file unlocked (7)

ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)

TESIS

AMIN IMANUEL BURENI
1106030220

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
JAKARTA
JANUARI 2013

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013


ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum

AMIN IMANUEL BURENI
1106030220

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
JAKARTA
JANUARI 2013


Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: AMIN IMANUEL BURENI

NPM

: 1106030220

Tanda Tangan

:


Tanggal

: 21 Januari 2013

ii

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama
NPM
Program Studi
Judul Tesis

:
:
:
:


Amin Imanuel Bureni
1106030220
Praktek Peradilan
ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN
KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No.
628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Sudi Pascasarjana Program Kekhususan
Praktek Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI

Pembimbing

: Prof. DR. Rosa Agustina, SH., MH.


(…………….)

Penguji

: Heru Susetyo, SH. LLM. M.Si

(…………….)

Penguji

: Dr. Yoni Agus Setyono, SH.MH

(…………….)

Ditetapkan di

: Jakarta

Tanggal


: 21 Januari 2013

iii

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan puja syukur patut penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat dan rahmatNya serta taufik dan hidayahNya sehingga
karya tulis berupa tesis berjudul “ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN

KREDIT

BANK

MAHKAMAH

AGUNG


RI

(STUDI

No.

3956

TERHADAP
K/Pdt/2000

JO.

PUTUSAN
PUTUSAN

PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO. PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Kekhususan Praktek Peradilan,
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, karena itu sepatutnya penulis
menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada :
1.

Yang sangat kukasihi dan kuhormati kedua orang tua kandungku (Bapak
Thitus Bureni, SH.M.Hum dan Ibu Stince Fatima Bureni) di Kupang – Nusa
Tenggara Timur yang telah membesarkanku dari kecil hingga saat ini dengan
penuh cinta dan kasih sayang tanpa pamrih, penuh harap dan bangga ketika
kuinjakkan kaki di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Masih kuingat doa
restu papa dan mama ketika hendak kulangkahkan kaki ke Jakarta, tak
mampu kubalaskan semuanya, dalam doa aku meminta Tuhan Yesus selalu
memberkati papa dan mama.

2.

Demikian pula bagi mertuaku Bapak David Adoe dan Ibu Sartje Panie yang
dari keberadaannya memaklumi keadaanku dan tak putus mendoakan aku.

Tuhan Yesus memberkati.

3.

Isteriku tercinta Anung M. Bureni-Adoe, S.Pi dan anakku terkasih Reall
D‟Abraham Ceavinlee Bureni, dalam kesetiaan cinta dan dukungan moril
selalu memotivasiku untuk bertahan dan menyelesaikan perjuangan ini.
Kalian selalu menghiasi hari-hariku dengan cinta kasih dan kuakui kalianlah
yang terbaik bagiku. Dengan bangga papa persembahkan tesis ini buat kalian.

iv

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

4.

Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan jajarannya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh tugas belajar di
Universitas Indonesia selama 17 bulan, serta Perwakilan C4J-USAID yang
telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan

Strata 2 (S2) di Universitas Indonesia. Suatu kehormatan bagiku.

5.

Yang Mulia Bapak Th. Pudjiwahono, SH. MHum, selaku mantan Ketua
Pengadilan Tinggi Kupang (sekarang Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Jakarta), Yang Mulia Bapak Soesilo Utomo, SH selaku mantan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Ende (sekarang Ketua Pengadilan Negeri So‟e), Yang
Mulia Bapak Ahmad Petensili, SH. MH (selaku Ketua Pengadilan Negeri
Ende) dan Ibu Maria D. Angelina (selaku Panitera Pengadilan Negeri Ende)
yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan dan
menyelesaikan studi Magister Hukum,

6.

Prof. Dr. Rosa Agustina, SH, MH, selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus selaku Dosen Pembimbing
sekaligus Penguji bagi Penulis, yang dengan ketulusan dan kesabaran telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis, dengan keikhlasan telah
memfasilitasi penulis memperoleh literatur-literatur langka, menuntun penulis

untuk dapat menelusuri berbagai literatur berkaitan dengan tesis ini, dan terus
memotivasi penulis untuk bergerak maju. Tak cukup ucapan terima kasih ini,
dalam doa aku berharap Tuhan yang kusembah memperhitungkan segala
kebaikan Guru Besar-ku.

7.

Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, selaku Rektor Universitas
Indonesia.

Pertama

kali

kukagumi

Universitas

Indonesia

karena

diperkenalkan oleh Bapak Rektor Universitas Indonesia dalam kunjungan ke
Ende untuk penandatanganan MoU antara Universitas Indonesia dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Ende.
8.

Dewan penguji tesis dari Penulis: Dr. Yoni Agus Setyono, SH. MH, Heru
Susetyo, SH, LLM, M.Si, penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan,
waktu dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis.

9.

Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Seluruh Dosen Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

v

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

10. Seluruh Staf Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, terkhusus yang kan kukenang Pak Udin.
11. Spesial kepada kedua sahabatku : bro I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara,
SH.MH dan bro David Fredriek Albert Porajow, SH.MH. Dalam suka kita
nikmati bersama, dalam duka kita berbagi bersama. Kalian bukan sekedar
sahabat bagiku tetapi separuh dari jiwaku, walau nanti kita berpisah tapi diri
kalian dalam canda, tawa, sedih, letih dan stress akan selalu kukenang.
Terima kasih atas persahabatan dan kekompakan selama studi. Demikian juga
kepada semua rekan/rekanita kelas Praktek Peradilan / Mahkamah Agung : 1.
Afif Januarsyah, SH, MH, 2. Andre Trisandy, SH, MH, 3. Ben Ronald P.
Situmorang, SH, MH, 4. Dwi Hananta, SH, MH, 5. Hasanuddin, SH, MH, 6.
Harika Nova Yeri, SH, MH, 7. Hendro Wicaksono, SH, MH, 8. M.
Aliaskandar, SH, MH, 9. M. Fauzan Haryadi, SH, MH, 10. M. Sholeh, SH,
MH, 11. Ni Kadek Susantiani, SH, MH, 12. Nofita Dwi Wahyuni, SH, MH,
13. Ramon Wahyudi, SH, MH, 14. Rios Rahmanto, SH, MH, 15. R.A.
Asriningrum Kusumawardhani, SH, MH, 16. Wini Nofiarini, SH, MH, dan
17. Yudhistira Adhi Nugraha SH, MH. sukses dan provisiat untuk kita semua.
12. Para pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah
membantu dalam penulisan tesis ini, baik dalam bentuk nasihat, bimbingan,
doa, maupun berbagai bantuan sekecil apapun itu kepada penulis, sangat
berharga bagiku.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, ibarat
tiada gading yang tak retak, tiada bumi yang tak bercacing. Demi penyempurnaan
tesis ini, segala usul, saran, kritikan yang sifatnya konstruktif, penulis terima
dengan tangan terbuka disertai ucapan terima kasih.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan warna baru bagi hukum
perikatan khususnya perjanjian kredit bank di Indonesia.

Jakarta, 21 Januari 2013

Amin Imanuel Bureni
NPM: 1106030220

vi

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama
NPM
Program Studi
Departemen
Fakultas
Jenis Karya

: Amin Imanuel Bureni
: 1106030220
: Program Pascasarjana Magister Hukum
: Peminatan Praktek Peradilan
: Hukum
: Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalti
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956
K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No.
628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GS No.
37/Pdt.G/1998/PN. GS)”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif

ini

Universitas

Indonesia

berhak

menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di

: Jakarta

Pada tanggal

: 21 Januari 2013

Yang menyatakan,

(Amin Imanuel Bureni)
vii

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul

: Amin Imanuel Bureni
: Praktek Peradilan / Mahkamah Agung
: Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi
Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000
jo.
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Surabaya
No.
628/Pdt/1999/PT.SBY jo. Putusan Pengadilan Negeri Gresik
No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.

Perjanjian kredit bank merupakan media atau perantara pihak dalam
keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihakpihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Perjanjian kredit
bank membentuk perikatan diantara para pihak dalam hubungan yang saling
membutuhkan dimana masing-masing pihak berkehendak memperoleh manfaat/
keuntungan dari perikatan tersebut. Karena itu dalam perjanjian kredit bank harus
ada keseimbangan kepentingan para pihak baik pada tataran pembuatan perjanjian
kredit bank maupun pada tataran pemenuhannya yang dimuat sebagai klausula
perjanjian. Kenyataannya, seringkali ditemukan tidak terdapatnya keseimbangan
pengaturan kepentingan para pihak diantaranya terdapat klausula “Penetapan dan
Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” yang disinyalir sebagai klausula
eksonerasi karena dengan pencantuman klausula tersebut maka pihak bank dapat
secara sewenang-wenang mengubah bunga kredit dan juga sebagai benteng bagi
pihak bank menghindari pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini masyarakat
pencari keadilan mengharapkan hakim dapat memberi keadilan melalui pemulihan
keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank tersebut. Pokok
permasalahan penelitian ini adalah : apakah pencantuman klausula “Penetapan
dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit bank
melanggar asas keseimbangan ? dan apakah hakim dapat mengintervensi suatu
perjanjian kredit yang disepakati para pihak ? Selanjutnya dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif analisis, peneliti menganalisis pengaruh pencantuman
klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” terhadap
keseimbangan perjanjian kredit bank dan menganalisis kewenangan hakim dalam
mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak sekaligus
memberikan rekomendasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman
klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” tanpa
memuat klausula yang menjamin dilakukannya negosiasi ulang mengenai
perubahan bunga kredit bank adalah melanggar asas keseimbangan dan karena itu
hakim karena jabatannya (ex officio) maupun karena amanat undang-undang
berwenang mengintervensi perjanjian kredit bank tersebut untuk memulihkan
keseimbangannya. Atas terdapatnya kelemahan / kekosongan hukum positif
mengenai pengaturan pelaksanaan perjanjian kredit dilakukan dengan itikad baik
dan juga mengenai pengaturan peranan hakim dalam memulihkan keseimbangan
perjanjian kredit bank, maka direkomendasikan agar dilakukan revisi KUHPerdata
dan/atau revisi atas regulasi undang-undang terkait.

viii

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

ABSTRACT

Name
Study Program
Title

: Amin Imanuel Bureni
: Practice of Judicial Administration/Supreme Court
: The Balance Principle in the Bank Credit Agreement (The
Study on the Decision of the RI Supreme Court No. 3956
K/Pdt/2000 jo. the Decision of the Surabaya High Court
No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo. the Decision of the Gresik
District Court No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.

