Rehabilitasi Pada Guillain Barre Syndrome

(1)

REHABILITASI

 

PADA

 

 

GUILLAIN

 

BARRE

 

SYNDROME

 

FASIHAH IRFANI FITRI

NIP : 19307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

2010


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI...i

DAFTAR SINGKATAN...iii

DAFTAR GAMBAR...iv

DAFTAR TABEL... .v

I. PENDAHULUAN...1

I. 1. Latar belakang...1

I.2. Tujuan ... .2

I.3. Manfaat... .2

II. LAPORAN KASUS...3

II. 1. Anamnese...3

II. 2. Riwayat perjalanan penyakit...3

II. 3. Pemeriksaan fisik... ...3

II. 4. Pemeriksaan neurologis...4 II. 5. Diagnosa... ...4

II. 6. Pemeriksaan penunjang... ...5

II. 7. Kesimpulan pemeriksaan... ...7

II. 8. Diagnosa akhir... ...7

II. 9. Penatalaksanaan... ...7

II. 10. Prognosis... ...8

III. TINJAUAN KEPUSTAKAAN III. 1. GUILLAIN BARRE SYNDROME... 9

III.1.1.Definisi...9

III.1.2. Sejarah... 9

III.1.3. Epidemiologi... 10

III.1.4. Gambaran Klinis... 10

III.1.5. Etiologi... 12

III.1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding... 13

III.1.7. Patologi ...15

III.1.8. Patogenesis... 15

III.1.9. Penatalaksanaan ...20


(3)

III.1.9.2. Obat-Obatan... 21

III.2. REHABILITASI PADA GUILLAIN BARRE SYNDROME...22

III.2.1. SASARAN REHABILITASI...22

III.2.1.1. Pemulihan Motorik dan Komplikasi Muskuloskletal... 22

III.2.1.2. Disfungsi Sensorik dan Nyeri...24

III.2.1.3. Disautonomia...25

III.2.1.4. Imobilisasi...26

III.2.1.5. Masalah Psikologis dan Sosial...27

III.2.1.6. Komplikasi Pernafasan...28

III.2.2. PROGRAM REHABILITASI...28

III.2.2.1. Acute In-Patient Rehabilitation...28

III.2.2.2. Perawatan Awal di Unit Rehabilitasi...29

III.2.2.3. Gambaran Umum Program Rehabilitasi...30

III.2.2.4. Fisioterapi dan Terapi Okupasi………..…………...…...31

III.2.2.4.1 Evaluasi Range Of Motion pada Sendi………31

III.2.2.4.2.Tes Kekuatan Otot...33

III.2.2.4.3. Jenis Latihan...33

III.2.2.5. Speech Therapy...35

III.2.2.6. Recreational Therapy...36

III.2.2.7. Psikolog dan Psikiatris...36

IV. DISKUSI KASUS...37

V. PERMASALAHAN...39

VI. KESIMPULAN...39

VII. SARAN...39

Daftar Pustaka...40


(4)

DAFTAR SINGKATAN

AIDP : acute inflammatory demyelinating polyneuropathy ADL : activity daily living

AMAN : acute motor axonal neuropathy

AMSAN : dan acute motor-sensory axonal neuropathy CMV : cytomegalovirus

CSF : Cerebrospinal fluid DVT : deep vein thrombosis

EAN : experimental allergic neuritis EBV : Epstein-Barr virus GBS : Gullain-Barre syndrome IL-2 : Interleukin-2

IR : infra red

IVIG : intravenous immunoglobulin OT : occupational therapy

PNF : proprioceptive neuromuscular facilitation PT : physical therapy

ROM : range ofmovement TNF : tumor necrosis factor


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme imunitas seluler pada GBS 9


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Guillain Barre Syndrome 5 Tabel 2. Medical Research Council Grading 33


(7)

I. PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sekelompok gangguan yang diperantarai sistem imun yang secara umum dicirikan dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom. Dalam bentuknya yang klasik, GBS adalah suatu acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), yang dicirikan dengan kelemahan otot simetris ascending progresif, dan hiporefleks dengan atau tanpa gejala sensorik atau otonom; walapun begitu varian yang melibatkan saraf kranialis atau keterlibatan motorik murni dapat juga dijumpai. 1 Selain AIDP, bentuk yang paling umum dikenali, varian lainnya mencakup acute motor axonal neuropathy (AMAN) dan acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN).2 Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat menyebabkan gagal nafas, dan disfungsi otonom dapat memperumit penggunaan obat sedatif dan vasoaktif. 1

Dengan terkendalinya poliomyelitis, GBS menjadi penyebab paling penting dari acute flaccid paralysis. 2 Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan mengenai anak-anak maupun orang dewasa.3 Guillain Barre Syndrome adalah diagnosis yang secara utama dibuat dengan riwayat penyakit dan gejala klinis.2 Infeksi gastrointestinal atau pernafasan ringan mendahului gejala neuropatik pada 1 hingga 3 minggu sebelumnya (kadang-kadang lebih lama) pada sekitar 60% kasus. Penelitian kini menunjukkan bahwa Campylobacter jejuni adalah organisme penginfeksi yang paling sering dijumpai namun hanya dijumpai pada proporsi kecil kasus. Kejadian sebelumnya atau penyakit yang berhubungan lainnya mencakup viral exanthems dan penyakit virus lainnya [cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr virus (EBV], infeksi bakteri selain Campylobacter (Mycoplasma pneumoniae, Lyme disease), paparan terhadap agen trombolitik, dan limfoma (terutama Hodgkin disease). 3

Guillain Barre Syndrome adalah suatu penyebab disabilitas jangka panjang yang penting untuk sedikitnya 1,000 orang tiap tahun di Amerika Serikat. Karena GBS terjadi pada umur yang relatif muda dan harapanhidup yang masih panjang setelah GBS,setidaknya 50.000 orang di Amerika Serikat mengalami efek residual dari GBS. Lebih kurang 40% pasien yang diopname dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat dirawat. Untuk pasien GBS yang memerlukan opname untuk rehabilitasi,perlunya penggunaan ventilator memberikan dugaan yang kuat akan panjangnya masa rawat inap untuk rehabilitasi. Hal lainnya yang mempengaruhi rehabilitasi adalah disautonomia, keterlibatan saraf kranial, dan berbagaikomplikasi medis lainnya yang berhubungan dengan GBS. Sindroma nyeri deaferentasi merupakan hal yang sering dijumpai pada tahap awal penyembuhan. Berbagai


(8)

komplikasi medis seperti trombosis vena dalam, kontraktur sendi, hiperkalsemia akibat immobilisasi dan dekubitus juga dapat dijumpau pada tahap awal penyembuhan dan dapat mempengaruhi program rehabilitasi . Anemia adalah hal yang sering pada beberapa bulan awal penyakit namun tampaknya tidak mempengaruhi pemulihan fungsional. Terapi harusnya tidak membebani unit motorik, yang berhubungan dengan kelemahan paradoksikal. 4

I.2. TUJUAN

Laporan kasus ini dibuat untuk membahas aspek definisi, epidemiologi, gambaran klinis, patofisiologi, penatalaksanaan dan rehabilitasi pada pasien GBS.

I.3. MANFAAT

Adanya laporan kasus ini diharapkan dapat mengetahui definisi, epidemiologi, gambaran klinis, patofisiologi, penatalaksanaan dan rehabilitasi pada pasien GBS sehingga dapat diupayakan penatalaksanaan GBS yang lebih optimal.


(9)

II. LAPORAN KASUS

II.1. ANAMNESE

Seorang laki-laki (ES) umur 50 tahun, suku Karo, agama Kristen Protestan, pekerjaan petani, alamat Dusun I Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, masuk ke RS H. Adam Malik

Medan, pada tanggal 18 November 2009, dengan keluhan lemah keempat anggota gerak.

II.2. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Hal ini dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk ke RS H. Adam Malik Medan, yang terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya os merasa kebas pada kedua kaki yang kemudian diikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain. Kelemahan pada tungkai bawah kemudian semakin memberat dalam 1 hari berikutnya sehingga os tidak dapat berjalan . Rasa lemah ini terasa menjalar ke atas hingga ke lengan, yang juga disertai rasa kebas dan semakin lama semakin memberat sehingga os tidak mampu lagi untuk menggerakkan kedua lengan dan tungkainya dalam 1 minggu terakhir. Riwayat demam dijumpai ± 5 hari sebelumnya, disertai mual dan muntah dan batuk, demam tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun panas. Riwayat mencret (-). Riwayat trauma (-). Riwayat batuk-batuk lama sebelumnya (-). Riwayat sakit gula (-), riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-).

RPT : Hepatitis B RPO : tidak jelas

II. 3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Sensorium : Compos Mentis

Tekanan Darah : 140/ 80 mmHg

Nadi : 84 x/ menit, reguler

Pernafasan : 24x/ menit

Temperature : 37,2 º C

Kepala : Normosefalik

Thoraks : Bentuk simetris

Jantung : Bunyi jantung normal, desah (-)


(10)

Abdomen : Soepel, peristaltik normal

Hepar/ Lien : Tidak teraba

Ekstremitas : Tetraparese

Leher/ aksila/ inguinal: Tidak Ada Kelainan

II. 4. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Sensorium : Compos mentis

Tanda Peningkatan TIK :

Kejang (-), Muntah (-), Nyeri kepala (-)

Tanda Perangsangan Meningeal :

Kaku kuduk (-),Brudzinski I/II (-),Kernig sign (-) Nervus Kranialis :

N I : Normosmia

N II, III : Refleks cahaya (+), pupil isokori Ø 3 mm

N III, IV, VI : Gerakan bola mata normal

N V : Membuka dan menutup mulut (+) normal

N VII : Sudut mulut simetris

N VIII : Pendengaran (+) normal

N IX, X : Uvula medial, arcus pharyngeal terangkat simetris

N XI : Tidak Dijumpai Kelainan

N XII : Lidah istirahat medial, lidah dijulurkan medial

Sistem Motorik

Tropi : Eutropi

Tonus : Menurun

Kekuatan Otot : ESD = 111111 ESS = 11111

11111 11111 EID = 11111 EIS = 11111

11111 11111

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biseps/ Triseps : + / +↓ + / + ↓

APR / KPR : + / +↓ + / +↓

Refleks Patologis : (-)

Sistem Sensibilitas : Parestesi ekstremitas


(11)

Gejala Serebellar : Tidak Dijumpai

Fungsi Luhur : Baik

II. 5. DIAGNOSA

Diagnosa Fungsional : Tetraparese flaksid

Diagnosa Anatomis : Saraf Perifer

Diagnosa Etiologis : Autoimun

Diagnosa Banding : 1. Guillain Barre Syndrome

2. Miopati

3. Miastenia Gravis

Diagnosa Kerja : Guillain Barre Syndrome

II. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Hb : 17,9 gr%

Leukosit : 12900/ mm3

Ht : 51,5%

Trombosit : 319.000/mm3

LED : 8 mm/jam

Ureum : 68 mg/dl

Creatinin : 1.0 mg/dl

KGD ad random : 149 mg/dl

Natrium : 131 mEq/L

Kalium : 4,52 mEq/L

Chlorida : 94 mEq/L

SGOT : 51 U/L

SGPT : 141 U/L

Albumin : 3.59 g/dl

2. Foto Thorax : tidak tampak kelainan pada jantung dan paru

4. Hasil Analisa Cairan Otak tanggal 26 November 2009

Warna : jernih

LDH : 32 U/L

Protein : 11 mg/dl


(12)

Glukosa : 123 mg/dl

pH : 7.5

PMN sel : sulit dinilai

MN sel : sulit dinilai

Reaksi None : (-)

Reaksi Pandy : (-)

