INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK.
INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN
DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR
MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK
SKRIPSI
diajukan guna memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi untuk meraih gelar Sarjana Sastra
oleh
Debbie Meliana Malau 0905938
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014
(2)
INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN
DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR
MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK
Oleh
Debbie Meliana Malau 0905938
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
© Debbie Meliana Malau 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Januari 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
(4)
Inferensi Pornografi Terhadap Tuturan dalam Film Indonesia Bergenre Horor Melalui Perspektif Pragmatik
ABSTRAK
Debbie Meliana Malau 0905938
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena tuturan film Indonesia bergenre horor yang berpotensi sebagai tuturan porno. Penelitian ini menggunakan analisis pragmatik, meliputi dua lapisan analisis yakni implikatur dan inferensi pragmatik yang digunakan untuk mengkaji tuturan dalam film horor tersebut. Penelitian ini mengungkap dua hal mengenai (1) implikatur tuturan dalam film Indonesia bergenre horor; dan (2) maksud pertuturan yang dapat dipahami sebagai tuturan porno. Data dalam penelitian diperoleh dengan cara menyimak tuturan film Indonesia bergenre horor, kemudian mencatat tuturan-tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno. Selanjutnya data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan cara menggunakan teori implikatur dan inferensi pragmatik.
Berikut adalah hasil penelitian yang dapat dijelaskan secara singkat. Dari 6 film horor yang dianalisis, terdapat 30 peristiwa tutur yang berpotensi sebagai tuturan porno. Tuturan film horor yang dianalisis melahirkan implikatur. Implikatur tersebut teridentifikasi melalui analisis terhadap penerapan PKS. Prinsip kerja sama dalam tuturan film horor tersebut acap kali dilanggar. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut mencakup pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi karena seorang peserta tutur memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada lawan tuturnya. Pelanggaran maksim relevansi terjadi karena peserta tutur memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan sebelumnya dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang sedang terjadi. Pelanggaran maksim cara terjadi karena peserta tutur memberikan suatu informasi yang tidak jelas ataupun kabur dan pelanggaran maksim kualitas terjadi karena peserta tutur mencoba memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong.
Inferensi pragmatik diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan film Indonesia bergenre horor dapat disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan film tersebut memiliki implikasi porno. Di antaranya penggambaran bagian-bagian vital perempuan, penggambaran alat vital laki-laki serta mengenai aktivitas berhubungan badan atau bersenggama. Pada tuturan-tuturan yang dianalisis mengindikasikan bahwa maksud tuturan mengimplikasikan sesuatu sekaligus mencerminkan strategi penutur. Selain itu, dalam proses menyimpulkan, peneliti perlu menghubungkan tuturan dengan konteks dan koteks dari tuturan tersebut.
(5)
Inference Against Pornography Speech in the Indonesian Film Through the Horror Genre Pragmatic Perspective
ABSTRACT
Debbie Meliana Malau 0905938
This research is motivated by the phenomenon of Indonesian horror movie narrative potential as pornographic speech. This study uses a pragmatic analysis, the analysis includes two layers of implicature and pragmatic inference is used to examine the narrative in a horror film. The research reveals two things about (1) implicatures of utterances in Indonesian horror films, and (2) the intent of substitutions that can be understood as utterances porn. The data were obtained by listening to the speech of Indonesian films bergenrehoror, then record the speech that is potentially as pornographic speech. Furthermore, the data that has been obtained is then processed and analyzed by using the theory of implicature and pragmatic inference.
Here are the results of research that can be described briefly. Of 6 horror movies that were analyzed, there were 30 events said utterance potentially as porn. Narrative horror film that spawned analyzed implicature. Implicatures are identified through an analysis of the application of the principle of cooperation. The principle of cooperation in the horror film narrative often violated. Violation of the principle of cooperation include maxim violations quantity, quality, relevance, and manner. Violation maxim of quantity occurs because a participant said that information is unclear or redundant to the opponent he said. Maxim of relevance violation occurred because the participants said give answers that are not linked with the previous conversation and try to change the subject that is going on. Maxim violation occurred because the participants explained how to give information that is not clear or vague, and violations of the maxim of quality occurs because participants said try to provide information that tends to be incorrect or false.
Pragmatic inference required by the hearer in an effort to uncover the conversational implicatures. Through inference pragmatics, speech Indonesian horror movie can be concluded that implicitly, the speech has implications porn movie. Among other vital parts of the depiction of women, the depiction of the male penis and the sex activity or intercourse. In the analyzed speech utterances indicate that the purpose and reflects the strategy implies something speakers . In addition, the process concludes, researchers need to connect utterances with contexts and contexts of the utterances.
