Grand Design Industri Telekomunikasi Ind (1)

BAB I Umum

1. Visi dan misi TIK nasional

Gambar 1.1 Visi,Misi dan Tujuan TIK Nasional

Visi yang ada dari pengembangan TIK Nasional Indonesia adalah Terwujudnya Indonesia Maju, Unggul, Sejahtera dan berdaulat Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi. Visi tersebut merupakan gambaran besar cita-cita nasional Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi nasional seperti halnya yang tersurat dalam rencana pemerintah dalam dokumen MP3EI, yakni untuk mencapai pertumbuhan perekonomian nasional dengan pemberdayaan ekonomi kreatif dan semangat « not business as usual « yang akan memicu tumbuhnya potensi-potensi dari bisnis skala kecil-menengah dan mendukung pertumbuhan bisnis skala enterprise. Tentunya visi menjadi Indonesia maju, unggul, sejahtera, dan berdaulat bukan hanya ditopang dengan pertumbuhan bisnis, namun disini fungsi TIK juga sebagai sarana untuk menyatukan masyarakat Indonesia, dan memperkaya masyarakat indonesia akan akses ke informasi global yang akan mendorong peningkatan SDM (capacity building) indonesia.

Misi TIK Nasional antara lain :

  • Membawa TIK Sebagai Katalisator Perkembangan di Setiap Dimensi Kehidupan di Indonesia

  • Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia Sejahtera Berbasis TIK

  • Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Indonesia dengan TIK

Tujuan pengembangan TIK nasional adalah mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah yang sejalan dengan visi dan misi pemerintah. Tujuan yang direncanakan oleh pemerintah dalam Visi dan Misi TIK nasional sudah mencakup beberapa strategi dan program&inisiatif untuk pencapaian tujuan nasional tersebut.

Tujuan, strategi dan program&inisiatif TIK nasional tersebut adalah dijabarkan pada table dibawah:

No

Tujuan

Strategi

Program dan inisiatif


1

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Budaya Berbasis TIK


  • Menciptakan Ekosistem Industri TIK Mandiri dan produktif

  • Menciptakan ketahanan pangan

  • Melestarikan dan mengembangkan budaya

  • Menciptakan pemerintahan yang bersih

  • Mengintensifkan kerjasama A-B-G Academic, Business dan Government


  • NSW

  • E-Budgeting

  • E-Procurement

  • E-Agriculture

  • E-Cultural Heritage

  • Industri TIK Inisiative


2.

Menciptakan Masyarakat Mandiri, Madani & Unggul berbasis TIK


  • Menciptakan masyarakat sehat dan informatif

  • Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM TIK bekerjasama dengan institusi pendidikan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan


  • E-education

  • E-Health

  • SDM TIK Inisiative


3

Membangun Tata Kelola dan Infrastruktur TIK yang bermanfaat luas bagi Masyarakat


  • Merancang dan Mengimplementasikan Grand Design TIK Nasional

  • Menerapkan Tata Kelola TIK Nasional di seluruh instansi pemerintahan

  • Mengembangkan Pusat Data Nasional

  • Mengembangan Jaringan Data antar Instansi Pemerintah


  • SIN

  • Palapa Ring

  • GIDC

  • GIIX


4

Menjaga Pertahanan & Kedaulatan Negara Melalui TIK


  • Merumuskan kebijakan dan regulasi Keamanan Informasi dan kekayaan intelektual

  • Memperkuat Lembaga Keamanan Informasi

  • Meningkatkan kesadaran keamanan TIK


  • Software Legal

  • National Cyber Security

2. Definisi Grand Design TIK

Grand Design TIK merupakan rancang bangun ekosistem TIK secara menyeluruh yang bisa menjadi acuan penetapan kebijakan dan regulasi oleh pemerintah terhadap industri TIK.

Grand Design TIK harus disusun di bawah pijakan hukum. Pijakan hukum di samping memberi aspek legal juga memberikan gambaran tentang komponen apa saja yang harus dipersiapkan dan dikembangkan sesuai dengan standar nasional, regional maupun lokal yang berlaku. Landasan hukum dan perundangan juga merupakan acuan pokok bagi analisis awal, bagi pengembangan selanjutnya. Landasan hukum penyusunan Grand Design TIK antara lain :

  1. Undang-Undang Dasar 1945, sesuai dengan amandemen terakhir;

  2. Undang-Undang R.I. Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

  3. Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

  4. Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

  5. Undang-Undang R.I. Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

3. Maksud Grand Design

Grand Design TIK yang disusun dokumen perencanaan jangka panjang (long term planning). Grand Design ini dapat disebut sebagai pengejawantahan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) bidang TIK. Karenanya, maksud dan tujuan disusunnya Grand Design TIK ini, antara lain sebagai berikut :

    1. Menggambarkan kondisi saat ini dan trend masa mendatang kondisi TIK, baik pada skala nasional maupun daerah

    2. Menetapkan arah, visi, dan misi, serta strategis Kominfo dan Visi dan misi TIK Nasional dalam mencapai visi dan misi pada tahun 2025.

    3. Mensinkronisasikan, mengintegrasikan, dan menyelaraskan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan TIK baik pada tataran nasional, maupun di daerah

    4. Memberikan arah pengembangan TIK kedepan agar lebih fokus

4. Tujuan Grand Design

Adapun Tujuan Penyusunan Grand Design ini yaitu :

  1. Memberikan pedoman, petunjuk, referensi dalam menyusun Rencana Strategis (Renstra) bidang TIK, baik bagi semua pemangku kepentingan baik pada tingkat pusat maupun daerah.

  2. Memberikan pedoman, petunjuk, referensi dalam menyusun Rencana Kinerja (Renja) dan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) bidang TIK, baik bagi semua pemangku kepentingan baik pada tingkat pusat maupun daerah

  3. Menjadi pedoman arah industry TIK ke depan terkait bentuk industry, strategi industry dan tatanan perizinan industry TIK di Indonesia.

  4. Memetakan kebutuhan regulasi TIK ke depan, yang sesuai dengan arah visi dan misi TIK nasional yang diselaraskan dengan perkembangan pasar, teknologi, dan tujuan nasional.

BAB II Pendekatan akademis membangun Grand Design

1. Teori umum mengenai Grand Design

Grand Design TIK adalah rencana makro/besar yang dilakukan secara berjangka waktu yang berisi tentang arah, kebijakan dan strategi pengelolaan TIK dan penerapannya dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan rencana pembangunan TIK dan sektor lainnya.

Grand design TIK diperlukan Untuk menunjang perencanaan pembangunan TIK yang berkelanjutan baik di daerah maupun skal nasional.