5. Konsul ke Bagian Anestesi dan Reanimasi tanggal 19 November 2009 untuk perawatan

ICU

Jawaban : Acc Perawatan ICU

6. Konsul ke Bagian Rehabilitasi Medik tanggal 20 November 2009

Jawaban : Dilakukan tindakan Fisioterapi 5 x per minggu : - IR

- Chest physiotherapy - Exercise

7. Konsul ke Bagian Rehabilitas Medik tanggal 29 Desember 2009 (os kembali dirawat di

bangsal Neurologi)

Jawaban : Dilakukan tindakan fisioterapi 3x per minggu :

- IR

- Strengthening exercise

- ROM

8. Hasil foto vertebra lumbosakral tanggal 10 Januari 2010

Kesan : Spondilolistesis posterior L5 terhadap L4

9. Konsul ke Bagian Rehabilitas Medik tanggal 15 Januari 2010

Jawaban :

Dilakukan tindakan fisioterapi 3x per minggu :

- IR

- Strengthening exercise

- ROM

- Latihan tilting table


(13)

II. 7. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

Telah dirawat Seorang laki-laki (ES) umur 50 tahun, suku Karo, agama Kristen Protestan, pekerjaan petani, alamat Dusun I Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, masuk ke RS H. Adam Malik Medan, pada tanggal 18 November 2009, dengan keluhan lemah keempat anggota gerak. Hal ini dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk ke RS H. Adam Malik Medan, yang terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya os merasa kebas pada kedua kaki yang kemudian diikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain. Kelemahan pada tungkai bawah kemudian semakin memberat dalam 1 hari berikutnya sehingga os tidak dapat berjalan . Rasa lemah ini terasa menjalar ke atas hingga ke lengan, yang juga disertai rasa kebas dan semakin lama semakin memberat sehingga os tidak mampu lagi untuk menggerakkan kedua lengan dan tungkainya dalam 1 minggu terakhir. Riwayat demam dijumpai ± 5 hari sebelumnya, disertai mual dan muntah dan batuk, demam tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun panas. Riwayat mencret (-). Riwayat trauma (-). Riwayat batuk-batuk lama sebelumnya (-). Riwayat sakit gula (-), riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-).

RPT : Hepatitis B RPO : tidak jelas

II.8. DIAGNOSA AKHIR

Tetraparese flaksid ec GBS

II.9. PENATALAKSANAAN

- Bed rest

- O2 face mask 6-8 l/i

- IVFD R-Sol 20 gtt/i

- Inj. Dexamethasone 4 mg/6 jam/IV

- Inj. Ranitidine 50mg/12 jam/IV

- Total Plasma Exchange

- Fisioterapi

Total Plasma Exchange

1. Tanggal 10 Desember 2009

- Pemasangan double lumen Hb


(14)

- Setting data

- Pemasangan NS 1000 cc (I), kemudian NaCl 0.9% 500 cc, dilanjutkan NaCl 0.9%

500 cc + albumin 20% 50 cc

- Pemasangan syringe pump 20 cc, heparin 5000 iu

- Setelah NS (I) habis, ganti dengan NS (II) 1000 cc, setelah habis ganti dengan NS

(III) 1000 cc + Heparin

- Setelah selesai,koneksikan prismaflex TPE set dengan double lumen Hb

2. Tanggal 11 Desember 2009

11.00 Pasien dipasang alat double HD lumen pada regio

subclavia dex

12.30 Alat TPE mulai diputar dengan replacement albumin 2900.

Pada waktu pelaksanaan TPE kondisi stabil dengan menggunakan cairan HES, RL dan NaCl

18.00 TPE selesai

II. 10. PROGNOSIS

- Ad vitam : dubia ad bonam - Ad functionam : dubia ad bonam - Ad sanationam : dubia ad malam


(15)

III. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

III.1 GUILLAIN BARRE SYNDROME III.1.1 Definisi

Guillain Barre syndrome adalah polineuropati yang bersifat akut, simetris dan

ascending dan sering terjadi 1 hingga 3 minggu setelah infeksi akut.5

III.1.2 Sejarah

Deskripsi paling awal dari paralisis umum afebril tampaknya dari Wardrop dan Ollivier, pada tahun 1834. Catatan penting lainnya adalah laporan dari Landry (1859) yang

melaporkan paralisis dominan motorik, ascending dan akut, yang menyebabkan kematian;

deskripsi dari Osler (1892) berupa “febrile polyneuritis”.3

Pada tahun 1916 terdapat laporan yang ditulis oleh 3 dokter asal Perancis yang bekerja pada tentara sewaktu perang dunia pertama, mereka menggambarkan 2 tentara Perancis

dengan kelemahan motorik, arefleksia dan disosiasi sitoalbumin pada cerebrospinal fluid

(CSF), yaitu peningkatan protein tanpa sel. Dalam laporan ini Guillian, Barre dan Strohl secara hati-hati mengamati dan menginterpretasi refleks tendon pasiennya dan menjadi yang pertama mengenali asal perifer dari penyakit ini. Kasus-kasus baru kemudian dikenal dan

sindroma ini kemudian dinamai Gullain-Barre syndrome (GBS). Secara historis, GBS adalah

kelainan tunggal; namun praktik sekarang membagi sindroma ini menjadi beberapa varian.1

Laporan pertama yang komprehensif tentang patologi GBS dibuat oleh Haymaker dan Kernohan (1949) yang menekankan bahwa edema pada akar saraf adalah perubahan yang penting pada tahap awal penyakit. Berikutnya, Asbury, Arnason dan Adams (1969)

menetapkan lesi yang mendasar, sejak awal penyakit, adalah infiltrasi inflammatory

mononuklear perivascular pada akar saraf dan saraf. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa deposisi komplemen pada permukaan mielin tampaknya adalah kejadian imunologis

paling awal.3

III.1.3 Epidemiologi

Penyakit ini dijumpai di seluruh dunia dengan tingkat insidens yang bervariasi dari 0.4

sampai 1.7 kasus per 100.000 penduduk tiap tahun. 3,5 Secara umum penyakit ini tidak

musiman dan tidak epidemik namun wabah musiman terisolasi telah dilaporkan di desa di


(16)

penyimpanan beras. Perempuan sedikit lebih rentan dibanding laki-laki. Rentang umur pasien adalah 8 bulan hingga 81 tahun, dengan tingkat serangan paling tinggi pada orang berusia 50

hingga 74 tahun.5

III.1.4. Gambaran Klinis

Guillain-Barre syndrome muncul sebagai paralisis motorik arefleksik yang berkembang cepat dengan atau tanpa gangguan sensorik. Kelemahan biasanya berkembang selama beberapa jam hingga hari dan sering disertai dengan rasa kebas dan disestesia pada ekstremitas. Tungkai biasanya lebih berat terkena dibandingkan lengan. Saraf kranial bawah juga sering terlibat, menyebabkan kelemahan bulbar dan kesulitan mengeluarkan ludah dan menjaga jalan nafas. Sebagian besar pasien memerlukan perawatan rumah sakit, dan hampir

30% memerlukan bantuan ventilator pada perjalanan penyakitnya. 3,5,6

Demam dan gejala lainnya tidak ada saat onset. Refleks tendon biasanya menghilang dalam beberapa hari pertama onset. Defisit sensorik kutaneus, seperti hilangnya sensasi nyeri dan suhu, biasanya relatif ringan namun fungsi yang diperantarai oleh serabut sensoris besar, seperti refleks tendon dalam dan proprioseptif, lebih berat terkena. Disfungsi kandung kemih dapat terjadi pada kasus yang berat namun biasanya sementara. Jika disfungsi kandung kemih adalah gambaran yang menonjol dan muncul pada tahap awal penyakit, kemungkinan diagnosis lain harus dipertimbangkan, terutama penyakit medula spinalis. Begitu perburukan klinis terhenti dan pasien mencapai tahap ‘mendatar’ maka tampaknya tidak ada perjalanan

penyakit lagi. 6

Hingga dua pertiga pasien dengan GBS melaporkan adanya penyakit yang mendahuluinya 1-3 minggu sebelum onset kelemahan. Penyakit gastrointestinal dan saluran pernafasan merupakan kondisi yang paling sering dijumpai. Gejala-gejala biasanya telah

menghilang saat munculnya kondisi neurologis. Campylobacter jejuni adalah organisme

utama yang ditemukan pada sebagian besar studi dan bertanggung jawab untuk terjadinya kasus AIDP dan AMAN. Vaksinasi, prosedur bedah dan trauma telah dilaporkan sebagai

pencetus GBS. 2

Pasien GBS tipikal (jenis AIDP) menunjukkan gejala 2-4 minggu setelah infeksi gastrointestinal atau saluran pernafasan ringan, dan mengeluhkan disestesia pada jari-jari dan kelemahan otot proksimal ekstremitas bawah. Kelemahan ini berkembang selama beberapa jam hingga hari dan melibatkan lengan,otot tubuh, saraf kranial dan otot-otot pernafasan. Perjalanan penyakit berkembang dalam hitungan hari hingga minggu, dengan waktu rata-rata ke menetapnya fungsi klinis selama 12 hari dan 98% pasien mencapai titik nadir dalam 4


(17)

minggu. Fase mendatar dari gejala yang persisten dan tidak berubah kemudian berlanjut selama beberapa hari berikutnya dengan perbaikan gejala bertahap. Waktu rata-rata menuju

perbaikan dan pemulihan klinis adalah 28 dan 200 hari, secara berturut-turut. 1

Kelemahan ekstremitas simetris biasanya dimulai sebagai kelemahan ekstremitas bawah dan menjalar naik ke atas untuk melibatkan ekstremitas atas, otot tubuh dan kepala. Ketidakmampuan untuk berdiri atau berjalan, terutama jika dijumpai ophthalmoparesis atau gangguan proprioseptif. Kelemahan otot pernafasan dengan kesulitan pernafasan mungkin

dijumpai.Kelumpuhan saraf kranial (III-VII, IX-XII) dapat dijumpai. Pasien dapat mengalami

kelemahan fasialis yang menyerupai Bell’s palsy, disfagia, disartria, ophtalmoplegia dan

gangguan pupil. Varian Miller-Fisher cukup unik karena dimulai dengan defisit saraf kranial.