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR BAGAN ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2Masalah ... 6
1.2.1 Identifikasi Masalah ... 6
1.2.2 Batasan Masalah ... 6
1.2.3 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian... 7
1.4 Manfaat Penelitian... 7
1.5 Anggapan Dasar ... 8
1.6 Struktur Organisasi Penulisan ... 8
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 9
2.1Pragmatik ... 9
2.2Aspek-aspek Pragmatik ... 10
2.3Komponen Pragmatik... 11
2.3.1 Penutur dan Mitra Tutur ... 11
2.3.2 Tuturan ... 12
2.3.3 Konteks ... 12
2.4 Tindak Tutur ... 13
(7)
2.6 Implikatur ... 18
2.6.1 Implikatur Konvensional ... 19
2.6.2 Implikatur Nonkonvensional ... 20
2.7 Inferensi ... 21
2.8 Film ... 22
2.9 Undang-Undang Pornografi ... 23
2.10 Penelitian Terdahulu ... 25
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 28
3.1 Metodologi Penelitian ... 28
3.2 Data dan Sumber Data... 30
3.3 Teknik Penelitian... 30
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 30
3.3.2 Teknik Penganalisisan Data ... 30
3.4 Instrumen Penelitian ... 31
3.5 Defenisi Operasional ... 31
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1 Deskripsi Data ... 32
4.2 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 33
4.2.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 34
4.2.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 37
4.2.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 38
4.2.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 40
(8)
4.2.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 41 4.2.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 42 4.2.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 42 4.2.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 44 4.2.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 44 4.2.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 46 4.3 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang
Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 46 4.3.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 47 4.3.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 50 4.3.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 50 4.3.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 53 4.3.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 53 4.3.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 55 4.3.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 55 4.3.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
(9)
Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 58 4.4 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang
Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 58 4.4.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 60 4.4.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 62 4.4.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 63 4.4.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 65 4.4.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 66 4.4.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 68 4.4.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 68 4.4.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 70 4.4.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 70 4.4.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 73 4.5 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang
Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 73 4.5.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 75 4.5.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
(10)
4.5.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 77 4.5.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 80 4.5.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 81 4.5.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 83 4.5.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 83 4.5.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 85 4.5.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 86 4.5.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 88 4.5.11 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 6 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 88 4.5.12 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 6 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 91 4.5.13 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 7 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 91 4.5.14 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 7 dalam Film
Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 93 4.6 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang
Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 93 4.6.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 95 4.6.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
(11)
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 97 4.6.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 98 4.6.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 100 4.6.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 101 4.6.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 103 4.6.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 104 4.6.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 106 4.6.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 106 4.6.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film
Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 108 4.7 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang
Berjudul “Hantu Budeg” ... 109 4.7.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 111 4.7.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 114 4.7.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 114 4.7.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 117 4.7.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
(12)
4.7.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film
Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 119
4.7.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 120
4.7.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 122
4.8 Pembahasan Hasil Penelitian ... 122
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 126
5.1 Simpulan... 126
5.2 Saran ... 128
DAFTAR PUSTAKA ... 129
LAMPIRAN ... 131
(13)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu kenyataan bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupannya. Bahasa diperlukan untuk menjalankan segala aktivitas hidup manusia, seperti penelitian, penyuluhan, pemberitaan bahkan untuk menyampaikan pikiran, pandangan, serta perasaan. Perkembangan dalam bidang komunikasi ternyata sudah sampai pada tingkat modernisasi dan kecanggihan media-media komunikasi. Salah satu bentuk pengaruh yang sangat mencolok saat ini adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh media elektronik.
Salah satu jenis media komunikasi massa yang digunakan sebagai sarana hiburan adalah film, dalam hal ini, film bergenre horor. Kata horor berasal dari bahasa Latin horrere yang berarti ‘berdiri hingga akhir’. Istilah ini merujuk pada berdirinya bulu kuduk/rambut karena merinding atau gemetar karena ketakutan. Horor sering didefinisikan sebagai rasa takut yang luar biasa atau sesuatu yang dapat membangkitkan ketakutan. Film bergenre horor ini tidak pernah ketinggalan menghiasi bioskop-bioskop nusantara. Indonesia merupakan salah satu negara yang aktif dalam memproduksi film horor. Genre horor mendominasi pasar melalui film-film horor remaja yang umumnya mengambil cerita mitos atau legenda dari sebuah tempat atau lokasi angker yang menampilkan makhluk-makhluk gaib khas lokal, seperti kuntilanak, pocong, genderuwo, suster ngesot, tuyul, dan sebagainya. Tidak hanya itu, beberapa sutradara juga melakukan beberapa adaptasi terhadap film horor luar negeri, baik dari sesama negara Asia maupun dari negara-negara Barat. Beberapa adaptasi film tersebut seringkali tampak dan tak jarang pula memasukkan unsur erotisme sebagai bahan dasar dalam racikan film. Produser dan Sineas Indonesia saling latah membuat film horor berbalut seks. Belakangan, banyak film horor Indonesia mendapat kecaman dari berbagai pihak. Keberadaan dan peran LSF (Lembaga Sensor Film) pun seringkali dipertanyakan, yang kerap kali masih meloloskan film beradegan
(14)
2
vulgar dan tentu saja diikuti dengan tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno.
Pornografi tentu saja tidak asing lagi dalam masyarakat karena masalah pornografi selalu menarik perhatian dari remaja hingga kalangan dewasa. Terlebih para laki-laki biasanya sangat tertarik dengan hal-hal tersebut. Hal itu sebagai pengaruh perkembangan teknologi modern sekarang ini. Dalam KBBI (2008: 1094) Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi. Sejalan dengan pengertian di atas, Wijana (2006) mengatakan bahwa pornografi adalah perbincangan masalah seksual atau segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas seksual secara terus terang.
Tindak tutur lahir sebagai wujud komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Chaer (2004: 17) mengemukakan tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, yakni pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan, yang lazim disebut partisipan; (2) informasi yang dikomunikasikan; dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi itu. Pihak yang terlibat dalam suatu proses komunikasi tentunya ada dua orang atau dua kelompok orang, yaitu pertama yang mengirim (sender) informasi, dan yang kedua yang menerima (receiver) informasi. Informasi yang disampaikan tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan atau pesan. Sedangkan alat yang digunakan dapat berupa simbol/lambang seperti bahasa.