GRAND DESIGN TIK adalah Rancangan Induk untuk kurun dalam waktu tertentu yang berisi langkah-langkah umum dalam pengembangan dan pembangunan TIK

Grand design akan menjadi instrumen yang menghubungkan antara Arah Kebijakan Pengembangan TIK sebagaimana yang telah dinyatakan dalam RPJP 2005 – 2025 dengan langkah-langkah operasionalnya, terutama dalam 5 tahun yang berupa langkah-langkah yang lebih rinci (roadmap) selama periode lima tahunan secara Nasional

Prinsip-prinsip Penyusunan Grand Design

Beberapa prinsip dalam melaksanakan Grand design TIK dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Outcomes oriented

Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan program ini harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tata laksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM kualitas layanan,

b. Terukur

Pelaksanaan Grand design TIK yang dirancang dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya.

c. Efisien

Pelaksanaan program garand design TIK yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efisien dan profesional.

d. Efektif

Program ini harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran pengembangan TIK nasional.

e. Realistik

Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal.

f. Kepatuhan

Penyusunanan dan pelaksaksanaan grand design ini harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

g. Dimonitor

Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana

Keterhubungan antara Grand design dan Roadmap pemerintah yang dituangkan dalam RPJMN maupun renstra kominfo dalam membangun industry TIK di Indonesia.

Gambar 2.1 Keterhubungan antara Grand Design dan Roadmap

Grand Design adalah rancangan induk yang berisi arah kebijakan pelaksanaan dari dalam kurun waktu tertentu agar pengembangan TIK yang dilakukan oleh stakeholder dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur,konsisten, terintegrasi, melembaga,dan berkelanjutan.

Grand design pada umumnya berisi visi dan misi, tujuan, sasaran, prinsip-prinsip, sasaran lima tahunan, ukuran keberhasilan, dan strategi pelaksanaan

Sedangkan Road Map adalah bentuk operasionalisas Grand Design yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci dari operasional dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas.

Pada roadmap lebih berisi tentang rencana kerja (action plan), penanggung jawab, pelaksana, dukungan , target atau indikator pencapaiannya

2. Pendekatan dan metodologi penyusunan Grand Design

Secara metodologis, penyusunan Grand Design TIK melalui berbagi macam tahapan. Penyusunan Grand Design dimulai dengan merumuskan gagasan awal, yang selanjunya dibahas pada Pra Wrokshop ( focus group discussion ) dengan mengundang berbagai pihak stakeholder / pemangku kepentiungan TIK . Forum diskusi dilakukan dimaksudkan untuk menggali pendapat dan menjaring pendapat dari berbagai pihak terkait grnad design TIK yang telah disusun kerangkanya. Dari FGD diharapkan menghasilkan Draf Grand Design TIK. Forum ini dapat dilakukan berepa kali sesuai dengan tingkat keperluan.

Pemikiran dan usulan yang berkembang dan muncul selama forum diskusi selanjutnya akan dibahas, digali, dianalisis, dirumuskan butir-butir penting dan hasilnya berupa Draft Grand Design TIK. Setelah didapat Hasil Draf Grand Design kemudian dilakukan penyempurnaan I berdasarkan review internal. Hasil dari penyempurnaan I dilakukan penyempurnaan II berdasarkan hasil review external yang melibatkan berbagai Stakholder TIK dan juga tentunya sekaligus sebagai uji publik terhadap grand design TIK. Dalam Uji publik, semua pihak berkesempatan memberi koreksi dan masukan guna penyempurnaan grand design dan ditampung oleh Tim Penyusun sebagai bahan penyempurnaan gran design. Setelah disempurnakan, maka grand design TIK dapat dinyatakan final dan selanjutnya diserahkan ke Pemerintah yang kedepan dibuat sebagi produk hukum

Gambar 2.2 Metode dan Pendekatan Penyusunan Grand Design

3. Pendekatan Grand Design oleh beberapa negara

Dalam menyusun grand design konvergensi di Indonesia, dilakukan juga benchmark ke beberapa regulator di Negara lain terkait strategi dan sifat regulasi dalam menghadapi era konvergensi TIK. Hasil study benchmark dari United kingdom (UK), United States (US), dan Korea Selatan diasopsi dari kajian yang dilakukan oleh OPTA1.

1. OPTA (belanda)

Driver TES dan rantai antar ABC dalam pasar konvergensi

OPTA memahami konsep konvergensi dalam suatu gambar diatas, yakni adanya rantai “antar informasi”, yang diawali dari sumber informasi (Source), melalui publisher dan broadcaster, search agent, connection provider, devices hingga pelanggan akhir informasi (Consumer)

2. United Kingdom (UK)

Pasar komunikasi UK merupakan salah satu yang paling kompetitif di eropa dan memiliki karakteristik dengan struktur industry yang kompleks dengan adanya incumbent dominan, operator dengan performa yang buruk (penetrasi broadband, harga, kualitas), industry konten sangat dipengaruhi oleh incumbent public.

Kasus UK merupakan Negara yang memiliki regulator yang paling konvergen yakni ofcom, yang dibentuk dari hasil penyatuan 5 regulator akibat dari adanya tren integrasi deliveri informasi ke pasar. Ofcom tidak sepenuhnya berfungsi sebagai regulator yang komprehensif dan independen terhadap seluruh aspek dari rantai-antaran (delivery-chain) informasi. Ofcom lebih merupakan platform central dimana isu konvergensi, tools dan pola analisa dapat diintegrasikan dan bisa mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan stakeholder. Ofcom merupakan regulator yang independen dan memiliki pengaruh kebijakan yang signifikan, kekuatan regulasi dan pengawasan, yang bergerak pada lingkungan yang sedang berubah menuju pasar yang liberal dan terdapat deregulasi.

Kasus UK menjadi sangat menarik karena ofcom bekerja keras untuk menjadi yang terdepan di seluruh area, sangat aktif dalam melakukan riset, memulai design lelang frekuensi yang baru, melaksanakan konsultasi dengan skala besar, memiliki keterlibatan dengan stakeholder dan mendukung solusi self-regulation, terutama pada domain internet dan area konten audiovisual. Ofcom menggunakan posisinya untuk mendukung inovasi dan kompetisi yang melindungi kepentingan konsumen. Kajian yang bisa diambil dari kasus UK adalah diantaranya:

      1. Perubahan paradigm, dari perizinan telekomunikasi menjadi otorisasi, yang mengharuskan perusahaan untuk menyertakan komitmen penyelenggaraan, memfasilitasi fleksibilitas dan meminimalkan regulasi untuk menyatukan pihak lain (merger dan akuisisi).

      2. Manajemen spectrum akan lebih menggunakan pendekatan market-based yang akan membuka kemungkinan spectrum trading antara pengguna spectrum yang berlisensi maupun yang tidak berlisensi dan meningkatkan penggunaan yang tidak berlisensi ketika memungkinkan secara teknis.

      3. Perizinan bergerak dari paradigm yang detail dan rinci menuju perizinan yang lebih transparan dan liberal dengan tendensi lebih ke co-regulation dan self-regulation.