The bank credit agreement is a medium or an intermediary of the parties in
the involvement of the parties that have surplus of funds with the parties having
lack of funds and needing funds. The bank credit agreement establishes the bond
among the parties in a relationship which mutually needs each other where each
party wishes to obtain advantages/benefits from the bond. Therefore, in the bank
credit agreement there has to be a balance of interests of the parties both in the
phase of the drawing of the bank credit agreement and in the phase of its
fulfillment set forth as one of the clauses of the agreement. In reality, the
imbalance of the parties‟ interest arrangement is often discovered, which among
others there is a clause of “Bank Interest Determined and Calculated by the Bank”
pointed out as an exoneration clause because by putting the clause the bank can
arbitrarily change the credit interest and also as the shield for the bank to avoid
legal liability. In this case, the society seeking for justice expect the judge can
provide it through the restoration of interest balance in the bank credit agreement.
The main problems of the research are: does the writing of the clause “Bank
Interests Determined and Calculated by the Bank” in the bank credit agreement
violate the balance principle? And can a judge intervene a credit agreement
approved by all parties? Furthermore, by using the descriptive analysis research
method, the researcher analyzes the influence of the writing of the clause “Bank
Interests Determined and Calculated by the Bank” to the balance of the bank
credit agreement and analyzes the authority of a judge in intervening a credit
agreement approved by all parties and in providing recommendations. The
research result shows that the writing of the clause “Bank Interests Determined
and Calculated by the Bank” without setting forth the clause which guarantees a
renegotiation to be done on the change of the bank credit interests violates the
balance principle, and therefore a judge because of his/her position (ex officio) and
because of the mandate of the laws has the authority to intervene the bank credit
agreement to restore its balance. As there are some weaknesses/positive law
disparities on the arrangement of the credit agreement implementation done with
good faith and also on the arrangement of the judge‟s roles in the restoration of
the bank credit agreement balance, it is recommended that the revision of Civil
Code and/or the revision on the relevant laws should be done.

ix

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………..
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………..
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………
ABSTRAK …………………………………………………………………
ABSTRACT ………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………………………………………………………

I
Ii
Iii
iv
vii
viii
ix
X

BAB 1

PENDAHULUAN …………………………………………….
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH ……………………..
1.2.POKOK PERMASALAHAN…………………..………….
1.3.TUJUAN PENELITIAN …………………………………...
1.4.MANFAAT PENELITIAN ……………………………..…
1.4.1. Manfaat Teoritis ….…………………….…………..
1.4.2. Manfaat Praktis ….…………………….…………..
1.5.METODE PENELITIAN …………………………….……
1.5.1. Tipologi Penelitian ………………….……………...
1.5.2. Sumber Data ………………………….……………
1.5.3. Teknik Pengumpulan Data …………….…………..
1.5.4. Metode Analisa Data ………………….…………..
1.6.KERANGKA TEORI DAN KONSEP ………………….…
1.6.1. Kerangka Teori ………………………….…………
1.6.2. Kerangka Konsep ……………………….………….
1.7.SISTEMATIKA PENULISAN ………………………….…

1
1
15
15
16
16
17
17
18
19
20
20
20
20
31
32

BAB 2

KONSEP PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DAN
PERJANJIAN KREDIT DALAM REGULASI ……………
2.1.PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM ………………….…
2.2.PERJANJIAN KREDIT ……………………………….…

34

BAB 3

KEDUDUKAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK ……………………………..

80

BAB 4

ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK
DALAM PUTUSAN HAKIM ………………………………
4.1.PENCANTUMAN KLAUSULA “PENETAPAN DAN
PERHITUNGAN BUNGA BANK DILAKUKAN OLEH
BANK” DALAM PERJANJIAN KREDIT ……………......
4.1.1. Putusan Nomor : 3956 K / Pdt / 2000 jo. Nomor :
628 / Pdt / 1999 / PT.Sby jo. Nomor : 37 / Pdt.G /
1998 / PN.GS ……………………………………….
4.1.2. Putusan Nomor : 1530 K/Pdt/2011 jo. Nomor : 448

112

x

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

35
52

112

112

123

/ Pdt / 2010 / PT.Smg jo. Nomor : 11 / Pdt.G / 2010 /
PN.Jpr ………………………………………………
4.1.3. Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 jo. Nomor : 133
523/1983/Pdt/PT.Smg jo. Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla …..
4.2.PERANAN
HAKIM
DALAM
MEMULIHKAN 144
KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK ……
BAB 5

PENUTUP …………………………………………………….. 170
5.1.KESIMPULAN …………………………………………… 170
5.2.SARAN - SARAN ………………………………………... 172

DAFTAR REFERENSI …………………………………………………... 175
LAMPIRAN – LAMPIRAN

xi

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kehadiran bank1 memiliki arti penting bagi wiraswastawan. Posisi
bank selaku pemegang modal dan wiraswastawan selaku yang membutuhkan
modal sering menempatkan wiraswastawan berada dalam posisi lemah dalam
hal modal/dana. Ketika wiraswastawan memanfaatkan jasa bank melalui
produk perjanjian kredit, biasanya wiraswastawan memiliki bargaining
power yang lemah ketimbang bank (kecuali wiraswastawan bermodal besar)

