T1 Lampiran Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Ahok dalam Konstruksi Media Online: Framing dalam Republika.co.id dan Kompas.com

4Artikel berita 1

Ibnu Taimiyyah tentang Pemimpin Non-Muslim
Kamis , 17 Maret 2016, 18:00 WIB
Setiap kali ada peristiwa pemilihan kepala daerah atau pre siden di Indonesia, salah satu wacana
yang sering dimuncul kan adalah mengenai kepe mimpinan non-Muslim di ne geri yang
mayoritas Muslim ini. Pada 2017 mendatang akan diselenggarakan pilkada di DKI Jakarta, ibu
kota Republik Indone sia. Pilkada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena
posisi strategis ibu kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent (pejawat) yang nonMuslim.Ahok akan maju kembali dalam Pilkada kali ini.
Seperti biasa, segera muncul prokontra tentang kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah
penduduk yang mayoritas Muslim. Sebagian kalangan kemudian membela kepemimpinan nonMuslim dengan alasan yang diulang-ulang, yaitu menolak ayat-ayat yang menyebutkan
haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir. Selain itu, argumen lain yang juga selalu
diulang-ulang adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al- Islâm aw
Wazhîfah Al-Hukûmah Al- Islâmiyyah (hlm 7 cetakan Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon).
Biasanya, yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: Allah akan menolong negara
yang adil sekali pun kafir dan akan membinasakan negara yang za lim sekali pun beriman.
"Mengenai ar gu men bahwa tidak ada ayat-ayat atau ha dis yang tegas yang melarang kepemim
pin an non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang) dalam
tradisi pemikiran politik Islam. Sebab, dalam masalah ini telah ter jadi ijmak (kesepakatan) di
antara para ulama.
Tidak ada satu pun ulama di masa lalu maupun sekarang yang membolehkan secara mutlak

kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawidalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh AlKhilâfah (Dar Al- I'lam Al-Dauly [tt.] hlm 22-23) menyebutkan bahwa syarat "Islam" bagi calon
pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara
sangat mudah ('ulima min ahkâm al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam
Islam, salah satunya, adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy).
Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kafir) terhadap ajaran Islam dapat
menegakkan Islam? Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang
sangat banyak didalam Alquran (bukan hanya satu atau dua ayat) maka tidak mengherankan
apabila para ulama bersepakat atas wajibnya syarat "Islam" bagi pemimpin kaum Muslim. AlQadhi Iyadh berkata, "Para ulama berse pakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan
kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir),
maka dia harus turun." (Shahih Muslim bi Syarh Al-Na wâwi jilid 12 hlm 229). Ibnu Mundzir

juga mengatakan, "Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh
menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apa pun." (Ahkâm Ahl Al- Dzimmah li
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah jilid II hlm 414).
Dalam sistem hukum Islam, ijmak merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat setelah
Alquran dan sunah Nabi SAW. Seandainya benar terdapat ijmak di kalangan ulama mengenai
kewajiban syarat "Islam" bagi pemimpin kaum Muslim, lalu timbul pertanyaan, apakah benar
bahwa Ibnu Taimiyyah berbeda pendapat mengenai masalah ini? Salah satu buktinya adalah
kutipan di atas. Kalau memang benar, berarti klaim ijmak gugur dengan sendirinya. Inilah yang
akan dibahas secara lebih mendalam pada tulisan ini. Untuk membahas masalah ini, ada dua hal

