaannya.
4

Baik

Kemampuan pada tingkat diantara level 5 dan 3

3

Sedang

Memahami dasar-dasar tugas dan tanggung
jawabnya,
memiliki
pemahaman
serta
keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya saat
ini. Kemampuan dasar dan hasil kerjanya
memenuhi standar kerja yang dibutuhkan.

2

Kurang

Kemampuan pada tingkat diantara level 3 dan 1

1

Sangat Kurang

Kurang memahami dasar-dasar tugas dan
tanggung jawabnya, membutuhkan bimbingan,
kemampuan terbatas pada tugas-tugas yang
sederhana pada bidang pekerjaannya dan
memiliki pengetahuan yang minim.

Sumber : Desertasi: Tajuddin (2008:90)

Adapun aspek dan indikator yang dirumuskan pada kuisioner
tersebut dapat dilihat pada tabel kisi-kisi sebagai berikut:

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

81

Tabel 3.6.

No
1

2.

3.

Aspek
Kompetensi
Pedagogik.

Kompetensi
Kepribadian

Kompetensi
Sosial

Kisi-kisi Instrumen Kompetensi Guru Sekolah Dasar
(SD)
Indikator

1.

Munguasai karakteristik peserta didik dari
aspek fisik, intelektual, sosial-emosional.
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik.
3. Mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran/ bidang pengembangan
yang di ampuh.
4. Menyelenggarakan pembelajaran yang
mendidik
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimiliki
7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan
santun dengan peserta didik
8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi
untuk kepentingan pembelajaran.
10. Melakukan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas pembelajaran.
1. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum,
sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia
2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur,
berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik
dan masyarakat
3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa
4. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang
tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa
percaya diri
5. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru
1. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak
diskriminatif karena pertimbangan jenis
kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar
belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
2. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan
santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
3. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh
wilayah Republik Indonesia yang memiliki
keragaman sosial budaya.

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Jml
Item
9
11
10

15
2

3

8
14
5
4
6

5

9
7
3
20

9

5

82

4. Berkomunikasi dengan komunitas profesi
3

sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan
atau bentuk lain.
4.

Kompetensi
Profesional

1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola
pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran
yang diampu.
2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran/bidang pengembangan
yang diampu.
3. Mengembangkan materi pembelajaran yang
diampu secara kreatif.
4. Mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif.
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.

103

6

3
4

6

2. Alat Pengumpulan Data.
Data primer dalam penelitian dikumpulkan dari guru SD yang menjadi
sampel dalam penelitian ini. Karena penelitian ini adalah penelitian
deskriptif survey, maka instrumen yang digunakan harus benar-benar
mampu menjaring data yang diperlukan dan data tersebut dapat dipercaya.
Dengan istilah lain bahwa instrumen tersebut harus valid dan reliable.
a. Uji Validitas
Secara umum uji validitas adalah untuk melihat apakah item
pertanyaan pada instrumen yang dipergunakan mampu mengukur apa
yang ingin diukur. Menurut Suryabrata (2009;60) bahwa yang
dimaksud dengan validitas instrumen adalah “sejauh mana instrumen
itu merekam/mengukur apa yang dimaksudkan untuk direkam/diukur”.
Lebih formal, Cook dan Campbell (1979) mendefinisikannya sebagai
"pendekatan terbaik untuk kebenaran atau kesalahan proposisi, inferensi

Sinar Alam, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

83

atau kesimp