Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir Deterr

Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir:
Deterrence, Nuclear Taboo, dan Traktat Nonproliferasi Nuklir
Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Hubungan Internasional

Dosen:
Dr. Arry Bainus, S.IP., M.A.
Wawan Budi Darmawan, S.IP., M.Si.
Nuraeni Suparman, S.IP., M.Hum.

Disusun oleh:
Syera Anggreini Buntara

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016

!
!

DAFTAR ISI

Pendahuluan…………………………………………………………………………………...1
Sejarah Proliferasi Senjata Nuklir: Self-Help, Balance of Power, dan Security Dilemma.........1
Realisme: Senjata Nuklir sebagai Deterrence.............................................................................5
Liberalisme: Pengembangan Senjata Nuklir adalah Irasional.....................................................6
Neoliberalisme: Traktat Nonproliferasi Nuklir...........................................................................7
Konstruktivisme: Prinsip Nuclear Taboo...................................................................................8
Simpulan....................................................................................................................................11
Daftar Pustaka............................................................................................................................13

!

i!

!
!
Pendahuluan
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 merupakan salah satu peristiwa
dahsyat yang menggemparkan dunia. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan korban

yang ditimbulkan oleh senjata nuklir sangat berlimpah. Sebagai salah satu dari kategori
Weapons of Mass Destruction (WMD), senjata nuklir memiliki potensi mematikan yang
luar biasa (Goldstein & Pevehouse, 2014: 209). Menurut data Manhattan Engineer
District’s, dari total populasi Hiroshima sebelum pengeboman sebanyak 255.000 orang,
sebanyak 66.000 orang meninggal dunia dan 69.000 orang terluka. Sedangkan total
populasi Nagasaki sebelum pengeboman adalah 195.000 orang dengan korban meninggal
dunia 39.000 orang dan korban terluka 25.000 orang (Atomic Archive, n.d.). Jumlah
korban tersebut belum mencakup orang-orang yang selamat tetapi mengalami dampak
penderitaan jangka panjang radiasi nuklir yang memengaruhi kesehatannya.

Sepanjang sejarah, peristiwa Hiroshima dan Nagasaki merupakan pertama kali dan
terakhir kalinya di mana senjata nuklir digunakan. Semenjak Pengeboman Hiroshima dan
Nagasaki hingga saat ini, belum ada negara-negara yang menggunakan senjata nuklirnya
untuk menyerang negara lain. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan negara-negara
tidak menggunakan senjata nuklirnya?

Esai ini akan menelaah sejarah proliferasi senjata nuklir melalui perspektif realisme dan
akan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan negara tidak menggunakan senjata
nuklirnya. Adapun analisis faktor-faktor tidak digunakannya senjata nuklir tersebut akan
dipaparkan oleh penulis dengan menggunakan perspektif realisme, liberalisme, dan

konstruktivisme.

Sejarah Proliferasi Senjata Nuklir: Self-Help, Balance of Power, dan Security
Dilemma
Asal pengembangan senjata nuklir bermula dari kecurigaan Amerika Serikat terhadap
Jerman bahwa Jerman diduga sedang mengembangkan bom atom. Atas dasar kecurigaan
tersebut, Amerika Serikat membentuk sebuah program riset dan pengembangan senjata
nuklir bernama Manhattan Project pada Agustus 1942. Manhattan Project berhasil
menuntun Amerika Serikat untuk melakukan percobaan senjata nuklirnya pada 16 Juli

!

1!

!
!
1945 di New Mexico. Dengan berhasilnya uji coba senjata nuklir ini, Amerika Serikat
menjadi negara pertama yang sukses mengembangkan senjata nuklir. Keberhasilan uji
coba senjata nuklir ini sekaligus menandai dimulainya era nuklir atau yang biasa disebut
dengan nuclear age (Petersen, 2012: 93; International Campaign to Abolish Nuclear

Weapons, n.d.).