1

Bank pertama di Indonesia didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada
tahun 1824 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), dan pemerintah
Hidia-Belanda bertindak sebagai salah satu pemegang saham utama. Bank tersebut
didirikan untuk mengisi kekosongan akibat likuidasi Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) yang mengalami kebangkrutan. NHM kemudian berubah menjadi
Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII). Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga
mendirikan De Javasche Bank (kini menjadi Bank Indonesia) pada tahun 1827 dan NV
Escompto Bank yang kemudian dikenal sebagai Bank Dagang Negara. Bank terus
berkembang, diantaranya pada tahun 1928 di Surabaya oleh Dokter Soetomo, Samsi dan
Ir. Anwari mendirikan Bank Nasional Indonesia (BNI). Pada masa Jepang, tanggal 1
April 1942 telah didirikan Tyokin Kyotu (dulunya Bank Tabungan Hindia-Belanda)
dengan modal permulaan dari pihak Jepang. Pada awal kemerdekaan Indonesia, dalam
Sidang Dewan Menteri tanggal 19 september 1949, Pemerintah RI telah mempercayakan
pembentukan bank sirkulasi berbentuk bank milik negara kepada R.M. Margono
Djojohadikusumo yang kemudian mendirikan yayasan “Pusat Bank Indonesia” dengan
Akta Notaris R.M. Soerojo di Jakarta tanggal 14 Oktober 1945. Pada tahun 1946,
pemerintah mengeluarkan Perpu yang menggantikan UU No. 2 Tahun 1946 yang
menegaskan lahirnya BNI (17 Agustus 1946) dengan tugas mengeluarkan dan
mengedarkan uang kertas bank sekaligus sebagai pemegang kas negara. Berdasarkan PP
No. 1 Tahun 1946, pada tanggal 22 Februari 1946, pemerintah mendirikan Bank Rakyat
Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1947, pemerintah mendirikan Banking and Trading
Corporation Ltd (BTC) di Jakarta yang kemudian asetnya disita Belanda saat agresi
militer. Setelah pengakuan kedaulatan dimana pemerintah Indonesia berpusat di
Yogyakarta, BTC diaktifkan kembali dengan tugas memberikan perkreditan kecil atas
jaminan emas dan perhiasan. BTC kemudian berganti nama menjadi Indonesian Bank
Corporation (IBC). Pada tahun 1953 diterbitkan UU No. 11 Tahun 1953 tentang
penetapan UU Pokok Bank Indonesia yang dilengkapi dengan aturan tambahan berupa PP
No.1 Tahun 1955, Keputusan Dewan Moneter No. 25/1957, 26/1957 dan 27/1957,
dimana BI memiliki kekuasaan dan hak-hak prerogatif sebagai bank sentral modern
termasuk berwenang mengawasi perkreditan di Indonesia.(Lihat Widjanarto, Hukum Dan
Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Edisi II Cetakan II, PT. Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 1995, halaman 3-9).
1

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

2

dan karena itu kebanyakan wiraswastawan selaku calon nasabah debitur
bersikap „pasrah‟ akan ketentuan perjanjian kredit yang disodorkan bank.
Perjanjian kredit merupakan media atau perantara pihak dalam
keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan
pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds.2 Pihak
surplus of funds mengharapkan keuntungan dari peminjaman dananya dan

pihak lack of funds mengharapkan dengan dana yang dipinjamkan dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, baik pihak surplus of funds
maupun pihak lack of funds masing-masing memiliki kepentingan dalam
perjanjian kredit sehingga tidaklah dibenarkan dalam perjanjian kredit, pihak
lack of funds saja yang diperhatikan kepentingannya.

Ketika pihak bank dan pihak calon nasabah debitur menandatangani
perjanjian kredit maka perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak
dan merupakan undang-undang3 bagi kedua belah pihak. Pemberlakuan
perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian, telah menempatkan perjanjian itu sebagai hukum. Dalam hal
ini Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum adalah keseimbangan
kepentingan.4
Lahirnya perjanjian kredit mewajibkan pihak-pihak yang mengikatkan
diri dalam perjanjian kredit tersebut untuk tunduk pada syarat-syarat yang
diperjanjikan baik berupa hak maupun kewajiban kedua belah pihak
sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit itu. Mengikatnya syarat-syarat
dalam perjanjian kredit bagi para pihak dan kewajiban para pihak tunduk
pada perjanjian kredit itu dilindungi oleh hukum apabila perjanjian kredit
tersebut dilahirkan dalam keadaan yang sah yaitu sah proses pembuatan dan
penetapannya dan sah isi atau syarat-syarat yang termuat dalam perjanjian
kredit itu.

2

Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit , Badan
Penerbit Universitas Diponegoro,1997, halaman 1.
3
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatur : semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1996, halaman 130.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

