Gambaran Stage of Dying pada Pasien Guillain Barre Syndrome (GBS)

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kubler Ross’s Stage Of Dying

Kubler Ross (2009) membagi respon seseorang terhadap kematian menjadi
lima tahapan, yaitu:
1. Denial atau isolation

Seseorang yang akan menghadap kematian atau seseorang dengan
penyakit terminal illness menolak bahwa kematian akan terjadi dalam hidupnya.
Ia akan berkata “kematian tidak akan terjadi dalam hidupku, hal itu tidak mungkin
terjadi”. Hal tersebut merupakan reaksi yang terjadi pada individu dengan
penyakit yang dekat dengan kematian. Denial merupakan suatu respon kebenaran
yang dinyatakan secara terus terang oleh pasien diawal terkena penyakit dan
merupakan respon implisit yang menjadi kesimpulan tersendiri bagi pasien.
Diakui atau tidak diakui oleh pasien, reaksi pasien menunjukkan makna
yang sama, pasien akan meminta untuk melakukan pemeriksaan dan
pemeriksaaan ulang, percaya dengan diagnosa awal namun mencari informasi lain
berharap diagnosa tersebut salah dan di waktu yang sama tetap menjalani
pengobatan. Denial dialami oleh semua pasien bukan hanya ketika diawal
diagnosa namun terus dari waktu ke waktu. Denial berfungsi sebagai penyangga

bagi pasien setelah mendengar berita yang mengejutkan.

12
Universitas Sumatera Utara

13

Kebanyakan pasien tidak secara intensif merespon penyakit ataupun
kematian dengan denial. Pasien dengan ringkas berbicara kenyataan mengenai
kondisi mereka, dan dengan cepat mengatakan ketidakmampuan mereka
menghadapi kenyataan. Penekanannya adalah denial akan tetap dialami oleh
pasien baik diawal mengetahui bahwa dia terkena penyakit serius ataupun ketika
mengarah ke kematian.
2. Anger

Ketika pasien sulit mengontrol denial yang dialaminya maka hal tersebut
akan mengarah ke kemarahan. Dengan kata lain denial biasanya mengarah kepada
munculnya reaksi marah, dendam, maupun kecemburuan. Biasanya seseorang
dengan terminal illness akan bertanya “mengapa harus saya yang mengalaminya”.
Individu akan sulit untuk menahan amarahnya dan melampiaskan kepada perawat,

anggota keluarga, dokter atau ahli kesehatan, bahkan Tuhan.
Dimanapun pasien berada akan terdengar keluhan dari pasien tersebut. Dia
akan menaikkan nada suaranya, membuat permintaan, mencari dan meminta
perhatian. Pasien berharap hal tersebut akan membuat suatu pengakuan bahwa dia
masih hidup dan jangan ada yang melupakan dia. Semua orang bisa mendengar
suaranya dan dia belum mati. Pasien yang diberikan perhatian dan pengertian
akan segera menurunkan intonasi suaranya dan meredam kemarahannya.
3. Bargaining

Individu dengan terminal illness akan memikirkan bahwa kematian bisa
ditunda. Ia akan mencoba bernegoisasi dengan Tuhan mencoba untuk menunda
kematiannya. Seseorang akan berkata “ya saya akan mati, tapi…”.

Universitas Sumatera Utara

14

Jika pasien tidak dapat menerima kenyataan dan kesedihan yang dialaminya dan
marah kepada Tuhan juga kepada orang disekitarnya, maka dia akan mencoba
mengatakan “ jika Tuhan memang akan mengambil saya dari dunia ini dan Tuhan

mengabaikan kemarahan saya, mungkin Tuhan mau mengabulkan permintaan
saya jika saya memintanya dengan baik.
Kejadian tersebut sering kita alami, misalnya ketika orang tua tidak
memberikan ijin kepada anaknya untuk menginap di rumah temannya. Bisa saja
anak tersebut marah, mengurung diri di kamar, tidak mau makan. Namun,
kemudian anak tersebut akan berpikir jika saya membantu orang tua saya maka
saya akan diberikan ijin menginap di rumah teman saya. Pasien terminal illness
juga melakukan siasat yang sama seperti anak tadi. Dari pengalaman masa lalu
pasien belajar bahwa akan ada penghargaan dari berperilaku baik.
Bargaining mengarah kepada suatu usaha untuk menunda sesuatu terjadi,