Hilangnya refleks tendon adalah tanda yang khas. 1,2

Parestesi biasanya mulai pada ibu jari kaki dan ujung-ujung jari dan berkembang ke

atas namun biasanya tidak melewati pergelangan tangan atau pergelangan kaki.Nyeri paling

berat terasa pada gelang bahu, punggung, bokong dan paha dan dapat terjadi walaupun dengan pergerakan yang sedikit. Hilangnya sensasi vibrasi, propriosepsi, raba dan nyeri di

distal dapat dijumpai. 1,2

Disfungsi otonom mencakup tanda kardiovaskular yaitu takikardi, bradikardi,

disritmia, fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural. Gejala lain mencakup retensi urin

akibat gangguan sfingter,konstipasi akibat kelumpuhan usus dan dismotilitas lambung, memerahnya wajah akibat tonus vasomotor abnormal. Hipersalivasi, anhidrosis, pupil tonik

dapat dijumpai. 1,2

III.1.5. Etiologi

Guillain Barre Syndrome telah dihubungkan dengan infeksi virus dan bakteri yang

mendahuluinya, pemberian beberapa vaksin tertentu, dan penyakit sistemik lainnya. 1Guillain

Barre Syndrome dianggap penyakit post infeksi yang diperantarai sistem imun yang

menyerang saraf perifer. Campylobacter jejuni adalah patogen yang paling sering diisolasi

pada beberapa studi. Baik gejala saluran pernafasan maupun gastrointestinal dapat diamati dengan infeksi C.jejuni. Infeksi C.jejuni juga dapat memiliki perjalanan subklinis, yang

menyebabkan pasien tidak melaporkan adanya gejala apapun sebelum onset GBS. 2

Infeksi cytomegalovirus (CMV) adalah penyebab kedua tersering; yang merupakan

virus pencetus GBS yang paling sering. Infeksi CMV muncul sebagai infeksi saluran

pernafasan atas, pneumonia, dan penyakit flulike non spesifik. Pasien GBS yang didahului


(18)

Infeksi CMV dihubungkan dengan antibodi terhadap ganglioside GM2. Agen infeksius

lainnya mencakup mycoplasma pneumoniae dan borrelia burgdoferi, ebstein-barr virus,

varicella-zoster, human immunodeficiency virus (HIV. Haemophilus influenzae, parainfluenza 1 virus, influenza A virus, influenza B virus, adenovirus, dan herpes simplex virus. 1,2

Kondisi seperti pembedahan, trauma, kehamilan telah dilaporkan sebagai pencetus GBS, namun hubungan ini belum ditetapkan dengan pasti. Beberapa vaksin yang dihubungkan dengan GBS adalah vaksinasi influenza, polio oral, tetanus toksoid, campak. Beberapa faktor lain yang diduga adalah streptokinase, isotretinoin, danazol, captopril, heroin dan anestesi epidural. 1,2

III.1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan klinis. Gambaran laboratorium bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya dan untuk menilai status fungsional dan

prognosis.1,2 Diagnosis dibuat dengan mengenali pola paralisis yang berkembang cepat

dengan arefleksi, tidak adanya demam atau gejala sistemik lainnya dan kejadian khas

sebelumnya. 6

Kriteria diagnosis GBS tampak pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Guillain Barre Syndrome

Dikutip dari : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th. New York : Mc Graw Hill


(19)

Penemuan CSF bersifat khas, terdiri dari peningkatan kadar protein CSF [1 sampai 10

g/L (100 sampai 1000 mg/dL] tanpa disertai pleositosis. Gambaran CSF dapat normal jika

gejala terjadi kurang dari 48 jam; pada akhir minggu pertama kadar protein biasanya

meningkat. Peningkatan sementara pada sel CSF (10 sampai 100/μL) bisa dijumpai pada

beberapa kasus; namun pleositosis CSF yang menetap menunjukkan kemungkinan diagnosis

yang lain seperti mielitis viral. 3,6

Peningkatan kadar protein pada punksi lumbal serial dan ≤ 10 sel mononuklear/mm3

mendukung diagnosis. Sebagian besar, namun tidak semua pasien menunjukkan peningkatan

kadar protein CSF (>400 mg/L) tanpa peningkatan jumlah sel di CSF. Kadar protein CSF

yang normal tidak menyingkirkan diagnosis GBS karena kadar protein CSF tetap normal pada

10% pasien dan peningkatan protein ini mungkin tidak dijumpai hingga 1-2 minggu setelah

onset kelemahan.1,2

Gambaran elektrodiagnostik sangat ringan atau tidak ada pada tahap awal GBS dan

tertinggal dari perkembangan klinis.4,5 Pada kasus dengan demielinasi memanjangnya distal

latency,perlambatan kecepatan hantaran, adanya blok konduksi dan dispersi temporal dari

potensial aksi gabungan adalah gambaran yang biasa ditemukan. 3,6

Pemeriksaan laboratorium dasar seperti darah lengkap dan panel metabolik kurang bermanfaat untuk menegakkan diagnosis GBS. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk menyingkiran penyebab infeksi dan metabolik lainnya. Pemeriksaan neuropati perifer direkomendasikan pada kasus-kasus dimana diagnosis kurang pasti. Pemeriksaan ini meliputi panel tiroid, profil reumatologi, vitamin B-12,asam folat, hemoglobin A1C, laju endap darah (LED), elektroforesis protein dan uji untuk logam berat. Permintaan tes spesifik ini harus berdasarkan riwayat dan keadaan klinis pasien. Pemeriksaan imejing seperti MRI atau CT vertebra dapat membantu untuk menyingkirkan diagnosis lainnya seperti penyebab mekanis dari mielopati. 1,2

Kelainan lain yang dapat menjadi diagnosis banding adalah mielopati akut (terutama dengan nyeri punggung yang berkepanjangan dan gangguan sfingter); botulismus (hilangnya refleks pupil di awal); difteri (gangguan orofaringeal muncul awal); poliradikulitis Lyme dan

tick-borne paralysis lainnya; porfiria (nyeri abdomen, kejang, psikosis); neuropati vaskulitis; poliomyelitis (biasanya disertai demam dan meningismus); poliradikulitis CMV (pada pasien

dengan immunocompromised). Gangguan neuromuskular seperti miastenia gravis; atau

keracunan organofosfat, thalium atau arsen. Uji laboratorium sangat membantu terutama untuk menyingkirkan diagnosa banding yang menyerupai GBS. Jika dugaan diagnosis cukup


(20)

kuat, terapi harus segera dimulai tanpa menunggu perkembangan gambaran elektrodiagnostik

dan CSF yang khas. 1,2,6

III.1.7. Patologi

Penemuan patologi menunjukkan pola dan bentuk yang relatif konsisten. Bahkan ketika penyakit ini fatal dalam beberapa hari, seluruh kasus menunjukkan infiltrat limfositik

perivaskular (terutama perivenous). Dalam perkembangan selanjutnya dijumpai infiltrat sel

inflamasi dan demielinasi perivena yang berkombinasi dengan demielinasi segmental dan

berbagai derajat degenerasi wallerian. Infiltrat selular tersebar di seluruh saraf kranial, akar

ventral dan dorsal,ganglia dorsalis dan di sepanjang saraf perifer. Infiltrat lokal dari sel inflamasi juga dapat ditemukan di kel limfe, hepar, limpa, jantung dan organ lainnya. Pembengkakan akar saraf pada tempat keluarnya dari dura juga dijumpai oleh beberapa

peneliti dan dianggap menyebabkan kerusakan akar saraf. 3,7,8

Variasi dari pola kerusakan saraf perifer ini telah diamati, masing-masing tampaknya menggambarkan imunopatologis yang berbeda. Pada beberapa kasus tertentu,dapat dijumpai perubahan demielinatif dan sedikit limfosit perivaskular. Pada pasien dengan uji elektrofisiologis yang menunjukkan kerusakan aksonal berat pada awal penyakit, temuan patologis mendukung asal aksonal pada penyakit ini dengan kerusakan mielin sekunder dan sedikit respon inflamasi. Beberapa kasus menunjukkan proses inflamasi dengan kerusakan

akson primer dibanding demielinasi.3

III.1.8. Patogenesis

Pada GBS, dasar untuk paralisis flaksid dan gangguan sensorik adalah blok konduksi. Penemuan ini, yang ditunjukkan secara elektrofisiologis, menunjukkan bahwa hubungan aksonal tetap intak. Oleh sebab itu, penyembuhan terjadi begitu remielinasi terjadi. Pada kasus yang cukup parah, degenerasi aksonal sekunder biasanya terjadi; luasnya dapat diperkirakan secara elektrofisiologis. Degenerasi aksonal sekunder yang lebih banyak berhubungan dengan kecepatan penyembuhan yang lebih lambat dan derajat disabilitas sisa yang lebih besar. Pada kasus aksonal motorik dimana penyembuhan cukup cepat, lesi dianggap berada di cabang motorik preterminal, memungkinkan regenerasi dan reinervasi

untuk berlangsung dengan cepat. 3,6,8

Beberapa bukti mendukung dasar autoimun untuk AIDP, suatu bentuk GBS yang paling umum dan paling luas dipelajari; dan konsep ini meluas untuk semua subtipe GBS.


(21)

Kedua mekanisme imun seluler dan humoral tampaknya berperan terhadap kerusakan

jaringan pada AIDP.6,9

Sebagian besar bukti mendukung reaksi imunologis terhadap saraf perifer. Waksman dan Adams menunjukkan bahwa penyakit saraf perifer yang diinduksi secara eksperimental (experimental allergic neuritis, atau EAN), secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan dengan GBS, terjadi pada hewan percobaan 2 minggu setelah imunisasi dengan homogenates saraf perifer. 3

Aktivasi sel T diusulkan dengan adanya penemuan bahwa peningkatan kadar sitokin

dan reseptor sitokin dijumpai dalam serum [interleukin (IL)2, soluble IL-2 receptor) dan pada

CSF (IL-6, tumor necrosis factor α, interferon γ).5 Hartung dkk menemukan kadar yang tinggi

dari reseptor interleukin (IL-2), yang dilepaskan dari sel T yang teraktivasi, dan IL-2 itu

sendiri yang dijumpai pada serum pasien dengan GBS akut menggambrakan aktivasi dari sel-sel ini.3,10

Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy juga analog dengan suatu immunopati eksperimental yang diperantarai oleh sel T, yang disebut EAN; EAN diinduksi pada hewan percobaan oleh sensitisasi imun terhadap fragmen protein yang berasal dari protein saraf perifer, dan terutama terhadap protein P2. Berdasarkan analogi tersebut, awalnya AIDP dianggap sebagai kelainan yang terutama diperantarai sel T; walaupun begitu, berbagai data sekarang menunjukkan bahwa autoantibodi terhadap determinan non protein

tampaknya adalah hal yang utama pada sejumlah besar kasus. 6,10

Respon imunitas seluler pada akhirnya menyebabkan makrofag dan sel T menyerang

mielin pada saraf perifer dan menyebabkan blok konduksi saraf.8 Urutan patologik pada

reaksi ini ditunjukkan secara diagramatis pada gambar 1. 3

Walaupun transmisi dari EAN oleh sel T yang tersensitisasi terhadap mielin adalah bukti yang kuat akan perannya pada GBS, antibodi antimelin tampaknya terlibat di awal proses penyakit. Serum pasien GBS menyebabkan kerusakan pada mielin pada kultur jaringan dan memicu bentuk khas (vesikular) destruksi mielin. Injeksi subepineural serum dari pasien GBS ke saraf isciatika pada tikus menyebabkan demielinasi lokal dan blok konduksi listrik. Penelitian oleh Koski dkk terhadap kerusakan mielin yang bergantung komplemen oleh antibodi IgM anti melin pada GBS menyediakan bukti bahwa antibodi antimielin mampu untuk memulai destruksi mielin walaupun sel T dan makrofag adalah efektor akhir pada


(22)

(23)

Gambar 1. Mekanisme imunitas seluler pada GBS

Dikutip dari : Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th edition. New York : McGraw-Hill Company.2005

Berbagai bukti juga menunjukkan bahwa GBS disebabkan oleh respon imun terhadap

antigen nonself (agen infeksi, vaksin) yang salah arah ke jaringan saraf melalui mekanisme


(24)

Gambar 2. Immunopathogenesis Guillain Barre Syndrome

Dikutip dari : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th. New York : Mc Graw Hill

Brostoff dkk menunjukkan bahwa antigen pada reaksi ini adalah basic protein, yang

disebut P2, hanya dijumpai pada mielin saraf tepi. Penelitian berikutnya oleh penulis ini

menunjukkan bahwa faktor neuritogenik tampaknya adalah peptida spesifik pada protein P2.

