Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Appendix Vermiformis
Apendiks pertama kali terbentuk pada usia lima bulan kehamilan. Apendiks
merupakan kelanjutan dari sekum, tapi pemanjangan apendiks tidak secepat kolon
lainnya sehingga terbentuk struktur yang menyerupai cacing (Lee, 2013).
Panjang apendiks bervariasi antara 2 – 20 cm, rata-rata 10 cm. Dinding
apendiks terdiri dari dua lapisan, lapisan luar terdiri dari otot longitudinal yang
merupakan kelanjutan dari taenia coli dan lapisan dalam terdiri dari otot sirkular
yang dilapisi oleh epitel kolon (Lee, 2013).

Gambar 2.1. Anatomi appendiks vermivormis (Lazaro, 2012)

Saat lahir, terdapat beberapa folikel limfoid submukosa yang terus
membesar, puncaknya pada usia 12 – 20 tahun, kemudian folikel ini akan
mengecil kembali. Hal ini berhubungan dengan insidensi apendisitis (Lee, 2013).
Aliran darah apendiks terutama dari arteri apendicular yang merupakan
cabang arteri ileokolika. Arteri ini berjalan dari mesoapendiks posterior menuju
ileum terminal. Arteri apendiks aksesori dapat muncul dari percabangan arteri
cecal posterior. Kerusakan pada arteri ini dapat menyebabkan perdarahan hebat

intra-operatif maupun pos-operatif dan harus dicari secara teliti serta diligasi
setelah arteri apendicular dikontrol (Lee, 2013).

4

Universitas Sumatera Utara

Bagian proksimal apendiks terletak pada dinding posteromedial sekum,
kira-kira 2,5 cm di bawah katup ileocecal. Di sini juga merupakan tempat
bersatunya taeniae (Lee, 2013).
Letak bagian distal/ ujung apendiks bervariasi, 65 % terletak di retrocecal,
30 % terletak di pelvis, dan 5 % terletak di ekstraperitoneal (di belakang sekum,
kolon asenden, atau ileum distal). Letak ujung apendiks menentukan gejala dan
tanda awal apendisitis (Lee, 2013).

Gambar 2.2. Posisi appendiks vermiformis (Utama, 2012)

2.2.Apendisitis
2.2.1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis (DynaMed, 2013).

Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari apendiks
vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya (Craig, 2013).
Menurut Minkes (2013) apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut
dari apendiks vermiformis, yang secara sederhana sering disebut sebagai
apendiks. Apendiks adalah suatu struktur yang buntu, berasal dari sekum.
Apendiks dapat terlibat dalam berbagai proses infeksi, inflamasi, atau proses
kronis yang dapat menyebabkan dilakukan apendektomi. Kata “apendisitis” dan
“apendisitis akut” digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama
(Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial. Para ahli
bedah menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronis,
sembuh setelah operasi apendektomi. Mereka sepakat bahwa ketika apendiks
tidak terisi atau hanya terisi sedikit oleh barium saat barium enema dilakukan
pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen kuadran kanan bawah yang bersifat
kronis intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (Eylin,
2009).