Peristiwa serupa ditemukan juga dalam sebuah film. Para pelaku dalam sebuah film tidak lepas dari kegiatan merealisasikan tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Seperti halnya dalam dunia nyata, dalam film pun terdapat tuturan-tuturan yang tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat. Tuturan-tuturan yang dihasilkan pun dibuat semenarik mungkin untuk memikat hati para
(15)
3
penontonnya. Dalam beberapa film horor di Indonesia terdapat sejumlah tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno.
Salah satu contoh adalah film horor yang berjudul Arwah Goyang Karawang (Arwah Goyang Jupe-Depe). Dirilis tanggal 10 Februari 2011, disutradarai oleh Helfi Kardit dan diproduseri oleh Gobind Punjabi. Pemeran dalam film ini antara lain: Julia Perez, Dewi Perssik, Erlando dan beserta pemeran lainnya. Berikut sepenggal tuturan film horor tersebut saat pemeran (Julia Perez dan Dewi Perssik) sedang menari di panggung dan disaksikan oleh banyak penonton.
A :siapa itu? orang baru ya?
B :dia itu Lilis, dulu itu dia primadona disini A :oh Lilis, tapi toketnya udah kendor ya?
busyet goyangannye, situ yang goyang disini terasa enak diulek.
B :ahhh, justru itu bang, yang kendor itu yang ojip. gak mabuk gimana gitu!
A :bisa aja lu, yuk kita joget.
Tuturan di atas terjadi pada malam hari di sebuah pub bintang kejora. Lilis adalah seorang penari di sebuah grup tari Jaipong goyang karawang. Penampilannya di atas panggung selalu saja menjadi pusat perhatian pengunjung pub. Baju yang dipakainya untuk menari dipanggung pun terlihat seksi. A dan B merupakan dua penonton yang terbius dengan kemolekan tubuh Lilis. Pada tuturan di atas penutur menyampaikan atau menginformasikan kepada lawan tuturnya bahwa wanita yang sedang menari itu bernama Lilis sekaligus primadona di kampung itu. Penutur dalam tuturan “toketnya udah kendor ya?” mengimplikasikan pada suatu hal yang mengarah pada salah satu bagian tubuh wanita. Kata“toket” dengan asal kata tetek, dipopulerkan pada tahun 80-an sebagai istilah dalam bahasa prokem. Penggunaan diksi “toket kendor” merujuk kepada buah dada yang sudah tidak kencang lagi’. Selain itu terdapat juga tuturan “Busyet goyangannye, situ yang goyang disini terasa enak diulek”. Ini mengimplikasikan bahwa goyangan sang penari membuat penonton merasa
(16)
4
bergairah, seolah-olah penonton merasakan suasana berhubungan badan. Jika diperhatikan dan dimaknai, penggunaan bahasa dalam penggalan tuturan tersebut berpontensi sebagai tuturan porno. Hal ini bergantung pada konteks dan pemahaman mitra tutur dalam menginterpretasikan tuturan.
Melihat film horor diminati penonton, para produser dan sineas Indonesia kemudian saling latah membuat film horor juga, karena pertimbangan ekonomi yang dominan, film-film horor di Indonesia tidak dibuat dengan sungguh-sungguh, biaya yang murah, estetika yang kacau, serta jalan cerita yang tidak masuk akal membuktikan bahwa kurang kreatifnya produser dan sineas Indonesia. Ini akan berdampak kepada masyarakat yang berujung kepada krisis moral yang memicu kepada tindak asusila, kriminalitas serta tindak kekerasan. Tuturan yang nyeleneh dan vulgar jelas melanggar Undang-Undang pornografi no 40 tahun 2008 yakni materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain yang dapat membangkitkan hasrat seksual merupakan melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, peneliti bermaksud meneliti tentang inferensi pornografi terhadap tuturan dalam film Indonesia bergenre horor melalui perspektif prgamatik. Pragmatik hadir sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji kondisi penggunaan bahasa. Yule (1996:3) menyebutkan pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, yaitu studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Dalam upaya mengungkap maksud dari sebuah tuturan, peneliti menggunakan Inferensi Pragmatik sebagai jembatan untuk mengungkap maksud pertuturan, khususnya tuturan dalam film Indonesia bergenre horor.
Ada beberapa penelitian sejenis yang mengangkat tema ini di antaranya yang dilakukan oleh Wijana dan Rohmadi (2006) melakukan penelitian tentang kekhasan judul-judul berita artis dalam media massa cetak. Dalam penelitian tersebut, Wijana dan Rohmadi mendeskripsikan kekhasan, teknik, fungsi, serta
(17)
5
respons pembaca terhadap asosiasi pornografis judul-judul berita artis dalam media massa cetak. Dalam penelitiannya, Wijana dan Rohmadi menyimpulkan bahwa adanya pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan yang digunakan pada media massa cetak, yaitu (1) menggunakan kalimat-kalimat pendek, dan (2) memanfaatkan bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakna ganda, sehingga dapat menimbulkan asosiasi yang bukan bukan di benak pembaca.
Yuniawan (2007) melakukan penelitian tentang fungsi asosiasi pornografi dalam wacana humor. Dalam penelitiannya, Yuniawan mendeskripsikan fungsi asosiasi pornografi dalam wacana humor. Data dalam penelitian ini adalah wacana humor bahasa Indonesia yang berasosiasi pornografi beserta konteksnya. Dalam penelitiannya, Yuniawan menyimpulkan bahwa fungsi asosiasi pornografi dalam wacana humor mencakup: 1) menarik perhatian, 2) menghibur, 3) membuat rasa penasaran, 4) memperhalus, 5) mengecoh pembaca.