Walaupun begitu, semakin jelas bahwa tidak ada reaksi antigen-antibodi dominan pada GBS dan bahwa elemen aksonal dan mielin mana saja dapat terlibat dalam membangkitkan reaksi

imun. 3

Target neural tampaknya adalah glycoconjugates, terutama gangliosida. Gangliosida

adalah glycosphingolipid kompleks yang mengandung satu atau lebih residu asam sialic;

berbagai gangliosida berpartisipasi dalam interaksi antar sel (mencakup interaksi antara akson dan glia), modulasi reseptor dan regulasi pertumbuhan. Gangliosida biasanya terekspos pada membran plasma sel, membuat mereka cukup rentan terhadap serangan yang diperantarai antibodi. 6,12

Sejumlah autoantibodi yang diarahkan pada komponen gangliosida saraf dapat terdeteksi pada pasien dengan GBS, yang paling penting adalah anti-GQ1b, yang ditemukan pada hampir semua pasien dengan ophtlamoplegia. Lebih kurang sepertiga pasien memiliki antibodi anti-GM1 pada awal perjalanan penyakitnya, berhubungan dengan presentasi yang dominan motorik dan kerusakan aksonal, titer yang paling tinggi biasanya berhubungan

dengan kasus yang terjadi setelah infeksi Campylobacter. Antibodi yang diarahkan terhadap

GD1a atau GT1b telah dihubungkan pada beberapa kasus dengan varian faringeal-brakial-servikal. 3,13

Gangliosida dan glycoconjugates lainnya terdapat dalam jumlah yang besar pada

jaringan saraf manusia dan pada tempat yang penting, seperti nodus ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama terhadap GM1, sering dijumpai pada GBS (20 hingga 50% kasus),


(25)

feses pasien GBS memiliki struktur glikolipid yang secara antigenik bereaksi silang dengan gangliosida, termasuk GM1, yang terkonsentrasi pada saraf manusia. Bukti lainnya berasal dari pengalaman di Eropa dengan penggunaan parenteral dari gangliosida otak sapi yang dimurnikan untuk terapi berbagai gangguan neuropatik. Dalam 5 sampai 15 hari setelah

injeksi, beberapa resipien menderita acute motor axonal GBS dengan titer tinggi antibodi

anti-GM1 yang mengenali epitop pada nodus ranvier dan motor endplate. 6

Miller Fisher syndrome (MFS), yang muncul sebagai ataksia yang berkembang dan arefleksia tungkai tanpa kelemahan, dan oftalmoplegia sering dengan paralisis pupil. Varian MFS dijumpai pada sekitar 5% kasus GBS. Antibodi anti-GQ 1b IgG dijumpai pada >90% pasien dengan MFS, dan kadar IgG paling tinggi pada tahap awal perjalanan penyakit. Antibodi anti-GQ1b tidak dijumpai pada bentuk GBS yang lain kecuali terdapat keterlibatan nervus motorik ekstraokular. Saraf motorik ekstraokular kaya akan gangliosida GQ1b jika dibandingkan dengan saraf tungkai. Lebih lanjut lagi, antibodi monoklonal anti-GQ1b

terhadap C.jejuni yang diisolasi dari pasien dengan MFS memblok transmisi neuromuskular

secara eksperimental. 6

Observasi ini menyediakan bukti yang kuat namun inkonklusif bahwa autoantibodi memainkan peranan penting dalam patogenesis GBS. Walaupun antibodi anti-gangliosida yang telah dipelajari paling intensif , target antigenik lainnya juga tampaknya penting. Suatu

laporan terkini mengidentifikasi antibodi IgG terhadap sel Schwann dan neuron (daerah

pertumbuhan saraf) pada beberapa kasus GBS. Bukti bahwa antibodi ini adalah patogenik membutuhkan bukti bahwa mereka mampu memperantarai penyakit setelah transfer pasif

langsung ke host yang naif; hal ini belum dibuktikan, walaupun suatu kasus transfer

transplasental maternal-fetal dari GBS pernah dilaporkan. 6

Faktor komplemen juga tampaknya merupakan faktor yang penting dalam serangan

awal terhadap mielin. 3 Bahkan, perubahan paling awal yang dapat dideteksi oleh

Haer-Macko dkk adalah deposisi komplemen pada lapisan dalam mielin. 3 Respon imun humoral

menyebabkan aktivasi komplemen pada bagian luar plasmalemma sel Schwann, yang

menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel dan aktivasi protease menyebabkan

demielinasi. 9

III.1.9. Penatalaksanaan III.1.9.1. Manajemen Awal

Manajemen awal meliputi : 1,2


(26)

• Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas. Indikator klinis untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi respirasi yang cepat,batuk yang lemah, dan dicurigai aspirasi.

• Pasien dengan GBS harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan darah, denyut

jantung dan aritmia lainnya.

o Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi.

o Atropin direkomendasikan untuk bradikardia simtomatik.

o Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani dengan obat

short-acting, seperti short-acting beta-blocker atau nitroprusside.

o Hipotensi akibat disautonomia biasanya menunjukkan respon terhadap cairan

intravena dan posisi telentang.

o Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien dengan blok

jantung derajat dua atau derajat tiga

III.1.9.2. Obat-Obatan

Hanya terapi plasma exchange dan intravenous immune serum globulin (IVIG)

yang telah terbukti efektif. Kedua terapi terbukti memperpendek masa pemulihan sebanyak 50%. Kortikosteroid tidak efektif sebagai terapi tunggal. Dengan kombinasi dengan IVIG, metilprednisolon intravena dapat mempercepat perbaikan namun tidak secara signifikan

mempengaruhi outcome jangka panjang.

Analgesik sederhana atau obat antiinflamasi non steroid dapat dicoba namun seringkali tidak menghilangkan nyeri secara adekuat. Suatu studi mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazepine pada unit perawatan intensif untuk penanganan nyeri pada fase akut GBS. Terapi ajuvan seperti anti depresan trisiklik, tramadol, gabapentin atau carbamazepine dapat

membantu dalam manajemen jangka panjang nyeri neuropatik. 1,2,4

Intravenous immune globulin (IVIG) bekerja dengan menetralisir antibodi mielin yang

bersirkulasi melalui antibodi anti-idiotypic, menurunkan sitokin proinflamasi seperti

interferon-gamma (INF-gamma), juga memblok kaskade komplemen dan memicu

remielinasi. Dosisnya adalah 0.4g/kg/hari secara IV selama 5 hari. 1,2,4

Albumin digunakan pada plasma exchange saat plasma pasien ditukar dengan

substitute plasma. Dapat menghilangkan autoantibodi dan kompleks imun dari serum. Plasma

exchange diberikan bersamaan dengan albumin (50 ml/kg) selama periode 10 hari dan terbukti mempercepat pemulihan dan dapat membantu menghilangkan konstituen sitotoksik


(27)

Fractioned low molecular weight heparins (enoxaparain/lovenox) digunakan untuk profilaksis DVT. Bekerja dengan meningkatkan inhibisi faktor Xa dan trombin dengan meningkatkan aktivitas anitrombin III, mempengaruhi waktu trombin dan pembekuan dan meningkatkan inhibisi faktor Xa. Durasi pengobatan berkisar 7-14 hari. Diberikan dengan

dosis 30 mg subkutan dua kali sehari. 1,2

III.2. REHABILITASI PADA GUILLAIN BARRE SYNDROME

Lebih kurang 40% pasien yang diopname dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat perawatan. Karena perjalanan penyakit GBS sulit diramalkan, diperlukan pengawasan ketat dalam proses rehabilitasi. Evaluasi ini hendaknya mencakup pemeriksaan fisik harian

yang mendetail, tes sensorik dan motorik,untuk menilai ada tidaknya relaps atau komplikasi. 4

Guillain Barre Syndrome adalah suatu penyakit yang sering menyebabkan defisit fungsional. Hilangnya refleks tendon dalam pada ekstremitas atas atau bawah, begitu pula kelemahan ekstremitas atas distal yang berat atau kelemahan ekstremitas bawah, merupakan

indikasi pemulihan yang tidak lengkap. Hal ini dapat menyebabkan suatu ’impairment’, yang

didefinisikan dengan hilangnya atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisik atau

anatomis. Disabilitas, seperti definisi World Health Organization, terjadi jika suatu

impairment menghalangi seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dibutuhkan untuk mandirinya hidup seseorang. Penilaian terhadap disabilitas pada pasien GBS biasanya dilakukan dengan menggunakan skala ordinal 0-6, yaitu 0,sehat ; 1,gejala atau tanda minor; 2, mampu berjalan 5 meter tanpa bantuan; 3,mampu berjalan 5m dengan bantuan; 4, di kursi atau tempat tidur; 5, memerlukan bantuan ventilasi; 6, meninggal. Skala ini tapi tidak cukup

sensitif untuk mendeteksi perubahan ringan pada pasien. 4

III.2.1. SASARAN REHABILITASI

III.2.1.1. Pemulihan Motorik dan Komplikasi Muskuloskletal

Pasien GBS dapat dijumpai dengan keadaan yang sangat beragam, seperti tetraparese, ataupun kelemahan hanya pada lengan, kaki, otot wajah atau orofaring. Terdapat bukti bahwa terlalu membebani unit motorik yang terlibat akan menghalangi pemulihan. Kerja otot yang terlalu dipaksa pada pasien dengan keterlibatan saraf tepi telah dihubungkan dengan kelemahan paradoksikal. Kelemahan motorik juga dihubungkan dengan pemendekan otot dan kontraktur sendi. Komplikasi ini dapat dicegah dengan latihan ROM harian. Bergantung pada beratnya kelemahan, latihan dapat bersifat pasif, aktif-assistif, atau aktif. Penempatan posisi


(28)

Gangguan motorik residu mengenai 15% hingga 60% pasien dan cenderung menjadi

keterbatasan primer pada activity daily living (ADL) dan pekerjaan. Begitu stabil, terutama

setelah plasmapheresis atau immunoglobulin, latihan pada mobilitas di tempat tidur dan gerakan melawan gravitasi dapat dimulai. Suatu eksaserbasi dapat terjadi sewaktu rehabilitasi, maka penilaian harian dari kekuatan dan fungsi menjadi fokus perhatian yang penting. Sewaktu rehabilitasi, kelelahan dan disautonomia dapat memperlambat kemajuan dalam mobilitas dan ADL pada pasien. Latihan penguatan tertentu harus menghindari membebani otot terlalu berat dan menyebabkan ketidaknyamanan. Jumlah pengulangan dan set latihan

disesuaikan dengan toleransi pasien. Jika dijumpa hipotensi ortostatik, latihan tilt-table dapat

membantu mengembalikan refleks kardiovaskular dan meningkatkan volume vaskular. 14

Mempertahankan range of movement (ROM) dapat secara langusng dilakukan pada

pasien GBS, karena tidak dijumpai spastisitas otot. Perhatian khusus harus diberikan untuk

mencegah pemendekan tendon achiles, yang dapat menyebabkan ’drop foot’ yang

berlama-lama saat dirawat di tempat tidur. Fisioterapi dan penempatan posisi yang tepat biasanya adekuat untuk mencegah masalah ini. Manajemen ortotik mungkin diperlukan pada beberapa pasien. 15

III.2.1.2. Disfungsi Sensorik dan Nyeri

Analisis observasional retrospektif pada serial kasus GBS menemukan nyeri sebagai gejala awal, dengan insiden yang memiliki rentang 33% hingga 71%. Satu studi menilai insiden dan intensitas nyeri secara prospektif dan menilai respon terhadap intervensi nyeri secara medis. Nyeri dilaporkan oleh 89% pasien dan setengahnya melaporkan rasa nyeri yang berat. Obat lini pertama yang digunakan adalah asetaminofen dan obat anti inflamasi nonsteroid. Walaupun begitu, 75% pasien memerlukan tambahan opioid oral atau parenteral

dan 30% pasien diterapi dengan infus morfin (1-7 mg/jam). 16

Penanganan nyeri secara umum dilakukan secara klinis dengan penggunaan obat-obatan anti depresan, dan pada beberapa kasus, penggunaan carbamazepine. Pengobat-obatan yang

lebih baru kini menggunakan capsaicin topikal dan/atau transcutaneus electrical stimulation

pada daerah nyeri. Nyeri pada ekstremitas dan skeletal aksial telah dihubungkan dengan gangguan mobilitas sendi pada GBS. Pasien GBS dengan nyeri hebat memiliki toleransi yang

buruk terhadap aktivitas dan menyebabkan masa rawat inap yang lebih lama. 4

Sebagian pasien mendapat antidepresan trisiklik dan sebagian lagi mendapat carbamazepine sebagai terapi ajuvan untuk nyeri neuropatik sewaktu perjalanan penyakit. Dalam suatu penelitian yang melibatkan 12 pasien, rasa nyeri dapat lebih dihilangkan dengan