2.2.2. Epidemiologi
Apendisitis merupakan penyebab utama nyeri abdomen yang membutuhkan
tindakan operasi segera pada anak-anak (Lee, 2010, Maki, 2013, Huckins, 2013,
Saucier, 2013). Di Amerika Serikat dijumpai 77.000 kasus apendisitis akut pada
anak per tahun. Laki-laki lebih berisiko menderita apendisitis daripada perempuan
dengan rasio 1,4:1. Puncak insidensi apendisitis pada usia 10 – 20 tahun
(DynaMed, 2013).
Di negara-negara barat, sekitar 7 % populasi mengalami apendisitis pada
suatu waktu dalam kehidupannya (Lee, 2013). Di Inggris dilaporkan 40.000
pasien per tahun dirawat karena apendisitis (DynaMed, 2013). Di Spanyol pada
tahun 2003 dilaporkan bahwa kasus apendisitis sebanyak 132,1 kasus per 100.000
populasi di mana proporsi apendisitis perforasi sebesar 12,1 % dan proporsi
operasi apendektomi negatif sebesar 4,3 %, sedangkan angka mortalitas 0,38 %
(Ballester, 2009).
Di Afrika Selatan, pada akhir abad ke-20 diperkirakan 10 % populasi
berkulit putih menjalani operasi apendektomi, sedangkan populasi berkebangsaan
Afrika hanya kurang dari 1 % yang menjalani operasi apendektomi. Perkiraan
insidensi apendisitis pada orang Afrika adalah 10 kasus per 100.000 populasi.
Perbedaan ini biasanya disebabkan oleh perbedaan pola makan, di mana orang
dari negara sedang berkembang mengkonsumsi makanan yang rendah lemak dan

tinggi serat (Victor, 2012).
Di Korea Selatan dilaporkan bahwa insidensi apendisitis 22,71 kasus per
10.000 populasi per tahun, yang dioperasi apendektomi 13,56 kasus per 10.000
populasi per tahun, dan insidensi apendisitis perforasi 2,91 kasus per 10.000

Universitas Sumatera Utara

populasi per tahun. Risiko menderita apendisitis pada laki-laki tidak berbeda
secara bermakna dengan perempuan yaitu 16,33 % berbanding 16,34 %
(Oguntola, 2010).
Insidensi apendisitis dan operasi apendektomi diduga berhubungan variasi
musim (Oguntola, 2010, Lee, 2010, Jangra, 2013). Menurut sebuah penelitian
pada anak-anak di India Utara, jumlah kasus apendisitis meningkat pada musim
hujan dengan kelembaban tinggi, yaitu pada bulan Juli sampai awal September
(Jangra, 2013). Di Nigeria bagian barat daya juga dilaporkan bahwa insidensi
apendisitis lebih tinggi pada musim hujan (April – September) dengan puncak
pada bulan Juni – Agustus (Oguntola, 2010). Pada penelitian di Korea Selatan
dilaporkan bahwa puncak insidensi apendisitis dan operasi apendektomi adalah
pada musim panas (Lee, 2010). Sedangkan pada penelitian lain pada di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa insidensi apendisitis paling tinggi pada musim gugur

(OR 1,12; 95% CI: 1,04-1,21) dan musim semi (OR 1,11; 95% CI: 1,03-1,20)
(Minkes, 2013). Adanya variasi musim memungkinkan adanya peranan faktorfaktor ekstrinsik yang heterogen, seperti kelembaban, alergen, radiasi sinar
matahari serta infeksi virus dan bakteri dalam etiopatogenesis apendisitis. Infeksi
virus dan bakteri menyebabkan hiperplasia jaringan limfoid sehingga terjadi
obtruksi lumen apendiks (Jangra, 2013).

2.2.3. Etiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah asupan
makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan dalam
proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui
melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks
(Smallman-Raynor, 2010).
Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi (Lee,
2013, DynaMed, 2013). Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid (60
%), fekalit (35 %), benda asing (4 %), tumor (1 %) (Lee, 2013). Obstruksi juga
dapat disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi
0,2 – 41,8 % di seluruh dunia (Maki, 2012 dan Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian lain dilaporkan bahwa insidensi apendisitis berhubungan
dengan infeksi mumps (95% CI 0,07 – 0,24; p 9 berisiko tinggi untuk terjadi apendisitis komplikata. Anak dengan
PAS > 9 harus dioperasi apendektomi.



PAS 6 – 8 lebih sering dijumpai apendisitis sederhana. Anak dengan PAS 6 –
8 juga dioperasi apendektomi.