Senjata nuklir yang berhasil dikembangkan saat uji coba tersebut digunakan Amerika
Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II dengan tujuan
agar membuat Jepang menyerah tanpa syarat. Ledakan Hiroshima dan Nagasaki ini
memunculkan kekhawatiran Uni Soviet bahwa Amerika Serikat mungkin akan
menyerang Uni Soviet dikarenakan persaingan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Maka dari itu, pasca ledakan Hiroshima dan Nagasaki, Uni Soviet
mengalokasikan dana yang lebih pada program pengembangan senjata nuklirnya. Pada
tanggal 29 Agustus 1949, Uni Soviet berhasil melakukan uji coba pertama senjata
nuklirnya di Semipalatink, Kazakhstan. Dengan berhasilnya uji coba ini, Uni Soviet
menjadi negara kedua yang sukses mengembangkan senjata nuklir (International
Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.).

Proliferasi senjata nuklir tidak berhenti sampai di sini. Setelah Uni Soviet, Inggris dan
Prancis juga turut mengembangkan senjata nuklir. Pengembangan senjata nuklir Inggris
dan Prancis didorong oleh dua alasan utama. Pertama, sebelum Uni Soviet berhasil
mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis berada di bawah jaminan keamanan
nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat melalui NATO. Setelah Uni Soviet berhasil
mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis merasa tidak aman berlindung di

bawah Amerika Serikat karena Amerika Serikat bukan lagi menjadi negara satu-satunya
yang memiliki senjata nuklir. Uni Soviet memiliki kapabilitas untuk menyaingi senjata
nuklir Amerika Serikat. Kedua, Prancis meragukan komitmen Amerika Serikat dalam
menjaga kepentingan keamanan Prancis. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat tidak
membantu Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu pada tahun 1954 dan Krisis Suez
pada tahun 1956. Kedua alasan ini mendorong Inggris dan Prancis untuk tidak lagi
bergantung pada Amerika Serikat dan mengembangkan senjata nuklirnya sendiri
(Petersen, 2012: 97). Inggris berhasil mengembangkan senjata nuklir pertamanya pada 3

!

2!

!
!
Oktober 1952, sedangkan Prancis berhasil mengembangkan senjata nuklir pertamanya
pada 13 Februari 1960 (International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.).

Setelah Inggris dan Prancis, Tiongkok ikut mengembangkan senjata nuklir. Keputusan
Tiongkok untuk mengembangkan senjata nuklir didorong oleh keresahan Tiongkok

bahwa Amerika Serikat mungkin menyerang Tiongkok pasca Perang Korea yang terjadi
antara tahun 1950 sampai 1953. Tiongkok akhirnya berhasil melakukan uji coba senjata
nuklir pertamanya di Lop Nor, Provinsi Xinjiang, pada tahun 16 Oktober 1964.
Dikarenakan hubungan Tiongkok dan India kurang baik karena saat itu keduanya sedang
berselisih memperebutkan wilayah Arunachal Pradesh, maka untuk merespon Tiongkok
yang merupakan saingannya, India juga mengembangkan senjata nuklir. Di samping
alasan tersebut, India juga mengembangkan senjata nuklir untuk tujuan status dan prestise
agar India diakui oleh dunia sebagai emerging great power. India berhasil melakukan uji
coba senjata nuklir pada 18 Mei 1974. Menanggapi keberhasilan India, Pakistan yang
merupakan saingan India merasa tidak aman dan memutuskan untuk mengembangkan
senjata nuklir. Pakistan juga akhirnya berhasil mengembangkan senjata nuklir pada 1998.
(International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.).

Proliferasi nuklir dapat ditinjau dari sudut pandang realisme yang menekankan pada
konsep power dan prinsip 3S, yaitu statism, survival, dan self-help. Realisme percaya
bahwa power merupakan elemen terpenting yang harus dimiliki oleh negara agar dapat
menjamin keberlangsungan (survival) negaranya. Di tengah kondisi sistem internasional
yang anarki dan tidak menentu, negara harus berupaya meningkatkan power-nya.
Realisme klasik menggambarkan perilaku negara sebagai struggle for power
(Morgenthau, 1985). Senjata nuklir dianggap sebagai salah satu bentuk power sebuah

negara. Negara yang memiliki senjata nuklir dapat meningkatkan statusnya dalam sistem
internasional.

Amerika Serikat yang semula menjadi negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir
menikmati posisi di mana negara-negara berlindung di bawah Amerika Serikat. Namun,
ketika Uni Soviet mengembangkan senjata nuklir, Amerika Serikat tidak lagi menjadi
negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir. Kondisi ini memengaruhi status

!

3!