Rahayu (2010) melakukan penelitian tentang ambiguitas pada judul-judul film pornografis Indonesia. Dalam penelitiannya, Rahayu menganalisis mengenai ambiguitas (ketaksaan) yang berhubungan dengan bentuk dan struktur yang terdapat pada judul-judul film pornografis Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa ambiguitas pada judul-judul film pornografis Indonesia banyak menggunakan ambiguitas gramatikal dibandingkan dengan penggunaan ambiguitas fonetik dan leksikal serta struktur ambiguitas judul-judul film pornografis menggunakan beberapa struktur dengan dasar hukum M-D atau D-M (unsur inti dan unsur tambahan).
Yanah (2010) melakukan penelitian tentang citra pornografis dalam iklan premium call surat kabar lampu hijau. Dalam penelitiannya, Yanah menganalisis bentuk tuturan yang nyeleneh yang terkesan vulgar dan melanggar etika bahasa yang digunakan pada iklan, maksud tuturan dalam iklan, serta citra pornografis yang terdapat pada iklan. Dari hasil penelitiannya, yanah menyimpulkan bahwa citra 60% terlihat pada gambar dan 40% pada tuturan. Dalam iklan memiliki 2 implikatur mengarah pada ngobrol curhat dan mengarah pada kencan seks. Bentuk tindak tuturnya adalah lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
(18)
6
Khoirunnisa (2012) melakukan penelitian tentang asosiasi pornografis dalam judul-judul film Indonesia bergenre horor tahun 2008-2011. Dalam penelitiannya, dibahas mengenai pilihan kata yang mengandung makna denotatif dan konotatif.
Dari serangkaian penelitian di atas, pemilihan kajian ini didasarkan atas pertimbangan berikut, yakni, sejauh pengamatan penulis, penelitian yang secara khusus memfokuskan kajian pada pemilihan objek maupun teori yang digunakan belum pernah dilakukan. Uraian terdahulu hanya mengangkat permasalahan dari media massa, wacana humor, maupun iklan surat kabar dengan kajian yang beragam. Oleh karena itu, kajian terhadap permasalahan yang peneliti lakukan tampak penting untuk dilakukan.
1.2 Masalah
Dalam bagian ini akan dijelaskan masalah penelitian yang meliputi tiga bagian, yaitu (1) identifikasi masalah, (2) batasan masalah, dan (3) rumusan masalah.
1.2.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1) Berlandaskan inferensi pragmatik, terdapat sejumlah tuturan film horor di Indonesia yang memiliki potensi sebagai tuturan porno.
2) Tuturan yang terdapat dalam film horor di Indonesia mengimplikasikan sesuatu sekaligus mencerminkan strategi penutur.
1.2.2 Batasan Masalah
Agar permasalahan dapat diselesaikan dan lebih terfokus, penelitian ini dibatasi pada beberapa masalah berikut.
1) Objek film horor yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya sebatas tuturan yang memiliki potensi sebagai tuturan porno.
(19)
7
2) Tuturan film horor yang akan dikaji diambil dari kaset DVD maupun VCD sebanyak 6 film.
3) Implikatur yang akan diteliti adalah implikatur yang digagas oleh Grice yang menunjukkan adanya empat kemungkinan yang dapat terjadi terkait dengan realisasi Prinsip Kerja Sama.
4) inferensi pragmatik yang berlandaskan pada pendapat Cummings.
1.2.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimana implikatur tuturan dalam film Indonesia bergenre horor? 2) Bagaimana maksud pertuturan dapat dipahami sebagai tuturan porno?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1) implikatur tuturan dalam film Indonesia bergenre horor. 2) maksud pertuturan dapat dipahami sebagai tuturan porno
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh.
1) Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan terhadap perkembangan studi ilmu pragmatik, dalam hal berikut ini. Deskripsi tersebut diharapkan memberikan kontribusi teoretis dalam bidang linguistik. topik penelitian ini dapat menyajikan salah satu bahasan tentang inferensi pornografi terhadap tuturan dalam film Indonesia bergenre horor yang dapat dijadikan
(20)
8
sebagai pilihan pustaka dalam mengkaji fenomena kebahasaan dari berbagai sudut pandang.
2) Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai data dasar bagi penelitian lanjutan dan dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa serta dapat memberikan pemahaman terhadap penonton sebagai penikmat film yang akan lebih memahami konteks dari beragam film horor di Indonesia. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada masyarakat, agar lebih selektif dan cerdas dalam memilih acara yang ditonton.
1.5 Anggapan Dasar
Penelitian ini didasarkan pada sejumlah anggapan dasar sebagai berikut. 1) Perkembangan dalam bidang komunikasi ternyata sudah sampai pada tingkat
modernisasi. Pemahaman masyarakat tentang kebebasan dalam berkarya, semakin banyak disalahgunakan. Hal tersebut terbukti dari kebebasan membuaf film, khususnya film horor esek-esek yang mendapat pencekalan dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk ditayangkan.
2) Setiap orang dapat menginterpretasi maksud dari sebuah tuturan dengan menggunakan pengetahuan tambahan.
1.6 Struktur Organisasi Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab, untuk memudahkan penyajiannya, maka struktur organisasi penulisan ini disusun dari bab satu sampai bab lima. Berikut ini adalah urutan struktur organisasi penulisan skripsi.