hal tersebut berkaitan dengan harga dari berperilaku baik, dan merupakan sebuah
janji pasien yang implisit bahwa pasien akan berbuat kebaikan jika hal buruk
ditunda terjadi dalam hidupnya. Namun, banyak pasien tidak menjaga janjinya.
Mereka seperti anak kecil yang berjanji tidak akan berkelahi dengan adiknya jika
orang tuanya membiarkan dia bermain, namun anak kecil tersebut tetap berkelahi
dengan adiknya.
Seiring berjalannya waktu pasien akan berjanji bahwa ketika ia sembuh ia
akan berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya, mendekatkan diri kepada
Tuhan dan melakukan pelayanan sosial kepada orang lain.


Universitas Sumatera Utara

15

4. Depression

Ketika pasien dengan terminal illness tidak dapat mengontrol penolakan
terhadap penyakitnya, ketika kondisi fisiknya semakin memburuk dan semakin
lemah, dia tidak dapat lagi tersenyum menghadapi kenyataan yang dialaminya.
Pasien menjadi pasrah ataupun mati rasa, kemarahan yang dialaminya akan
digantikan dengan rasa kehilangan yang besar. Seseorang akan menerima bahwa
kematian itu adalah pasti. Periode ini seseorang dengan terminal illness akan
terlihat bahwa dia depresi dan mempersiapkan duka cita yang akan datang. Dia
akan

lebih

banyak


berdiam

diri,

menolak

orang-orang

yang

ingin

mengunjunginya, menghabiskan waktu menangis dan berduka.
Ada dua jenis depresi yang dialami oleh pasien, reactive depression dan
preparatory depression. Depresi yang pertama, pengetahuan seseorang tidak

membuat dia kesulitan dalam mengetahui penyebab mengapa dia depresi dan
mengurangi rasa bersalah atau rasa malu yang tidak realis yang berhubungan
dengan depresi. Kedua, depresi bukan terjadi dari hasil kejadian masa lalu namun
adalah pertimbangan masa yang akan datang. Ketika seseorang sedih kita

berusaha menghiburnya, mengatakan untuk tidak terlarut dalam kesedihan,
melihat ke masa depan, ke jalan keluar dari permasalahan, atau suatu hal yang
positif lainnya.
Ketika depresi digunakan sebagai cara untuk mempersiapkan diri ke masa
yang akan datang dalam arti siap kehilangan segala yang dicintai, maka dia
mempersiapkan diri menerima segala konsekuensi yang akan terjadi dalam
hidupnya.

Universitas Sumatera Utara

16

Pasien yang akan kehilangan segalanya dan orang-orang yang dicintainya,
jika dia mencoba mengekspresikan rasa duka yang dialaminya maka pasien
tersebut akan dengan mudah menerima kematian dan dia akan bahagia dengan
orang-orang yang ada bersamanya saat dia mengalami depresi tanpa harus
menyuruh pasien untuk tidak sedih.
5. Acceptance

Pasien yang masih memiliki banyak waktu (belum menghadap kematian)

dan mendapat pertolongan perhatian dalam masa-masa sulit yang dialaminya, dia
akan masuk ke masa diamana dia tidak marah ataupun depresi dengan takdir yang
akan dihadapinya. Pasien akan mampu mengekspresikan perasaanya, rasa isi
terhadap kehidupan dan kesehatan, kemarahannya ketika tidak sanggup
menghadapi kenyataan, dan lainnya. Dia akan memiliki waktu tidur yang
berkualitas dibandingkan saat dia dalam masa depresi. Acceptance bukanlah akhir
dari kebahagiaan, ketika rasa sakit telah hilang maka akan datang masa menuju
tempat peristirahatan terakhir sebelum melakukan perjalanan panjang. Dalam
masa ini seseorang akan mengalami kedamaian hati dan menerima takdir
kematian. Beberapa kasus mengatakan bahwa, banyak individu dengan terminal
illness akan memutuskan untuk sendiri. Perasaan ataupun fisik yang sakit pada

masa ini tidak akan menjadi suatu masalah bagi individu tersebut. Penerimaan
akan kematian merupakan akhir dari pergumulan individu sebelum akhirnya mati.
Pasien akan mengurangi aktivitasnya, mengurangi jadwal nonton, lebih banyak
menggunakan bahasa nonverbal dan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan
orang disekitarnya.