yang harus didudukkan, yaitu bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah terhadap syarat seorang
pemimpin kaum Muslim dan dalam konteks apa ia mengatakan pernya taannya tersebut.
Syarat Pemimpin
Hal yang cukup menyulitkan untuk memastikan apa yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin
kaum Muslim menurut Ibnu Taimiyyah adalah gaya Ibnu Taimiy yah dalam membahas masalah
ini. Dalam kitab-kitab fikih siyasah yang umum, se perti tulisan Al-Mawardi Al-Ahkâm Al-Sul
thâniyyah, biasanya dibahas secara gamblang dan khusus mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi seorang pemim pin, sehingga para pembaca segera dapat mengetahui pendapatnya
mengenai masa lah ini. Sementara, Ibnu Taimiyyah di dalam buku-bukunya yang khusus
berkenaan dengan siyasah, yaitu Al-Siyâsah Al- Syar'iyyah, Al-Hisbah fî Al-Islâm, dan AlKhilâfah wa Al-Mulk tidak menyebutkannya secara khusus.
Oleh sebab itu, para pembaca harus membacanya secara mendalam dan hatihati untuk
mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai masalah ini. Dalam disertasinya di
Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhil la'Dammam KSA (1994: hlm 95-97)
berjudul Al-Nazhariyyah Al-Siyâsah 'inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan Konakata me nya takan
bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua
syarat umum bagi se orang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah waalamânah (kekuatan dan
amanah). Kesim pulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyâsah
Al- Syar'iyyah (Dar Al-Afaq Al-Jadidah Beirut, 1998: 15), "Fa innaal-wilâ yah lahâ ruk nâni: alquwwah wa al-amâ nah."
Yang dimaksud dengan "kekuatan" oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus di
miliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima

perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia
tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara, orang
yang akan memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang
diajarkan di dalam Alquran dan sunah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya
di tengah-tengah manusia. (Al-Siyasah Al-Syar'iyyah, 1998: 16). Adapun yang dimaksud dengan

"amanah" adalah sikap takut hanya kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit dan tidak takut pada manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman
Allah SWT, "Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian
memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Ma'idah:
44). (Al- Siyâsah Al-Syar'iyyah, 1998: 16).
Merujuk pada syarat "amanah" ini, agak sulit dimengerti jika Ibnu Taimiyyah tidak
mempersyaratkan pemimpin harus seorang "Muslim". Kalau bukan Muslim, bagaimana mungkin
dia bisa takut pada Allah dan memperjualbelikan ayat-ayat Allah? Bahkan, syarat yang
ditetapkan Ibnu Taimiyyah ini lebih dari sekadar harus "Muslim". Dia harus memiliki sifat-sifat
yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu "takut kepada Allah SWT". Pen jelasan mengenai
syarat-syarat men jadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak berbeda dengan
penulispenulis lain.
Namun, maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain.

Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, kita akan segera bisa
menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan
Al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah (Dar Ibn Qutaibah Kuwait, 1989: 3-5), Al-Ma
wardi menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk mene ruskan misi
kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia.
Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat, antara lain, adil
(dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat
mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat pancaindra, sehat anggota tubuh, memiliki
kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat
yang ditetapkan Al-Mawardi ini, esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu
memiliki kekuatan (alquwwah) dan amanah.
"Islam" pasti merupakan salah satu syarat mutlak di dalamnya karena tujuan dari kepemimpinan
itu sendiri adalah untuk menegakkan agama sebagaimana tugas para Nabi. Kalau kita telaah lagi
semua tulisan Ibnu Taimiyyah tentang masalah politik ini akan semakin jelas bahwa sama sekali
ia tidak pernah memberikan ruang bagi dibolehkannya pemim pin kafir. Salah satu yang semakin
menguatkan kesimpulan ini dapat dilihat dalam Al-Khilâfah wa Al-Mulk (Maktabah Al- Manar
Yordan, 1994: 43). Ia menulis satu bab "Al-AmîrYatawallâ Imâmah Al-Shalâh wa Al-Jihâd"
(Seorang Amir Harus Me mim pin Shalat dan Jihad). Seandainya Ibnu Taimiyyah membolehkan
diangkatnya pemimpin non-Muslim, mengapa ia begitu yakin menulis kewajiban pemimpin
semacam ini yang tidak mungkin dikerjakan kecuali oleh seorang Muslim?