!
!
Amerika Serikat dalam sistem internasional. Sistem internasional yang awalnya unipolar
di mana Amerika Serikat menjadi hegemon mulai bergeser menjadi bipolar dengan
Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai great power.

Adapun menurut perspektif neorealisme, tujuan negara berjuang meningkatkan power
dapat ditelaah berdasarkan dua alasan, yaitu realisme ofensif dan realisme defensif.

Pertama, realisme ofensif memprioritaskan pada jumlah power yang dimiliki oleh negara.
Realisme ofensif menyatakan bahwa tujuan negara adalah menjadi hegemon. Karena
hanya

dengan

menjadi

hegemon,

negara

dapat

menjamin

keamanan

dan


keberlangsungannya. Kedua, realisme defensif yang memprioritaskan pada keamanan
negara. Realisme defensif percaya bahwa negara tidak seharusnya memaksimalkan
power dan tidak seharusnya pula berjuang menjadi hegemon. Negara seharusnya mencari
power dengan jumlah yang cukup atau tepat karena upaya negara untuk memaksimalkan
power justru akan membahayakan negara tersebut. Apabila negara meningkatkan power,
negara-negara lain akan merasa tidak aman, dan negara-negara akan melakukan proses
balancing untuk menyaingi negara yang meningkatkan power tersebut (Dunne, 2011: 81;
Baylis et al, 2008: 438-439)

Upaya setiap negara untuk mencapai balance of power demi menjamin keamanan negara
seringkali menimbulkan security dilemma. John H. Herz mendeskripsikan security
dilemma sebagai sebuah kondisi di mana upaya negara untuk meningkatkan kebutuhan
keamanan mereka, walaupun tidak berniat untuk mengancam negara lain, cenderung
menimbulkan peningkatan rasa ketidakamanan bagi negara lain karena setiap negara
menafsirkan tindakannya sendiri sebagai defensif dan menafsirkan langkah-langkah yang
diambil oleh negara lain sebagai ofensif atau berpotensi mengancam (Herz, 1951: 7).
Dalam konteks proliferasi nuklir, pengembangan senjata nuklir oleh Amerika Serikat
menimbulkan rasa tidak aman bagi Uni Soviet. Uni Soviet lalu berupaya mengimbangi
Amerika Serikat dengan ikut mengembangkan senjata nuklir juga. Pengembangan senjata
nuklir oleh Uni Soviet didasarkan akan tujuan untuk menjamin keamanan dan

keberlangsungan Uni Soviet. Namun, setiap peningkatan power, walaupun ditujukan
untuk keamanan negara sendiri atau defensif dan tidak ditujukan untuk menyerang negara
lain, akan tetap dianggap sebagai potensi ancaman bagi negara lain. Dalam hal ini, Inggris

!

4!

!
!
dan Prancis merasa pengembangan senjata nuklir oleh Uni Soviet sebagai potensi
ancaman terhadap keamanan negaranya sehingga Inggris dan Prancis juga
mengembangkan senjata nuklir.

Sesuai dengan pandangan neorealisme bahwa kondisi sistem internasional yang penuh
dengan ketidakpastian membuat negara-negara tidak dapat memprediksi perilaku negara
lain dan membuat negara menjadi saling tidak percaya terhadap negara lain (Baylis et al,
2008: 935). Oleh karena itu, untuk menjaga keamanan negara, negara harus self-help.
Pengembangan senjata nuklir oleh Inggris dan Prancis menandakan adanya upaya untuk
self-help. Sebelumnya, ketika Amerika Serikat merupakan pemilik senjata nuklir satusatunya di dunia, Inggris dan Prancis bergantung pada perlindungan yang diberikan oleh

Amerika Serikat melalui NATO. Namun, ketika Uni Soviet berhasil mengembangkan
senjata nuklir, Inggris dan Prancis merasa tidak aman. Ditambah lagi Prancis meragukan
komitmen Amerika Serikat yang berjanji akan membantu menjaga keamanan Prancis,
tetapi tidak terbukti karena Amerika Serikat tidak membantu Prancis dalam Pertempuran
Dien Bien Phu tahun 1954 dan Krisis Suez pada tahun 1956. Kedua faktor ini membuat
Inggris dan Prancis tersadar bahwa untuk menjunjung keamanan nasionalnya, mereka
tidak dapat bergantung pada negara lain.