3

Pasal 1320 KUH Perdata telah mengatur 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat kesatu dan kedua adalah syarat subyektif yang apabila tidak terpenuhi
maka konsekuensinya perjanjian itu dapat dibatalkan. Sedangkan syarat
ketiga dan keempat adalah syarat obyektif yang apabila tidak terpenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum.
Mengenai kesepakatan sebagai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1321
KUH Perdata mengatur bahwa apabila kesepakatan tercapai karena
kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian atau
karena paksaan atau penipuan maka dianggap tidak ada kesepakatan. Dengan
demikian, kesepakatan itu harus terjadi dalam keadaan para pihak yang bebas
dan jujur, tidak ada penipuan, tidak ada paksaan dan tidak terjadi kekhilafan.
Kesepakatan yang terjadi karena kekhilafan, penipuan ataupun paksaan dapat
dijadikan alasan meminta pembatalan perjanjian.
Selain itu, dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden) juga dijadikan alasan untuk membatalkan

perjanjian karena penggugat tidak menghendaki adanya perjanjian tersebut
atau karena perjanjian itu tidak dikehendaki penggugat dalam bentuk yang
demikian. Konsep ini diterapkan antara lain dalam putusan Mahkamah Agung
RI No. 3431 K/Pdt/1985, tanggal 4 Maret 1987 dan putusan Mahkamah
Agung RI No. 1904 K/Sip/1982, tanggal 28 Januari 1984.5

5

H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum
di Belanda dan Indonesia), Edisi Revisi Kedua, Liberty Yogyakarta, 2010, halaman 6670. Juga dikemukakan bahwa konsep Misbruik van Omstandigheden sebagai alasan baru
pembatalan perjanjian telah diakomodir dalam NBW Belanda dan telah diterapkan dalam
perkara-perkara antara lain : a) Bovag II, HR 11 Januari 1957, NJ 1959, 57; b)
BUMA/Brinkman, HR 24 Mei 1968, NJ 1968, 252; c) Pensiun janda, HR 29 April 1971,
NJ 1972, 336; d) Van Elmbt/Feierabend, HR 29 Mei 1964, NJ 1965, 104; e)
Bluijssen/Kolhorn, HR 13 Juni 1975, NJ 1976, 98. (halaman 52-66).

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

4

Untuk

mencapai

kesepakatan

diantara

para

pihak

tentunya

penyampaian kehendak masing-masing pihak dilakukan dalam keadaan bebas
dan ada proses mencari persesuaian kehendak diantara para pihak dalam
wadah negosiasi. Fase negosiasi merupakan “crucial point” untuk
merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para pihak yang nantinya
mengikat dan wajib untuk dipenuhi.6
Dewasa ini banyak perjanjian kredit yang terjadi bukan melalui proses
negosiasi di antara para pihak, melainkan format perjanjian telah disiapkan
secara sepihak oleh pihak bank berupa syarat-syarat baku yang dituangkan
dalam formulir yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada calon
nasabah debitur untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan
kepada calon nasabah debitur bernegosiasi. Kalaupun calon nasabah debitur
diberikan ruang bernegosiasi, keputusan mengubah syarat baku terdapat pada
pimpinan pusat bank dan bukan pada kepala cabang bank sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama untuk proses negosiasi dan sudah tentu
merugikan pihak calon nasabah debitur karena kebutuhan dana mendesak.
Dalam keadaan demikian, calon nasabah debitur diperhadapkan pada
kondisi take it or leave it tanpa kebebasan bagi calon nasabah debitur
memutuskan pilihannya. Dengan kata lain, kalaupun terjadi kesepakatan
maka sepakat itu terjadi karena terpaksa. Sepakat yang diberikan dengan
terpaksa adalah contradiction in terminis. Adanya paksaan menunjukkan
tidak adanya sepakat.7 Dalam hal ini, Hood Philips berpendapat bahwa : The
contracts (standard contract) are the take-it-or leave it kind, for here the
customer cannot bargain over the terms : his only choice is to accept the term
in to or to reject the service together .8

6

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halaman 148.
7
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , PT. Pustaka
Utama Graffiti, Jakarta, Agustus 2009, halaman 52.
8
Dewi Tenty Septi Artianty, Tinjauan Hukum Atas Klausula Baku dalam
Perjanjian Kerjasama Perusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak untuk Umum
(SPBU) Dihubungkan dengan Asas Kebebasan Berkontrak, (Tesis Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, halaman 9).

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

5

Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian standar atau
perjanjian baku9 atau perjanjian adhesi.10 Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang hampir seluruh klausulaklausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”11
Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan bahwa yang belum
dibakukan dalam perjanjian kredit hanyalah beberapa hal misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal
lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain, yang
dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya.12
Dalam literatur lain, A. Pitlo-Bolweg dalam Ignasius Ridwan Widyadharma
(1997) menekankan bahwa perjanjian standar adalah suatu dwangcontract.13
Kebijakan pengambilan keputusan mengenai kemungkinan perubahan
syarat baku yang diserahkan pada pimpinan bank pusat menjadikan proses
tercapainya kesepakatan/perjanjian menjadi berlarut-larut dan tidak efisien.
Tidak mengherankan apabila pihak bank lebih cenderung memberikan
pelayanannya kepada calon nasabah debitur yang sepakat dengan syarat baku
yang disodorkan.14
Situasi dimana kurangnya ruang negosiasi dalam perjanjian kredit
cenderung menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pihak
bank dengan nasabah debitur dalam perjanjian kredit yang ditetapkan.
Ketidakseimbangan tersebut umumnya merugikan pihak nasabah debitur.
Herlien Budiono mengemukakan 3 (tiga) aspek yang saling berkaitan
dari perjanjian yang dapat dimunculkan sebagai faktor penguji berkenaan

9

Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan
masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula
diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. Hubungan
ekonomi yang bergerak cepat telah menjadikan perjanjian baku sebagai suatu kebutuhan
karena dinilai lebih efisien.
10
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 73-74.
11
Ibid, halaman 66.
12
Ibid, halaman 74.
13
Ignatius Ridwan Widyadharma, Op.Cit, halaman 8.
14
R.Subekti dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan,
Sinar Grafika, Jakarta,2010, halaman 338.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