2.2.8. Penatalaksanaan Apendisitis Akut pada Anak

Universitas Sumatera Utara

Perjalanan penyakit mulai dari obstruksi apendiks hingga perforasi apendiks
memerlukan waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar 72 jam sejak timbulnya
gejala (Minkes, 2013).
Pasien dengan gejala klasik apendisitis membutuhkan konsultasi bedah
segera. Puasakan pasien yang diduga apendisitis dan berikan cairan intravena
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013). Pasien dengan apendisitis biasanya
membutuhkan bolus cairan intravena (level of evidence A II) untuk mengkoreksi

dehidrasi, kemudian resusitasi cairan dilanjutkan sesuai dengan derajat keparahan
apendisitis. Pada pasien tanpa tanda syok, terapi cairan intravena diberikan jika
dicurigai ada infeksi intra-abdominal (The Medical University of South Carolina
Library website, 2013). Pasang kateter untuk memantau produksi urin guna
menghitung kebutuhan cairan. Pasang nasogastric tube (NGT) bila perlu (Craig,
2013 dan Minkes, 2013).
Terapi antibiotik intravena untuk membunuh bakteri usus (misalnya,
cefalosporin generasi kedua, gentamisin, metronidazol.) harus diberikan segera
setelah diagnosis apendisitis perforasi dikonfirmasi (Minkes, 2013).
Antibiotik pascaoperasi tidak diperlukan pada apendisitis sederhana pada
anak-anak (Minkes, 2013).
Apendisitis gangrenosa memerlukan terapi antibiotik 48 – 72 jam (Minkes,
2013). Pada apendisitis komplikata/ lanjut, antibiotik monoterapi (piperacilin/
tazobaktam) minimal diberikan 3 hari efektif untuk menurunkan komplikasi
infeksi pascaoperasi pada anak yang akan dioperasi apendektomi (strong
recomendation, moderate quality evidence). Dosis pertama diberikan segera
setelah tegak diagnosis apendisitis akut terbukti. Dosis kedua diberikan 30 menit
sebelum dilakukan insisi operasi (The Medical University of South Carolina
Library website, 2013). Terapi antibiotik perioperatif terbukti efektif mencegah
komplikasi pascaoperasi apendektomi (level 1 [likely reliable] evidence)

(DynaMed, 2013). Lanjutkan monoterapi minimal 3 hari (dosis ketiga) pada anak
dengan apendisitis komplikata (The Medical University of South Carolina Library
website, 2013). Literatur lain menyebutkan bahwa terapi antibiotik pada
apendisitis perforasi minimal 7 – 10 hari, atau lebih lama bila diperlukan.

Universitas Sumatera Utara

Antibiotik intravena diberikan selama di rumah sakit, dilanjutkan antibiotik per
oral bila pasien sudah cukup sehat untuk pulang (DynaMed, 2013).
Pemberian terapi analgetik pada apendisitis akut tidak boleh ditunda.
Penundaan analgetik tidak menolong dalam mendiagnosis apendisitis (strong
recommendations, high quality evidence). Pemberian terapi analgetik pascaoperasi
harus konsisten sesuai dengan jadwal pemberian (strong recommendation, low
quality evidence) (The Medical University of South Carolina Library website,
2013).
Berikan terapi antiemetik parenteral bila diperlukan serta antipiretik
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013).

2.2.8.1. Penatalaksanaan Konsevatif (Non-operatif)
Penatalaksanaan konservatif adalah dengan pemberian obat-obatan tanpa operasi.