Realisme: Senjata Nuklir sebagai Deterrence
Kaum realis beranggapan bahwa pengembangan senjata nuklir oleh negara-negara justru
mencegah penggunaan senjata nuklir. Asumsi kaum realis ini didukung oleh konsep
deterrence. Deterrence berarti mencegah musuh agar tidak menyerang dengan cara
mengancam pembalasan (Kegley, 2010: 303). Dengan menggunakan konsep deterrence
ini, kaum realis berpendapat bahwa negara yang sama-sama memiliki senjata nuklir tidak
akan saling serang. Hal ini dikarenakan realisme percaya bahwa negara merupakan aktor
yang rasional yang mengetahui apabila negara dengan senjata nuklir menyerang negara
yang memiliki senjata nuklir juga, maka negara yang diserang dapat menyerang balik
sehingga menimbulkan kerugian yang sama-sama parah bagi kedua pihak. Pemikiran ini
disebut dengan doktrin mutually assured destruction (MAD) yang menjelaskan bahwa
tidak akan ada negara yang memenangkan perang nuklir karena negara-negara yang
terlibat dalam perang nuklir akan mengalami kehancuran yang sama dengan negara yang

!

5!

!
!
terlibat dalam perang tersebut (Petersen, 2012: 94). Doktrin MAD menjelaskan mengapa
Amerika Serikat dan Uni Soviet dapat tetap menjaga kondisi “damai” dengan tidak
menggunakan senjata nuklirnya pada saat Perang Dingin.

Namun, prinsip deterrence ini menuai kritik dari kaum liberalis dan konstruktivis.
Pertama, kritik dari kaum liberalis adalah memiliki senjata nuklir yang ditujukan untuk
deterrence bukanlah tindakan yang rasional. Selanjutnya liberalisme menjelaskan tentang
kemungkinan negara-negara bekerja sama untuk menggunakan nuklir hanya untuk tujuan
perdamaian melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan Traktat Nonproliferasi
Nuklir.

Kedua, kritik dari kaum konstruktivis adalah berkaitan dengan keefektifan prinsip
deterrence. Apakah prinsip deterrence benar-benar dapat menjelaskan mengapa sebuah
negara tidak menggunakan senjata nuklirnya? Esensi dari Teori Deterrence adalah
senjata nuklir tidak akan pernah digunakan di dunia di mana dua atau lebih negara
memiliki senjata nuklir (Waltz, 2003a: 16). Apabila benar demikian, maka ada
kemungkinan bahwa senjata nuklir akan digunakan untuk menyerang negara yang tidak
memiliki senjata nuklir karena negara yang diserang tidak akan dapat melakukan
pembalasan. Akan tetapi, pada kenyataannya, negara yang memiliki senjata nuklir tidak
menggunakan senjata nuklirnya untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata
nuklir. Hal ini dapat diamati pada peristiwa Perang Vietnam tahun 1955 sampai 1975,
Perang Teluk pada tahun 1991, perang di Afghanistan pada tahun 2002, dan perang di
Irak pada tahun 2003, di mana Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklirnya
dalam perang-perang tersebut. Terlebih lagi, apabila mengikuti logika prinsip deterrence,
maka negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak akan menyerang negara yang
memiliki senjata nuklir karena akan ada ancaman pembalasan oleh negara pemilik senjata
nuklir. Hal ini juga tidak terbukti pada saat Perang Korea yang terjadi antara tahun 1950
sampai 1953, di mana Tiongkok menyerang tentara Amerika Serikat (Tannenwald, 2008:
2-3). Oleh karena itu, muncul prinsip Nuclear Taboo yang menjelaskan mengapa negara
tidak menggunakan senjata nuklirnya.

!

6!

!
!
Liberalisme: Pengembangan Senjata Nuklir adalah Irasional
Berbeda dengan realisme yang lebih menekankan pada isu high politics, liberalisme
memberi perhatian pada isu-isu high politics dan low politics. Dalam konteks senjata
nuklir, liberalisme memperhatikan alokasi biaya yang besar dalam pengembangan senjata
nuklir. Alokasi dana yang besar menyebabkan negara mengorbankan kesejahteraan
masyarakat demi kepentingan keamanan negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat
menghabiskan dana sebanyak 20 miliar dollar Amerika per tahun untuk menjaga dan
mengoperasikan senjata nuklirnya (Olson, 2010: 12). Terlebih lagi saat krisis finansial
tahun 2008, Amerika Serikat mengalokasikan dana sebanyak 9,2 milliar dollar untuk
sistem pertahanan rudal (Schwartz & Choubey, 2009: 27). Hal ini mendasari kaum
liberalis untuk menyatakan bahwa mengalokasikan dana yang besar untuk senjata nuklir
dengan mengorbankan kesejahteraan rakyatnya adalah tindakan yang irasional.
Liberalisme menganggap bahwa apabila negara bertindak rasional maka seharusnya
alokasi dana yang besar itu dapat mencegah negara untuk mengembangkan senjata nuklir.