Konteks Ibnu Taimiyah
Hal berikutnya yang harus diklarifikasi adalah tentang pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas. Amat
disayangkan bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah ini hanya dikutip dan dipahami sepotongsepotong. Seandainya dilihat secara utuh, baik dalam konteks keseluruhan pemikiran Ibnu
Taimiyyah maupun dalam konteks di mana kalimat yang dikutip tersebut maka para pembaca
yang jujur akan segera mengerti bahwa Ibnu Taimiyyah sama se kali tidak memaksudkan
ucapannya sebagai kebolehan orang kafir dijadikan pemimpin kaum Muslim. Apalagi, kalau
kutipan ini dipandang secara lebih kritis, bisa jadi ungkapan ini akan tertolak dengan sendirinya.
Akan kita urai mengenai masalah ini sebagai berikut. Pertama, dilihat dari cara Ibnu Taimiyyah
mengungkapkan kalimat ini, ia hanya menyebutkan dengan kata yurwâ (diriwayatkan), tapi sama
sekali tidak menyebut diriwayatkan dari siapa; apakah dari Rasulullah, sahabat, tabiin, atau
tokoh ulama lainnya? Ibnu Taimiyya ha dalah orang yang sangat kritis terhadap riwayat-riwayat
yang digunakannya untuk menyusun argumentasi. Ia terkategori ahl al-hadîts yang sama sekali
tidak menoleransi riwayat-riwayat yang lemah dan tidak jelas; apalagi riwayat palsu.
Amat sangat disayangkan, kali ini Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak menyebutkan ini riwayat
semacam apa. Kalau menggunakan metode kritik Ibnu Taimiyyah terhadap riwayat-riwayat,
kutipan yang tidak jelas sumbernya semacam ini seharusnya sudah tertolak sejak awal. Kedua,
seandai nya kita mau berhusnuzhan bahwa ini ad alah pendapat Ibnu Taimiyyah sendiri maka
kita harus memaknainya dalam kon teks pembahasan yang tengah dibahas olehnya dan dari
pokok pikirannya ten tang kepe mim pinan dalam Islam. Ung ka pan itu se cara utuh disimpan

dalam pembahasannya tentang tujuan dari kekuasaan dalam Islam. Pada awal wacana Ibnu Tai
miyyah menulis, "Ini adalah kaidah-kaidah tentang hisbah. Tujuannya adalah untuk memberikan
pengetahuan bahwa segala bentuk kekua saan dalam Islam tujuannya adalah agar seluruh
pelaksanaan agama hanyalah dipersembahkan untuk Allah SWT dan agar kalimat Allah menjadi
kali mat tertinggi…." (Al-Hisbah fî Al-Islâm, tt: 6).
Lalu, pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ketaatan
sepenuhnya pada Allah SWT, baik dalam perkara agama maupun dunia. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya, ada orang yang benar, ada juga yang salah, sehingga perlu ada yang memegang
pe ranan dalam amar makruf dan nahi mun kar. Inilah yang dimaksud hisbah di dalam Islam.
Setelah menjelaskan hal tersebut, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang berbeda-beda
agama dan keyakinan memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap masalah agama dan
dunia. Akan tetapi, dalam masalah keadilan dan kezaliman, semua orang memiliki pandangan
sama, yaitu bahwa kezaliman akan ber akibat buruk bagi kehidupan manusia, sedangkan
keadilan akan berakibat sebaliknya. Setelah itu, baru ia katakan bahwa ada riwayat yang
menyatakan seperti ungkap annya di atas. Kalau memperhati kan konteksnya, Ibnu Taimiy yah
sama se kali tidak sedang membicarakan pemim pin Islam atau kafir, tapi sedang membi carakan

masalah keadilan.
Dalam hal-hal duniawi, ada dimensidimensi keadilan yang rumusnya disepakati bersama oleh
orang-orang yang berbeda-beda keyakinan sekali pun. Dalam hal demikian, bila keadilan

ditegakkan sekali pun, penegaknya itu adalah "negara yang kafir" maka akan ada pertolongan
Allah SWT, dalam arti akan berbuah halhal yang baik. Sementara, bila tidak dite gak kan,
walaupun di "negara yang Mus lim", pasti akan berakibat keburukan. Bo leh dikatakan bahwa
maksud Ibnu Tai miyyah adalah ingin memberi tekanan kepada keadilan, bukan membicarakan
mengenai boleh atau tidaknya pemimpin yang kafir. Sebab, di kalangan para ulama memang
tidak terpikirkan untuk membolehkan seorang kafir menyerahkan urusan kepemimpinan kepada
orang kafir. Wallâhu A'lam.