Universitas Sumatera Utara


17

Hanya sedikit pasien yang berjuang sampai akhir, yang terus berharap
bahwa harapan akan tetap ada yang membuat pasien mampu masuk ke tahap
aceeptance. Banyak pasien yang mengatakan bahwa mereka tidak mampu lagi

bertahan. Ketika mereka berhenti berjuang disaat itu hari juga akan berhenti bagi
mereka. Semakin pasien menolak kematian maka akan semakin sulit bagi pasien
untuk menerima kematian dengan damai dan hormat.
B. Pasien
1. Pengertian Pasien
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring 2015), pasien
merupakan seseorang yang sakit (yang dirawat dokter) ataupun penderita (sakit),
yang memperoleh pelayanan kesehatan tertentu. Undang-undang RI No. 29 tahun
2004 menyatakan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi
masalah kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
C. Guillain Barre Syndrome (GBS)
1. Pengertian Guillain Barre Syndrome (GBS)
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sakit saraf peripheral akut yang


terus berevolusi setiap hari hingga berminggu-minggu. Guillain Barre Syndrome
(GBS) merupakan sebuah kondisi yang mengakibatkan terjadinya degenerasi saraf
yang meluas dari ke bagian kepala hingga keseluruh tubuh (Parry & Steinberg,
2007).

Universitas Sumatera Utara

18

Beberapa negara yang ada di Eropa, Amerika Utara, dan di negara
berkembang lainnya, GBS dikenal sebagai sakit saraf demyelinating, atau yang
dikenal sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP). GBS
bentuk ini menyerang myelin secara langsung yang mengarah pada short circuit
yang mengakibatkan pesan elektrik tidak mampu dibawa dari otak ke seluruh
tubuh. Pada beberapa kasus GBS, serangan yang terjadi terbatas pada motor axon
yang mengontrol aktifitas otot dan disebut dengan Acute Motor Axonal
Neuropathy (AMAN). Ketika axon GBS mempengaruhi baik fungsi motor

maupun sensori disebut dengan Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy

(AMSAN), dan tipe ini merupakan tipe yang lebih parah dari AMAN (Parry &
Steinberg, 2007).
GBS juga merupakan ganguan autoimmune. Sistem imun yang diciptakan
untuk berperang melawan virus maupun bakteri yang berasal dari luar tubuh.
Meskipun demikian, sistem imun bisa berputar arah dan balik menyerang tubuh,
yang mengakibatkan autoimmune disease. Sistem imun bertanggung jawab
terhadap serangan sel darah putih yang disebut dengan limposit. Sel tersebut
terlibat dalam inflammation, yang disebut dengan inflammantory cells. Pada GBS
sistem imun menyerang myelin yang mengakibatkan demyelination dan
inflammation. Gangguan yang mirip dengan GBS namun berbeda dalam hal

cepatnya

perkembangan

kronis

disebut

dengan


Chronic

Inflammantory

Demyelinating Polyneuropathy (CIDP) (Parry & Steinberg, 2007).

Universitas Sumatera Utara

19

2. Efek Guillain Barre Syndrome (GBS)
GBS merupakan penyakit yang langka. Pada pemeriksaaan awal, banyak
dokter yang salah diagnosa karena belum pernah menangani penyakit ini.
Karakteristik yang paling terlihat pertama kali dari penyakit ini adalah terjadinya
pelemahan yang diawali pada bagian tungkai, kemudian masuk ke area tungkai
atas dan area otak. Simtom pertama yang terjadi ketika seseorang terserang GBS
adalah sensasi abnormal, biasanya seperti ditusuk jarum atau perasaan geli pada
bagian kaki dan tangan (Parry & Steinberg, 2007).
a) Muscle Weakness

Pelemahan otot merupakan primary simtom pada GBS. Pelemahan ini
terjadi dengan cepat, dari hari ke minggu, dan pada awalnya mempengaruhi
tungkai. Pelemahan otot terjadi karena disebabkan oleh rusaknya saraf motor yang
memiliki perjalanan dari otak ke otot dan hal ini merupakan dampak klinis yang
paling terlihat pada penderita GBS. Terjadinya pelemahan otot dimulai dari
tungkai secara simetris—yang mempengaruhi kedua sisi tubuh—meskipun
perbedaan dari kedua sisi tubuh dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan penyakit
stroke, yang hanya berdampak pada salah satu sisi tubuh saja. Melemahnya otot

ini mempengaruhi pernapasan, cara bicara, dan juga ketika menelan.
Selain itu, otot kepala dan otot leher juga melemah yang juga berdampak
pada otot wajah. Dampak melemahnya otot wajah ini membuat setengah dari
pasien GBS sulit untuk tersenyum dan lebih sering menutup matanya. Pada kasus
yang parah, seorang pasein GBS dapat kehilangan seluruh otot pergerakannya
sehingga mengakibatkan pasien tidak bisa berkomunikasi.