      4. Regulasi konten bergerak dari struktur regulatori 3-tier untuk merasionalisasi gap (kesenjangan) dan tumpang-tindih yang terjadi.

      5. Kepemilikan media menjadi lebih liberal.

Kebijakan konten dan penyiaran hanya sebagian yang menjadi tanggung-jawab Ofcom dan menjadi bagian yang belum akan diintegrasikan oleh ofcom. Sebagian besar aspek masih ditangani oleh Departemen Kebudayaan, Media, dan Olahraga (seringkali masih dalam kerjasama dengan ofcom) dan banyak kebijakan kompetisi masih ditangani oleh komisi kompetisi, yang termasuk juga larangan cross-ownership. Ofcom termasuk aktif dalam domain terkait dengan konten internet.

3. United States (US)

Regulator telekomunikasi di US pada dasarnya tidak memiliki pandangan yang koheren dan lebih berpandangan ke depan (forward-looking approach), dan menyelesaikan permasalahan ketika ada konflik yang muncul diantara konsumen, incumbent, dan pemain baru. Begitu juga dengan konvergersi, regulator US tidak memiliki grand strategy melainkan hanya lebih sebagai pendekatan “muddling through” atau mengatasi kendala yang terjadi. System di US bergantung kepada keputusan dari pengadilan tinggi, dan keterlibatan masyarakat sipil. Bagaimanapun juga, ketika FCC (Federal Communication Committee) ikut intervensi, keputusannya akan memberikan impact yang besar pada konvergensi dan pengembangan pasar. Intervensi untuk menjaga kompetisi pasar local akan berkembang kepada duopoly telekomunikasi nasional, deregulasi operator penyelenggara akses broadband (penyelenggara telekomunikasi jaringan tetap diregulasi), dan lebih ringannya pengaturan kepemilikan media telah mendorong lembaga penyiaran besar untuk memasuki dunia online.

Sifat reaktif pada pendekatan US menjadikan regulasi maupun kebijakan akan sangat bisa ditebak dan kuat dimana penyelenggara baru akan dapat menguji (challenge) praktek bisnis eksisting. Hal ini akan memungkinkan FCC untuk menyusun aturan “breakthrough” dan akan menyebabkan FCC akan tetap menjadi bagian terdepan dalam penyusunan kebijakan yang terkait efek konvergensi. Sifat kebijakan yang seperti tadi memang akan membuat kebijakan menjadi biaya yang besar dan memungkinkan incumbent untuk menunda bahkan menutup kemungkinan adanya pemain baru untuk masuk ke pasar.

US merupakan salah satu Negara yang memiliki kompetisi broadband yang sangat ketat antara DSL (Digital Subscriber Line) dan kabel modem, dan juga dengan pembangunan FTTH (Fiber to the home) yang cukup signifikan. FCC termasuk kurang efektif dalam memastikan kompetisi pada jaringan, yang juga ditunjukkan dengan masih adanya perdebatan dalam net-neutrality, yang sudah tidak lagi menjadi permasalahan utama di eropa pada saat ini. US juga merupakan contoh pasar telekomunikasi yang baik karena telah memulai dengan instrument regulasi self-regulation dan lelang frekuensi. Perbedaan yang utama antara US dan Negara-negara lainnya adalah pada ringannya regulasi pada konten, sehingga akan sangat memudahkan terjadinya konvergensi pada level distribusi konten.

4. Korea Selatan

Korea selatan memiliki lingkungan pasar telekomunikasi yang sangat dinamis, penetrasi broadband yang sangat tinggi, dan merupakan leader dalam pengembangan layanan konvergensi. Pengembangan pasar lebih banyak didominasi oleh perusahaan telekomunikasi yang besar, bukan oleh pemain baru maupun industry konten. Pemerintah Korea Selatan secara aktif mendukung pembangunan FTTH dan mendorong TIK sebagai pendorong utama dari ekonomi Korea Selatan. Tren konvergensi di Korea Selatan didorong oleh pasar dan pemerintah cenderung mengikuti pola kompetisi pasar yang terjadi. Setelah 2004, Korea Selatan melakukan reformasi pada kepemimpinan pasar dan regulasi sebagai tantangan menuju konvergensi. Pemerintah memandang konvergensi sebagai pengembangan yang positif dan merupakan sebuah tujuan kebijakan, dengan potensi yang besar untuk inovasi dan pengembangan layanan baru. Korea Selatan memilih untuk mengadopsi model regulasi single dengan menyatukan regulator telekomunikasi (MIC) dan regulator penyiaran (KBC) menjadi sebuah KCC (Korean Communication Committee). KCC memiliki wewenang yang sangat luas untuk mengatur perihal yang bertujuan teknis, ekonomis, dan social.

Namun pendekatan yang konvergen tersebut hanya diimplementasikan secara partial, karena struktur pelaporan masih mengacu kepada pelaporan yang terpisah antara penyiaran dan telekomunikasi, dan masih terdapat celah antara regulator legacy kepada struktur baru regulator komunikasi yang konvergen. Korea Selatan telah mendemonstrasikan kemampuan dan memicu keseimbangan tujuan teknologi, ekonomi dan societal (TES). Keseimbangan ini dipengaruhi oleh legacy regulasi, dengan kebijakan konten masih didominasi oleh masyarakat dan kebijakan telekomunikasi oleh perspektif pasar dan teknologi.

Dari ketiga benchmark dari US, UK, dan Korea selatan tersebut, bisa disimpulkan bahwa ketiga Negara tersebut memiliki pertimbangan tentang konvergensi sebagai tren yang sangat relevan yang memiliki potensi untuk merubah pasar dan struktur pemerintah dan regulasi saat ini. Kesadaran tersebut menyebabkan terjadinya adjustment pada regulator pada kasus US, dan penyesuaian yang besar pada landscape regulasi di UK, dan Korea Selatan sebagai Negara yang memandang konvergensi secara sederhana. Proses perubahan tersebut berat dan menyebabkan resistensi internal, yang memerlukan kepemimpinan politis yang kuat untuk bisa berhasil.

Tidak seluruh regulator sekarang sudah memiliki solusi yang benar-benar konvergen. Pada UK, ofcom belum terlalu memiliki peran yang besar terhadap kebijakan konten dan media, FCC tidak memiliki kekuatan untuk meregulasi internet, KCC masih mengembangkan perannya ke konvergensi, namun peran kebijakan konten komunikasi dan audiovisual masih akan ditangani oleh karakteristik legacy.