Artikel berita 2

Ucapan Kasar Ahok Sebarkan Pengaruh Negatif
Jumat , 20 Maret 2016, 14:42 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap dan perkataan keras yang sering dilontarkan oleh
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok bisa menyebarkan pengaruh negatif
kepada masyarakat. Sebab, aksi keras Ahok kerap terekam kamera dan disebar luaskan sehingga
mudah dilihat dan diakses banyak orang.
“Omongan pemimpin sekarang direkam oleh media, akhirnya setiap perkataan yang keluar
mempengaruhi masyarakat,” ujar Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Tuty
Alawiyah, saat dihubungi ROL, Jumat (20/3).
Ia menyayangkan sikap yang ditujukkan sejumlah pejabat publik seperti Ahok. Banyak dari

mereka, kata dia, yang berkata seenaknya sehingga tidak layak ditiru dan didengar. “Perkataan
keras itu membuat orang tersinggung dan sedih,” jelas Tuty.
Menurutnya, jika seorang pemimpin ingin menyampaikan suatu kebenaran, bisa dilakukan
dengan ucapan yang baik dan bisa diterima. Sehingga ucapan yang baik tersebut juga akan
memberikan pengaruh baik dan positif bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Artikel berita 3

Anggota DPRD Sebut Gaya Kepemimpinan Ahok Sulit Dimengerti
Selasa , 26 April 2016, 21:39 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPRD DKI
Prabowo Soenirman mengatakan, gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok sulit dimengerti. Sebab gaya kepemiminannya bisa memberikan
contoh tidak bagus sebagai pemimpin.
"Saya bilang satu kondisi yang seharusnya diubah," kata dia.
Dia meminta Ahok dapat mengubah sikapnya dan menata kata-katanya dalam berbicara.
Sehingga tidak menyakiti orang lain.
Menurut Prabowo, gaya kepemimpinan setiap orang berbeda-beda. Namun gaya
kepemimpinan jangan sampai membuat contoh tidak baik terhadap generasi bangsa.

Kemudian, terkait dengan kinerja Ahok jika dibandingkan dengan ucapannya sendiri,
Prabowo menjawab tergantung daripada hasil yang dilakukan. "Tapi kenyataannya sampai
saat ini, anggaran tidak terpenuhin, gitu aja," kata dia.

Artikel berita 4

Gaya Komunikasi Ahok Dinilai tak Mencerdaskan Bangsa
Rabu , 27 April 2016, 15:56 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Komunikasi Paska Sarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta Harmonis mengatakan, seorang pejabat publik harus memiliki karakter
komunikasi yang cerdas. Itu sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang
mencerdaskan bangsa. Menurutnya, gaya komunikasi pejabat publik saat ini tidak mencerdaskan
bangsa.
Harmonis mengatakan, gaya kepemimpinan Gubernur DKI Basuki Tjatjaha Purnama atau Ahok
yang tidak baik cenderung diikuti orang-orang disekelilingnya. Selain itu, pemimpin di daerah
lain juga ikut menggunakan gaya komunikasi yang sama. "Sekarang Pasha Ungu juga marahmarah," katanya, Rabu (27/4).
Seorang pemimpin, tambahnya, harus memberi contoh yang baik, tidak menunjuk-nunjuk
bawahannya di depan orang banyak. Dengan begitu, akan terlihat kecerdasan karakter bangsa.
Kecerdasan menurutnya tidak hanya jenjang pendidikan yang tinggi, tapi juga kecerdasan
berkomunikasi.

Gaya kepimpinan Ahok menurut Harmonis dipertahankan oleh orang-orang disekelilingnya.
Yang menjadi masalah adalah beberapa orang malah suka dengan karakter komunikasi yang
keras tersebut. "Inner circle-nya yang mempertahankan gaya komunikasi Pak Ahok," katanya.
Karena itu, menurutnya yang terpenting saat ini adalah pendidikan komunikasi politik. Ia
mengatakan, dalam waktu dekat ini Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia akan
mengadakan simposium yang bertema 'Kecerdasan Komunikasi'. "Ini menjadi kegalauan saya
pribadi dan teman-teman melihat komunikasi pejabat kok seperti itu," tambahnya.

