POLIGAMI MAKALAH HUKUM PERDATA ISLAM Di

POLIGAMI
(Alasan, Syarat, dan Prosedur)

MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM Di INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang
bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Tujuan perkawinan ini dapat dicapai apabila
aturan-aturan yang berlaku dalam perkawinan ditaati. Oleh sebab itulah, baik Hukum Islam
maupun Hukum Positif memuat aturan yang jelas dan sangat mungkin untuk dilaksanakan.
Salah satu bentuk perkawinan yang sering menjadi bahan perdebatan sekarang ini adalah
perkawinan poligami. Tidak sedikit orang yang salah memahami tentang asal-usul poligami,
mereka yang tidak mengerti akan mengatakan bahwa Islamlah yang membawa poligami,
padahal kebiasaan poligami sudah ada jauh sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai
Rasul dan al-Qur’an diturunkan.
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan diri, menambah ilmu
pengetahuan, dan sebagai untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Hukum Perdata Islam di

Indonesia” yang dibimbing oleh
C. Batasan Makalah
Makalah ini penulis batasi pembahasannya pada pokok pembahasan “HUKUM
PERDATA ISLAM DI INDONESIA”. Tentang:
1. Pengertian Poligami
2. Alasan-alasan Berpoligami
3. Prosedur Poligami

BAB II
PEMBASAHAN

POLIGAMI
(Alasan, Syarat, dan Prosedur)
A. Pengertian Poligami
Kata-kata “poligami” terdiri terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, “poli”
artinya banyak, dan “gami” artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara
terminologi, poligami artinya Seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi
paling banyak empat orang.1 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan poligami secara
umum sebagai sistem yang dipakai seorang laki (suami) yang kawin lebih dari satu wanita
(istri).2

Pengertian poligami secara terminologi di atas mengacu kepada petunjuk Allah yang
membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada
mereka. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja (monogami).3
Firman Allah SWT surat Annisa’ ayat 3
bÎr ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù
$tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q. S. Annisa’ ayat 3)
Poligami memiliki sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke
Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab.
Poligami pada saat itu disebut poligami tidak terbatas. Suamilah yang menentukan
sepenuhnya untuk memiliki wanita secara tidak terbatas, dan para isteri harus menerima takdir
serta tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.
Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat
tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, dan

1 Abdul Mujieb, M (et al), Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-1), hal. 261
2 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 693
3 Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2), hal. 129-130

tidak membedakan istri yang kaya dan yang miskin atau dari golongan tinggi dengan
golongan bawah.
Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka,
maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya
tiga orang, maka ia haram menikahi istri yang keempatnya, bila ia hanya sanggup memenuhi
hak-hak istri dua orang, maka ia haram menikahi istri yang ketiganya, dan seterusnya.
Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya, Nabi bersabda:4

‫ت ل رهه اممرر‬
‫ رممن ركان ر م‬:‫عن أ رببي ههري مررة أ ر ي رن الن يربب ي ري صلى الله على وسلرم قال‬
‫أ ررتان رفرمارل ابرلى ابمحرداههرما رجارء ي رمورم ال مبقريارمبة روبشقرهه رمابئهل )رواه ابودا ود والترمذى والنسائ وابن‬
‫)حربان‬
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang
mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang
pada hari kiamat dengan bahunya miring.

B. Alasan-Alasan Berpoligami
Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka, 5 perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila dikehendaki ataupun
disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu dapat dilakukan, apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini diatur dalam
UU No. 1/1974 pasal 3(2), pasal 4 (1) dan pasal 5 (1) dan (2).
1. Alasan berpoligami menurut UU No.1/1974
Pasal 3
1) Pengadilan, dapat member izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4

4 Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, (Jakarta: PustakaAzam, 2006), hal.210
5 Menurut Mohammd Daud Ali, Asas hukum perkawinan terdiri dari: (1) Asas kesukarelaan, (2) Asas
persetujuan kedua belah pihak, (3) Asas Kebebasan memilih, (4) Asas monogami terbuka. Lihat Membendung
Liberalisasi, hal. 79

2) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan

ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
3) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.6
2. Alasan-alasan berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas serta terkait yaitu pasal 55, 56, dan
58, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat (1) KHI memberi
peluang bolehnya beristri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan, tetapi pasal 57
ini mengunci dengan persyaratan yang ketat. Meskipun dibolehkan poligami dengan syarat
adil, itupun dapat dilakukan hanya sebagai pintu darurat saja.7