Neoliberalisme: Traktat Nonproliferasi Nuklir
Neoliberalisme, sama seperti neorealisme, percaya bahwa sistem internasional anarki.
Namun, yang membedakan keduanya adalah, neorealisme pesimis terhadap
kemungkinan negara bekerja sama, sedangkan neoliberalisme optimis bahwa dalam
keadaan anarki, negara dapat bekerja sama karena kerja sama akan membuahkan absolute
gain (Kegley, 2010: 43). Dalam hal nonproliferasi nuklir, absolute gain berupa
keteraturan dan keamanan, serta jaminan bahwa setiap negara dapat mengembangkan
energi nuklir untuk keperluan perdamaian sipil. Neoliberalisme menekankan institusi
atau rezim internasional dalam menjaga keteraturan. Salah satu rezim internasional yang
berfungsi untuk mengontrol proliferasi nuklir adalah Traktat Nonproliferasi Nuklir
(Nuclear Nonproliferation Treaty/NPT).

NPT adalah sebuah kesepakatan yang mencakup tiga pilar utama, yaitu: nonproliferasi,
penggunaan energi nuklir untuk tujuan perdamaian, dan perlucutan senjata nuklir. NPT
mulai ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai beroperasi pada tahun 1970. Saat ini
negara anggota NPT adalah sebanyak 190 negara termasuk lima negara pemilik senjata
nuklir, yaitu Amerika Serikat, Russia, Inggris, Prancis, dan Tiongkok (British American

!

7!

!
!
Security Information Council, 2015). Sebelum adanya NPT, norma nonproliferasi tidak
memiliki platform yang signifikan untuk diaplikasikan. Dengan adanya NPT, norma
nonproliferasi dapat diaktivasi. Norma dalam perspektif neoliberalisme dipandang
sebagai standar perilaku yang didefinisikan dalam wujud hak dan kewajiban (Keohane,
1984: 57).

NPT merupakan suatu governance yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan agar
dapat mewujudkan collective security. 1 Untuk menciptakan keteraturan tersebut, NPT
memiliki norma dan menerapkan norma tersebut dengan cara memberikan hak dan
kewajiban bagi negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapons State/NWS) dan negara
yang tidak memiliki senjata nuklir (Non-Nuclear Weapons State/NNWS). NWS
berkewajiban untuk tidak menyebarkan informasi, pengetahuan, dan teknologi senjata
nuklir kepada NNWS serta bersedia mengurangi senjata nuklirnya. Sedangkan NNWS
berkewajiban untuk tidak menerima teknologi senjata nuklir dari NWS dan tidak
mengembangkan senjata nuklir. NWS dan NNWS memiliki hak untuk mengakses
teknologi atau energi nuklir hanya untuk tujuan perdamaian sipil (NTI, 2015).

Walau diragukan keefektifannya oleh neorealisme, NPT meraih beberapa langkah
keberhasilan dalam upayanya mengontrol proliferasi nuklir. NPT menyambut
pembentukan Zona Bebas Senjata Nuklir (Nuclear Weapon-Free Zones/NWZF). Dalam
Artikel VII, NPT mendorong pembentukan traktat regional untuk memastikan bahwa
negara-negara menjunjung tiga pilar NPT. Saat ini, banyak traktat regional yang
menggunakan NPT sebagai dasar pembentukan NWZF (UNODA, n.d.). Alasan utama
NNWS mengajukan pembentukan NWZF adalah untuk memberhentikan penyebaran
senjata nuklir di kawasannya dan untuk memperkuat mandat nonproliferasi (Paul, 2009:
170). Meskipun dalam rezim internasional tidak ada sanksi baku yang diatur dalam
peraturan atau hukum, tetapi anggota-anggota rezim internasional dapat menegakkan
norma yang ada dengan tujuan collective security.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
1

Collective security adalah sebuah sistem untuk menjaga perdamaian melalui kumpulan negaranegara yang berdaulat di mana negara-negara berjanji untuk membela satu sama lain dengan
prinsip
an
attack
against
one
is
an
attack
against
all
(http://www.americanforeignrelations.com/A-D/Collective-Security.html)

!