Universitas Sumatera Utara

20

b) Abnormal sensation

Meskipun melemahnya otot merupakan dampak yang paling menonjol pada
GBS, abnormal sensation merupakan gejala awal yang timbul yang terjadi dalam
hitungan jam atau hari sebelum melemahnya otot terjadi. Abnormal sensation ini
juga sering disebut dengan paresthesias. Contohnya adalah perasaan seperti
ditusuk jarum ataupun perasaan geli yang biasanya terjadi pada tumit kaki, kaki
dan juga jari. Hilangnya sensasi juga terjadi pada GBS, meskipun hanya sedikit
yang mengalaminya. Beberapa orang dengan GBS merasa khawatir ketika mereka
tidak bisa merasa ketika mereka sedang tidur di tempat tidur atau tidak bisa
merasakan suhu lantai ketika mereka berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Hal
tersebut akan terjadi pada pasien GBS.
3. Penyebab Guillain Barre Syndrome (GBS)
GBS merupakan penyakit yang langka yang dapat menyerang siapa saja di
seluruh dunia. Di Amerika Utara terdapat 1.5 sampai 2.0 kasus GBS yang terjadi
untuk setiap 100.000 orang pertahunnya. GBS menyerang baik pria maupun
wanita dari segala usia, umumnya usia dua tahun setelah kelahiran, kemudian
cenderung meningkat sepanjang kehidupan (Parry & Steinberg, 2007).
GBS merupakan penyakit autoimmune yang menyerang saraf peripheral.
Fungsi sistem imun adalah menjadi penjaga terhadap serangan dari luar tubuh,
seperti virus dan bakteri. Pada penyakit autoimmune, sulit untuk dijelaskan,
terjadi kesalahan terhadap respon, sehingga sistem imun menyerang tubuh,
menyebabkan munculnya penyakit (Parry & Steinberg, 2007).

Universitas Sumatera Utara

21

Banyak jenis infeksi yang mampu memicu terjadinya serangan GBS,
umumnya adalah infeksi sistem pernapasan yang disebabkan oleh dingin atau
influenza, gejalanya seperti demam, batuk, maupun nyeri tubuh. Virus juga dapat
memicu terjadinya GBS, seperti Epstein Barr Virus. GBS juga berasosiasi dengan
HIV, hal tersebut terjadi pada tahap awal HIV, sebelum sistem imun
membahayakan dan tak lama setelah gejala awal muncul. Vaksinasi juga memicu
serangan GBS, pemberian vaksin yang dilakukan di Amerika pada tahun 1976,
menyebabkan meningkatnya jumlah kasus GBS dan tak ada vaksin yang secara
konsisten berasosiasi dengan GBS (Parry & Steinberg, 2007).
4. Diagnosa Guillain Barre Syndrome (GBS)
Diagnosa Guillain Barre Syndrome (GBS) dilakukan berdasarkan
karakteristik fitur klinis yang secara akut menyebabkan melemahnya otot tubuh
dan kehilangan refleks yang diikuti dengan terjadinya penyakit seperti infeksi
saluran pernapasan bagian atas dan diare. Diagnosa yang umum digunakan adalah
penelitian dan pemeriksaan electrophysiologic pada cairan cerebrospinal yang
didapatkan melalui spinal tap atau cairan otak. Tes tersebut menghasilkan
konfrimasi positif dengan asumsi klinis. Jika hasil tes tersebut masih diragukan
maka perlu dilakukan tes dengan alat yang berbeda agar tidak terjadi kesalahan
diagnosa dimana penyakit lain dianggap sebagai GBS (Parry & Steinberg, 2007).
a) Electromyography (EMG)

EMG bukanlah tes utama dalam mendiagnosa GBS, namun EMG
merupakan alat pelengkap yang penting untuk melihat sejauh mana tingkat
kerusakan aksonal. EMG ini memberikan informasi penting mengenai prognosis.