Artikel berita 5

Survei: Gaya Kepemimpinan Ahok Kasar
Sabtu , 14 Mei 2016, 18:42 WIB
JAKARTA -- Lembaga survei Media Survei Indonesi Nasional (Median) menunjukkan data
43,40 persen masyarakat Jakarta menilai, sikap kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok termasuk kasar.
"Tapi, ada 45,40 persen yang menilai kepemimpinan Ahok tegas," kata Direktur Riset Median
Sudarto di Jakarta, Jumat (13/5).
Menurut Sudarto, dalam survei tersebut juga menunjukkan, hanya 39,80 persen masyarakat
Jakarta yang menginginkan mantan bupati Belitung Timur tersebut kembali menjadi gubernur
DKI Jakarta periode 2017-2022. Adapun, sekitar 40,60 persen masyarakat ingin sosok selain

Ahok menjabat gubernur DKI dan 19,60 persen lainnya memilih tidak menjawab.
Sudarto mengatakan, hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap
kepemimpinan Ahok berakhir terbelah. Itu lantaran 45,2 persen masyarakat menyatakan puas
dan 46,2 persen menyatakan tidak puas. "Yang tidak tahu, ada 8,60 persen," ujarnya.
Median juga menyurvei 20 tokoh yang dinilai berpotensi besar ikut bertarung dalam pesta
demokrasi di Ibu Kota tahun depan. Dalam hal popularitas, menurut Sudarto, Ahok masih
menempati posisi teratas dengan raihan 91,0 persen. Pejawat (incumbent) mengungguli Yusril
Ihza Mahendra yang mendapat 76,6 persen dan Tri Ris maharini 72,6 persen.
Hal yang mengejutkan, popula ritas tertinggi setelah Ahok diduduki musisi Ahmad Dhani yang
sempat mau maju melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Kalau Ahmad Dhani berada di
posisi kedua 80,6 persen, ini wajar karena dia artis," katanya.
Menurut Sudarto, survei tersebut berlangsung mulai 24 April sampai 4 Mei 2016 dengan
melibatkan sebanyak 500 responden yang dipilih secara acak. Sudarto menyatakan, survei ini
menggunakan kuisioner dengan metode face to face interviewdi lima wilayah, yakni Jakarta
Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
Selain itu, terdapat beberapa tokoh lainnya yang masuk dalam survei yang diurut secara
berurutan, yaitu Ridwan Kamil dengan 75,6 persen, Djarot Saiful Hidayat 56,0 persen, Abraham

Lunggana atau Lulung 56,0 persen, Ganjar Pranowo 54,0 persen, Adhyaksa Dault 52,0 persen,
dan Sandiaga Uno 48,6 persen.
Sementara itu, Cyrus Network juga mengadakan survei untuk mengetahui popularitas dan
elektabilitas Ahok dengan jumlah 1.000 resonden.
Hasilnya, tingkat popularitas dan elekta bilitas Ahok menempati urutan pertama, meski pun
media beberapa bulan belakangan ini memba has kasus Rumah Sakit Sumber Waras dan
reklamasi di Teluk Jakarta.