(29)

carbamazepine (300 mg setiap hari selama 3 hari) dibandingkan plasebo. Analgetik opioid

dapat memperburuk dismotilitas usus otonomik dan distensi kandung kemih. 16

Intervensi medis biasanya dimulai dengan antidepresan trisiklik, capsaicin dan

transcutaneus nerve stimulation. Agen lini kedua mencakup antikonvulsan (seperti carbamazepine, gabapentin) yang dilaporkan cukup efektif untuk nyeri neurogenik. Kadang-kadang pada pasien yang menderita nyeri yang tidak mengalami remisi, obat-obatan nyeri seperti tramadol atau narkotik, diindikasikan pada tahap awal terapi untuk menghilangkan nyeri sampai metode di atas menjadi efektif. Terdapat pasien dengan keterlibatan signifikan dari sensasi getar dan sendi.Hilangnya proprioseptif menyebabkan ataksia dan inkoordinasi, menyebabkan defisit fungsional. Untuk pasien ini,terapi harus mencakup teknik reintegrasi sensorik dan latihan berulang untuk memperbaiki koordinasi. Teknik ini akan membantu

mengembangkan motor engram yang berdasarkan perubahan persepsi sensorik.4

Suatu studi merekomendasikan bahwa analgesik sederhana atau obat anti inflamasi non steroid dapat dicoba namun seringkali tidak menghilangkan nyeri secara adekuat. Gabapentin atau carbamazepine pada unit intensif dapat diberikan pada fase akut GBS. Analgetik narkotik dapat digunakan namun harus disertai dengan pengawasan ketat terhadap efek samping terutama pada keadaan denervasi otonmik. Terapi ajuvan dengan obat antidepresan trisiklik, tramadol, gabapentin atau carbamazepine dapat membantu manajemen

jangka panjang dari nyeri neuropatik. 16

III.2.1.3. Disautonomia

Sebagian besar pasien yang menjalani rehabilitasi memiliki masalah hipotensi postural, hipertensi dan aliran simpatis yang berlebihan, atau disfungsi usus dan kandung kemih. Hipotensi postural, yang dapat mengganggu terapi sering dijumpai pada pasien yang menjalani rehabilitasi. Sekitar 19% hingga 50% pasien GBS di rumah sakit mengalami hipotensi postural. Pasien yang mengalami aliran simpatis yang berlebihan dan hipertensi

tampaknya memiliki sensitivitas ekstrem terhadap obat vasoaktif.4 Gangguan fungsi otonom

yang serius dan dapat fatal, seperti aritmia dan hipertensi atau hipotensi ekstrem, dijumpai pada sekitar 20% pasien dengan GBS. Bradikardia dapat sedemikian parah hingga

menyebabkan asistol,yang memerlukan pemasangan alat pacu jantung. 16

Neuropati otonomik persisten dapat menyebabkan masalah aritmia jantung atau tekanan darah labil. Pola keterlibatan otonom pada GBS berbeda dengan yang terlihat pada cedera spinal, dimana fungsi nervus vagus tetap ada (karena nervus vagus merupakan saraf kranial) sehingga menyebabkan aliran parasimpatis berlebihan pada fase akut dan pasien


(30)

sering memerlukan hambatan antikolinergik. Pada GBS, dampak klinis dari disfungsi otonom

persisten kurang dapat diprediksi karena saraf simpatis dan parasimpatis sama-sama terkena.17

Disfungsi usus dan kandung kemih biasanya merupakan tipe lower motor neuron. Disfungsi urologis dapat terjadi pada tahap awal penyakit namun tampaknya menghilang pada

sebagian besar kasus. 4 Manajemen kandung kemih relatif lebih mudah pada pasien GBS

dibanding pada pasien dengan cedera spinal karena paralisa flaksid pada kandung kemih akan mempermudah kateterisasi. Masalah kandung kemih yang paling serius yang sering dijumpai pada pasien dengan cedera spinal seperti dissinergia sfingter/detrusor, tidak terjadi pada

pasien dengan GBS.15 Manajemen inisial dari kandung kemih harus diarahkan untuk

mencehah overdistensi dari kandung kemih dengan ancaman disrupsi dinding kandung kemih.

4

Konstipasi sering terjadi pada pasien yang berbaring lama di tempat tidur. Lebih kurang setengah pasien mengalami ileus adinamik pada fase akut, sering bersamaan dengan gambaran gangguan otonom lainnya. Pemeriksaan auskultasi harian untuk mengetahui peristaltik perlu dilakukan. Kadang-kadang diperlukan penggunaan obat-obatan seperti neostigmin untuk mengatasi ileus adinamik.16

III.2.1.4. Imobilisasi

Immobilisasi akibat GBS merupakan faktor risiko untuk terjadinya DVT. Waktu untuk

terjadinya DVT atau emboli pulmonal bervariasi dari 4 hingga 67 hari setelah onset. 16

Insiden terjadinya DVT pada GBS tidak diketahui dengan pasti. Faktor predisposisi teradinya DVT adalah lamanya imobilisasi. Sebagian besar ahli rehabilitasi menggunakan profilaksis untuk DVT. Pertimbangan mengenai tipe dan lamanya profilaksis sulit ditentukan tanpa mengetahui insiden atau faktor risiko untuk terjadinya DVT. Mobilisasi pada tahap awal tampaknya cukup beermanfaat. Jelasnya, immobilisasi berkepanjangan menyebabkan

peningkatan episode hipotensi postural pada saat rehabilitasi. 4

Pasien yang mengalami immobilisasi cenderung mengalami kehilangan jumlah massa tubuh yang signifikan, terutama massa otot. Jika berkombinasi dengan kehilangan sensorik yang signifikan, pasien menjadi rentan untuk mengalami ulkus dekubiuts akibat imobilisasi. Penempatan tempat tidur yang tepat dengan sering mengubah posisi dibutuhkan untuk mencegah terjadinya dekubitus. Hilangnya massa tubuh, disertai dengan sistem saraf perifer yang telah terganggu, membuat posisi yang tepat suatu kebutuhan untuk melindungi saraf perifer yang dapat tertekan antara tonjolan pada tubuh dan tempat tidur.Saraf yang paling sering terlibat adalah saraf sensoris dari ulnaris,peroneus dan kutaneus femoralis lateral.


(31)

Penggunaan latihan ROM yang agresif juga menghalangi osifikasi heterotopik pada mobilitas dan fungsi sendi. Pengawasan nutrisi yang ketat dibutuhkan karena pasien cenderung untuk mengalami kehilangan berat badan pada fase akut penyakit. Menariknya, dengan immobilisasi dan aktivitas yang berkurang, banyak pasien yang dapat makan cenderung mengalami kenaikan berat badan setelah beberapa minggu perjalanan penyakit. Kenaikan berat badan ini dapat menghalangi kemajuan fungsional dalam transfer dan mobilitas yang diharapkan

dengan adanya perbaikan motorik. 4

III.2.1.5. Masalah Psikologis dan Sosial

Variabel psikologis mempengaruhi outcome pada rehabilitasi pada berbaai diagnosis

lainnya. Gejala depresi ringan lama setelah onset awal, yang ditunjukkan dengan kelemahan

mental persisten, sering dijumpai, walaupun GBS sendiri tidak menyebabkan chronic fatigue

syndrome. Periode perawatan di unit intensif, akibat penggunaan ventilator,dapat

mempengaruhi fungsi kognitif. 4

Sebagian besar pasien dengan GBS tetap mengalami pengaruh gangguan psikososial saat menjalani pemulihan fisik atau hanya mengalami tanda residu ringan. Rasa lelah yang berat menetap pada 80% pasien dan tidak berhubungan dengan usia, durasi atau keparahan penyakit awal. Penyebab dan faktor yang berperan terhadap munculnya rasa lelah ini tidak sepenuhnya diketahui, namun rasa lelah tampaknya merupakan bagian dari sekuele dari

inaktivitas yang dipaksakan dan muscle deconditioning. 16

III.2.1.6. Komplikasi Pernafasan

Fungsi respirasi neuromuskular terganggu pada 17% hingga 30% pasien dengan GBS. Pada beberapa pasien, disfungsi bulbar menyebabkan kesulitan dalam membersihkan sekresi,

mengganggu pertukaran gas dan meningkatkan risiko aspirasi. 16 Gagal nafas dan pneumonia

dapat dijumpai pada 30% pasien pada afse akut dalam 12 minggu pertama. 4 Hipoventilasi

biasanya disebabkan kelemahan otot pernafasan, gangguan fungsi bulbar atau keduanya. Penggunaan bantuan pernafasan jangka panjang biasanya tidak diperlukan karena biasanya

pasien dapat dilepas dari bantuan ventilator dalam tiga minggu onset GBS. 15

Terapi respiratori agresif dengan toilet pulmonal diperlukan pada tahap awal penyakit, mencakup saat rehabilitasi pada saat rawat inap. Pasien dengan keterlibatan saraf kranial sangat rentan terhadap infeksi pulmonal,akibat aspirasi. Mungkin inilah mengapa keterlibatan saraf kranial dianggap memiliki hubungan yang erat dengan ketergantungan ventilator dan keparahan GBS. Penyakit ini menyebabkan fungsi pulmonal restriktif yang dapat menetap


(32)

selama beberapa waktu setelah bantuan ventilator dihentikan. Kondisi pulmonal restriktif

berhubungan dengan hiperkapnea tidur dan hipoksia saat tidur fase rapid eye movement

(REM),karena dalam sistem saraf pusat, respon ventilasi yang diperantarai sentral terhadap hipoksia dan hiperkapnea hilang saat tidur. Pembersihan sekret untuk mengurangi kerja pernafasan juga diperlukan. Seringkali ini membutuhkan penggunaan latihan inspirasi resistif. Harus berhati-hati agar tidak terlalu melelahkan otot-otot pernafasan selama

periodepemulihan unit motorik, karena ini dapat membuat pasien mengalami gagal nafas. 4

III.2.2. PROGRAM REHABILITASI III.2.2.1. Acute In-Patient Rehabilitation

Tujuan rehabilitasi ini adalah untuk memaksimalkan pemulihan fungsi neuromuskular dan kembali ke kehidupan pre-GBS. Rehabilitasi tidak segera memulihkan saraf; namun mengoptimalkan fungsi otot, tungkai dan tubuh secara umum seiring dengan pemulihan saraf. Langkah awal pada proses rehabilitasi adalah penilaian sistematis dari fungsi saraf dan otot

begitu pula latar belakang medis, sosial dan vocational. Informasi dasar ini membantu dokter

dan terapis untuk merancang program yang akan memungkinkan pasien untuk kembali ke gaya hidup sebelumnya. Sebagian besar pasien pada akhirnya akan mampu kembali ke kehidupan normalnya atau mendekati normal. Untuk pasien dengan pemulihan yang inkomplit, tujuannya adalah untuk mengadaptasikan gaya hidupnya dengan keterbatasan

fungsionalnya yang menetap.18

Rehabilitasi dilakukan oleh suatu tim profesional yang terkoordinasi. Bergantung pada kebutuhan pasien, tim tersebut dapat melibatkan seorang ahli saraf, ahli rehabilitasi medik, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, perawat, psikolog. Tim ini biasanya mengadakan konferensi mingguan untuk menilai status pasien, menentukan kemajuan, dan merencanakan rencana lebih lanjut . Uraian berikut ini menggambarkan ringkasan dari suatu program rehabilitasi tipikal. Perawatan oleh ahli fisioterapi dan okupasi dapat tumpang tindih.