8!

!
!
Konstruktivisme: Prinsip Nuclear Taboo
Konstruktivisme menekankan peran ide dalam mengubah struktur internasional,
membentuk identitas dan kepentingan negara, dan menentukan perilaku mana yang
dianggap sah atau memiliki legitimasi. Konstruktivisme juga menjelaskan bagaimana
norma diinternasionalisasikan dan diinstitusionalisasikan sehingga diterima secara global
serta dapat memengaruhi dan mendesak perilaku negara dan aktor non-negara (Baylis et
al., 2008: 665-668). Perspektif konstruktivisme mengenai nonproliferasi nuklir dapat
dijelaskan melalui prinsip Nuclear Taboo.

Prinsip Nuclear Taboo pertama kali diperkenalkan oleh Nina Tannenwald. Nuclear
Taboo menjelaskan mengapa senjata nuklir tidak digunakan dengan menggunakan
pendekatan moralitas. Ditinjau dari maknanya, kata taboo berarti bahwa ada larangan
yang sangat keras untuk menjaga orang-orang dari konsekuensi bahaya pelanggaran
tersebut. Berdasarkan prinsip Nuclear Taboo, negara-negara tidak menggunakan senjata
nuklir karena senjata nuklir termasuk kategori Weapons of Mass Destruction dan
distigmatisasi sebagai senjata penghancur massal yang imoral. Karena stigma ini, negaranegara terikat oleh norma-norma bahwa negara yang beradab tidak akan menggunakan
senjata nuklir mengingat dampak penggunaan senjata tersebut yang sangat tidak
berperikemanusiaan (Sauer, 2015: 24-25).

Berbeda dengan pandangan realisme yang menganggap cara preventif untuk menjaga
negara agar tidak menggunakan senjata nuklirnya dengan prinsip deterrence, perspektif
konstruktivisme melalui prinsip Nuclear Taboo menjelaskan bahwa untuk membuat
negara tidak menggunakan senjata nuklirnya, perlu dibentuk norma yang medelegitimasi
senjata nuklir sehingga menimbulkan ketidaksetujuan moral di masyarakat terhadap
senjata nuklir. Konstruktivisme juga menekankan pentingnya institusionalisasi norma,
yaitu proses yang mengabsahkan sebuah norma sehingga norma dapat diinternalisasi.
Adapun contoh institusionalisasi norma Nuclear Taboo diwujudkan melalui perjanjian
multilateral, seperti NPT, dan juga Traktat regional yang mendukung NWZF, seperti
Traktat Bangkok, Traktat Pelindaba, dan traktat-traktat lainnya (UNODA, 2016).

!

9!

!
!
Sekilas prinsip ini terlihat sangat lemah dalam menjelaskan keputusan sebuah negara
untuk tidak menggunakan senjata nuklir. Namun, prinsip Nuclear Taboo memiliki dua
efek yang menjelaskan tidak digunakannya senjata nuklir, yaitu efek regulatif dan efek
konstitutif. Pertama, efek regulatif berupa norma yang memengaruhi pengambilan
kebijakan. Seseorang pengambil kebijakan harus mampu menjelaskan mengapa ia
mengambil kebijakan tersebut. Dalam konteks senjata nuklir, pengambil kebijakan harus
mampu menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan senjata nuklir. Tekanan dari publik bahwa nuklir itu tabu berubah menjadi
keyakinan dalam masyarakat tentang apa yang benar dan apa yang salah – menggunakan
senjata nuklir adalah salah, dan tidak menggunakan senjata nuklir adalah benar –
sehingga menimbulkan kewajiban untuk berperilaku sesuai dengan norma. Maka dari itu,
seorang pengambil kebijakan memiliki beban moral untuk menjelaskan keputusannya
(Sauer, 2015: 26).