Artikel berita 6

Amir Syamsuddin: Secara Kriteria, Ahok Sangat Pas Jadi Gubernur DKI
Selasa, 15 Maret 2016 | 19:05 WIB
Indra Akuntono/KOMPAS.com
JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Demokrat hingga kini belum memutuskan sosok yang
akan diusung pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Namun, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin menilai Gubernur DKI
Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, adalah sosok yang ideal untuk memimpin
DKI.
"Kalau calon gubernur Jakarta, kriteria seorang Ahok itu sudah pas (jadi gubernur)," kata Amir
saat dijumpai seusai menghadiri seminar nasional "Anti-Corruption and Democracy Outlook
2016" di Jakarta, Selasa (15/3/2016).
Kriteria yang dimaksud Amir yakni dari sisi elektabilitas, popularitas, hingga
ketegasan Ahok dalam memimpin Jakarta saat ini.
(Baca: Wakil Ketua KPK: Ratna Sarumpaet Lo Tanggepin, Ngapain?)
Meski demikian, ia menegaskan, Ahok perlu membangun komunikasi yang baik jika ingin
didukung Demokrat.
"Tidak dengan cara mengatakan, meski sudah diralat, kayak uang mahar ratusan miliar rupiah
yang membuat kami terheran-heran. Dari mana itu?" ujar mantan Menkumham itu.
Saat disinggung apakah ada kemungkinan Demokrat mendukung Ahok saat Pilkada mendatang,
Amir tak menjawab secara tegas. (Baca: Ruhut: Laju Ahok Sulit Dicegah meski Syarat Calon
Independen Diperberat)
"Tentu akan kami bicarakan bahwa kriteria kinerja seorang Ahok itu sangat pas," kata Amir.

Artikel berita 7

Gerakan Dukung “Ahok untuk Gubernur DKI Jakarta” Muncul di AS
Selasa, 19 April 2016 | 10:58 WIB
Diana Daulima untuk Kompas.com
Deklarasi masyarakat Indonesia di Amerika Serikat mendukung Ahok
WASHINGTON DC, KOMPAS.com — Gerakan spontan sekelompok masyarakat Indonesia
di Amerika Serikat muncul untuk mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan
Heru Budi Hartono menjadi calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta.
Heru adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta.
Diana Daulima dari pihak penyelanggara gerakan tersebut mengabarkan
kepada Kompas.com pada Selasa (19/4/2016).
Ibu dari empat anak laki-laki itu mengonfirmasi kabar burung yang masih simpang siur, yang
kami terima pertama kali sejak Minggu (17/4/2016).
“Ya benar acara ini sudah dilaksanakan pada 17 April di Washington DC. Tepatnya di Monumen
Washington pada pukul tiga sore (15.00) waktu setempat,” katanya lewat pesan WhatsApp.
Deklarasi akbar yang bertajuk “USA for Ahok, Washington DC for Ahok, Indonesian American
for Ahok” itu diadakan di Monumen Washington, di depan Gedung Capitol, dan di depan
Gedung Putih.
Deklarasi masyarakat Indonesia di Amerika Serikat mendukung Ahok
Hari Minggu (17/4/2016), Kompas.com mendapat informasi dari beberapa rekan di AS, baik di
Virginia, Washington DC, Los Angeles, maupun New York. Namun, umumnya mereka tidak
hadir acara itu.
Harya Setyaka Dillon, mahasiswa program doktoral di sebuah perguruan tinggi di AS,
mengatakan, dia mendapat broadcast undangan agar menghadiri deklarasi dukung Ahok-Heru.
Namun, Harya tidak bisa datang. Sebuah pesan gambar undangan masuk ke teleponnya. Harya
meneruskan image itu ke WhatsApp kami.
“Undangan Foto Bersama Dukung Ahok sebagai Cagub DKI Jakarta. KTP Gue Buat Ahok,”
begitu tertulis dalam pesan bergambar itu.
"Dukungan moral selalu diperlukan. Mereka menunjukkan bahwa mereka peduli walaupun
tinggal jauh. Yang jauh saja peduli, maka yang dekat harus semakin peduli," kata NKN, seorang
WNI yang bekerja di Washington DC, lewat pesan singkatnya.
NKN meminta namanya tidak disebut lengkap. Ia mendapat undangan itu, tetapi karena
kesibukan tidak bisa menghadiri deklarasi. "Jarang di Indonesia ada pemimpin yang benar-benar
peduli," katanya.
Peserta disarankan memakai baju Betawi. “Tidak harus, tetapi sangat disarankan. Silakan
berkreasi,” tulis di undangan tentang dress code acara itu. “Saya tidak bisa datang,” kata Harya.
Menurut Diana, deklarasi itu dihadiri 30 orang. Sebenarnya banyak yang mau datang, tetapi
karena kesibukan, mereka hanya memberikan dukungan moril.