6

dengan daya kerja asas keseimbangan, yakni :15 pertama , perbuatannya
sendiri atau perilaku individual, kedua , isi kontrak, dan ketiga , pelaksanaan
dari apa yang telah disepakati.
Khusus mengenai faktor penguji pertama, perbuatannya sendiri atau
perilaku individu, Herlien Budiono mengungkapkan sebagai berikut :

Suatu perbuatan hukum tidak boleh bersumber dari ketidaksempurnaan
keadaan jiwa seseorang. Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai
akibat dari perbuatan hukum yang dengan cara terduga dapat
menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang.
Yang dimaksud disini adalah keadaan yang berlangsung lama, seperti
ketidakcakapan bertindak (handelings-onbekwaamheid). Juga, tercakup
ke dalam itu ialah perbuatan (-perbuatan) sebagai akibat dari cacatnya
kehendak pelaku, misalnya karena ancaman (bedreiging), penipuan
(bedrog),
atau
penyalahgunaan
keadaan
(misbruik
van
16
omstadigheden).
Ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
kredit, setidaknya dipengaruhi oleh keleluasaan yang diberikan Bank
Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada masing-masing bank induk
untuk menyusun dan menetapkan format baku perjanjian kredit.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 tersebut hanya memberikan rambu-rambu untuk
diperhatikan oleh masing-masing bank dalam menetapkan perjanjian kredit
sebagai berikut :17
1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi
kepentingan bank;
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta
persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan persetujuan kredit dimaksud.

15

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia , PT. Citra Aditia Bakti,
Bandung, 2006, halaman 334.
16
Ibid, halaman 335.
17
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 328.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

7

Rambu-rambu tersebut telah memberi keleluasaan pada masingmasing bank untuk menetapkan klausula-klausula baku dalam format
perjanjian baku guna melindungi kepentingan bank yang terkadang tidak
wajar dan tidak adil sehingga merugikan kepentingan calon nasabah debitur
sebab tidak ada keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak bank selaku
kreditur dengan pihak nasabah debitur dalam perjanjian kredit. Klausula baku
yang demikian disebut klausula eksonerasi, atau klausula eksemsi atau
klausula exclusion.
Penggunaan istilah yang berbeda untuk keadaan klausula yang sama
tersebut lebih ditekankan pada selera masing-masing penulis tentunya dengan
dasar argumentasi ilmiah. Misalnya, Sutan Remy Sjahdeini cenderung
menggunakan istilah klausula eksemsi yang sering digunakan dalam
peristilahan perbankan di Amerika Serikat yaitu istilah yang sering digunakan
dalam pustaka Inggris exemption clauses, dengan mendasarkannya pada
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0389/U/1988 tanggal
11 Agustus 1988 tentang Pedoman Umum

Pembentukan Istilah yang

mengarahkan demi keseragaman , sumber rujukan yang diutamakan adalah
istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional, yakni yang
dilazimkan para ahli dalam bidangnya.18
Penulis menggunakan istilah klausula eksonerasi dalam penulisan
tesis ini sebagaimana digunakan dalam berbagai literatur Mariam Darus
Badrulzaman. Klausula eksonerasi merupakan peristilahan yang ditemukan
dalam berbagai pustaka Belanda exoneratie clausule. Pengambilalihan istilah
yang dipakai dalam pustaka Belanda ini menurut penulis lebih tepat
digunakan dalam pengkajian klausula baku perbankan yang pada intinya
merupakan klausula hukum perjanjian, karena sejarah hukum perjanjian
Indonesia berasal dari Belanda sebagai akibat penerapan asas konkordasi. Hal
ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami perkembangan
hukum perjanjian dan pemaknaan istilah yang digunakan.
Rijken mengungkapkan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula
yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak
18

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 82.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

8

menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti
rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melawan hukum.19
Klausula eksonerasi merupakan klausula yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian
tersebut.20 Dengan kata lain, merupakan klausula yang berisi pembatasan
pertanggungjawaban dari kreditur.21
Untuk itu Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri
klausula eksenorasi/perjanjian baku yang meniadakan atau membatasi
kewajiban salah satu pihak (kreditur) sebagai berikut :22
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat
dari debitur;
2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuknya tertulis;
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
H.P. Panggabean dalam penelitian terhadap model-model perjanjian
kredit yang dikeluarkan oleh BRI, BNI, BEII, BAPIN, SBU, BCA, BDNI,
BPDSU, dan BII menemukan klausula-klausula eksonerasi sebagai berikut :23
1.

2.
3.
4.

Bank sewaktu-waktu berhak untuk mengakhiri perjanjian secara
sepihak dan kemudian menagih utang secara sekaligus dan seketika
menurut waktu yang ditentukan bank;
Bank berhak menentukan sendiri jumlah utang debitur berdasarkan
jumlah utang pokok, bunga kredit, provisi, dan lain-lain sebagainya;
Bank diberi kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali menjual
barang jaminan;
Bank tidak wajib memberikan kredit kepada debitur walaupun
maksimum kredit (plafon kredit) belum tercapai;

19

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994,
halaman 47.
20
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 84.
21
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya
di Indonesia . Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum
(Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan), Alumni, Bandung, 1981, halaman 109.
22
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman50.
23
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 347-349.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

9

5.