Kedua, efek konstitutif berupa identitas negara yang dibentuk melalui stigmatisasi senjata
nuklir. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dampak kerusakan akibat senjata
nuklir sangat dahsyat dan tidak berperikemanusiaan sehingga negara yang menggunakan
senjata nuklir dapat dianggap sebagai negara yang tidak beradab. Sebaliknya, negara yang
menaati norma nuklir tabu, memeroleh identitas sebagai negara yang beradab. Atas dasar
ini, negara berupaya untuk membentuk identitasnya (Sauer, 2015: 26; Wendt, 1992: 412415).

Konstruktivisme memiliki elemen penting, yaitu bagaimana pengetahuan, simbol,
bahasa, dan peraturan membentuk atau mengonstruksi individu dalam memandang dunia
(Baylis et al., 2008: 673). Nuclear Taboo pertama kali muncul pasca serangan Hiroshima
dan Nagasaki oleh Amerika Serikat pada tahun 1945. Mulanya, sebanyak 80% rakyat
Amerika mendukung keputusan Presiden Harry Truman untuk menyerang Hiroshima dan
Nagasaki dengan senjata nuklir. Bahkan setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom, tidak
ada protes dan ketidaksetujuan dalam masyarakat Amerika Serikat. Masyarakat Amerika
Serikat merasa lega dan gembira bahwa perang telah berakhir (Rose, 2001: 14-15; Weart,
1988: 107). Hal ini dikarenakan saat itu belum ada norma bahwa menggunakan senjata
nuklir adalah tabu. Namun, pandangan tentang senjata nuklir berubah ketika artikel John

!

10!

!
!
Hersey yang berjudul Hiroshima diterbitkan di The New Yorker pada tanggal 31 Agustus
1946. Artikel Hersey seketika langsung diperbanyak dan dicetak ulang di berbagai media
dan disiarkan melalui radio. Artikel Hersey menggambarkan penderitaan yang dialami
oleh korban bom di Hiroshima. Artikel ini menjadi permulaan yang memberikan
pengetahuan tentang sisi moralitas senjata nuklir dan mengonstruksi individu bahwa
penggunaan senjata nuklir sangat tidak bermoral (Tannenwald, 2007: 92-93). Mengingat
dampak kerusakan yang timbul akibat senjata nuklir, selanjutnya norma tabu tersebut
diperkuat dengan adanya perjanjian atau peraturan yang membatasi pengembangan
senjata nuklir, salah satunya dengan Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT).

Dengan demikian, konstruksi yang dibentuk melalui norma Nuclear Taboo berhasil
memengaruhi individu dan negara dalam memandang sisi moralitas senjata nuklir
sehingga memengaruhi keputusan negara untuk tidak menggunakan senjata nuklir.

Simpulan
Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme memiliki perspektif yang berbeda terkait
mengapa negara tidak menggunakan senjata nuklir. Realisme lebih menekankan pada
prinsip deterrence, yaitu mencegah musuh untuk tidak menyerang dengan ancaman
pembalasan, dan prinsip mutually assured destruction, yaitu bahwa negara tidak akan
saling serang apabila sama-sama memiliki senjata nuklir karena serangan yang terjadi
antarnegara yang memiliki senjata nuklir akan menimbulkan kerusakan yang sama-sama
dahsyat bagi kedua pihak. Dengan demikian, realisme mendukung negara-negara untuk
mengembangkan senjata nuklir karena kepemilikan senjata nuklir justru mencegah
negara-negara untuk saling serang.

Liberalisme mengkritik realisme bahwa perilaku negara untuk mengembangkan senjata
nuklir merupakan perilaku yang irasional karena alokasi dana yang besar untuk senjata
nuklir mengorbankan berkurangnya alokasi dan untuk pendidikan, kesehatan, dan aspekaspek kesejahteraan rakyat lainnya. Selain itu, neoliberalisme menekankan pentingnya
norma dan rezim internasional dalam mengontrol negara untuk tidak menggunakan
senjata nuklir. Salah satu rezim internasional yang digunakan untuk mengontrol senjata
nuklir adalah Traktat Nonproliferasi Nuklir.

!

11!

!
!

Sedangkan,

Konstruktivisme

mengkritik

prinsip

deterrence.

