Islam Demokrasi dan Kepemimpinan Politik

Islam, Demokrasi dan Kepemimpinan Politik
Oleh : Irawan Amiruddin, S. Ip, M. Si
Lembaga Survei Indonesia baru baru ini merilis hasil survei Nasional dengan
tema “Korupsi, Religiusitas, Intoleransi”. Survey ini dilaksanakan pada
tanggal 16 Hinga 22 Agustus 2017. Survey ini menggunakan metode yang
sama dengan survey-survei yang biasa dilakukan oleh lembaga ini. Dalam
survey ini melibatkan Sebanyak 1540 responden dipilih dengan metode
multi-stage random sampling. Berdasar jumlah sampel ini, diperkirakan
margin of error sebesar ±2.6% pada tingkat kepercayaan 95%. Berikut profil
demografi responden[1].

Berdasar hasil survey tersebut ada beberapa isu yang menarik untuk
didiskusikan. Penulis tertarik menangkap beberapa isu yang penulis anggap
menarik dan “unik”, terutama terkait bagaimana sikap responden yang
beragama Islam terhadap demokrasi, toleransi dan kepemimpinan politik.
Kenapa ini menarik ? tak dapat dipungkiri akhir-akhir ini mengemuka kembali
debat atau diskusi terkait politik identitas terutama soal kepemimpinan
politik serta hal-hal yang terkait toleransi antar umat beragama. Pilkada DKI
kemarin merupakan contoh yang paling aktual untuk konteks ini. Maka dari
itu, untuk kebutuhan tersebut penulis mengutip beberapa hasil survey
sebagaimana di bawah ini :


1.

Dukungan terhadap sistem Demokrasi.

Data di atas menunjukkan sikap semua responden terhadap demokrasi.
Mayoritas warga (76.3%) setuju/sangat setuju bahwa demokrasi adalah
bentuk pemerintahan terbaik.

2.

Dukungan terhadap nilai demokrasi : Kebebasan beragama.

Data ini juga menunjukkan bagaimana seluruh responden dengan suara
mayoritas warga (89.1%) setuju/sangat setuju bahwa setiap warga bebas
memeluk agama dan keyakinan.
Data di atas menunjukkan dukungan yang besar dari warga akan demokrasi
dan kebebasan beragama. Hal ini tentu saja bernilai positif mengingat kedua
hal tersebut sangatlah penting bagi tumbuh kembangnya demokrasi di tanah
air. Data di atas penulis coba hubungkan dengan temuan lain dari survey

tersebut, yakni terkait bagaimana sikap umat Islam (89,0% dari total
responden) jika dihadapkan pada isu-isu “teknis” perihal kepemimpinan
politik dan toleransi. Menarik untuk disimak apakah data-data tersebut saling
mendukung dan konsisten satu sama lain atau justru saling bertolak
belakang ?. Berikut data-data hasil survei tersebut.

1.
2.

Mempertimbangkan Agama ketika membuat keputusan penting.

Sekitar 82.9% warga Muslim sangat atau cukup sering mempertimbangkan
agama ketika membuat keputusan penting. Dapat disimpulkan mayoritas
warga Muslim menjadikan agama sebagai factor utama dalam
mempertimbangkan keputusan-keputusan penting. Dengan kata lain, factor
agama (perintah atau nilai-nilai) tidak terpisahkan dari segenap pilihan dan
tindakan warga Muslim.

2.


Sikap

terhadap

Non-Muslim

menjadi

Bupati/Walikota.

Sekitar 47.4% warga muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi
bupati/walikota. Data di atas menunjukkan ada peningkatan dari survey
sebelumnya terkait keberatan warga Muslim terhadap non muslim menjadi
bupati/walikota.

3.

Sikap

terhadap


Orang

non-Muslim

menjadi

gubernur.

Sekitar 48.2% warga muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi
gubernur. Data ini juga menunjukkan ada peningkatan perihal keberatan
warga Muslim terhadap non-Muslim jika menjadi gubernur.

4.

Sikap terhadap : Orang non-Muslim menjadi wakil presiden.

Sekitar 49.6% warga Muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi wakil
presiden. Walaupun tidak mayoritas tapi tren peningkatan tetap ada.


5.

Sikap terhadap : Orang non-Muslim menjadi presiden.