Program fisioterapi (physical therapy / PT) pada umumnya berkonsentrasi pada suatu latihan

untuk mengupayakan pasien mampu berjalan sendiri. Program occupational therapy (OT)

akan berkonsentrasi pada mengajar pasien bagaimana untuk menggunakan kekuatan yang

mereka dapatkan kembali untuk aktivitas sehari-hari dan pekerjaan. 18


(33)

III.2.2.2. Perawatan Awal di Unit Rehabilitasi

Begitu masuk unit rehabilitasi, beberapa langkah akan dilakukan. Seorang perawat akan melakukan suatu evaluasi awal, mencakup tinjauan ulang pengobatan dan dosis, memperoleh informasi penting tentang alergi obat dan kebiasaan makan dan melakukan suatu pemeriksaan fisik dasar. Dokter yang bertanggung jawab terhadap program ini adalah ahli rehabilitasi medis. Dokter ini akan meninjau ulang riwayat medis pasien dan akan melakukan

suatu pemeriksaan medis umum dan neuromuscular fungsional menyeluruh. Evaluasi tentang

gaya hidup pasien sebelum sakit juga akan dinilai sebagai panduan untuk pengaturan program rehabilitasi. Status medis dan kehidupan pasien sebelum sakit dan sekarang akan

membantu dokter menentukan keperluan berbagai terapi (misalnya OT, PT). 18

Guillain Barre Syndrome adalah penyakit monofasik pada sebagian besar pasien; yang artinya begitu pemulihan dimulai, akan terus berlanjut tanpa perburukan berikutnya. Penyebab paling sering dari kemunduran pada program rehabilitasi adalah rasa lelah yang ekstrim akibat latihan yang berlebihan atau perburukan non spesifik sebagai akibat infeksi saluran kemih atau pneumonia, atau bekuan darah (emboli paru). Sangat jarang, terjadi relaps GBS yang sebenarnya, terutama jika pasien ditransfer ke unit rehabilitasi terlalu awal pada fase pemulihan. Perburukan akibat kerja berlebih jarang berlangsung selama lebih dari beberapa jam; pasien akan kembali ke kondisi awal setelah periode istirahat. Perburukan akibat penyakit yang berbarengan, seperti infeksi atau emboli paru, akan berlangsung lebih lama, biasanya sampai kelainan yang mendasarinya dapat diidentifikasi dan ditangani secara efektif. Jika pasien dalam proses rehabilitasi mulai tampak memburuk, kemungkinan adanya penyakit lainnya harus menjadi pertimbangan pertama, sehingga perlu dilakukan penilaian

klinis ulang,tes darah dan urine,dan mungkin foto toraks. Jika tidak dijumpai penyakit yang

teridentifikasi dan perburukan tidak dapat hilang dengan periode istirahat dan penurunan aktivitas fisik, kemungkinan adanya relaps GBS harus dipertimbangkan. Untungnya, relaps yang sebenarnya jarang sama parahnya seperti penyakit awal, walaupun mungkin masih

berpengaruh terhadap kelemahan pasien. 18

III.2.2.3. Gambaran Umum Program Rehabilitasi

Bukti menunjukkan bahwa sekitar 40% pasien yang dan dirawat inap dengan GBS

membutuhkan rehabilitasi di rumah sakit. Sayangnya, belum ada studi tentang outcome

rehabilitasi jangka panjang dan penanganannya seringkali berdasarkan pengalaman dengan kondisi neurologis lainnya. Tujuan program terapi adalah mengurangi defisit fungsional, gangguan dan disabilitas akibat GBS. Pada awal fase akut, pasien mungkin tidak dapat


(34)

berpartsipasi penuh dalam program terapi aktif. Pada stadium ini, pasien dapat memperoleh

manfaat dari latihan range of motion (ROM) harian dan penempatan posisi yang tepat untuk

mencegah pemendekan otot dan kontraktur. Penguatan otot secara aktif dapat dimulai secara perlahan-lahan, dan mencakup latihan isometrik, isotonik, isokinetik atau resistif progresif. Keahlian mobilitas seperti pindah dari tempat tidur, transfer dan ambulasi adalah target berikutnya. Pasien harus dimonitor untuk instabilitas hemodinamik dan aritmia jantung, terutama setelah program rehabilitasi dimulai. Intensitas dari program latihan juga harus dimonitor, begitu pula latihan yang berlebihan pada otot, yang dapat menyebabkan

perburukan pada kelemahan. 2

Splinting pergelangan kaki dan tangan dan penempatan posisi yang tepat membantu menghindari ruam pada kulit, kontraktur dan nyeri. Latihan ROM dan latihan resistesnsi ringan dapat dilakukan kecuali jika latihan ini memperburuk parestesi atau memicu nyeri

setelah latihan.14 Latihan awal, bahkan pada fase akut, dapat mencakup program penguatan

yang melibatkan isometrik, isotonik, isokinetik, manual-resistif dan latihan resistif progresif

yang bergantung keadaan klinis pasien.4 Ahli OT harus dilibatkan di awal program

rehabilitasi untuk menguatkan tubuh bagian atas, ROM, dan aktivitas untuk mendukung kemampuan merawat diri secara fungsional. Baik strategi restoratif dan kompensatori dapat

digunakan untuk mempercepat perbaikan fungsional.2

III.2.2.4. Fisioterapi dan Terapi Okupasi

Seperti yang diuraikan di atas, ahli fisioterapi dan terapi okupasi memegang peranan penting dalam proses rehabilitasi. Umumnya, penekanan awal dalam rehabilitasi adalah mendapatkan kembali mobilitas, awalnya di tempat tidur, kemudian di kursi roda, dan akhirnya berdiri dan berjalan. Pada GBS, kekuatan ekstremitas atas biasanya kembali sebelum kekuatan ekstremitas bawah.Oleh sebab itu, pada tahap awal proses rehabilitasi, ahli terapi okupasi mulai dengan melatih pasien untuk menggunakan lengan dan tangan, untuk memperoleh kembali kemandirian dalam aktivitas harian, seperti kebersihan, berpakaian, makan dan mandi. Ahli fisioterapi dapat memulai program dengan latihan untuk mempertahankan tonus dan menguatkan ekstremitas bawah, yang akhirnya memungkinkan pasien untuk berjalan. Evaluasi PT dan OT awal biasanya melibatkan penilaian mobilitas sendi, kekuatan kerja berbagai kelompok otot (misalnya mengangkat lengan, menggerakkan

kaki melawan tahanan) dan pergerakan tubuh atau mobilitas dengan berbagai posisi. 18


(35)

Salah satu dari penilaian pertama adalah evaluasi mobiltas sendi atau range of motion

(ROM). Hal ini akan membantu mengidentifikasi adanya pemendekan tendon dan kontraktur otot yang mungkin terjadi, sehingga program latihan dapat disesuaikan untuk mengatasi masalah ini. Ekstremitas atas dan bawah akan diperiksa dengan posisi pasien duduk, jika memungkinkan, atau berbaring jika tidak. Penilaian ROM dilakukan pada setiap sendi untuk menentukan apakah bisa digerakkan tanpa hambatan ke semua ROM normalnya. Ini pertama kali dilakukan secara pasif, dengan pasien dalam keadaan relaks dan ahli terapi yang melakukan semua gerakannya (ROM pasif). Pada beberapa pasien, misalnya pasien dengan arthritis, beberapa sendi memiliki ROM yang terbatas yang tidak berhubungan dengan GBS. Penilaian awal ini memungkinkan ahli terapi untuk menetapkan sasaran yang realistis tentang seberapa jauh terapi pasien tersebut dapat dilakukan. Berikutnya, pasien diminta untuk menggerakkan sendi-sendinya sejauh mungkin tanpa bantuan. Gerakan aktif ini menggunakan kekuatan otot pasien sendiri untuk menggerakkan tungkai. Setelah periode inaktivitas, gerakan aktif dan pasif dapat menurun akibat kekakuan pada kapsul sekitar sendi dan pemendekan otot dan tendon (kontraktur). Pada beberapa kasus,kontraktur ini secara

signifikan mengganggu fungsi. 18

Salah satu dari komponen awal yang penting pada rehabilitasi adalah meningkatkan ROM sekitar sendi dalam proses persiapan untuk latihan penguatan. Jika fisioterapi dan terapi okupasi dilakukan dengan baik, kontraktur sendi akan sangat minimal dan penguatan dapat segera dimulai. Jika tidak, proses peregangan otot, tendon, ligamen dan kapsul sendi yang sulit dan menyakitkan, harus dilakukan sebelum latihan penguatan dapat dilakukan. Pada beberapa pasien yang mengalami kontraktur signifikan, gerakan pasif ROM yang terus-menerus akan menyebabkan tekanan konstan terhadap tendon dan otot sekitar sendi untuk meregangkan jaringan dan mengurangi pemendekan. Walaupun terdapat ROM yang utuh atau hampir utuh, latihan peregangan harus dilakukan sebagai bagian dari program latihan. Hal ini akan lebih mudah dilakukan jika tidak ada kontraktur. Peregangan harus dilakukan dengan berhati-hati untuk menvegah cedera—tujuannya adalah untuk meningkatkan ROM sedikit demi sedikit setiap hari. 18

III.2.2.4.2.Tes Kekuatan Otot

Tes kekuatan fungsi otot dilakukan untuk memperoleh informasi dasar tentang status pasien. Misalnya, pasien diminta untuk mengangkat tiap lutut saat posisi duduk. Derajat kekuatan otot dapat dinilai dengan menggunakan sistem penilaian seperti pada tabel 2. Ini


(36)

menyediakan pengukuran numerik kekuatan yang dapat dibandingkan dari mingggu ke

minggu selama proses rehabilitasi untuk mengukur perbaikanatau perburukan. 18

Tabel 2. Medical Research Council Grading

Grade 5 Kekuatan normal

Grade 4 Pasien mampu untuk menggerakkan ekstremitas melawan gravitasi

dan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa, namun kekuatan tidak normal.