Bank berhak dengan nama dan/atau cara apapun juga melakukan
tindakan hukum yang dianggap baik oleh bank atau menurut peraturan
yang berlaku, apabila debitur lalai, atau tidak dapat melunasi kreditnya.
Bank berhak menangguhkan pelaksanaan perjanjian semata-mata atas
pertimbangannya sendiri;
Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
kerusakan, kelambatan atau karena hilangnya surat telegram termasuk
juga kerugian yang disebabkan tindakan pihak yang menjadi perantara;
Semua surat-surat berharga, barang-barang bergerak dan tetap yang
diterima bank atau yang berada di tangan pihak ketiga berdasarkan
apapun juga menjadi jaminan bagi bank untuk pengembalian utang si
debitur dan semua surat-surat berharga dan barang-barang tersebut
apabila hilang atau rusak menjadi risiko dan tanggung jawab debitur;
Bank tidak bertanggung jawab atas kekurangan pihak ketiga yang
ditunjukkannya untuk melaksanakan perintah-perintah debitur;
Semua pengiriman kepada atau oleh bank dari pihak-pihak ketiga
dilakukan untuk perkiraan dan risiko nasabah;
Bank berhak untuk mengadakan perubahan-perubahan pada syaratsyarat perjanjian kredit;
Bank berhak untuk menggadaikan kembali kepada orang lain segala
benda yang digadaikan debitur kepadanya;
Bahwa dengan lewatnya waktu yang diperjanjikan untuk melunasi
kredit, sudah merupakan bukti terjadinya keadaan wanprestasi (tidak
perlu pemberitahuan).

6.
7.

8.

9.
10.
11.
12.
13.

Dalam penelitian terpisah, Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan
bahwa dari penelitiannya terdapat 14 (empat belas) klausula eksonerasi dalam
perjanjian kredit, yaitu :24
1.

2.

3.

4.

Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan dan tanpa
pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik
kredit.
Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang
agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kreditt nasabah
debitur macet.
Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan
peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan
kemudian oleh bank.
Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan umum hubunngan rekening koran dari bank yang
bersangkutan namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi
kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut.

24

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 214-264.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

10

5.

Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank
untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh
bank.
Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan
hak-hak nasabah debitur dalam setiap rapat umum pemegang saham.
Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari
tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian
yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.
Pencantuman klausula eksemsi mengenai tidak adanya hak nasabah
debitur untuk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan
rekeningnya.
Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank
semata.
Penetapan dan perhitungan bunga bank secara merugikan nasabah
debitur.
Denda keterlambatan merupakan bunga terselubung.
Perhitungan bunga berganda menurut praktik perbankan bertentangan
dengan Pasal 1251 KUHPerdata.
Pengabaian Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berkenaan dengan
klausula events of default.
Kewajiban pelunasan bunga terlebih dahulu adalah sesuai dengan
undang-undang (Pasal 1397 KUH Perdata) tetapi sangat memberatkan
nasabah.

6.
7.

8.

9.
10.
11.
12.
13.
14.

Klausula-klausula eksonerasi tersebut memang memberatkan calon
nasabah debitur dan menempatkan pihak bank pada posisi yang lebih kuat.
Atas keadaan tersebut, Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman mengemukakan
sebagai berikut :
Perjanjian-perjanjian kredit bank yang telah dibakukan tersebut banyak
mengandung sejumlah klausula yang memberatkan nasabah debitur,
yakni memuat sejumlah klausula yang tidak wajar dan tidak adil dengan
menyalahgunakan keadaan nasabah debiturnya. Penyalahgunaan
keadaan nasabah debitur ini ternyata dikarenakan secara ekonomis dan
psikologis, kedudukan bank sangat kuat dan tidak seimbang dengan
nasabah debiturnya pada saat penandatanganan perjanjian kredit.25
Keadaan lemahnya kedudukan pihak calon nasabah debitur akan
berubah apabila perjanjian kredit telah ditetapkan dimana kedudukan pihak
bank akan menjadi lebih lemah dan kedudukan pihak nasabah debitur berada
pada posisi yang lebih kuat. Dalam hal ini Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa :
25

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 354.

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

11

Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank dalam
posisi yang lebih kuat disbanding dengan calon nasabah debitur. Hal
tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu calon nasabah
debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. … Hal itu
menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat. …
Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit ternyata
kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan
banyak bergantung pada integritas nasabah debitur.26
Dalam praktek peradilan, klausula-klausula eksonerasi tersebut sering
dijadikan dasar gugatan perbuatan melawan hukum yaitu untuk menyatakan
perjanjian kredit tersebut batal karena tidak adanya keseimbangan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit.
Fakta munculnya gugatan-gugatan mengenai perjanjian kredit antara
nasabah debitur melawan pihak bank menunjukkan bahwa masyarakat
semakin sadar akan kedudukannya yang lemah dalam suatu perjanjian kredit
di bank. Selain itu, lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No.
42 TLN RI No. 3821) khususnya Bab V Pasal 18 tentang Ketentuan
Pencantuman Kalusula Baku telah berperan memberikan keberanian bagi
nasabah debitur memperjuangkan hak-haknya dalam perjanjian kredit.27
Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia yang belum
ada28 agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antara konsumen dan
produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.29