Bab pertama memuat pendahuluan yang membahas latar belakang masalah penelitian. Bab kedua memuat kajian pustaka dan dilanjutkan dengan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan. Bab ketiga memuat metode penelitian-penelitian yang
(21)
9
membahas mengenai desain penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknis analisis data, instrumen penelitian dan defenisi operasional. Bab keempat memuat penyajian dan pembahasan hasil penelitian. Bab kelima memuat simpulan dan saran.
(22)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian atau dalam mengumpulkan data. Metode penelitian bahasa bertujuan mengumpulkan, mengkaji data, serta mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan (Djajasudarma, 2006: 4).
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan teoretis, yakni pendekatan pragmatik. Pragmatik hadir sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji kondisi penggunaan bahasa. Dalam hal ini, untuk mengungkap maksud dari sebuah tuturan. Selain itu, Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni teknik penelitian yang lebih menitikberatkan pada pengelompokan data, penganalisisan, dan pendeskripsian. Bogdan dan Taylor (Moleong, 1989: 4) mendefenisikan metode kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya, salah satunya adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Secara deskriptif peneliti dapat memerikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilahan data yang dilakukan pada tahap pemilahan data setelah terkumpul (Moleong, 1989: 11). Penulis menggunakan metode ini karena data yang diteliti merupakan data yang berbentuk deskripsi, hingga penulis bisa mempertimbangkan bahwa data ini memang layak menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini menyajikan analisis data dan mengaitkannya pada teori pustaka. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif yaitu berupa tuturan dalam film Indonesia bergenre horor yang diamati kemudian diuraikan pemaparannya secara jelas. Penjelasan dipaparkan secara natural, objektif dan faktual. Dengan menggunakan metode ini penulis dapat memberikan gambaran terhadap fenomena bahasa pada film horor.
(23)
29
Untuk memperjelas tentang metode penelitian yang akan diuraikan sebelumnya, pada bagian ini akan digambarkan gambar alur penelitian dalam bentuk diagram berikut.
3.1 Bagan Alur Penelitian Tuturan dalam Film
Indonesia Bergenre Horor
Metode 1) Simak 2) Catat
Penganalisisan Menggunakan Teori Pragmatik
1) klasifikasi Grice mengenai berbagai kemungkinan mengenai realisasi prinsip kerja sama dalam implikatur; 2) pengetahuan tambahan (Inferensi
Pragmatik) untuk menguak implikatur.
Metode Pengumpulan dan Pengelompokkan Data
Temuan
1) Implikatur tuturan dalam film Indonesia bengenre horor
2) maksud pertuturan dapat dipahami sebagai tuturan porno
Simpulan
Inferensi Pornografi terhadap tuturan dalam film Indonesia bergenre horor
(24)
30
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara menyimak tuturan dalam film Indonesia bergenre horor, kemudian mencatat tuturan-tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno. Selanjutnya data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis. Sumber data yang akan menjadi bahan kajian penelitian diambil dari film horor Indonesia yang berpotensi sebagai tuturan porno. Sumber data berbentuk dokumentasi yaitu berupa kaset VCD maupun DVD.
3.3 Teknik Penelitian
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik pengumpulan, pengolahan data dan penganalisisan data.
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2008: 62). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 macam teknik pengumpulan data yakni (1) teknik simak dan, (2) teknik catat. Teknik simak dalam penelitian ini berupa teknik simak libas cakap artinya peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa dan sama sekali tidak terlibat dalam proses petuturan. Teknik Simak yang dilakukan yaitu dengan cara menyimak tuturan dalam film Indonesia bergenre horor. Selanjutnya, teknik catat, peneliti melakukan pencatatan terhadap tuturan dalam film Indonesia bergenre horor yang berpotensi sebagai tuturan porno. Teknik ini dilakukan untuk mencatat semua data tuturan film horor yang kemudian terbentuk data tertulis.
3.3.2 Teknik Penganalisisan Data
Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya, data dianalisis. Penganalisisan data dilakukan dengan menentukan hal-hal berikut:
1) mengelompokkan data yang berasal kontekstualisasi data berdasarkan setiap rumusan masalah yang dibuat;
(25)
31
2) mengidentifikasi tuturan dalam film Indonesia bergenre horor yang mengandung implikatur;
3) mendekripsikan dan menganalisis implikatur untuk memahami maksud tuturan;
4) menginterpretasi tuturan melalui inferensi pragmatik sehingga dapat dipahami sebagai maksud pertuturan.
3.4 Instrumen Penelitian
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif yakni sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena peneliti menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian (Moleong, 1989: 168). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti adalah instrumen kunci.
3.5 Defenisi Operasional
Definisi operasional ini dibutuhkan agar tidak terjadi pertentangan pendapat dalam penelitian ini. Definisi operasional yang diperlukan dalam penelitian sebagai berikut.
1) Inferensi yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan pengetahuan tambahan yang digunakan mitra tutur untuk mengungkap implikatur percakapan.
2) Pornografi adalah penggambaran tingkah laku melalui lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
3) Tuturan merupakan dialog atau kata-kata yang diujarkan oleh para pemain maupun pemeran dalam film horor yang mereka perankan.
4) Film horor di Indonesia adalah film horor yang terdapat di Indonesia yang tuturannya berpotensi porno.