Universitas Sumatera Utara

22

Jarum pada EMG akan dimasukkan ke tubuh bagian kaki kemudian jarum ini
akan mendeteksi aktivitas otot secara elektrikal. Mesin EMG akan mengubah
sinyal menjadi visual dan dapat didengar. Jarum akan disuntikkan secara perlahan
ke otot tubuh yang kemudian bergerak dengan cepat sehingga dapat ditemukan
beberapa area sebagai titik-titik sampel. Aktivitas listrik tidak akan terjadi bila
dalam keadaan normal, pasien harus dalam keadaan santai. Ketika pasien dalam
keadaan santai maka kontraksi otot akan melemah sehingga serat-serta otot
menjadi aktif dan aktivitas elektrik dalam serat otot dapat direkam dan dianalisa
(Parry & Steinberg, 2007).
Ketika otot dalam keadaan rileks maka aktifitas elektrik yang abnormal
akan menunjukkan adanya kerusakan pada otot. Aktivitas eletrik abnormal ini
disebut fibrilasi. Aktivitas eletrikal abnormal ini tidak secara langsung tampak
pada orang yang baru terkena GBS, itulah sebabnya mengapa orang yang
didiagnosa GBS diminta untuk melakukan tes EMG untuk kedua kalinya (Parry &
Steinberg, 2007) .
Pentingnya mempelajari GBS dengan baik akan memberi kemudahan
dalam mendiagnosa dan untuk mencegah kesalahan diagnosa. Pada awal gejala
mungkin terdapat saraf yang rusak parah yang dapat dideteksi melalui alat ini.
Ketika seseorang didiagnosa GBS adalah baik untuk terlebih dahulu mempelajari
beberapa saraf, terutama saraf normal, hal ini untuk membantu mengenali saraf
yang rusak dan menemukan kelainan yang terjadi pada saraf. Menemukan satu
saraf yang dianggap sebagai kerusakan akibat GBS adalah baik namun hal masih
skeptic, masih banyak saraf lain yang menjadi kekhasan dalam GBS. Fitur paling

Universitas Sumatera Utara

23

penting dalam EMG adalah adanya perubahan karakteristik saraf terus berkebang,
namun hal ini tidak akan terlihat jika tes dilakukan hanya sekali pada awal GBS
(Parry & Steinberg, 2007).
b) Cerebrospinal Fluid (CSF) Testing

Fungsi lumbal adalah teknik dimana jarum halus dimasukkan ke punggung
bawah dengan anestesi lokal, dan beberapa sendok teh cairan yang menggenangi
otak dan sumsum tulang belakang ditarik. Ada kekhawatiran besar mengenai
prosedur ini, tetapi biasanya sederhana dan aman. Teknik ini dilakukan dengan
menyisipkan jarum, singga prosedur ini tidak nyaman bagi pasien. Sekitar 25
persen orang yang menjalani prosedur ini mengalami beberapa sakit kepala
setelah cairan diambil, namun untuk kasus berat hanya 5 persen (Parry &
Steinberg, 2007).
Kelainan karakteristik yang tampak pada CSF dalam kasus GBS adalah
peningkatan konsentrasi protein diluar jumlah produksi normal, yang disebut
dengan albuminocytologic, hal dijelaskan hampir 100 tahun yang lalu oleh
Guillain, Barré, dan Strohl . Biasanya, CSF mengandung 15 sampai 60 miligram
protein untuk setiap 100 mililiter cairan (dinyatakan sebagai mg/dl). Jumlah ini
akan tinggi pada beberapa penderita GBS. Konsentrasi protein biasanya di atas
100 mg/dl dan mungkin memang sangat tinggi, kadang-kadang lebih dari 1.000
mg/dl. Setelah tingkat protein di atas 150 mg/dl, CSF yang biasanya jernih,
menjadi kuning samar-samar. Pada tahap awal penyakit ini kadar protein dalam
tubuh masih normal tetapi hampir selalu meningkat pada akhir minggu pertama.
Jika protein normal pada saat uji cairan otak pertama, mungkin perlu untuk