Secara tipikal, hampir semua kasus regulator memilih untuk mengintegrasikan kebijakan spectrum kepada regulator TIK, karena spectrum dipandang sebagai kebijakan strategis ex-ante yang memiliki dampak besar kepada pasar TIK dan masyarakat secara keseluruhan. Tujuan teknologi legacy telah digantikan dengan tujuan TES yang lebih balance secara strategic, yang memerlukan koherensi dan konsistensi dalam implementasinya. Mekanisme alokasi spectrum

4. Identifikasi permasalahan (pertanyaan2 mengenai rumah industri?)

Pendekatan akademis dilakukan dengan melihat permasalahan-permasalahan yang muncul dalam industry, untuk melakukan identifikasi permasalahan Dalam menyusun grand design TIK nasional, pendekatan dipergunakan untuk menyusun akan memerlukan suatu trigger (pemicu)

  • Menuju era konvergensi telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi

  • Pencapaian ICT nasional:

    • Pertumbuhan ekonomi nasional

    • Pemerataan infrastruktur dan layanan

    • Penguasaan teknologi dalam negeri

  • Kebijakan dan regulasi TIK belum lengkap

  • Kesadaran Keamanan TIK masih kurang

  • Konten Lokal berbasiskan TIK masih sedikit

  • Sumber daya manusia TIK masih terbatas

  • Infrastruktur, aplikasi, dan data belum terintegrasi

  • Koordinasi antar instansi dalam memanfaatkan TIK masih lemah

  • Pengembangan industri TIK masih lambat

  • Visi TIK belum terpadu

  • Terdapat Gap antara kondisi era konvergensi dengan kondisi eksisting

    • Telekomunikasi

    • Penyiaran

    • Teknologi Informasi

  • Apa peran, relasi, dan persyaratan yang diperlukan untuk mengisi rumah industri TIK?

  • Bagaimana Strategi Transisi ke era konvergensi?

Secara umum, pembangunan di bidang komunikasi dan informatika, terutama Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan salah satu aspek penting yang mendorong pembangunan nasional. Selain menjadi faktor produksi dan ekonomi, TIK juga berperan sebagai enabler dalam perubahan sosial budaya kemasyarakatan di berbagai aspek. Aspek-aspek yang dimaksud seperti pengembangan kehidupan politik yang lebih demokratis, pengembangan budaya dan pendidikan, dan peningkatan kapasitas governance di berbagai sektor pembangunan

Strategi kebijakan TIK yang akan disusun oleh pemerintah dan seluruh stakeholder TIK terdiri dari berbagai macam cara . Untuk membuat Kerangka kerja menuju konvergensi haruslah lengkap – namun juga dapat luwes mengingat cakupan perubahan industri yang berlaku terus menerus. Dalam jangka waktu dekat, perhatian regulator harus difokuskan untuk melakukan transisi dari pengaturan yang ada saat ini ke konvergensi.

Diantara banyak tindakan yang dibutuhkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pengembangan sektor TIK kedepan, yaitu:

  • Pergeseran mendasar, dari regulasi yang kompleks berubah menjadi regulasi yang sederhana;

  • Pengelolaan sumber daya terbatas harus secara efektif efisien dan adil dan penggunana teknologi netral

  • Pernyataan eksplisit tentang prinsip regulasi (transparansi, non-discrimninatory, kepastian, berpandangan jauh kedepan)

  • Intervensi regulasi hanya diperlukan saat terjadi kegagalan pasar ;

  • Pergerakan mengarah mekanisme swa-regulasi industri dan kode etik industri;

  • Pengembangan infrastruktur kearah infrastruktur sharing, open access dan VNO

  • evaluasi industri secara menyeluruh dalam rangka langkah perbaikan contoh ; Memungkinkan rasionalisasi industri melalui merger

  • Kelembagaan regulasi yang konvergen dan indenpenden

  • Adanya perlindungan konsumen

Strategi transisi menuju era konvergensi

Dalam perubahan menuju arah konvergensi perlu melihat dan menganlisa kondisi yang ada saat sekarang (eksisting). Unntuk masa konvergensi melihat kondisi yang ideal yang diharapkan. Namun sebelum pelaksanaan pada era konvergensi terdapat masa perantara sebelum masuk pada era konvergensi yaitu masa transisi. Pada masa transisi dilakukan analisa gap dan analisa prioritas untuk langkah yang memudahkan pelaksanaan pada era konvergensi.

Gambar 17 Strategi Transisi Menuju Era Konvergensi

BAB III Konsep Umum Grand Design Industri TIK di Indonesia

1. Adopsi Pendekatan yang dipilih dalam membangun Grand Design

Metode analisis kajian ini adalah menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitattif. Pendekatan deskriptif mengacu kepada kebutuhan alat analisis perencanaan pengembangan TIK (melibatkan data-data kuantitatif dan dokumen-dokumen analisis deskriptif) mengenai kondisi masing-masing pemangku kepentingan, tujuan kajian yang dilengkapi dengan informasi proses pembentukan data; metode perhitungan data; dan kegunaan data.

Analisa kuantitatif meliputi pengolahan data yang menggunakan alat-alat uji statistik maupun ekonometrik terkait model ekonomi maupun proyeksi indikator ekonomi masyarakat dalam jangka menengah

Tahapan kajian meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Persiapan: melakukan persiapan komprehensif kajian, koordinasi teknis, kelengkapan administratif, menyusun kerangka analisis, dan pembagian tugas tim analisis.

(2) Pengumpulan Data: meliputi pengumpulan informasi data primer (survei dan wawancara) maupun sekunder dari pihak terkait

(3) Pengolahan Data: meliputi evaluasi kesesuaian data, tabulasi data, pengolahan data dan verifikasi data akhir.

(4) Analisis Data: analisa data

(5) Presentasi Draft Hasil: menyampaikan hasil sementara, mempresentasikan hasil, mengevaluasi dan menyempurnakan hasil.

(6) Penyampaian Laporan Akhir: menyampaikan hasil kajian analisa dalam bentuk buku laporan grand design pengembangan TIK

Pekerjaan kajian Grand Design Pengembangan TIK dilakukan malalui kajian desk research, focus group discussion, kuesioner dan workshop. Hasil pengumpulan data awal tersebut kemudian dikaji untuk mendapatkan kesinambungan program pengembangan TIK sehingga nampak jelas adanya penajaman atau konsep detail dari usaha yang telah ditentukan.

Aspek yang dipelajari dari studi terdahulu meliputi :

  • Rekomendasi studi terdahulu dan relevansinya terhadap kajian yang akan dilaksanakan.

  • Pendekatan teknis dari permasalahan yang ada, kemudian diklarifikasi validitasnya di lapangan.

  • Rekomendasi pemecahan masalah dan program penangannya baik aspek teknik maupun skala prioritasnya.

  • Ketersediaan data dari studi terdahulu, referensi dan lain - lain.