Grade 3 Pasien mampu menggerakkan ekstremitas melawan gravitasi namun

tidak mampu melawan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa

Grade 2 Pasien tidak mampu mengangkat ekstremitas melawan gravitasi,

namun jika gravitasi dihilangkan, ekstremitas dapat digerakkan. Misalnya pasien mampu menggeser lenganya

Grade 1 Tidak ada gerakan ekstremitas, dijumpai kontraksi otot

Grade 0 Tidak dijumpai kontraksi otot

III.2.2.4.3. Jenis Latihan

Latihan tidak dapat dilakukan jika pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas setidaknya jika gravitasi dihilangkan (grade 2). Terapi untuk apapun dengan kelemahan yang lebih berat, hanya terdiri dari latihan ROM pasif yang dilakukan oleh ahli terapi. Begitu grade 2 tercapai, sejumlah latihan dapat dilakukan dengan menggerakkan ekstermitas sejajar dengan lantai. Ketika pasien mencapai kekuatan grade 3, dapat dimulai latihan dengan resistensi

ringan, melawan gravitasi dan tahanan minimal. 18

Latihan Resistensi Ringan

Tujuan utama dari latihan ini adalah untuk meningkatkan stamina, bukan kekuatan. Pasien akan melakukan banyak pengulangan latihan melawan tahanan minimal. Kelemahan neuromuskular adalah bagian penting pada GBS, dan pasien GBS hanya melakukan latihan sampai merasa lelah. Pengulangan dengan tahanan ringan akan memperbaiki ketahanan otot dan resistensi terhadap lelah, dan meningkatkan kapasitas oksidatif otot. Ini dikenal dengan latihan aerobik. Seiring dengan perbaikan kekuatan dan stamina, pasien diminta untuk

melakukan latihan yang lebih berat. 18

Latihan Resistensi Berat/ Penguatan Otot

Kebalikan dengan latihan resistensi ringan, tujuan utama dari latihan tahanan berat adalah untuk meningkatkan kekuatan dan bukan stamina. Tentu saja, kedua bentuk latihan ini meningkatkan kekuatan dan stamina, namun tujuan utamanya berbeda. Seiring dengan


(37)

perbaikan kekuatan, beban yang lebih berat dapat digunakan dengan pengulangan yang lebih sedikit. 18

Latihan Progresif-Resistensi

Seiring dengan perbaikan kekuatan lebih membaik, latihan dapat ditambah untuk memaksimalkan kontraksi otot melalui latihan ROM menyeluruh. Sebagian besar latihan dirancang untuk menguatkan kelompok otot dan fungsi spesifik seperti ekstensi kaki (mengangkat kaki)dan fleksi lengan (membengkokkan lengan pada siku). Pendekatan lain menggunakan kombinasi latihan yang menggabungkan kedua otot yang kuat maupun yang lemah dalam suatu gerakan. Tujuan mengkombinasikan dua latihan atau lebih adalah untuk mentransfer kekuatan dari otot yang lebih kuat ke otot yang lebih lemah. Manfaat potensial

dari teknik ini, yang disebut sebagai proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF),

dibatasi oleh jumlah suplai saraf ke tiap kelompok otot yang berpartisipasi pada kombinasi

aktivitas tersebut. Teknik PNF membantu mempertahankan ROM dari sendi yang dilatih. 18

Membangun Kekuatan dan Ketahanan

Seiring dengan suplai saraf membaik, latihan tambahan dapat dilakukan untuk lebih

memperbaiki kekuatan otot. Misalnya, stationary bicycle pedaling dapat digunakan, begitu

juga latihan progresif-resistif. yang dirancang untuk memberikan kaki suatu beban konstan seiring lutut bergerak sesuai ROM normalnya. Ini dapat dilakukan dengan bantuan mesin. Latihan seperti mengangkat beban, dapat digunakan untuk memperbaiki kekuatan ekstremitas atas, dan akhirnya memungkinkan pasien untuk bergerak secara independen dari kursi roda ke

tempat tidur atau kursi biasa. 18

Perkembangan Untuk Berjalan

Seiring dengan kekuatan kaki membaik, alat bantu dapat digunakan untuk menyediakan keseimbangan dan memberikan dukungan sewaktu berjalan. Pasien biasanya

akan mulai berlatih dengan parallel bars. Pasien dapat menggunakan bars ini ketika mencoba

untuk berjalan. Perlahan-lahan pasien dapat berlatih dengan tongkat. Tongkat quad, yang

memiliki empat kaki di lantai, menyediakan stabilitas yang lebih baik dan biasanya pertama kali digunakan. Saat pasien memiliki keseimbangan dan kekuatan yang cukup,tongkat satu


(38)

Activities of Daily Living

Activities of daily living (ADL) adalah suatu istilah untuk aktivitas sehari-hari yang penting, seperti perawatan diri, makan, berpakaian, menulis dan aktivitas pekerjaan. Mempelajari kembali aktivitas dasar ini adalah bagian penting dari rehabilitasi pada pasien GBS. Mengarahkan pasien untuk melakukan ADL adalah bidang kerja ahli terapi okupasi, karena fokus kerjanya adalah latihan untuk mendapatkan kembali fungsi ekstremitas atas. Seperti pada ekstremitas bawah, fungsi ekstremitas atas biasanya kembali dengan pola proksimal ke distal. Oleh sebab itu, penggunaan bahu,yang lebih proksimal akan lebih dahulu kembali sebelum tangan dan jari. Selama rehabilitasi, tes kekuatan neuromuskular akan dilakukan secara reguler,setiap minggu,untuk menilai kemajuan perbaikan kekuatan otot.

Program terapi akan disesuaikan untuk menguatkan otot-otot yang lebih lemah. 18

III.2.2.5. Speech Therapy (Terapi Wicara)

Ahli terapi wicara juga dilibatkan untuk memperbaiki fungsi menelan dan berbicara

untuk pasien dengan kelemahan orofaring yang signifikan, dengan disfagi dan disartria.2 Pada

kasus yang berat, pasien dengan respirator tidak mampu berbicara karena pipa yang terletak di jalan nafas tidak memungkinkan pergerakan pita suara, yang normalnya memproduksi

suara.18 Pada pasien yang tergantung dengan ventilator ini, strategi komunikasi alternatif juga

harus diimplementasikan.2 Pasien ini biasanya berkomunikasi via communication cards.

Biasanya begitu pipa endotrakeal dilepas, kemampuan bicara kembali dalam beberapa hari. 18

Bahkan tanpa penggunaan respirator sebelumnya, pasien masih memiliki kesulitan berbicara jika otot-otot untuk berbicara mengalami kelemahan. Otot-otot ini meliputi pita suara, lidah,

bibir, dan mulut. Ahli terapi wicara dapat membantu pasien mempelajari latihan untuk otot

yang terkena dalam rangka memperbaiki pola bicara dan kejelasan vokal, begitu pula rekomendasi perubahan diet untuk memfasilitasi proses menelan yang normal dengan nutrisi yang adekuat. Pasien yang memakai respirator selama lebih dari 2 minggu akan menbutuhkan pemasangan pipa trakeostomi yang dimasukkan mellaui lubang di depan leher.Begitu pipa dilepas, pasien ini membutuhkan latihan untuk berbicara dengan jelas sampai lubang tersebut tertutup sempurna.

III.2.2.6. Recreational Therapy

Recreational therapy dapat memiliki manfaat khusus untuk pasien dengan disabilitas

menetap. Keterikatan dengan recreational therapy membantu pasien menyesuaikan diri untuk


(39)

paling penting adalah, jenis terapi ini membantu pasien menghadapi kenyataan bahwa disabilitas tersebut adalah bagian dari kehidupan mereka, namun pasien masih dapat menikmati hidup. 18

Partisipasi dalam recreational therapy membantu dalam penyesuaian pasien terhadap

disabilitas dan memperbaiki integrasi ke dalam masyarakat. Aktivitas rekreasional, baik yang baru atau lama, dapat digunakan untuk mempercepat perkembangan dan kemandirian pada

pasien yang dirawat inap dalam jangka waktu yang lama. Terapi recreational dapat

melibatkan semua level aktivitas, mencakup menonton televisi bersama, bermain kartu, dan

bermain basketdengan kursi roda. 2,18

III.2.2.7. Psikolog dan Psikiatris

Psikolog dan psikatris memegang peranan penting dalam membantu pasien dan keluarga dalam menangani masalah paralisis, ketergantungan, hilangnya pendapatan, dan permasalahan emosional. Reaksi emosional terhadap penyakit berat dapat mencakup frustasi,depresi, mengasihani diri, penyangkalan, kemarahan dan kerakutan. Terlepas dari beratnya penyakit ini,prognosis pasien GBS cukup baik. Oleh sebab itu, pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan mengupayakan proses rehabilitasi dilalui dengan sikap optimis. Psikolog dapat membimbing pasien dan keluarga dalam menangani dampak emosi dari penyakit ini. Psikolog dapat menggunakan terapi bicara untuk membantu pasien memahami bahwa rasa takut, marah dan emosi lain tersebut adalah hal yang normal dan dapat dimengerti, dan mereka tidak seharusnya merasa bersalah atas perasaan tersebut. Membenarkan reaksi emosi terhadap GBS, dan menawarkan pengertian dan dukungan dapat meringankan rasa takut dan membimbing pasien untuk menerima. Tujuannya adalah membantu pasien GBS dan keluarganya menghadapai keterbatasan fisik apapun yang mungkin menetap dengan cara yang konstruktif. Psikiatris akan menilai keadaan emosi pasien, menghubungkannya dengan kepribadiannya dan kemudian menyediakan pengobatan, seperti antidepresan, untuk meringankan stres dan memperbaiki kemampuannya untuk


(40)

IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini seorang laki-laki (ES) umur 50 tahun, suku Karo, agama Kristen Protestan, pekerjaan petani, alamat Dusun I Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, masuk ke RS H. Adam Malik Medan, pada tanggal 18 November 2009, dengan keluhan lemah keempat anggota gerak. Hal ini dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk ke RS H. Adam Malik Medan, yang terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya os merasa kebas pada kedua kaki yang kemudian diikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain. Kelemahan pada tungkai bawah kemudian semakin memberat dalam 1 hari berikutnya sehingga os tidak dapat berjalan . Rasa lemah ini terasa menjalar ke atas hingga ke lengan, yang juga disertai rasa kebas dan semakin lama semakin memberat sehingga os tidak mampu lagi untuk menggerakkan kedua lengan dan tungkainya dalam 1 minggu terakhir. Riwayat demam dijumpai ± 5 hari sebelumnya, disertai mual dan muntah, dan batuk, demam tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun panas. Riwayat mencret (-). Riwayat trauma (-). Riwayat batuk-batuk lama sebelumnya (-). Riwayat sakit gula (-), riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-).

Pada pemeriksaan fisik dijumpai tekanan darah yang sedikit tinggi, 140/80 mmHg. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan dalam sistem motorik berupa tetraparese flaksid, penurunan tonus dan refleks tendon yang menurun pada keempat ekstremitas. Pemeriksaan sensibilitas menunjukkan parestesi pada keempat ekstremitas dan tubuh.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan sedikit peningkatan leukosit yaitu 12.900/mm3,

peningkatan SGOT dan SGPT yaitu 51 U/L dan 141 U/L, pemeriksaan foto toraks dalam batas normal, analisa CSF dalam batas normal, tidak menunjukkan peningkatan protein maupun jumlah sel.

Pasien didiagnosa dengan Guillain Barre Syndrome, berdasarkan perjalanan klinis

yang cepat, kelemahan yang bersifat ascending dan simetris, dan dijumpai riwayat demam

sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik dan neurologis dijumpai kelemahan keempat ekstremitas, penurunan tonus dan refleks tendon fisiologis, yang menunjukkan tetraparese yang bersifat flaksid yang mendukung diagnosa GBS. Diagnosa banding miopati disingkirkan berdasarkan tidak dijumpainya kelemahan yang bersifat proksimal, tidak ada atrofi dan pada pasien ini dijumpai gangguan sensorik. Diagnosa banding miastenia gravis disingkirkan berdasarkan tidak dijumpai kelemahan yang bersifat fluktuatif.

Pasien dirawat di ICU karena mengalami gangguan bernafas akibat kelemahan

otot-otot pernafasan. Pasien menjalani total plasma exchange dan terlihat kemajuan kondisi


(41)

dirawat di ICU pasien menjalani fisioterapi 5X per minggu berupa infra red (IR), chest fisiotherapy dan exercise. Setelah dirawat di ICU selama lebih kurang 40 hari, pasien kembali dirawat di bangsal Neurologi RSUP HAM, untuk mendapatkan perawatan dan rehabilitasi.

Pasien menjalani fisioterapi berupa IR, strengthening exercise dan ROM (range of motion) 3

X seminggu. Pada saat dirawat, pasien mengalami cedera tambahan berupa spondilolistesis

yang memperlambat proses rehabilitasi. Kemudian pasien dikonsulkan kembali ke bag IRM

dan direncanakan tindakan fisioterapi berupa IR, strengthening exercise, ROM dan latihan

tilting table dan penggunaan alat bantu berupa chair back brace.