C. Syarat-Syarat Berpoligami
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa
asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan
prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga,
hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.8
Menurut Abdul Karim Zaidan, syarat bolehnya berpoligami dalam tinjauan fiqih hanya
ada dua yaitu:
6 UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri
(YPAN)), hal. 2
7 Tanggo, Huzaemah Tahido, Membendung Liberalisme, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), hal. 58
8 Luthfi Widagdo Eddyono, Persyaratan Poligami dalam UU Perkawinan Tidak Bertentangan Dengan
Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=458, (diakses, 01/05, 2013)

1. Kemampuan bersikap adil
2. Kemampuan untuk memberikan nafaqah. Jika diduga kuat seorang suami yang ingin
berpoligami tidak mampu bersikap adil, maka haram baginya untuk melakukannya.
Adapun kemampuan memberikan nafkah merupakan syarat bagi umumnya
perkawinan.9
Menurut Abdurrahman ada 7 syarat poligami

1. Istri mengidap penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan
2. Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan
3. Istri sakit ingatan
4. Istri lanjut usia sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri
5. Istri memiliki sifat buruk
6. Istri minggat dari rumah
7. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan apabila tidak dipenuhi menimbulkan
kemudharatan di dalam kehidupan dan keluarganya.
Syarat-syarat berpoligami menurut UU No. 1/1974 adalah
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 5
1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.10


Syarat-syarat berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
BAB IX
9 Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi as-Syari’ah al-Islamiyah,
Juz 6, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H/1994 M), hal. 287-289
10 UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri
(YPAN)), hal.10

BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
1) Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat
orang isteri.
2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
3) Apabila syarat utama yang disebutpada ayat (2) tidak mungkin terpenuhi, suami
dilarang beristeri lebih dari satu.11
D. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak
ada ketentuan secara pasti. Namun di indonesia dengan kompilasi hukum islamnya telah
menggatur hal tersebut sebagai berikut:12
Pasal 56

1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintahan No.9 Tahun 1975.
3) Perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tampa izin dari pengadilan
agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri dapat mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1) Peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pada pasal 5
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak- anak mereka.
11 Kompilasi Hukum Islam, pasal 55
12 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akedemika Pressindo,1995, cet ke-2),

h.114

2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975, persetujuan istri atau istri –istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan lisan istri pada sidang pengadilan agama.
3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf (a) tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya
sekurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberi persetujuan , dan permohonan untuk beristri lebih
dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan
ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
E. Hikmah Berpoligami
Mengenai hikmah dizinkan berpoligami(dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku
adil)antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.

2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tampa menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa
menjalankan fungsinya sebagai istri,atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
3. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina.
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan
melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi ummatnya adalah sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu
bisa menjadi sumber informasi bagi umat islam yang ingin mengetahui ajaran nabi
dalam

berkeluarga

dan

bermasyarakat,

terutama

masalah

kewanitaan

atau

kerumahtanggaan.
2. Untuk kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa arab dan untuk
menarik mereka masuk agama islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah,
putri Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pun perkawinan Nabi dengan
Shafiyah (seorang tokoh Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).

3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan nabi dengan dengan
beberapa janda pahlawan islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah
(suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami
gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di uhud), dan Hindun Ummu
Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi
jiwa dan agamanya, serta penangung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.13

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Para ulama Fikih tidak membahas secara spesifik tentang persyaratan berpoligami. Syarat
umum yang dipegang hanya kemampuan bersikap adil dan memberi nafkah. Ijma’ sukuti

13 Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-3), hal. 140

menegaskan bahwa seorang suami yang hendak berpoligami dan telah memenuhi kedua
syarat tersebut dapat melakukannya perlu adanya izin dari hakim (qadhi).
B. KRITIK DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu kami berharap kepada pembaca, terutama
dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang
bersifat membangun.

DAFTAR REFERENSI
Al-Qur’annulkarim
Mujieb, Abdul, M (et al), Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke1

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2
Al Albani, Nashiruddin, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, Jakarta: Pustaka
Azam, 2006
UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka:
Yayasan Peduli Anak Negeri YPAN
Tanggo, Huzaemah Tahido, Membendung Liberalisme, Jakarta: Penerbit Republika,
2004
Eddyono, Luthfi Widagdo, Persyaratan Poligami dalam UU Perkawinan Tidak
Bertentangan Dengan Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?
newscode=458, diakses, 01/05, 2013
Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi asSyari’ah al-Islamiyah, Juz 6, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H/1994 M
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akedemika
Pressindo,1995, cet ke-2