2. Konsep rumah industri

Istilah “rumah” industri dipergunakan sebagai suatu terminology yang menggambarkan adanya seluruh entitas yang memiliki kepentingan dalam industri TIK baik sekarang, maupun yang akan hadir ke depannya. “rumah” industri akan menjadi gambaran dari ekosistem bisnis keseluruhan industri TIK dari hulu ke hilir, baik yang bersifat secara fundamental sebagai trigger (pemicu) bisnis, maupun skema bisnis yang akan terjadi akibat adanya dorongan fundamental (misalnya regulasi) maupun dorongan pasar (misalnya kompetisi dan efisiensi operasional).

“rumah” industri merupakan suatu konsep playing field yang menggambarkan definisi dan kegiatan dari masing-masing entitas di dalamnya, yakni seluruh entitas yang ada dalam industri TIK. Struktur dari konsep “rumah” industri sendiri seperti halnya dalam suatu konstruksi bangunan, harus terdiri dari Pondasi (Fundamental Industri), Pilar Industri (resource dan ketentuan kepatuhan dan kesesuaian), Bagian dari industri (Identifikasi entitas di Industri), Pengaturan Industri TIK dan juga bagian yang berfungsi sebagai pengatur industri TIK (Regulasi Industri).

Keempat entitas akan memiliki peran dan juga persyaratan untuk masuk ke dunia telekomunikasi, untuk itu diperlukan suatu peraturan yang lebih down-to-earth untuk imlementaisi sekeluarga,

1. Fundamental industri TIK (pondasi)

Dalam Industri TIK, bahwa segala kegiatan bisnis maupun kegiatan administrasi akan selalu menggunakan aksi, salah satu yang menjadi penting dalam skema akan dibiarkan lagi secara lebih longgat waktunya.

Bagian-bagian yang terdapat di dalam Fundamental industri TIK di Indonesia akan didefinisikan lebih luas juga, dan lebih terarah, selain definisi, White Paper Study Group, dan dokumen maupun diskusi yang lain dengan pada stakeholder.

Definisi pondasi bisa dibilang adalah merupakan landasan utama dari sebuah struktur bangunan agar bangunan tersebut bisa berdiri dan bagian diatasnya bisa diletakkan dengan kokoh.

Sektor industri TIK hingga sekarang masih tergolong sebagai sektor bisnis dengan aturan yang cenderung ketat, yang menempatkan peran legislative menjadi peran yang fundamental terhadap berjalanannya sektor industri, baik yang berupa produk undang-undang maupun produk dari peraturan-peraturan daerah yang harus dipatuhi oleh seluruh entitas industri.

2. Pengaturan Industri TIK (atap)

Selain pondasi sebagai landasan berdirinya sebuah rumah, maka atap juga sangat penting yang berperan sebagai payung dari seluruh kegiatan yang ada di bawahnya (kegiatan seluruh bagian peran sebuah rumah).

Payung dari sebuah industri telekomunikasi adalah berupa regulasi telekomunikasi, dimana seluruh peran dan juga tata kelola bisnis industri harus sesuai dengan regulasi yang diterapkan di industri tersebut.

Regulasi akan mengatur sebuah industri agar berjalan dalam koridor yang semestinya, yang mendorong kepada kompetisi yang fair, efisiensi sumber daya, perlindungan pelanggan, dan juga keamanan penggunaan produk sebuah industri, dalam hal ini terkait dengan layanan telekomunikasi.

3. Pilar Industri TIK

Diatas peran dari sebuah pondasi dalam sebuah rumah, pilar juga menjadi bagian penting dalam memperkuat struktur sebuah bangunan, tanpa adanya pilar, sebuah atap tidak akan bisa dipasang dengan kuat sehingga bagian-bagian di dalamnya juga tidak akan bisa berada dalam sebuah rumah dengan tenang.

Pilar dalam “rumah” industri dikatakan sebagai bagian dari industri yang menjadi topangan bagi atap diatasnya, dan atap akan dibangun sesuai dengan konstruksi pilar dibawahnya.

Dalam industri telekomunikasi, yang menjadi pilar atau penopang sebuah regulasi yakni adanya sumber daya yang terbatas (frekuensi, penomoran, nama domain), standarisasi alat/perangkat jaringan, keamanan layanan/jaringan, kualitas layanan/jaringan, dan juga arah kepentingan stakeholder dalam ekosistem sebuah industri TIK.

4. Peran Industri TIK (bagian)

Dengan adanya Pondasi, Pilar, dan Atap dalam sebuah rumah, akan memudahkan dan mengarahkan bagian-bagian yang ada di dalamnya untuk beroperasi dan berbisnis. Seperti halnya anggota keluarga akan bisa melakukan kegiatannya dengan nyaman dan aman di rumah, maka pelaku industri TIK juga akan bisa melakukan bisnis dengan nyaman dan aman juga.

Dalam konsep “rumah” industri ini, Bagian Industri akan mengacu kepada pondasi (kebijakan pemerintah, legislative) ketika akan beroperasi, sehingga tidak menyalahi tatanan dari perundangan dan juga peraturan yang telah ditetapkan di suatu Negara. Bagian dari rumah industri juga harus menaati dan mengikuti regulasi yang ada diatasnya, sehingga semangat kompetisi, kenyamanan, keamanan, dan juga keseimbangan sumber daya alam bisa termanfaatkan secara efisien dan efektif. Bagian dari “rumah” industri juga memperhatikan pilar-pilar yang ada di sampingnya dan juga ikut berperan dalam mengawasi pemanfaatan pilar sehingga regulasi yang berlaku tidak malah merugikan industri TIK tersebut.

Dengan melihat kepada gambar diatas, maka sudah sangat jelas tergambar masing-masing entitas yang menjadi penyusun dari “rumah” industri TIK di Indonesia dalam era konvergensi ke depan. Konsep dari “rumah” industri ini yang akan menjadi pokok materi dari penyusunan naskah grand design TIK nasional ini, yakni dengan mendeskripsikan setiap detail dari entitas yang ada dalam “rumah” industri secara lebih detail pada bab-bab selanjutnya.

BAB IV Rincian Grand Design Industri TIK di Indonesia

Sesuai dengan perumusan konsep umum Grand Design industri TIK nasional, maka diperlukan ada kajian yang lebih mendalam mengenai detail dari aktivitas dan model bisnis yang akan terjadi pada industri TIK di Indonesia pada era konvergensi ke depan.

Perincian ini akan mempertimbangkan kepada ekosistem eksisting yang sudah ada, dan juga harapan-harapan stakeholder industri TIK di Indonesia yang diakomodasi dalam naskah akademis white paper Study Group Penyusunan Regulasi Telekomunikasi pada era konvergensi tahun 2011, dan juga tren bisnis TIK di Negara-negara lain.

1. Peta Peran dalam industri TIK

Bagian pertama dari rincian Grand Design Industri TIK adalah dengan mengidentifikasi peta peran setiap anggota dalam industri TIK, yakni seluruh pihak yang terlibat dalam “rumah” industri TIK.