V. PERMASALAHAN

1. Bagaimana optimalisasi tindakan rehabilitasi pada pasien tersebut ?

2. Apakah diperlukan alat bantu (orthesa) selain chair back brace pada kasus ini?

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnese dan pemeriksaan neurologik.

2. Prognosa pasien ini baik mengingat selama dalam perawatan, pasien tidak

memerlukan penggunaan ventilator dan respon yang baik terhadap terapi spesifik

berupa total plasma exchange.

3. Tindakan fisioterapi diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi

disabilitas pada pasien

VII. SARAN

1. Sebaiknya pasien ini dirawat secara multidisipliner.

2. Perlu dijelaskan pada keluarga os mengenai perjalanan penyakit dan tindakan


(42)

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller A, Ali OE. Guillain Barre Syndrome. 2007. Available from :

http://www.emedicine.medscape.com/article

2. Davids HR, Oleszek JL. Guillain Barre Syndrome 2006. Available from :

http://www.emedicine.medscape.com/article

3. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th edition. New

York : McGraw-Hill Company. 2005.p1121-1127

4. Meythaler JM. Rehabilitation of Guillain-Barre Syndrome. Arch Phys Med Rehabil.

1997 ; 78 :872-879.

5. Gilroy J. Basic Neurology,3rd ed. New York:McGraw-Hill; 2000. p612-616

6. Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and other immune-mediated

neuropathies. In : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles

of Internal Medicine. 16th. New York : Mc Graw Hill ; 2005.p 2513-2518.

7. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathies. In :In : Brust JC.editor. Current

Diagnosis & Treatment Neurology. New York : Mc Graw Hill ; 2007.p 659-662

8. Lance DJ, latov N, Trojaborg W. Acquired neuropathies. In : Rowland LP,ed.

Merrit’S Neurology. 10th edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2000.

p 613-615.

9. Hankey GJ, Wardlaw JM. Clinical Neurology. 1st edition. London : Manson

Publishing; 2008. p 588-592

10.Csurhers PA. Sullivan AA, Green K, Pender,et al. T Cell reactivity to P0, P2, PMP-22

and myelin basic protein in patients with Guillain-Barre syndrome and chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005; 76; 1431-1439.

11.Mackay IR, Rosen FS. Autoimmun Diseases. N Engl J Med. 2001 ; 345 : 340-350.

12.Godschalk P, Heikema A, Komagamine T,et al. The crucial role of Campylobacter

jejuni genes in antiganglioside antibody induction in Guillain –Barre syndrome. J Clin Invest. 2004 ; 114 :1659-1665.

13.Matsumoto Y, Yuki N, Furuhawa K, et al. Cutting Edge : Guillain Barre

Syndrome-Associated IgG Responses to Gangliosides are generated independently of CD1 function in mice. Journal of Immunology : 2008 : 180: 39-43.

14.Dobkin B. The Clinical Science of Neurologic Rehabilitation. Second Edition. Oxford


(43)

15.Tarek A. Gaber K. Case studies in Neurological Rehabilitation. New York : Cambridge University Press. 2008.

16.Hughes RA, Wijdicks FM, Benson E, et al. Supportive Care for Patients With

Guillain-Barre Syndrome. Arch Neurol. 2005 ; 62 : 1194-1198.

17.Selzer ME, Clarke S, Cohen LG, et al. Textbook of Neural Repair and Rehabilitation.

Volume II. New York : Cambridge University Press. 2006.

18.Parry GJ, Steinberg J. Guillain-Barre Syndrome. From Diagnosis to Recovery. New


(44)

LAMPIRAN


(1)

paling penting adalah, jenis terapi ini membantu pasien menghadapi kenyataan bahwa disabilitas tersebut adalah bagian dari kehidupan mereka, namun pasien masih dapat menikmati hidup. 18

Partisipasi dalam recreational therapy membantu dalam penyesuaian pasien terhadap disabilitas dan memperbaiki integrasi ke dalam masyarakat. Aktivitas rekreasional, baik yang baru atau lama, dapat digunakan untuk mempercepat perkembangan dan kemandirian pada pasien yang dirawat inap dalam jangka waktu yang lama. Terapi recreational dapat melibatkan semua level aktivitas, mencakup menonton televisi bersama, bermain kartu, dan bermain basketdengan kursi roda. 2,18

III.2.2.7. Psikolog dan Psikiatris

Psikolog dan psikatris memegang peranan penting dalam membantu pasien dan keluarga dalam menangani masalah paralisis, ketergantungan, hilangnya pendapatan, dan permasalahan emosional. Reaksi emosional terhadap penyakit berat dapat mencakup frustasi,depresi, mengasihani diri, penyangkalan, kemarahan dan kerakutan. Terlepas dari beratnya penyakit ini,prognosis pasien GBS cukup baik. Oleh sebab itu, pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan mengupayakan proses rehabilitasi dilalui dengan sikap optimis. Psikolog dapat membimbing pasien dan keluarga dalam menangani dampak emosi dari penyakit ini. Psikolog dapat menggunakan terapi bicara untuk membantu pasien memahami bahwa rasa takut, marah dan emosi lain tersebut adalah hal yang normal dan dapat dimengerti, dan mereka tidak seharusnya merasa bersalah atas perasaan tersebut. Membenarkan reaksi emosi terhadap GBS, dan menawarkan pengertian dan dukungan dapat meringankan rasa takut dan membimbing pasien untuk menerima. Tujuannya adalah membantu pasien GBS dan keluarganya menghadapai keterbatasan fisik apapun yang mungkin menetap dengan cara yang konstruktif. Psikiatris akan menilai keadaan emosi pasien, menghubungkannya dengan kepribadiannya dan kemudian menyediakan pengobatan, seperti antidepresan, untuk meringankan stres dan memperbaiki kemampuannya untuk beradaptasi. 18


(2)

IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini seorang laki-laki (ES) umur 50 tahun, suku Karo, agama Kristen Protestan, pekerjaan petani, alamat Dusun I Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, masuk ke RS H. Adam Malik Medan, pada tanggal 18 November 2009, dengan keluhan lemah keempat anggota gerak. Hal ini dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk ke RS H. Adam Malik Medan, yang terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya os merasa kebas pada kedua kaki yang kemudian diikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain. Kelemahan pada tungkai bawah kemudian semakin memberat dalam 1 hari berikutnya sehingga os tidak dapat berjalan . Rasa lemah ini terasa menjalar ke atas hingga ke lengan, yang juga disertai rasa kebas dan semakin lama semakin memberat sehingga os tidak mampu lagi untuk menggerakkan kedua lengan dan tungkainya dalam 1 minggu terakhir. Riwayat demam dijumpai ± 5 hari sebelumnya, disertai mual dan muntah, dan batuk, demam tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun panas. Riwayat mencret (-). Riwayat trauma (-). Riwayat batuk-batuk lama sebelumnya (-). Riwayat sakit gula (-), riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-).

Pada pemeriksaan fisik dijumpai tekanan darah yang sedikit tinggi, 140/80 mmHg. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan dalam sistem motorik berupa tetraparese flaksid, penurunan tonus dan refleks tendon yang menurun pada keempat ekstremitas. Pemeriksaan sensibilitas menunjukkan parestesi pada keempat ekstremitas dan tubuh. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan sedikit peningkatan leukosit yaitu 12.900/mm3, peningkatan SGOT dan SGPT yaitu 51 U/L dan 141 U/L, pemeriksaan foto toraks dalam batas normal, analisa CSF dalam batas normal, tidak menunjukkan peningkatan protein maupun jumlah sel.

Pasien didiagnosa dengan Guillain Barre Syndrome, berdasarkan perjalanan klinis yang cepat, kelemahan yang bersifat ascending dan simetris, dan dijumpai riwayat demam sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik dan neurologis dijumpai kelemahan keempat ekstremitas, penurunan tonus dan refleks tendon fisiologis, yang menunjukkan tetraparese


(3)

dirawat di ICU pasien menjalani fisioterapi 5X per minggu berupa infra red (IR), chest fisiotherapy dan exercise. Setelah dirawat di ICU selama lebih kurang 40 hari, pasien kembali dirawat di bangsal Neurologi RSUP HAM, untuk mendapatkan perawatan dan rehabilitasi. Pasien menjalani fisioterapi berupa IR, strengthening exercise dan ROM (range of motion) 3 X seminggu. Pada saat dirawat, pasien mengalami cedera tambahan berupa spondilolistesis yang memperlambat proses rehabilitasi. Kemudian pasien dikonsulkan kembali ke bag IRM dan direncanakan tindakan fisioterapi berupa IR, strengthening exercise, ROM dan latihan tilting table dan penggunaan alat bantu berupa chair back brace.

V. PERMASALAHAN

1. Bagaimana optimalisasi tindakan rehabilitasi pada pasien tersebut ?

2. Apakah diperlukan alat bantu (orthesa) selain chair back brace pada kasus ini?

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnese dan pemeriksaan neurologik.

2. Prognosa pasien ini baik mengingat selama dalam perawatan, pasien tidak memerlukan penggunaan ventilator dan respon yang baik terhadap terapi spesifik berupa total plasma exchange.

3. Tindakan fisioterapi diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi disabilitas pada pasien

VII. SARAN

1. Sebaiknya pasien ini dirawat secara multidisipliner.

2. Perlu dijelaskan pada keluarga os mengenai perjalanan penyakit dan tindakan fisioterapi yang diberikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller A, Ali OE. Guillain Barre Syndrome. 2007. Available from : http://www.emedicine.medscape.com/article

2. Davids HR, Oleszek JL. Guillain Barre Syndrome 2006. Available from : http://www.emedicine.medscape.com/article

3. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th edition. New York : McGraw-Hill Company. 2005.p1121-1127

4. Meythaler JM. Rehabilitation of Guillain-Barre Syndrome. Arch Phys Med Rehabil. 1997 ; 78 :872-879.

5. Gilroy J. Basic Neurology,3rd ed. New York:McGraw-Hill; 2000. p612-616

6. Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and other immune-mediated neuropathies. In : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th. New York : Mc Graw Hill ; 2005.p 2513-2518.

7. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathies. In :In : Brust JC.editor. Current Diagnosis & Treatment Neurology. New York : Mc Graw Hill ; 2007.p 659-662

8. Lance DJ, latov N, Trojaborg W. Acquired neuropathies. In : Rowland LP,ed. Merrit’S Neurology. 10th edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2000. p 613-615.

9. Hankey GJ, Wardlaw JM. Clinical Neurology. 1st edition. London : Manson Publishing; 2008. p 588-592

10.Csurhers PA. Sullivan AA, Green K, Pender,et al. T Cell reactivity to P0, P2, PMP-22 and myelin basic protein in patients with Guillain-Barre syndrome and chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005; 76; 1431-1439.

11.Mackay IR, Rosen FS. Autoimmun Diseases. N Engl J Med. 2001 ; 345 : 340-350. 12.Godschalk P, Heikema A, Komagamine T,et al. The crucial role of Campylobacter


(5)

15.Tarek A. Gaber K. Case studies in Neurological Rehabilitation. New York : Cambridge University Press. 2008.

16.Hughes RA, Wijdicks FM, Benson E, et al. Supportive Care for Patients With Guillain-Barre Syndrome. Arch Neurol. 2005 ; 62 : 1194-1198.

17.Selzer ME, Clarke S, Cohen LG, et al. Textbook of Neural Repair and Rehabilitation. Volume II. New York : Cambridge University Press. 2006.

18.Parry GJ, Steinberg J. Guillain-Barre Syndrome. From Diagnosis to Recovery. New York. American Academy of Neurology. 2007.


(6)

LAMPIRAN