Penatalaksanaan konsevatif bermanfaat ketika operasi apendektomi tidak dapat
dilakukan atau sangat berisiko tinggi untuk dilakukan, misalnya pada orang yang
yang berada di kapal selam atau sedang berlayar di laut (Craig, 2013).
Menurut Surgical Infection Society and the Infectious Society of America
tahun 2009, penatalaksanaan non-operatif pada pasien apendisitis akut nonperforasi dapat dipertimbangkan jika ditemukan perbaikan gejala yang bermakna
sebelum operasi (level of evidence B-II) (The Medical University of South
Carolina Library website, 2013).
Apendisitis sederhana pada dewasa bisa berhasil diobati dengan antibiotik,
tetapi angka kejadian peritonitis dalam 30 hari lebih tinggi daripada pasien yang
dilakukan operasi apendektomi, serta dijumpai angka kekambuhan 15 % dalam 1
tahun (level

1

[likely reliable] evidence)

(DynaMed,

2013). Namun,


penatalaksanaan konservatif dengan antibiotik pada anak dengan apendisitis akut
masih merupakan hal yang baru dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
sebelum direkomendasikan untuk praktik rutin (Minkes, 2013).
Namun, menurut sebuah penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa
walaupun antibiotik dapat digunakan sebagai terapi primer pada apendisitis
sederhana, operasi apendektomi masih menjadi terapi definitif untuk apendisitis
akut (Varadhan, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Namun, bila setelah tiga hari pemberian antibiotik intravena, tidak ada
perbaikan yang bermakna, penatalaksanaan konservatif dianggap gagal. Risiko
kegagalan terapi konservatif meningkat pada pasien anak dengan apendisitis
perforasi yang ditemukan apendikolit (41,7 %) dibandingan dengan yang tidak
ditemukan apendikolit (13 %), tetapi lokasi apendikolit tidak menjadi prediktor
terjadinya kegagalan (James, 2011).
CT scan dapat memprediksi kegegalan penatalaksanaan konservatif pada
anak dengan apendisitis perforasi (level 2 [mid level] evidence) (DynaMed, 2013).

2.2.8.2. Apendektomi

Apendektomi merupakan terapi definitif pada apendisitis karena dapat dicapai
perbaikan spontan setelah apendektomi dan angka kekambuhan setelah terapi
konservatif dengan antibiotik cukup besar (14 – 35 %) (DynaMed, 2013).
Indikasi apendektomi adalah (Lee, 2013):


Pasien dengan gejala klasik apendisitis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
yang mendukung apendisitis.



Pasien dengan gejala atipikal dan temuan radiografi konsisten dengan
apendisitis.



Pasien dengan gejala atipikal yang mengalami perburukan (nyeri menetap dan
suhu meningkat, pemeriksaan klinis memburuk, leukosit meningkat)
Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan operasi apendektomi. Akan

tetapi, pasien dengan abses periapendiks yang berbatas tegas, operasi apendektomi
biasanya ditunda. Abses dilakukan drainase terlebih dahulu, baik secara per kutan
maupun operasi (level of evidence A-II) (The Medical University of South
Carolina Library website, 2013).
Operasi apendektomi dapat dilakukan dengan prosedur laparoscopic
appendectomy maupun dengan open appendectomy. Prosedur mana yang harus
dipilih, ditentukan oleh tingkat kemahiran ahli bedah dalam melakukan prosedur
tersebut (The Medical University of South Carolina Library website, 2013).
Perbandingan laparoscopic appendectomy dan open appendectomy dipaparkan
pada tabel 2.3.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3. Perbandingan laparoscopic apendectomy dan open apendectomy
(Dynamed, 2013)

Infeksi luka pascaoperasi
Lama perawatan di rumah sakit
Abses pascaoperasi
pada pasien dengan apendisitis
gangrenosa atau perforasi

Laparoscopic
appendectomy
Lebih rendah
(level 2 evidence)
Lebih singkat
(level 2 evidence)

Open
appendectomy
Lebih tinggi
(level 2 evidence)
Lebih panjang
(level 2 evidence)

Lebih sering
(level 2 evidence)

Lebih jarang
(level 2 evidence)

Gambar 2.6. Laparoscopic appendectomy (Zadeh, 2013)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7. Open appendectomy (Zadeh, 2013)

Pada penelitian Groves dilaporkan bahwa pada pasien anak dengan
apendisitis, infeksi luka operasi lebih sedikit dan lama perawatan di rumah sakit
lebih singkat pada laparoscopic appendectomy dibandingkan dengan open
appendectomy (Groves, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian Schietroma (2012) dilaporkan bahwa pada pasien dengan
apendisitis

perforasi

dengan

peritonitis,

stress

response

setelah

open

appendectomy lebih tinggi secara bermakna daripada laparoscopic appendectomy.
Pada kelompok open appendectomy ditemukan peningkatan insidensi bakteremia,
endotoksemia, dan inflamasi sitemik.