Sekitar 53.2% warga Muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi
presiden. Pada data ini pun tetap menunjukkan tren peningkatan keberatan
warga Muslim terhadap non-Muslim menjadi presiden.

6.

Sikap
terhadap
Orang
non-Muslim
mengadakan
keagamaan/kebaktian di sekitar lingkunga tempat tinggal.

acara

Mayoritas warga Muslim (56.7%) tidak keberatan jika orang non muslim

mengadakan acara keagamaan di daerah sekitar lingkungannya.

7.

Sikap terhadap Orang non-Muslim membangun tempat peribadatan di
sekitar lingkungan responden.

Sebanyak 48.2% warga muslim keberatan jika orang
membangun tempat peribadatan di sekitar lingkungannya.

non-muslim

Hemat penulis, paparan data di atas memperlihatkan ada hasil yang berbeda
dari respon responden (muslim) terkait sikap dukungan mereka terhadap
sistem demokrasi dan kebebasan beragama dengan sikap mereka terkait
isu-isu teknis soal kepemimpinan politik dan toleransi. Sebagaimana
diketahui, system demokrasi memberi ruang yang sama bagi siapapun
(tanpa memandang suku dan agama) untuk menjadi pemimpin politik
(bupati, gubernur, presiden/wakil presiden), begitupun dalam hal kebebasan
melaksanakan ibadah, setiap warga Negara memiliki hak untuk

menunaikannya sesuai dengan keyakinannya. Namun, nampaknya (merujuk
pada temuan survey di atas ) hal-hal tersebut disikapi berbeda oleh sebagian
(besar) responden warga Muslim, dukungan yang cukup tinggi terhadap
sistem demokrasi dan kebebasan beragama ternyata tidak berbanding lurus
dengan sikap dan dukungan terhadap isu-isu yang terkait kepemimpinan
politik oleh non-Muslim dan toleransi (kebebasan) beragama terutama terkait

pendirian rumah ibadah bagi agama lain. Pertanyaannya kemudian
bagaimanakah sebenarnya presepsi umat islam terhadap Demokrasi dan
toleransi ?. Hasil survey di atas juga kembali membuka diskursus lama
bagaimanakah relasi Islam dengan demokratisasi ? apakah kedua hal ini
saling bertentangan ataukah keduanya memiliki nilai yang saling
menguatkan ? dapatkah Islam hidup dalam tuntutan demokrasi atau bisakah
demokrasi hidup di bawah tuntunan Islam ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menarik untuk di diskusikan lebih jauh.
***
Demokrasi dan Islam memiliki sejarah lahir yang berbeda. Demokrasi lahir
dari rahim peradaban barat sedangkan Islam adalah wahyu Tuhan yang
diturunkan melalui Nabi Muhammad di wilayah Timur Tengah. Mediskusikan
apakah konsep demokrasi sesuai atau bertentangan dengan Islam memang

tergolong rumit. Diskursus ini sudah membentang lama dan melahirkan
banyak pemikiran. Beberapa ilmuwan Islam memandang bahwa konsep
demokrasi berkesesuaian dengan konsep Islam. Berbagai istilah yang dikenal
dalam Islam kerapkali disamakan atau disepadankan dengan pengertian
demokrasi, seperti keadilan (‘adl), persamaan (musa’wah), musyawarah
(shu’ra). Namun ada juga ilmuwan Muslim menolak penyamaan demokrasi
dengan Islam, bahkan ada yang secara garis keras mengatakan tidaklah ada
kesamaan ada demokrasi dengan Islam, Islam adalah satu-satunya sumber
nilai yang harus dirujuk dalam konteks apapun termasuk dalam berbangsa
dan bernegara.
Anggapan bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan Islam tidak hanya lahir
dari ilmuwan muslim akan tetapi juga lahir dari ilmuwan barat seperti
Samuel P. Huntington. Samuel Huntinton mengatakan bahwa bila orang Islam
berusaha memperkenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha
itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Lebih lanjut ia berpendapat
bahwa kegagalan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan
oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap
konsep-konsep liberalisme Barat.[2]
Di sisi lain, banyak juga ilmuwan Islam maupun barat yang menyatakan

bahwa Islam dengan demokrasi adalah nilai yang saling mendukung.
Misalnya, Syaiful Mujani dalam bukunya Muslim Demokrat yang berdasarkan
hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk kasus umat Islam Indonesia,
konsep demokrasi berhubungan positif dengan ajaran Islam. Ilmuwan lain
Anders Uhlin (dalam Eko Tranggono, 2002) ketika melakukan penelitian di
Indonesia mengakui, bahwa demokrasi versi Indonesia juga terinspirasi oleh
nilai-nilai Islam (qur’anic value) dan marxis. Sehingga ia berkesimpulan
demokrasi dalam konteks modern bukan sekedar ide Barat melainkan sesuai
dengan kondisi negara di mana demokrasi itu berkembang.[3]