(26)
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Pada bab terakhir ini akan disimpulkan hasil dari penelitian. Temuan dan pembahasan penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, merupakan dasar dalam menyusun simpulan pada bab ini. Penelitian ini membahas maksud tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno dalam wujud tuturan film Indonesia bergenre horor.
Tuturan film yang dikaji dalam penelitian ini antara lain “Hantu Perawan Jeruk Purut (2008), “Dendam Pocong Mupeng (2010)”, “Arwah Goyang Jupe-Depe (2011)”, “Rumah Bekas Kuburan (2012)”, “Hantu Budeg (2012)” dan “Kutukan Arwah Santet (2012)”, menggambarkan adanya maksud yang berpotensi sebagai tuturan porno. Dari 6 buah film horor tersebut, terdapat 30 peristiwa tutur yang berpotensi sebagai tuturan porno. Bahasa yang dibangun dalam tuturan tersebut menyimpan pesan tersendiri, baik secara ekplisit maupun implisit. Sejalan dengan rumusan penelitian, maka ada dua simpulan dari penelitian ini.
Pertama, tuturan film horor yang dianalisis melahirkan implikatur. Implikatur tersebut teridentifikasi melalui analisis terhadap penerapan PKS. Prinsip kerja sama dalam tuturan film horor tersebut acap kali dilanggar. Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama tersebut menghasilkan implikatur percakapan. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut mencakup pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi karena seorang peserta tutur memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada lawan tuturnya. Pelanggaran maksim relevansi terjadi karena peserta tutur memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan sebelumnya dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang sedang terjadi. Pelanggaran maksim cara terjadi karena peserta tutur memberikan suatu informasi yang tidak jelas ataupun kabur.
(27)
127
Selanjutnya pelanggaran maksim kualitas terjadi karena peserta tutur mencoba memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong.
Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Hal tersebut merupakan strategi penutur dalam mengemas tuturannya. Perlu pengetahuan tambahan bagi mitra tutur untuk mengungkap maksud tersirat dari tuturan tersebut, salah satunya menggunakan inferensi pragmatik.
Kedua, inferensi pragmatik diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan film Indonesia bergenre horor dapat disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan film tersebut memiliki implikasi porno. Pada tuturan-tuturan yang dianalisis mengindikasikan bahwa maksud tuturan mengimplikasikan sesuatu sekaligus mencerminkan strategi penutur. Di antaranya bagian-bagian vital perempuan. Misalnya saja, salah satu bagian tubuh wanita, yakni payudara. Hal tersebut tergambar dari penggunaan bentuk toket kendor, tetek gede, susu berbahaya, durian montong. Selain itu, untuk mengimplikasikan alat vital laki-laki, tergambar dari penggunaan bentuk pisang gede dan barang.
Selanjutnya mengenai aktivitas berhubungan badan atau bersenggama, tergambar dari penggunaan bentuk lagi pengen, ngewong, ML (making love/bercinta), kawin, enak diulek, tidur, melayani, maen, bercinta, kekepin, nyodok, praktek, mupeng (muka pengen/ ingin bercinta), serta bakuda-kuda (bercinta). Berikutnya terdapat juga penggunaan bentuk onani, horny, kondom, threesome dan nungging. Bentuk onani merujuk kepada pengeluaran sperma tanpa melakukan senggama atau hubungan seksual. Terdapat pula bentuk horny yang merujuk kepada timbulnya birahi seksual atau terangsang. bentuk kondom merujuk kepada alat kontrasepsi keluarga berencana yang terbuat dari karet dan pemakaiannya dilakukan dengan cara disarungkan pada kelamin laki-laki ketika akan bersanggama. Kondom menjadi sefety first (pengaman pertama) saat melakukan hubungan seksual untuk memperkecil resiko terjadinya kehamilan. Selanjutnya, penggunaan bentuk threesome merujuk kepada berhubungan badan atau bersenggama dengan lebih dari satu
(28)
128
pasangan. Penggunaan bentuk nungging merujuk kepada salah satu gaya untuk berhubungan badan atau bersenggama.
Dalam proses menyimpulkan maksud, mitra tutur perlu menghubungkan tuturan dengan konteks dari tuturan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa tuturan-tuturan tersebut merujuk kepada kegiatan seks.
5.2 Saran
Penelitian ini merupakan upaya untuk membuktikan betapa pentingnya model analisis Pragmatik sebagai media atau alat dalam mengungkap maksud tuturan dalam film Indonesia bergenre horor. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1) Penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya wawasan dan khasanah kebahasaan khususnya pragmatik. Penulis berharap agar peneliti selanjutnya dapat memperluas data yang diteliti dengan menggunakan kerangka analisis dan kerangka teori yang berbeda dalam cakupan pragmatik. Dengan begitu, hasil penelitian lebih luas dan beragam.
2) Bagi masyarakat agar lebih selektif dan cerdas dalam memilih film yang hendak ditonton.
3) Bagi pemerintah, khususnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) agar lebih selektif dalam memilah acara yang akan disiarkan kepada masyarakat.
(29)
DAFTAR PUSTAKA
Allan, K. (1994). Felicity conditions on speech acts. Encyclopedia of Language and Linguistics, ed. by Ron Asher. Vol.3, pp.1210- 13. Oxford: Pergamon Press. Austin, J. L. (1962). How To Do Things With Words. Second Edition. New York:
Oxford University Press.
Bach, K. & Robert M. Harnish. (1979). Linguistic Communication and Speech Acts. Cambridge MA: MIT Press.
