Analisis Perbandingan Penatalaksanaan Pengobatan Tb Paru Di Puskesmas Kuala Dan Dokter Praktik Swasta Di Kabupaten Langkat Tahun 2015

45

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi
manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini banyak
menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh. Transmisi
penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh
pasien yang terinfeksi TB (Mario dan Richard, 2011).
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko TB paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi
kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Kuman Mycobacterium Tuberkulosis
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Jika
dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat
rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai
panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang
melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah
disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013).

Infeksi tuberkulosis dapat terjadi secara primer dan paska primer. Infeksi
primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman Tuberkulosis.

46

Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru,
saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer (Crofton, 20002). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan. Faktor- faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi TB
adalah (Hiswani, 2002):
1. Faktor Sosial Ekonomi
Berhubungan erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat
memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan

penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup
layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lainlain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB paru.

47

3. Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif
(15–50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan
usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55
tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit TB paru.
4. Jenis Kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan
bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh
TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis

kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih
mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru.
2.1.3 Patogenesis TB paru
Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Setiap kali penderita TB paru batuk maka akan dikeluarkan 3000 droplet
yang efektif (memiliki kemampuan menginfeksi). Droplet yang mengandung kuman
TB akan bertahan di udara pada suhu kamar selama 1-2 jam tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi dan kelembapan. Dalam suasana lembab dan

48

gelap bakteri dapat bertahan berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Orang dapat
terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan dan
menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trachea-bronkhial bersama gerakan
silia dengan sekretnya. Namun bila tidak semuanya keluar, bakteri yang tinggal justru
menempel dan berkembang biak pada makrofag dan akan menginfeksi paru (Rahajoe,
2008)

Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis
pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran
kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks
primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar (Amin dan Bahar, 2009).
2.1.4 Gejala Klinis TB paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB,

49

seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB
paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit

Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek)
pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung
(Depkes, 2007).
2.1.5 Cara Mendiagnosis Tuberkulosis
Pemeriksaan

dahak

berfungsi

untuk

menegakkan

diagnosa,

menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk menegakkan diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak

yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu- pagi
sewaktu (S-P-S) (Depkes, 2007).
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada
pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum (PDPI, 2011). Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas
sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar, 2009).
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah :

50

1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) (PDPI, 2011)
Pemeriksaan

sputum

merupakan

hal

yang

penting

karena

dengan

ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA (+)
jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil

radiologi yang menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011).
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB
paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.

51

2.2 Pengobatan TB paru
Pengobatan TB bertujuan untuk ;
1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.
2. Mencegah kematian.
3. Mencegah kekambuhan.
4. Mengurangi penularan.

5. Mencegah terjadinya resistensi obat (PDPI, 2011).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO) (Depkes, 2007).
Pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
1. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak

52

menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007).

2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007).
Panduan obat TB paru dapat dibagi atas 4 kategori, yaitu (Kemenkes, 2011):
1. Kategori I:
Kasus: TB paru BTA +, BTA -, lesi luas
Pengobatan: 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE; 2RHZE/ 4R3H3.
a. Kategori II:
Kasus: Kambuh
Pengobatan: RHZES/ 1RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES/
1RHZE/5RHE
Kasus: Gagal pengobatan
Pengobatan: kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin/ ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES/ 1RHZE/ 5RHE
Kasus: TB paru putus berobat
Pengobatan: 2RHZES/RHZE/ 5R3H3E3
b. Kategori III:
Kasus: TB paru BTA – lesi minimal
Pengobatan: 2 RHZE/ 4RH atau 6 RHE atau 2RRHZE 4 R3H3


53

c. Kategori IV:
Kasus: Kronik
Pengobatan: RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) +
obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
Kasus: MDR TB
Pengobatan: Sesuai uji resistensi+ OAT lini 2 atau H seumur hidup.
Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek
samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat.
Tabel 2.1 Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping
Tidak ada nafsu makan

Penyebab
Rifampicin

Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa
terbakar di kaki
Warna kemerahan pada
seni ( urine )

Pyrazinamid
INH

Gatal dan kemerahan
Kulit
Tuli
Gangguan
keseimbangan
Ikterus tanpa penyebab
lain
Bingung dan muntah –
muntah (permulaan
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan
Purpura dan rejatan
(syok)

Semua jenis
OAT
Streptomisin
Streptomisin

Sumber : (Depkes, 2007)

Rifampisin

Penatalaksanaan
Semua OAT diminum malam
sebelum tidur
Beri Aspirin
Beri vitamin B6 ( piridoxin )
100 mg per hari
Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
penjelasan pada pasien

Hampir
semua OAT
Hampir
semua OAT

Ikuti petujuk pelaksanaan
dibawah .
Streptomisin dihentikan
Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Hentikan semua OAT, segera
lakukan tes fungsi hati.

Etambutol
Rifampisin

Hentikan Etambutol
Hentikan Rifampisin

54

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”
dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara dapat
diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal –
gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian pasien
malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi maka OAT yang
diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

2.3 Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas
menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan
penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB paru yang dilakukan
dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program
nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di
Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara
Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang di
integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007).
Adapun tujuan program penanggulangan TB paru meliputi tujuan jangka
panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara
memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah

55

(1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA
positif yang ditemukan,dan (2) tercapainya cakupan penemuan penderita secara
bertahap sehingga pada tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua
penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat
prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan millenium
development goal (MDG) pada tahun 2015
Kegiatan pada program penanggulangan TB paru yaitu kegiatan pokok dan
kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case
finding) pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan
penemuan tersangka TB paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus
selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan
dengan gejala utama ini harus dianggap suspek tuberculosis atau tersangka TB paru
dengan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan
promosi yang aktif).
Pengobatan TB paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal
(intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat
ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai
jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang
dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir
pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir
pengobatan.