Sedangkan Yusuf Al-Qardhawy (dalam Kiki Muhamad Hakiki, 2016)
mengatakan bahwa secara substansi demokrasi tidak bertentangan dengan
Islam, bahkan ajaran substansi demokrasi telah lama dikenal oleh Islam.
Meskipun substansi demokrasi sudah dikenal oleh Islam, akan tetapi
rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan
dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya
menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia.
Alasan lainnya karena demokrasi mempunyai beberapa kelebihan, di
antaranya adalah demokrasi telah menuntun ke beberapa bentuk dan
sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang

memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran.
Namun begitu, Yusuf Al-Qardhawy juga mengakui sistem demokrasi juga tak
bisa dilepaskan dari kecacatan dan kekurangan. Ia menganjurkan bahwa
tidak ada salahnya untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan
lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia.
Karena itu, hematnya, tak ada salahnya untuk mengambil sistem demokrasi
sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan shu’ra’, menghormati hakhak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi ini[4].
***
Demokrasi secara substansial dapat diartikan sebagai pengakuan akan hak
yang sama dan setara pada setiap individu (warga Negara). Hak ini
membentang setara pada siapapun tanpa melihat suku, agama, kelas sosial
dan lain-lain. Dalam praktek berbangsa dan bernegara hak (dan kewajiban)
dilembagakan dalam suatu aturan sebagai bentuk jaminan dan
perlindungannya. Adanya jaminan dan perlindungan akan hak ini bukan
berarti setiap orang dapat mengaktualkan haknya sebebas mungkin akan
tetapi ada hak orang lain yang “membatasi” hak kita sebagai warga negara.
Benteng kebebasan kita adalah hak orang lain. Sebagai contoh kecil, setiap
orang memiliki hak dan kebebasan untuk mendengarkan musik sekencangkencangnya namun di sisi lain setiap orang juga harus sadar bahwa ada hak
orang lain untuk mendapatkan ketenangan yang akan terlanggar jika anda
memaksakan hal tersebut. Dengan itu demokrasi menganjurkan nilai

toleransi,
kebersamaan,
pluralisme,
kerelaan,
inklusivisme
dalam
prakteknya. Dalam konteks bernegara dan berbangsa setiap warga memiliki
hak yang sama dan setara dalam menerima ataupun melakukan tindakantindakan sebagai warga Negara, namun setiap warga juga dituntut untuk
mampu mengelola haknya agar tidak membatasi apalagi mencederai hak
orang lain. Dalam kondisi tersebut setiap warga negara dituntut memiliki
sikap ikhlas, kebesaran hati, kemampuan berbagi dalam mendialogkan,
menegosiasikan segala hak ataupun kepentingan yang ada dengan mencari
titik temu paling baik untuk kepentingan semua. Dalam konteks ini tidak
boleh ada individu ataupun sekelompok orang yang memaksakan
kepentingannya dengan mengorbankan kepentingan umum. Perlu dicatat,
kepentingan umum di sini tidak merujuk ke pengertian jumlah terbanyak