Universitas Sumatera Utara

24

mengulang tes pada minggu kemudian jika diagnosis tetap diragukan (Parry &
Steinberg, 2007).
CSF yang normal mengandung sebuah sel darah putih, biasanya tidak
lebih dari lima sel per mililiter cairan. Laporan awal dari GBS menekankan
adanya kehilangan sejumlah sel, dan itu sering terjadi. Dengan kata lain, jumlah
sel tidak meningkat di atas normal. Namun, peningkatan kecil jumlah limfosit
dapat dilihat, terutama di awal munculnya penyakit. Kriteria diagnostik yang
dikembangkan melalui National Institutes of Health memungkinkan sebanyak 50
sel/ml CSF. Kedua spinal tap mungkin akan dianjurkan jika jumlah sel limfosit
dalam CSF adalah di atas 20 sel / ml (Parry & Steinberg, 2007).
GBS sering dikaitkan dengan infeksi virus, yang dapat menyebabkan
peradangan pada meninges yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang,
yang menyebabkan sel-sel inflamasi tumpah ke CSF. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa beberapa limfosit dapat dilihat pada awal tahap GBS (Parry
& Steinberg, 2007).
D. Stage of Dying pada Pasien GBS (Guillain Barre Syndrome)
Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan penyakit kronis yang jarang

diderita oleh pasien. Penyakit ini berbeda dengan penyakit kronis lainnya. Pada
beberapa penyakit kronis lain telah ditemukan pengobatan yang dapat mendukung
penyembuhan si pasien, sedangkan pada penyakit Guillain Barre Syndrome
(GBS), belum ditemukan alternatif pengobatan yang mendukung pemulihan

Universitas Sumatera Utara

25

pasien. Misalnya, untuk alternatif pengobatan kanker telah ditemukan, hal ini akan
mengurangi ketakutan akan kematian pada pasien dengan penyakit kanker.
Setiap pasien memiliki respon yang berbeda saat diperhadapkan dengan
penyakit yang dekat dengan kematian. seperti yang dijelaskan oleh Kubler Ross
bahwa pasien dapat merepon penyakit maupun kematian dengan lima cara atau
tahapan. Pertama, denial, pasien akan terkejut jika mendengar bahwa dia terkena
penyakit serius dan mematikan. Hal ini dapat membuat pasien sulit menerima
kenyataan dan menolak bahwa hal tersebut akan terjadi padanya. Penolakan yang
dilakukan oleh pasien dapat berdampak pada kemarahan (anger ). Pasien akan
bertanya-tanya mengapa dia mengalami kejadian yang tidak baik tersebut.
Kemarahan yang dialami pasien bisa saja ke diri sendiri, ke orang lain maupaun
ke Tuhan.
Pasien juga akan mencoba bernegoisasi dengan Tuhan, jika Tuhan
memberikan dia kesempatan untuk sembuh atau waktu lebih untuk hidup maka
dia akan memberikan diri untuk ikut dalam pelayanan rohani maupun pelayan
sosial, dan berubah menjadi lebih baik lagi. Namun dalam masa penantian bisa
saja harapan pasien tidak terjadi, hal ini dapat menimbulkan depresi (depression),
pasien akan bertanya mengapa sangat lama dia dalam kondisi tidak baik. Tidak
banyak pasien yang berjuang untuk menerima (acceptace) takdir bahwa dalam
waktu dekat dia akan meninggal, namun bagi pasien yang menerima takdir
kematian dia akan lebih damai dan akan lebih siap menghadapi kematian (Ross,
2009).

Universitas Sumatera Utara

26

PARADIGMA PENELITIAN

Pasien GBS

Denial

Anger

• Menolak
keadaannya
• Menolak kematian
akan terjadi

• Muncul reaksi
marah,dendam,cemburu
• Bertanya-tanya mengapa
harus saya yang mengalami
• Kemarahan pasien
dilampiaskan kepada
caregiver , keluarga,
bahkanTuhan

Bargaining

Depression

 Pasien berpikir kematian
tidak dapat dihindari
 Bernegosiasi dengan
Tuhan
 Berjanji akan berubah
menjadi lebih baik ketika
diberikan kesembuhan
 Banyak berdiam
diri
 Menolak orang
yang berkunjung
 Pasrah
 Menerima bahwa
kematian itu pasti

Acceptance

 Pasien tidak marah
dengan keadaannya dan
sudah menerima
kondisinya
 Menerima kematian akan
datang
 Mampu mengekspresikan
perasaannya
 Mengalami kedamaian
hati
 Memiliki waktu tidur
yang berkualitas

Universitas Sumatera Utara