56

Pengobatan TB paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak,
tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita
TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif)
memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
2.3.1 Strategi DOTS
Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai
strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai
salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu
studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa
dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai
program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun
(WHO, 1999).
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan
penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menular.
Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan
insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan
cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan
strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank
Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling
efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi
efisiensi dan efektifitasnya (Depkes, 2007).

57

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
1. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
2. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat
waktu dengan mutu terjamin.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap
hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
Komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan
termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk
menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan dan
adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan terhadap
penanggulangan TB paru atau dukungan dana operasional. Satu hal penting lain
adalah penempatan program penanggulangan TB paru dalam reformasi sektor
kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting, yaitu memperkuat dan
memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat
kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi dalam pemberian
pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB paru harus merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan.
Komponen kedua yaitu penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis. Utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas

58

kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai
passive case finding. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan
pemeriksaan radiografi, seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit
pelayanan kesehatan yang memilikinya.
Komponen ketiga yaitu pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO). Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang
diberikan harus sesuai standar dan diberikan seyogiyanya secara gratis pada seluruh
penderita tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Pengobatan tuberkulosis
memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan
penderita

menghilang,

ia merasa

dirinya

telah

sehat,

dan

menghentikan

pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang menjamin penderita mau
menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai.
Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan dalam program pengobatan TB
jangka pendek adalah: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin
(S) dan Ethambutol (E). Oleh karena itu penggunaan Rifampisin dan Streptomisin
untuk penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi
kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis melalui
pemeriksaan radiologik, dan laboratorium terhadap adanya BTA pada sampel sputum
penderita (Girsang, 2002).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan
lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

59

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan (4-7 bulan)
pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).
Komponen keempat yaitu jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara
teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal
ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.
Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat. Komponen kelima
yaitu sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB paru. Setiap penderita TB paru yang
diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di
catatan TB paru yang ada di kabupaten. Kemanapun penderita ini pergi dia harus
menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatan dan tidak
sampai tercatat dua kali.
2.3.2 Uraian Tugas Pengelola Program Tuberkulosis Paru
Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang bertangungjawab dan
mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
dalam program TB di Puskesmas. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program
TB paru di Puskesmas yaitu : (Depkes RI, 2009)

60

1. Menemukan Penderita
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru,
antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
b.

Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC

c.

Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form TB 06

d. Membuat sediaan hapus dahak
e. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
f. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
g. Membuat klasifikasi penderita
h. Mengisi kartu penderita
i. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
j. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang
ditemukan.
2. Memberikan Pengobatan
a. Menetapkan jenis paduan obat.
b. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan.
c. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01.
d. Menentukan PMO (bersama penderita).
e. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO.
f. Memantau keteraturan berobat.
g. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan.

61

h. Mengenal

efek

samping

obat

dan

komplikasi

lainnya

serta

cara

penanganannya.
i. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita.
3. Penanganan Logistik
a. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas.
b. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll).
c. Agar mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c.
Sesuai dengan pedoman Penanggulangan TB paru, setiap petugas pengelola
program

TB paru

perlu

ditingkatkan

kualitas

sumber daya

manusianya.

Pengembangan SDM adalah suatu proses yang sistematis dalam memenuhi
kebutuhan ketenagaan yang cukup dan bermutu sesuai kebutuhan. Proses ini meliputi
kegiatan penyediaan tenaga, pembinaan (pelatihan, supervisi), dan kesinambungan
(sustainability). Tujuan Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam program TB
adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan
sikap (dengan kata lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan program
TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Didalam
bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan
kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan
SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan
TB (Depkes RI, 2009).

62

2.3.3 Evaluasi Program
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi,
diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik
dan benar.
Pada prinsipnya semua kegiatan harus dimonitoring dan dievaluasi antara lain
kegiatan penatalaksanaan penderita (penemuan, diagnosis dan pengobatan), pelayanan
laboratorium, penyediaan obat dan bahan pelengkap lainnya . seluruh kegiatan tersebut
harus dimonitor baik dari aspek masukan, proses, maupun keluaran. Cara pemantauan
dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung, dan wawancara dengan
petugas pelaksanan program dengan masyarakat sasaran.
Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator
program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan
berdasarkan serangkaian kegiatan penanggulangan Tuberkulosis Paru yang meliputi
pencegahan, penemuan kasus, pengobatan dan kesembuhan

2.4 Landasan Teori
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebaga berikut:
1. Pemberian OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan katagori pengobatan.
2. Melakukan pengawasan langsung untuk menjamin kepatuhan pasien menelan
obat.
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

63

a. Tahap awal pengobatan terdiri dari:
1) Pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam dua bulan
b. Tahap lanjutan terdiri dari:
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

2.5 Kerangka Berpikir
Kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
KESEMBUH

PUSKE
S-

DIA
G

PEMBERI
AN

RUJUKAN

SUSPE
K
PA

PENEM
UAN

DPS

PENG
AW

KESEMBUH

PENEMU
AN
KAS

DIA
G

PEMBERI
AN
O

PENGA
W

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
33
14

Kerangka berfikir menjelaskan bahwa penelitian diawali dengan program
pengobatan TB paru. Program pengobatan tersebut dilaksanakan pada Puskesmas
Kuala dan DPS di wilayah kerja Puskesmas Kuala. Kedua program tersebut akan
dibandingkan hasilnya dengan melihat kesembuhan pasien.

43