Hal yang harus dipertimbangkan dalam menyusun dan mendefinisikan peta peran dalam industri TIK ini adalah dengan memperhatikan bahwa ada tujuan bersama yang ingin dicapai, yakni tujuan pemerintah terkait dengan pemerataan infrastruktur TIK di seluruh Indonesia, dan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara; tujuan masyarakat untuk memperoleh suatu layanan TIK yang baik, aman, nyaman, dan affordable; dan tujuan industri untuk dapat selalu tumbuh dan mendapatkan keuntungan dari bisnis telekomunikasi di Indonesia.

1. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan bersama-sama dengan Legislatif (RUU Pasal

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan bersama-sama dengan legislative bertanggung-jawab dalam mengambil kebijakan dalam mengawal industri telekomunikasi, sebagai pondasi industri telekomunikasi dalam menyelenggarakan bisnis telekomunikasi.

Beberapa produk kebijakan dan UU yang diperlukan dalam bidang telekomunikasi adalah diantaranya:

  1. Kewajiban Pelayanan Universal

  2. Biaya Hak Penyelenggaraan

  3. Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)

  4. Pertahanan dan keamanan

  5. Kerahasiaan Informasi

  6. Penyadapan

(dijabarkan bagaimana ke depannya)

2. Regulator (dari RUU Telekomunikasi)

Regulator merupakan entitas yang ditugaskan oleh pemerintah dalam menjaga iklim industri telekomunikasi di Indonesia dapat berjalan dan dapat mencapai tujuan-tujuan dari pemerintah, industri dan masyarakat. Regulator dalam hal tugasnya di bidang telekomunikasi, memiliki fungsi untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan pengendalian untuk menumbuh kembangkan industri untuk mencapai tujuan-tujuan setiap entitas di ”rumah” industri.

Menteri dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika, menjalankan fungsi dalam menetapkan kebijakan dan arah peta jalan pembangunan TIK ke depan. Dalam pelaksanaan fungsinya, menteri akan melimpahkan fungsi pengaturan, pengawasan, dan pengendalian industri tersebut kepada suatu Badan Regulasi Telekomunikasi. Dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan menumbuh-kembangkan industri TIK, Menteri dan Badan Regulasi harus memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global telekomunikasi di dunia.

Badan Regulasi (Komite Regulasi Telekomunikasi) di Indonesia bertugas untuk memberikan pendapat terhadap pelaksanaan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Pendapat yang bisa disampaikan tersebut diantaranya adalah:

        1. Penetapan pengaturan dan regulasi penyelenggaraan telekomunikasi termasuk pengaturan sumber daya;

        2. Penetapan peluang usaha penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi;

        3. Penggabungan dan/atau peleburan dua atau lebih penyelenggara telekomunikasi;

        4. Penghentian penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi;

        5. Penghentian sementara operasi penyelenggaraan telekomunikasi;

        6. Perintah pemutusan hubungan kerjasama penyelenggara telekomunikasi dengan pihak lain dalam menyelenggarakan layanan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi; dan

        7. Perintah penggantian manajemen penyelenggara telekomunikasi yang terbukti melakukan pelanggaran aturan penyelenggaraan telekomunikasi.

Keanggotaan dari Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) harus terdiri dari elemen pemerintah (perwakilan) dan juga elemen masyarakat sehingga dapat menjadi suatu tim yang bisa subyektif dalam mengatur industri telekomunikasi, baik dari sudut pandang pemerintah sebagai pengambil keputusan yang mengutamakan tercapainya tujuan nasional, dan juga sudut pandang masyarakat sebagai obyek (end-user) dalam memanfaatkan layanan telekomunikasi.

Untuk anggota KRT yang berasal dari perwakilan masyarakat, menteri harus menunjuk individu yang memiliki kredibilitas dan loyalitas tinggi pada industri telekomunikasi, dan harus mampu berfikir pencapaian bersama untuk industri telekomunikasi untuk pencapaian tujuan dari setiap entitas di ”rumah” industri TIK di Indonesia.

Dalam menyampaikan pendapat terkait dengan fungsinya, KRT harus menyertakan dokumen berikut sebagai bahan pertimbangan menteri dalam mengambil kebijakan bersama dengan elemen pemerintahan yang lainnya:

        1. Evaluasi dan analisa dari kondisi industri yang dituangkan dalam pendapat tertulis.

        2. Data dan informasi yang berkaitan dengan materi pendapat.

        3. Kerangka solusi yang diharapkan untuk dapat diatasi oleh pemerintah.

        4. Alternatif solusi yang dimungkinkan untuk diambil, yang bisa memenuhi kepentingan dari seluruh pihak (pemerintah, industri, masyarakat).

        5. Kerangka dan draft regulasi yang akan dijadikan regulasi dalam mengatur industri telekomunikasi.

Dalam memutuskan sebuah regulasi maupun tindak lanjut dari pendapat KRT, maka menteri harus mempertimbangkan dan menilai bahwa pendapat tersebut berazaskan keadilan dan tidak menguntungkan salah satu pihak, sesuai dengan tujuan penyelenggaraan telekomunikasi, dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam menjalankan fungsinya, regulator juga melaksanakan fungsi penyelesaian perselisihan (dispute resolution) dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Perselisihan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  1. Perselisihan antar penyelenggara dalam memenuhi aturan penyelenggaraan telekomunikasi;

  2. perselisihan antar Menteri dan penyelenggara dalam memenuhi aturan penyelenggaraan telekomunikasi; dan/atau

  3. perselisihan antara pengguna dengan penyelenggara telekomunikasi dalam memenuhi aturan penyelenggaraan telekomunikasi.

Dalam menyelesaikan permasalahan terkait dengan perselisihan tersebut, regulator akan menyelesaikan dengan cara baik secara mediasi maupun arbitrase.

Fungsi dari Regulator terkait dengan penyelenggaraan telekomunikasi lainnya adalah:

  1. Komitmen pembangunan

  2. Tariff

  3. Perizinan

  4. Kualitas layanan

  5. Persaingan usaha

  6. Jenis layanan

  7. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi

3. Penyelenggara

Dalam industri telekomunikasi, peran penyelenggara sangat penting sebagai bagian dari proses bisnis, yakni sebagai penyedia layanan hingga end-user bisa menikmati layanan tersebut.

Pada era monopoli, jumlah penyelenggara telekomunikasi sangat sedikit, bahkan hanya dikuasai oleh satu pihak. Era kompetisi baru dimulai semenjak dibukanya investasi dari sektor swasta untuk menggantikan peran pemerintah dalam investasi di telekomunikasi pada tahun 1990-an.