“Ini murni gerakan spontanitas masyarakat Jakarta-Indonesia (di AS) untuk
mendukung Ahok dan Heru (untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta) 2017,” kata Diana.
Menurut wanita pekerja di AS ini, “Tujuannya adalah memberikan dukungan moral untuk AhokHeru untuk gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2017.”
Deklarasi masyarakat Indonesia di Amerika Serikat mendukung Ahok
Diana mengatakan, “Gerakan ini kita lakukan karena melihat kerinduan masyarakat JakartaIndonesia pada umumnya yang semangat mengikuti perkembangan Pilgub DKI Jakarta.”
“Kami melihat perubahan Jakarta yang sangat signifikan menuju perbaikan yang
positif. Ahok kami yakini merupakan figur yang bersih, berani, konsisten, dan pekerjaannya
sangat nyata,” kata Diana.
Menurut Diana, warga Jakarta dan Indonesia di AS menginginkan perubahan yang positif bagi
Jakarta, ibu kota negara. Perubahan itu sudah mulai terlihat nyata di tangan Ahok untuk menata
Jakarta yang lebih baik.
Diana mengatakan, WNI yang berkumpul dalam deklarasi mewakili yang lain di AS. Mereka
berasal dari kalangan pekerja, mahasiswa, dan intelektual yang memiliki KTP DKI dan KTP
daerah lain di sekitar DKI Jakarta, serta Indonesia umumnya.

Artikel berita 8

Sutiyoso Tidak Persoalkan Gaya Ahok yang Meledak-ledak
Selasa, 26 April 2016 | 18:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tidak mempersoalkan
gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab
disapa Ahok.
Menurut pria yang kini menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu, setiap pemimpin
memang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.
"Kalau gaya Ahok seperti itu juga enggak masalah. Pemimpin itu berhak untuk menerapkan
kepemimpinannya masing-masing. Apakah tepat atau tidak, yang menilai bukan saya," ujar dia
di Istana, Selasa (26/4/2016).
(Baca: Cerita Ahok soal Geng Golf dan Lobi Jabatan PNS DKI)
Pernyataan Sutiyoso itu terkait pernyataan Ahok sebelumnya. Ahok mengatakan, pada era
kepemimpinan gubernur terdahulu, seorang pejabat akan sulit naik jabatan jika bukan bagian dari
geng golf dan tidak bisa bermain golf.
Ahok mengatakan, satu-satunya anggota geng golf yang kini masih memiliki jabatan adalah Wali
Kota Jakarta Utara Rustam Effendi yang akhir pekan lalu mengeluhkan cara
kepemimpinan Ahok di media sosial.
Belakangan, Rustam mengundurkan diri dari jabatan Wali Kota Jakarta Utara. Soal mundurnya
Rustam, Sutiyoso mengatakan, hal itu patut dipertanyakan. Pasti ada sebabnya.
(Baca: Rustam Effendi Akui Main Golf, tetapi Tak Tahu soal Geng Golf)
Namun, Sutiyoso tidak mau mengaitkan peristiwa mundurnya Rustam itu dengan gaya
kepemimpinan Ahok. Sutiyoso mengatakan, saat dirinya menjabat Gubernur DKI Jakarta dahulu,
gaya kepemimpinannya berbeda dari Ahok.
"Kalau saya kan, saya dekati hatinya. Anak buah saya itu keluarga saya. Kalau salah saya
marahi, tapi kalau benar harus saya puji. Itu kan reward and punishment. Di mana pun saya
terapkan," ujar dia.
"Sekarang memang ada orang yang saya maki? Kan enggak pernah. Karena gaya saya seperti itu,
walau saya dari Kopassus. Tidak berarti saya sembarang tempeleng, maki orang. Kalau
gaya Ahok seperti itu juga enggak masalah," lanjut Sutiyoso.