Bachari, Andika Dutha. (2011). “Analisis Pragmatik terhadap Tuturan Berdampak Hukum (Studi Kasus Terhadap Laporan Dugaan Tindak Penghinaan, Penipuan, dan Pencemaran Nama Baik yang Ditangani Satreskrim Polrestabes Bandung)”. Tesis tidak dipublikasikan pada Program Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana, UPI, Bandung.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Cumming, Louise. (1999). Pragmatics, A Multidisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press Inc.
Cumming, Louise. (2007). Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner (Diterjemahkan Setiwati¸ dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, Fatimah. (2006). Metode Linguistik. Bandung: Refika Aditama.
Grice, H. P. (1975). “Logical And Conversation”. Syntax And Semantics, Speech Act, 3. New York: Academic Press.
Imanjaya, Ekky. (2006). A to Z about Indonesia film. Bandung: Mizan.
Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
(30)
130
Moleong, Lexi. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Depdikbud.
Rahardi, Kunjana. (2008). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rahayu, Ningsih Nina. (2010). “Ambiguitas Pada Judul-Judul Film Pornografi Indonesia”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. (1990). Pengajaran Pragmatik. Bandung: angkasa.
Undang-Undang Pornografi. (2008). [Online] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi. (Diakses pada 29 mei 2013 pukul 11:00).
Wijana, I.D.P. (1996). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I.D.P. (2009). Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Wijana, Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yanah, Putri Yatul. (2010). “Citra Pornografis dalam Iklan Premium Call Surat Kabar Lampu Hijau”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.
Yule, George. (2006). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Yuniawan, Tommi. (2007). “Fungsi Asosiasi Pornografis dalam Wacana Humor”. Jurnal Linguistika, Vol. 14, No. 27.
(1)
31
Debbie Meliana Malau, 2014
2) mengidentifikasi tuturan dalam film Indonesia bergenre horor yang mengandung implikatur;
3) mendekripsikan dan menganalisis implikatur untuk memahami maksud tuturan;
4) menginterpretasi tuturan melalui inferensi pragmatik sehingga dapat dipahami sebagai maksud pertuturan.
3.4 Instrumen Penelitian
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif yakni sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena peneliti menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian (Moleong, 1989: 168). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti adalah instrumen kunci.
3.5 Defenisi Operasional
Definisi operasional ini dibutuhkan agar tidak terjadi pertentangan pendapat dalam penelitian ini. Definisi operasional yang diperlukan dalam penelitian sebagai berikut.
1) Inferensi yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan pengetahuan tambahan yang digunakan mitra tutur untuk mengungkap implikatur percakapan.
2) Pornografi adalah penggambaran tingkah laku melalui lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
3) Tuturan merupakan dialog atau kata-kata yang diujarkan oleh para pemain maupun pemeran dalam film horor yang mereka perankan.
4) Film horor di Indonesia adalah film horor yang terdapat di Indonesia yang tuturannya berpotensi porno.
(2)
Debbie Meliana Malau, 2014
Inferensi Pornografi Terhadap Tuturan dalam Film Indonesia Bergenre Horor Melalui Perspektif Pragmatik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Pada bab terakhir ini akan disimpulkan hasil dari penelitian. Temuan dan pembahasan penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, merupakan dasar dalam menyusun simpulan pada bab ini. Penelitian ini membahas maksud tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno dalam wujud tuturan film Indonesia bergenre horor.
Tuturan film yang dikaji dalam penelitian ini antara lain “Hantu
Perawan Jeruk Purut (2008), “Dendam Pocong Mupeng (2010)”, “Arwah
Goyang Jupe-Depe (2011)”, “Rumah Bekas Kuburan (2012)”, “Hantu Budeg (2012)” dan “Kutukan Arwah Santet (2012)”, menggambarkan adanya maksud yang berpotensi sebagai tuturan porno. Dari 6 buah film horor tersebut, terdapat 30 peristiwa tutur yang berpotensi sebagai tuturan porno. Bahasa yang dibangun dalam tuturan tersebut menyimpan pesan tersendiri, baik secara ekplisit maupun implisit. Sejalan dengan rumusan penelitian, maka ada dua simpulan dari penelitian ini.
Pertama, tuturan film horor yang dianalisis melahirkan implikatur.
Implikatur tersebut teridentifikasi melalui analisis terhadap penerapan PKS. Prinsip kerja sama dalam tuturan film horor tersebut acap kali dilanggar. Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama tersebut menghasilkan implikatur percakapan. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut mencakup pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi karena seorang peserta tutur memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada lawan tuturnya. Pelanggaran maksim relevansi terjadi karena peserta tutur memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan sebelumnya dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang sedang terjadi. Pelanggaran maksim cara terjadi karena peserta tutur memberikan suatu informasi yang tidak jelas ataupun kabur.
(3)
127
Debbie Meliana Malau, 2014
Selanjutnya pelanggaran maksim kualitas terjadi karena peserta tutur mencoba memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong.
Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Hal tersebut merupakan strategi penutur dalam mengemas tuturannya. Perlu pengetahuan tambahan bagi mitra tutur untuk mengungkap maksud tersirat dari tuturan tersebut, salah satunya menggunakan inferensi pragmatik.