2.2.9. Prognosis Apendisitis Akut pada Anak
Adapun prognosis apendisitis akut pada anak yaitu (DynaMed, 2013):


Risiko perforasi
Risiko perforasi pada pasien apendisitis akut akan meningkat setelah lebih
dari 36 jam munculnya gejala awal dan tanpa pengobatan (level 2 [mid-level]
evidence).



Sembuh spontan
Apendisitis akut sederhana dilaporkan sering sembuh spontan (level 3
[lacking direct] evidence). Angka kekambuhan dari apendisitis sederhana
yang telah sembuh spontan sebesar 38%, dan biasanya terjadi dalam satu
tahun setelah gejala pertama muncul (level 2 [mid-level] evidence).



Kematian
Angka kematian neonatus yang menderita apendisitis dilaporkan telah
menurun, yaitu dari 78% (tahun 1975) menjadi 30% (tahun 1976 – 2000).

2.2.10. Komplikasi
Komplikasi apendisitis antara lain (Craig, 2013 dan Minkes, 2013):


Perforasi
Sebanyak 20 – 35 % pasien akut apendisitis saat terdiagnosis sudah
mengalami perforasi apendiks. Risiko perforasi 7,7 % dalam 24 jam pertama,
dan meningkat seiring dengan waktu.



Sepsis



Syok



Perlengketan paska operasi



Infeksi luka operasi

Universitas Sumatera Utara

Angka kejadian luka operasi pada apendisitis sederhana tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan apendisitis perforasi (Bahar, 2010).


Obstruksi usus



Abses intra abdomen/ pelvis



Kematian
Angka kematian akibat apendisitis di Belanda sebanyak 1 kasus per tahun
pada tahun 1996 – 2003 (Narsule, 2011).

2.3. Diagnosis Banding Apendisitis Akut pada Anak
Gejala dan tanda apendisitis tidak spesifik sering ditemukan pada diagnosis lain
(Minkes, 2013). Kesalahan diagnosis apendisitis pada anak sebanyak 25 – 30 %,
dan angka kesalahan diagnosis ini berbanding terbalik dengan usia pasien.
Kesalahan

diagnosis

tersering

adalah

apendisitis

didiagnosis

sebagai

gastroenteritis (DynaMed, 2013).
Apendisitis jarang pada bayi. Jika ditemukan apendisitis pada bayi, maka
dugaan adanya penyakit Hirschprung juga harus dipertimbangkan (Minkes, 2013).
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding apendisitis akut pada anak (Craig,
2013, DynaMed, 2013, Minkes, 2013):


Konstipasi



Sindroma Hemolitik Uremik



Divertikulum Meckel



Kista ovarium



Gastroenteritis



Intususepsi



Infeksi saluran kemih dan pyelonefritis



Pelvic Inflamatory Disease

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 12

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 3

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 2 3

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 8

Analisis Multivariat Pediatric Appendicitis Score dan Variabel Lain dalam Menunjang Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 14

Analisis Multivariat Pediatric Appendicitis Score dan Variabel Lain dalam Menunjang Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 2

Analisis Multivariat Pediatric Appendicitis Score dan Variabel Lain dalam Menunjang Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 4

Analisis Multivariat Pediatric Appendicitis Score dan Variabel Lain dalam Menunjang Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 16

Analisis Multivariat Pediatric Appendicitis Score dan Variabel Lain dalam Menunjang Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 3