Artikel berita 9

Gaya Kepemimpinan Ahok yang Mengejutkan
Sabtu, 29 November 2016 | 16:49 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said mengatakan,
masyarakat tengah dikejutkan dengan gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). Pasalnya, Jakarta terakhir memiliki pemimpin yang ceplas-ceplos pada masa
Ali Sadikin.
"Kita ini terkejut karena kita sudah lama diperbudak. Di awal Orde Baru, kita sudah terbiasa
dengan Ali Sadikin karena kita menyadari keluar dari ketertindasan Orde Lama," kata Salim
dalam acara diskusi yang diselenggarakan di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu
(29/11/2014).
Menurut Salim, di kala Ali Sadikin resmi menjadi orang nomor 1 di DKI, keterkejutan itu
perlahan-lahan diterima masyarakat Jakarta. Kini, masyarakat Jakarta kembali mendapatkan
pemimpin yang memiliki gaya seperti Ali Sadikin.
Namun, masyarakat belum terbiasa dengan gaya Ahok. Untuk itu, kata dia, masyarakat harus
bersabar, belajar, dan menilai keberhasilan Ahok dengan gaya kepemimpinannya.
Jika Ahok mencapai keberhasilan, lanjut dia, masyarakat tidak usah kembali meributkan gaya
bicaranya. "Persoalannya adalah kita sudah terlalu lama dininabobokan dan tidak berani
mengangkat dagu kita. Sekarang kita ada demokratisasi, jadi menurut saya Ahok itu by product
of democratization," tutur dia.
Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini pun menyatakan, masyarakat harus menunggu
realisasi janji atau amarah Ahok untuk bisa melahirkan kesuksesan.
Salim pun berucap, bila Ahok sukses dalam memimpin Jakarta di tiga tahun sisa masa
jabatannya, dia akan memilih kembali Ahok pada Pilkada selanjutnya. "Kalau Ahok perform ya
biarlah dia mau ngoceh apalah. Bolehlah itu, kebebasan kok. Kalau kita, (Ahok) melanggar ya
kita adukan ke pengadilan," ujar dia.

Artikel berita 10

Djarot Juga Pernah Kritik Gaya Kepemimpinan Ahok
Jumat, 16 Desember 2016 | 07:09 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kerap mengkritik
gaya pemerintahan pasangan petahana, Basuki Tajahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat
dalam dalam program "Rosi dan Kandidat Pemimpin Jakarta" yang disiarkan Kompas TV di
Djakarta Theater, Kamis (15/12/2016).
Salah satu kritik yang dilontarkan Anies adalah soal pemerintahan Ahok-Djarot yang terlalu
fokus pada infrastruktur, tetapi mengesampingkan pembangunan manusia. Menurut Anies,
berdasarkan catatannya, Djarot sendiri pun dahulu kerap menkritik gaya kepemimpinan Ahok.
Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci apa yang dikritik Djarot kepada Ahok.
"Bahkan bukan hanya orang luar yang mengkritik. Dalam catatan sejarah wakil gubernurnya
(Djarot) pun sering mengkritik Pak Gubernurnya (Ahok) dan wakil gubernurnya bukan
pengamat loh, dia orang bekerja," ujar Anies seusai acara tersebut, Kamis malam.
Anies menilai, dengan dirinya mengkritik pasangan petahana, ia ingin dianggap warga bahwa dia
tidak sependapat dengan apa yang dilakukan Ahok-Djarot saat memimpin Ibu Kota. Jika dirinya
terpilih bersama Sandiaga Uno, kata Anies, akan membuat Jakarta lebih baik kedepannya.
"Kami tunjukan kepada warga bahwa kami berlawanan, kami berbeda, kami tunjukan
perbedaannya dan kami siap mengatakan secara terus terang secara lugas dan jelas," ucap dia.
(Baca: Ahok Kritik Cara Penyampaian Anies Dapat Membentuk Opini Publik yang Buruk)
Anies menyampaikan, data-data yang dilontarkannya saat mengkritik Ahok adalah data yang
akurat. Apalagi, mengenai data pendidikan yang ia sampaikan di hadapan Ahok-Djarot saat acara
debat tersebut.
"Tadi sudah disampaikan bahwa data-data misalnya, kita memiliki data yang konkret itu. Anda
bisa lihat kok datanya tersedia, apalagi yang menyangkut data pendidikan," kata Anies.