Penyelenggaraan di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yakni:

  1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi

    1. Penyelenggara jaringan tetap local circuit switch

    2. Penyelenggara jaringan tetap local paket switch

    3. Penyelenggara jaringan Jarak Jauh

    4. Penyelenggara jaringan Internasional (SLI)

    5. Penyelenggara jaringan tetap tertutup

    6. Penyelenggara jaringan bergerak seluler

    7. Penyelenggara jaringan bergerak satelit

    8. Penyelenggara jaringan bergerak terestrial

  2. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi

    1. Penyelenggara jasa telekomunikasi dasar

    2. Penyelenggara jasa multimedia

    3. Penyelenggara jasa nilai tambah

  3. Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan sendiri (dari RUU Tel)

Masing-masing penyelenggaraan tersebut memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam industry telekomunikasi.

a. Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi

Penyelenggara jaringan berperan dalam menyediakan dan memeratakan infrastruktur jaringan telekomunikasi sesuai dengan komitmen awal pembangunan saat penyelenggara mengajukan ijin penyelenggaraan.

Perkembangan telekomunikasi di Indonesia, dimulai dari pertumbuhan infrastruktur jaringan yang semakin merata dan juga pertumbuhan pelanggan mulai dirasakan semenjak iklim kompetisi dibuka. Investasi sektor swasta sangat berperan dalam meningkatkan juga kompetisi, sehingga penyelenggara juga mau membangun wilayah-wilayah diluar jawa untuk pemerataan infrastruktur.

Dalam konsep RUU Telekomunikasi, penyelenggaraan jaringan dibedakan menjadi Penyelenggara Fasilitas Jaringan dan Penyelenggara Layanan Jaringan. Penyelenggara Fasilitas Jaringan merupakan penyelenggara fasilitas untuk pembangunan layanan jaringan, Penyelenggara Fasilitas Jaringan bertanggung-jawab dalam menyediakan fasilitas pendukung telekomunikasi berupa menara, duct, power system, dark fiber, kolokasi, satelit/stasiun bumi, dll.

Sedangkan Penyelenggara Layanan Jaringan merupakan penyelenggara layanan kepada pengguna dalam bentuk penyediaan kanal atau bandwidth. Penyediaan kanal tersebut bisa dalam bentuk jaringan akses maupun jaringan backbone. Penyelenggara Layanan Jaringan contohnya adalah provider jaringan core (MGW, MSC), jaringan core packet switch (GGSN, SGSN), jaringan akses (PSTN, FWA, seluler, 2G, 3G, VPN, WLAN), Network support server, communication control, jaringan akses, backhaul, backbone, dll.

Dalam mengatur dan mengawal pertumbuhan industry telekomunikasi, pemerintah perlu untuk mengatur kompetisi yang dimulai dari perizinan, hingga komitmen penyelenggaraan. Penyelenggara jaringan telekomunikasi merupakan sebuah bisnis yang capital intensive, yang memerlukan modal yang sangat padat untuk berinvestasi dan mengembangkan jaringan telekomunikasi di Indonesia. Dengan sifat yang capital intensive tersebut, maka diperlukan regulasi yang lebih heavy supaya iklim kompetisi dan bisnis penyelenggara dapat memberikan benefit, baik bagi penyelenggara, dan juga bagi masyarakat dan tujuan pemerataan infrastruktur.

Peran yang sangat penting dari penyelenggara yang harus dikawal dengan regulasi adalah komitmen pembangunan untuk pemerataan dan tanggung jawab dari penyelenggara dalam memenuhi kewajiban perizinan, dan juga kewajiban untuk keterbukaan akses (open access) untuk jaringan backbone dan akses ke pelanggan.

Setiap penyelenggara jaringan diwajibkan untuk membangun keterhubungan (koneksi) dengan penyelenggara jaringan lain untuk menjamin ketersediaan akses dan kelangsungan koneksi pelanggan ke layanan telekomunikasi. Dalam membangun keterhubungan antar penyelenggara jaringan telekomunikasi bisa dilakukan dengan skema interkoneksi, sewa jaringan maupun swap kapasitas.

Dalam konteks interkoneksi dan sewa jaringan, perlu dipersiapkan regulasi yang mengatur tariff sehingga bisa melindungi penyelenggara, baik sebagai penyedia akses maupun pencari akses, tariff akan dihitung dengan mekanisme berbasis biaya sehingga fair bagi seluruh pihak.

Penyelenggara jaringan juga diwajibkan untuk membayar sejumlah BHP Penyelenggara yang terdiri dari BHP jastel dan BHP USO.

b. Penyelenggara Jasa Telekomunikasi

Dalam RUU Telekomunikasi penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan layanan kepada pengguna berupa penyediaan layanan aplikasi telekomunikasi yang terdiri dari penyediaan layanan aplikasi dasar telekomunikasi dan penyediaan layanan aplikasi nilai tambah, serta wajib menyediakan lauanan konten telekomunikasi. Dalam RUU Telekomunikasi, Pemerintah ingin mengakommodir semua jenis penyelenggaraan telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan maupun penyelenggara jasa telekomunikasi sehingga mempunyai perizinan yang jelas dan dilindungi secara hukum.

Penyediaan layanan aplikasi dasar telekomunikasi merupakan penyediaan layanan suara, data, dan video dan yang menggunakan layanan jaringan akses milik penyelenggara layanan jaringan telekomunikasi. Sedangkan, penyediaan layanan aplikasi nilai tambah merupakan penyediaan layanan terintegrasi antara layanan aplikasi dasar untuk memberikan nilai tambah dan untuk keperluan tertentu yang menggunakan layanan jaringan akses milik penyelenggara layanan jaringan.

Penyediaan layanan konten telekomunikasi merupakan penyediaan layanan konten/konten aplikasi kepada pengguna yang diintegrasikan langsung dengan menggunakan layanan aplikasi dasar.

c. Penyelenggara Telekomunikasi Khusus

Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus merupakan penyelenggaraan jaringan untuk keperluan suatu komunitas tertentu secara tertutup (tidak komersil). Penyelenggaraan telekomunikasi khusus atau untuk keperluan sendiri oleh badan pemerintah atau badan hukum Indonesia dibatasi jumlah penyelenggaranya oleh pemerintah. Pembatasan tersebut dilakukan apabila telah terdapat penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa yang dapat memenuhi kebutuhan layanan telekomunikasi.

NFP, NSF, dll

4. Pengguna

Pengguna sebagai end-user merupakan salah satu entitas dalam industri telekomunikasi yang wajib dilindungi oleh regulator melalui regulasi terkait penyelengaraan telekomunikasi. Hak mutlak yang wajib dijamin Pemerintah adalah setiap pengguna mempunyai hak yang sama untuk menggunakan layanan telekomunikasi sesuai yang diinginkan.

Setiap penyelenggara telekomunikasi dalam memberikan atau menyediakan layanan telekomunikasi diwajibkan untuk:

  1. Menjamin kerahasiaan data identitas pengguna

  2. Menjamin pemenuhan standar kualitas layanan, standar keamanan, standar keamanan jaringan, serta standar penyediaan sarana dan prasarana.