Kedua, inferensi pragmatik diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya
mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan film Indonesia bergenre horor dapat disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan film tersebut memiliki implikasi porno. Pada tuturan-tuturan yang dianalisis mengindikasikan bahwa maksud tuturan mengimplikasikan sesuatu sekaligus mencerminkan strategi penutur. Di antaranya bagian-bagian vital perempuan. Misalnya saja, salah satu bagian tubuh wanita, yakni payudara. Hal tersebut tergambar dari penggunaan bentuk toket kendor, tetek gede, susu
berbahaya, durian montong. Selain itu, untuk mengimplikasikan alat vital
laki-laki, tergambar dari penggunaan bentuk pisang gede dan barang.
Selanjutnya mengenai aktivitas berhubungan badan atau bersenggama, tergambar dari penggunaan bentuk lagi pengen, ngewong, ML (making
love/bercinta), kawin, enak diulek, tidur, melayani, maen, bercinta, kekepin, nyodok, praktek, mupeng (muka pengen/ ingin bercinta), serta bakuda-kuda (bercinta). Berikutnya terdapat juga penggunaan bentuk onani, horny, kondom, threesome dan nungging. Bentuk onani merujuk kepada pengeluaran
sperma tanpa melakukan senggama atau hubungan seksual. Terdapat pula bentuk horny yang merujuk kepada timbulnya birahi seksual atau terangsang. bentuk kondom merujuk kepada alat kontrasepsi keluarga berencana yang terbuat dari karet dan pemakaiannya dilakukan dengan cara disarungkan pada kelamin laki-laki ketika akan bersanggama. Kondom menjadi sefety first (pengaman pertama) saat melakukan hubungan seksual untuk memperkecil resiko terjadinya kehamilan. Selanjutnya, penggunaan bentuk threesome merujuk kepada berhubungan badan atau bersenggama dengan lebih dari satu
(4)
128
Debbie Meliana Malau, 2014
Inferensi Pornografi Terhadap Tuturan dalam Film Indonesia Bergenre Horor Melalui Perspektif Pragmatik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pasangan. Penggunaan bentuk nungging merujuk kepada salah satu gaya untuk berhubungan badan atau bersenggama.
Dalam proses menyimpulkan maksud, mitra tutur perlu menghubungkan tuturan dengan konteks dari tuturan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa tuturan-tuturan tersebut merujuk kepada kegiatan seks.
5.2 Saran
Penelitian ini merupakan upaya untuk membuktikan betapa pentingnya model analisis Pragmatik sebagai media atau alat dalam mengungkap maksud tuturan dalam film Indonesia bergenre horor. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1) Penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya wawasan dan khasanah kebahasaan khususnya pragmatik. Penulis berharap agar peneliti selanjutnya dapat memperluas data yang diteliti dengan menggunakan kerangka analisis dan kerangka teori yang berbeda dalam cakupan pragmatik. Dengan begitu, hasil penelitian lebih luas dan beragam.
2) Bagi masyarakat agar lebih selektif dan cerdas dalam memilih film yang hendak ditonton.
3) Bagi pemerintah, khususnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) agar lebih selektif dalam memilah acara yang akan disiarkan kepada masyarakat.
(5)
Debbie Meliana Malau, 2014
Inferensi Pornografi Terhadap Tuturan dalam Film Indonesia Bergenre Horor Melalui Perspektif
DAFTAR PUSTAKA
Allan, K. (1994). Felicity conditions on speech acts. Encyclopedia of Language and
Linguistics, ed. by Ron Asher. Vol.3, pp.1210- 13. Oxford: Pergamon Press.
Austin, J. L. (1962). How To Do Things With Words. Second Edition. New York: Oxford University Press.
Bach, K. & Robert M. Harnish. (1979). Linguistic Communication and Speech Acts. Cambridge MA: MIT Press.
Bachari, Andika Dutha. (2011). “Analisis Pragmatik terhadap Tuturan Berdampak Hukum (Studi Kasus Terhadap Laporan Dugaan Tindak Penghinaan, Penipuan, dan Pencemaran Nama Baik yang Ditangani Satreskrim Polrestabes
Bandung)”. Tesis tidak dipublikasikan pada Program Magister Linguistik,
Sekolah Pascasarjana, UPI, Bandung.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Cumming, Louise. (1999). Pragmatics, A Multidisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press Inc.
Cumming, Louise. (2007). Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner (Diterjemahkan Setiwati¸ dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, Fatimah. (2006). Metode Linguistik. Bandung: Refika Aditama.
Grice, H. P. (1975). “Logical And Conversation”. Syntax And Semantics, Speech Act,
3. New York: Academic Press.
Imanjaya, Ekky. (2006). A to Z about Indonesia film. Bandung: Mizan.
Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
(6)
130
Debbie Meliana Malau, 2014
Inferensi Pornografi Terhadap Tuturan dalam Film Indonesia Bergenre Horor Melalui Perspektif Pragmatik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Moleong, Lexi. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Depdikbud.
Rahardi, Kunjana. (2008). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rahayu, Ningsih Nina. (2010). “Ambiguitas Pada Judul-Judul Film Pornografi
Indonesia”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. (1990). Pengajaran Pragmatik. Bandung: angkasa.
Undang-Undang Pornografi. (2008). [Online]
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi. (Diakses pada 29 mei 2013 pukul 11:00).
Wijana, I.D.P. (1996). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I.D.P. (2009). Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Wijana, Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yanah, Putri Yatul. (2010). “Citra Pornografis dalam Iklan Premium Call Surat Kabar
Lampu Hijau”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.
Yule, George. (2006). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Yuniawan, Tommi. (2007). “Fungsi Asosiasi Pornografis dalam Wacana Humor”. Jurnal Linguistika, Vol. 14, No. 27.