26

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 207-208.
Lihat konsiderans menimbang angka 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan : bahwa untuk meningkatkan harkat dan
martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab (Republik
Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No. 42 TLN RI No. 3821).
28
Lihat konsiderans menimbang angka 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Ibid).
29
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
Indonesia Simpanan, Jasa & Kredit, Ghalia Indonesia, Bogor, Mei 2006, halaman 69.
27

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

12

Menurut Sriwati dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman (2010),
adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama pada peraturan
yang berkaitan dengan klausula baku, sedikit banyak menyadarkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian itu. Dimana
pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam
penempatan pihak pada suatu perjanjian.30
Kehadiran

Undang-Undang

Nomor

8

Tahun

1999

tentang

Perlindungan Konsumen tidak untuk mematikan kreatifitas pelaku usaha
dalam melindungi diri dan asetnya dalam dunia wirausaha melainkan untuk
menyeimbangkan kembali kedudukan pelaku usaha dan konsumen. Dalam
hal ini, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman (2010) mengemukakan bahwa pada prinsipnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau
perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan
sepanjang

perjanjian

baku

dan/atau

klausula

baku

tersebut

tidak

mencantumkan ketentuan yang dilarang serta tidak berbentuk sebagaimana
dilarang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.31
Fenomena dalam perjanjian kredit di bank tersebut perlu disikapi
Mahkamah Agung RI melalui pemberian pendapatnya melalui putusanputusan khususnya mengenai penerapan/penggunaan asas keseimbangan
dalam perjanjian kredit di bank. Hal ini penting sebagai hukum yang pasti
bagi bank masing-masing dalam membuat dan menetapkan perjanjian kredit.
Dalam penulisan tesis ini, penulis memilih memfokuskannya pada
klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank”
karena sepanjang pengamatan penulis klausula tersebut sering digunakan
pihak bank terutama dalam keadaan tidak menentunya suku bunga yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk menguntungkan dirinya tanpa
mempertimbangkan keadaan dari nasabah debitur. Lebih jauh, atas gugatan

30
31

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 358 – 359.
Ibid, halaman 358

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

13

yang mendasarkan pada klausula tersebut sebagai obyek gugatan baik di
dalam perjanjian kredit bank maupun perjanjian pinjam meminjam uang telah
mengharuskan hakim bersikap memasuki ranah perjanjian dan memberikan
putusan.
Dari berbagai literatur setidak-tidaknya penulis mencatat 3 (tiga)
perkara yang berkaitan dengan klausula bunga kredit dalam perjanjian, yaitu :
1. Perkara No. 3956 K/Pdt/2000 jo. No. 628/Pdt/1999/PT.Sby jo. No.
37/Pdt.G/1998/PN.GS antara SG dan AK Melawan PT. Bank X dan
Kepala Kantor Badan Y.
2. Perkara No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No. 448/Pdt/2010/PT.Smg jo.
No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr antara SW melawan PT. Bank Y dan
Pemerintah RI Cq. Menteri Z Cq. Dirjen Z1 Cq. Kanwil Z2.
3. Perkara No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo. No.
12/G/1983/Pdt. Bla. Antara SS melawan Ny. B dan RB.
Dalam penulisan tesis ini, penulis memfokuskan kajian pada Putusan
Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Sby No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan Negeri GS No.
37/Pdt.G/1998/PN. GS dan sebagai perbandingannya, penulis juga akan
mengkaji Putusan Mahkamah Agung RI No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No.
448/Pdt/2010/PT.

Smg

jo.

No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr

serta

Putusan

Mahkamah Agung RI No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo.
No. 12/G/1983/Pdt. Bla.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan
Pengadilan Tinggi SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan
Negeri GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS adalah putusan yang diberikan
lembaga yudikatif dalam perkara antara SG dahulu bernama GSA (Penggugat
I) dan AK alias LAK (Penggugat II) melawan PT. Bank X (Tergugat) dan
Kepala Kantor Badan Y (Turut Tergugat).
Dalam perkara tersebut, para penggugat mendalilkan bahwa para
penggugat pernah menerima fasilitas kredit dari tergugat sejumlah
Rp.1.850.000.000,-, belum termasuk bunga, provisi kredit, serta biaya-biaya
lain yang ditanggung oleh para penggugat. Adapun bunga yang ditetapkan

Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013

14

oleh tergugat adalah sebesar 21 % per tahun dihitung dari jumlah pemakaian
dana kredit. Para penggugat selalu tertib membayar kredit tersebut. Namun
dalam perjalanannya, per juli 1998 tergugat secara sepihak menaikkan bunga
kredit menjadi 61% per tahun yang tidak sesuai dengan isi perjanjian. Akta
perjanjian yang tidak seimbang dan kabur dimanfaatkan tergugat untuk
menafsirkan secara sepihak isi perjanjian tersebut.
Sebaliknya tergugat membantah dalil gugatan para penggugat.
Menurut tergugat kenaikan bunga kredit yang dilakukan tergugat sudah sesuai
dengan isi Akta Pengakuan Hutang No. 76 Tanggal 27 Januari 1995 yang
telah disepakati bersama antara para penggugat dengan tergugat. Dalam akta
tersebut diperjanjikan bahwa bunga bersifat fariable, yaitu :”suku bunga
tersebut setiap waktu dapat berubah menurut penetapan pih