  3. Menyediakan layanan telekomunikasi sesuai dengan informasi mengenai kualitas dan harga yang ditawarkan oleh penyelenggara telekomunikasi.

  4. Memberikan informasi yang lengkap dan transparan mengenai layanan yang diberikan.

  5. Menyampaikan informasi ketentuan berlangganan antara penyelenggara telekomunikasi dan pengguna harus jelas dan transparan.

  6. Menyelesaikan keluhan sesuai standar pelayanan penyelesaian keluhan.

Guna menjamin hal tersebut diatas, regulator harus memiliki wewenang yang kuat dalam melakukan pengawasan terhadap tindakan yang dapat merugikan pengguna, seperti halnya tindak penipuan yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2012 terkait penyalahgunaan layanan SMS Premium, sehingga merugikan pengguna dalam jumlah yang cukup besar.

Pemerintah wajib menjamin kemudahan bagi pengguna untuk menuntut ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan penyelenggara telekomunikasi sehingga mengakibatkan kerugian yang dialami pengguna sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rugulator juga melakukan investigasi terhadap pengaduan yang disampaikan pengguna, apabila terbukti penyelenggara melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan pengguna, maka penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi kepada pengguna, kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi.

2. Fungsi dan kapasitas masing-masing Peran dalam industri TIK (kondisi ideal)

1. Pemerintah

UU Nomor 3 Tahun 1989 mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan pembangunan terhadap infrastruktur telekomunikasi, namun seiring dengan adanya perubahan ke UU Nomor 36 Tahun 1999 peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi diambil alih oleh pihak swasta. Pengambil alihan pembangunan infrastruktur telekomunikasi oleh pihak swasta inilah yang diyakini oleh sebagian orang menjadi faktor tidak meratanya pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Pihak swasta lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur di daerah urban yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga menimbulkan ketimpangan digital.

Hal tersebut membuat banyak masyarakat yang tinggal di daerah tertinggal atau rural tidak dapat menikmati jaringan internet. Berikut gambar sebaran jaringan backbone oleh operator jartatup di Indonesia

Sumber : olahan konsultan

Berdasarkan gambar di atas terlihat jelas bahwa pembangunan jaringan backbone di Indonesia masih terkonsentrasi di daerah barat, terutama di pulau Jawa, Sedangkan di Indonesia bagian timur pembangunannya masih lamban. Penggunaan ICT Fund dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia bagian timur harus lebih efisien, selain itu harus ditingkatkan rangsangan – rangsangan yang dapat mengakibatkan ketergantungan masyarakat terhadap layanan broadband. Karena pembangunan infrastruktur tidak akan berguna apabila masyarakat merasa tidak membutuhkan jaringan internet untuk menunjang aktivitas kesehariannya.

Oleh karena itu muncul ide untuk memberikan amanat kembali kepada pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi melalui Rancangan Undang-Undang telekomunikasi. Salain itu melalui RUU Telekomunikasi, Pemerintah mengatur terkait penggunaan infrastruktur secara bersama, keterbukaan jaringan akses, dll yang diharapkan dapat meningkatkan penetrasi layanan telekomunikasi di seluruh Indonesia, terutama di daerah rural, terpencil, atau daerah perbatasan.

Pemerintah melalui kementrian terkait kini dapat mengalokasikan APBN dalam melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, selain juga menggunakan dana USO yang dikumpulkan dari penyelenggara telekomunikasi. Penggunaan APBN dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi diharapkan dapat mempercepat pembangunan konektivitas nasional yang merupakan salah satu syarat percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam dokumen MP3EI.

Infrastruktur review, capacity building, RoW, TKDN, USO, BHP, sumber daya, dll

2. Regulator

Jelaskan detail seluruh regulasi yang ada pada pasal pengaturan penyelenggaraan (perizinan, BHP, tariff, Interkoneksi, sumber daya, dan pasal 40 ayat 1 huruf (a) – (o))  pengawasan, pengendalian ambil dari naskah RUU

Ambil dari naskah Telkom pak widi, SGR,

Peran regulator  market review

3. Penyelenggara

Penyelenggaraan telekomunikasi merupakan kegiatan penyediaan pelayanan telekomunikasi yang terdiri dari BUMN, BUMD, atau Badan Usaha yang Berbadan Hukum Indonesia serta pemerintah yang dapat menyelenggarakan telekomunikasi pada daerah serta kondisi tertentu untuk meningkatkan pemerataan jaringan dan layanan telekomunikasi.

Dalam konteks RUU Telekomunikasi, pemerintah diberikan wewenang dalam melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, bahkan hingga menyediakan jasa telekomunikasi. Tujuannya adalah untuk mendorong percepatan pemerataan infrastruktur telekomunikasi yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan perekonomian nasional melalui konektivitas nasional.

Selain itu, dalam konteks RUU Telekomunikasi juga diatur mengenai pembatasan jumlah penyelenggara telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan, penyelenggara jasa, maupun penyelenggaraan untuk keperluan sendiri. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat industri telekomunikasi saat ini sedang tidak sehat. Jumlah penyelenggara telekomunikasi di Indonesia yang begitu banyak merupakan dua mata pisau yang memberikan dampak positif dan negatif. Positifnya adalah tarif layanan yang relatif murah akibat adanya persaingan, namun negatifnya adalah perang tarif yang diakibatkan oleh kompetisi membuat sebagian besar penyelenggara mengalami kerugian akibat revenue yang tidak mampu menutupi cost penyelenggara telekomunikasi.

Situasi tersebut membuat konsolidasi, serta peleburan maupun akuisisi membuat sebuah pilihan yang tepat untuk menyehatkan industri telekomunikasi. Dalam RUU telekomunikasi, penggabungan, peleburan, atau pengambil-alihan usaha diatur oleh pemerintah dan wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri. Yang perlu diperhatikan dalam proses merger dan akuisisi adalah pemindah tanganan asset serta sumber daya perusahaan yang dibeli. Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2000 tidak mengizinkan pemindah tanganan spektrum frekuensi dan block number, artinya ketika suatu penyelenggara telekomunikasi membeli penyelenggara telekomunikasi lainnya, penyelenggara tersebut tidak bisa memiliki frekuensi dan block number perusahaan yang dibelinya.

Pemerintah perlu memberikan suatu stimulus atau kompensasi untuk memudahkan proses merger dan akusisi oleh penyelenggara telekomunikasi, seperti memberikan sebagian frekuensi dan block number penyelenggara yang dibeli kepada penyelenggara yang membeli, sehingga proses merger dan akuisisi menjadi lebih menarik bagi penyelenggara telekomunikasi. Dengan adanya stimulus tersebut diharapkan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia dapat ditekan, sehingga idealnya penyelenggara telekomunikasi di Indonesia cukup terdiri dari 4 penyelenggara saja.

Termasuk kapasitas, jumlah, dll

4. Pengguna – masyarakat