Konstruktivisme

menekankan dampak kerusakan nuklir sangat tidak berperikemanusiaan dan berupaya
mengonstruksi individu dan negara tentang sisi moralitas senjata nuklir. Konstruksi ini
dilakukan dengan institusionalisasi dan internalisasi norma Nuclear Taboo sehingga
dapat mengubah pandangan negara agar tidak menggunakan senjata nuklir.
Konstruktivisme juga menekankan bahwa keputusan negara untuk menggunakan atau
tidak menggunakan senjata nuklir akan memengaruhi identitasnya, seperti yang telah
disampaikan bahwa senjata nuklir dianggap sebagai senjata yang seharusnya tidak
digunakan mengingat dampak kerusakannya yang dahsyat sehingga negara yang
menggunakan senjata nuklir dianggap sebagai negara yang tidak beradab.

!

12!

!
!
DAFTAR PUSTAKA

Dari buku
Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2008). The Globalization of World Politics. Oxford:
Oxford University Press.

Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S. (2011). International Relations Theories. Oxford:
Oxford University Press.

Goldstein, J.S. & Pevehouse, J.C. (2014). International Relations, Tenth Edition.
Madison: Pearson.

Herz, John H. (1951). Political Realism and Political Idealism. Cambridge: Cambridge
University Press.

Kegley, C.W. & Blanton, S.L. (2011). World Politics: Trend and Transformation.
Boston, MA: Wadsworth.

Keohane, R. O. (1984). After hegemony: cooperation and discord in the world political
economy. Chichester: Princeton University Press.
Morgenthau, H.J. & Thompson, K.W. (1985). Politics Among Nations: The Struggle for
Power and Peace. New York: Knopf.

Olson, L. (2010). Fiscal Year 2011 Defense Spending Request: Briefing Book.
Washington: The Center For Arms Control and Non-Proliferation.
Paul, T.V. (2009). The Tradition of Non-Use of Nuclear Weapons. Stanford: Stanford
University Press.

Petersen, B.C. (2012). The Nuclear Non-Proliferation Treaty. Cape Town: University
of Western Cape.

!

13!

!
!
Rose, K.D. (2001) One Nation Underground: The Fallout Shelter in American Culture.
New York: New York University Press.
Sauer, F. (2015). Atomic Anxiety: Deterrence, Taboo, and the Non-Use of US Nuclear
Weapons. New York: Palgrave Macmillan.

Schwartz, S. I. & Choubey, D. (2009). Nuclear Security Spending: Assessing Cost,
Examining Priorities. Washington: Carnegie Endowment for International Peace.
Tannenwald, N. (2008). Nuclear Taboo. New York: Cambridge University Press.

Waltz, K.N. (2003a). ‘More May Be Better’ in S.D. Sagan and K.N. Waltz (eds.) The
Spread of Nuclear Weapons. A Debate Renewed, 2nd Edition. New York: W.W.
Norton.
Weart, S.R. (1988). Nuclear Fear: A History of Images. Cambridge: Harvard University
Press.

Dari artikel dalam jurnal
Wendt, A. (1992). Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of
Power Politics. International Organization, 46(2), 391-425.

Dari sumber internet
Atomic Archive. (n.d.). The Atomic Bombings of Hiroshima and Nagasaki. Diakses dari
http://www.atomicarchive.com/Docs/MED/med_chp10.shtml pada 15 Juni 2016,
pk. 12.00 WIB

British American Security Information Council. (2015). The Nuclear Non-Proliferation
Treaty (NPT). Diakses dari
http://www.basicint.org/sites/default/files/basic_npt_briefing_april2015.pdf pada
14 Juni 2016, pk. 22.00 WIB

!

14!

!
!
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (n.d). Nuclear Weapons Timeline.
Diakses dari http://www.icanw.org/the-facts/the-nuclear-age/ pada 14 Juni 2016,
pk. 10.00 WIB

NTI. (2015). Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT). Diakses dari
http://www.nti.org/learn/treaties-and-regimes/treaty-on-the-non-proliferation-ofnuclear-weapons/ pada 15 Juni 2016, pk. 09.00 WIB

Stromberg, R.N. (n.d.). Collective Security. Diakses dari
http://www.americanforeignrelations.com/A-D/Collective-Security.html pada 15
Juni 2016, pk.20.40 WIB

UNODA. (n.d.). Nuclear-Weapon-Free Zone. Diakses dari
https://www.un.org/disarmament/wmd/nuclear/nwfz/ pada 14 Juni 2016, pk.20.00
WIB

!

!

15!