atau mayoritas akan tetapi dalam arti sari pati kebaikan-kebaikan bersama
yang dihasilkan dari berbagai/beragam unsur yang saling mendialogkan dan
menegosiasikan kepentingan-kepentigannya. Maka dari itu, sikap toleran,
keiklasan, kesetaraan, kerelaan berbagi haruslah ada dan berkembang
dalam setiap warga sehingga menjadi nilai yang dapat menjadi penopang
yang kuat bagi demokrasi. Mengutip pendapat (Alm) Nurcholis Majid, salah
satu nilai yang amat penting dari tatanan masyarakat maju adalah
pluralisme. Menurut beliau, dalam konteks ini yang di pertaruhkan adalah
Demokrasi dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap
bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, akan tetapi juga
mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain. Hal itu
merupakan dasar dari pada perdamaian dan saling menghormati satu sama
lainya (Dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk, 2005 ).
Pada konteks politik elektoral setiap orang tentunya memiliki hak untuk
mengajukan preferensi politiknya termasuk merujuk ke persoalan agama.
Namun yang menjadi persoalan adalah perihal kepemimpinan politik
bukanlah persoalan sederhana yang hanya terkait orang tersebut menganut
agama tertentu ataukah tidak akan tetapi membentang luas dan dalam
pada persoalan sosial, ekonomi, politik hingga kebudayaan. Hal yang terkait
bukan hanya satu umat saja tapi melintasi banyak keimanan, bukan hanya
menanggulangi persoalan ekonomi politik satu dua warga atau umat akan
tetapi melintas pada semua warga apapun kepercayaannya, profesi, suku
serta asal usulnya. Untuk itu persoalan kepemimpinan politik membutuhkan
energy, daya fikir, referensi yang mendalam dan luas (komprehesif) dalam
mendekati dan memahaminya. Sangat berisiko jika hanya satu aspek saja
dalam mendekati dan memahaminya. Sudah banyak contoh penggunaan
satu preferensi saja adalah hal yang fatalis dan naïf. Sebagai faktanya, cukup
banyak pemimpin publik yang di kenal kental dengan agama tertentu
bahkan mendapat predikat agamawan justru menjadi pesakitan untuk kasus
korupsi dan lain-lain. Sejalan dengan itu, kepemimpinan politik haruslah di
lihat sebagai urusan yang melampui urusan pribadi (identitas keagamaan
ataupun suku) yang melintasi dan melingkupi urusan publik atau warga
secara umum. Maka dari itu pula, yang menjadi referensi dalam melihat dan
mendekati persoalan kepemimpinan politik haruslah hal-hal yang terkait
kapasitas dan kapabilitas dalam penyelenggaraan kemaslahatan umum serta
upaya-upaya dalam mewujudkannya. Dengan kata lain, Ego Identitas
haruslah dipinggirkan demi kemaslahatan umum.
***
Lalu bagaimana dengan (tafsir) teks-teks suci yang menganjurkan untuk
memilih kaum yang seiman sebagai pemimpin politik ?. Sebagai tafsiran sahsah saja, bukankah tafsiran terhadap teks-teks tersebut tidaklah satu ? tapi
sangat banyak dan beragam. Teks-teks tersebut haruslah terus hidup dalam
binkai kesejarahan manusia, berdiaklektika dengan perkembangan zaman

dan menemui tafsirnya yang relevan sesuai dengan konteks zamannya.
Maka dari itu, hemat penulis, demokratisasi akan tafsir teks-teks suci juga
penting dan wajib adanya. Tafsir akan teks-teks tersebut tidak boleh di
kuasai dan dimonopoli oleh suatu kaum dan menganggap tafsir di luar
kaumnya tidak syah atau bid’ah. Terlebih lagi jika tafsir tersebut digunakan
untuk mengekslusi hak politik orang lain. Sebagai penutup, penulis mengutip
pendapat dari Laith Kubba (dalam Ajat Sudrajat, 2016), ia menyatakan
bahwa Islam mengajarkan prinsip kebebasan, menghargai martabat
manusia, persamaan di antara manusia, pemerintahan dengan kontrak,
kedaulatan rakyat (popular sovereignity), dan penegakan hukum. Kegagalan
umat Islam dalam membangun sistem politik yang terbuka dan
pemerintahan yang demokratis berakar pada adanya kebudayaan politik
yang otoriter dan manipulasi dalam menafsirkan al-Qur’an[5]. Bagaimana
menurut anda sekalian, tuan dan puan ?. Wassalam.
Kata kunci : Islam, Demokrasi, Politik, Survei perilaku politik

Referensi
[1] Presentasi LSI : Korupsi, Religiusitas, Intoleransi. November. 2017.
[2] Muhamad Hakiki. Islam dan Demokrasi: Pandangan intelektual muslim
dan penerapannya di Indonesia. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya.
2016
[3] Eko Tranggono. Jurnal Al-Afkar,Edisi VI,Tahun ke 5 : Juli-Desember 2002.
[4] Muhamad Hakiki. Islam dan Demokrasi: Pandangan intelektual muslim
dan penerapannya di Indonesia. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya.
2016
[5]Ajat Sudrajat. Islam dan Demokrasi.tt