Gambaran Stage of Dying pada Pasien Guillain Barre Syndrome (GBS)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian merupakan suatu kebenaran atau fakta yang tidak bisa dihindari
oleh siapapun. Setiap individu, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, kelak
akan menuju kematian, meski tidak seorangpun tahu kapan waktu itu akan terjadi
(Aries & Midford dalam Corr 2012). Setiap individu memiliki respon yang
berbeda dalam memandang kematian (Kastenbaum, 2000). Ada yang mengatakan
kematian merupakan bagian dari kehidupan, ada juga yang mengatakan kematian
merupakan bagian lain dari kehidupan, serta ada juga yang mengatakan bahwa
kematian merupakan masa transisi dalam kehidupan (Watts, 2009).
Salah satu faktor yang mempengaruhi respon individu akan kematian
adalah kesehatan (Fortner & Neimer, 1994). Individu yang sehat dan individu
yang sakit memiliki kecemasan yang berbeda dalam menyikapi kematian. Josua
(2007) menemukan bahwa bahwa individu yang sehat baik secara fisik maupun
mental memandang kematian sebagai sesuatu yang akan dihadapi oleh setiap
individu namun dengan tingkat kecemasan dan ketakutan yang rendah terhadap
kematian tersebut. Sedangkan, individu yang sakit baik secara mental maupun
fisik menyikapi kematian dengan kecemasan dan ketakutan yang tinggi.
Ketakutan


akan

kematian

tersebut

menyebabkan

distress

yang

intens,

berkurangnya kesenangan dan kepuasan akan hidup, dan mulai menutup diri dari
pergaulan dengan lingkungan sekitar (Patricia, Walker & Stein, 2007).

1
Universitas Sumatera Utara


2

Dari banyak penyakit, penyakit kronis merupakan penyebab kematian
tertinggi (Carr, 2012). Menurut WHO 2011, di Indonesia pada tahun 2008
terdapat 582.300 laki-laki dan 471.800 wanita meninggal disebabkan oleh
penyakit kronis (Departemen Kesehatan Indonesia, 2007). Menurut organisasi
kesehatan dunia atau WHO penyakit kronis merupakan penyakit yang paling
banyak menyebabkan kematian di dunia. Penyakit kronis ini merupakan penyakit
tidak menular (PTM), yang banyak disebabkan oleh diet yang buruk, pengaruh
lingkungan yang tidak baik, pola hidup yang tidak sehat atau makan makanan
yang tidak sehat dan mengkonsumsi minuman beralkohol, seperti penyakit
kanker, jantung, dan diabetes, dan lainnya, merupakan penyebab utama kematian
saat ini (Voa Indonesia, 2014).
Penyakit kronis cenderung diderita oleh individu yang telah memasuki
masa dewasa awal, yang memiliki kemungkinan menderita penyakit kronis
dengan tingkat kematian yang tinggi, seperti jantung, kanker, stroke maupun
penyakit kronis lainnya (Sarafino, 2011). Remaja dan dewasa awal yang
mengalami penyakit kronis menyadari mereka akan sulit menerima kematian
dalam usia yang sangat muda, merasa marah karena merasa hidup mereka akan
sia-sia dan merasa tidak adil karena tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan

hidup dan memperbaikinya. Lebih jauh lagi individu dewasa muda memikirkan
apa yang akan terjadi setelah kematian, bagaimana dampak kematian mereka
terhadap lingkungan, merasa hidup yang dia miliki tidak ada artinya karena masih
banyak hal yang ingin dilakukan tapi tidak bisa diwujudkan. Dewasa tua
memikirkan kematian lebih dari apa yang dipikirkan oleh dewasa muda, dewasa

Universitas Sumatera Utara

3

tua memikirkan martabat, autonomi, seperti kehilangan kendali dalam hidup
(Cicirelli, Thorson & Powell dalam Josua, 2007).
Sarafino (2011) mengatakan seseorang yang mengetahui bahwa dirinya
terkena penyakit kronis akan menunjukkan sikap terkejut atau shock. Hal ini bisa
berlangsung beberapa saat bahkan bisa berminggu-minggu jika hal yang dialami
merupakan hal yang berat. Pernyataan ini juga didukung oleh Ross (2009) yang
mengatakan bahwa saat dihadapkan dengan suatu penyakit kronis yang dekat
dengan kematian seseorang akan terkejut dan menolak (denial) bahwa tidak
mungkin hal tersebut terjadi dalam hidupnya. Hal ini seperti yang dirasakan oleh
salah satu penderita penyakit kronis yang mengatakan bahwa:

“Tetapi ketika diriku yang mendapat vonis sakit dan ga ada obatnya,
akhirnya aku mengerti dan bisa merasakan bagaimana shock dan
stressnya memikirkan apa yang akan terjadi, otak jadi buntu.”
(DD Februari 2015, diakses pada September 2016)
Livneh (2007) mengatakan seseorang yang mengetahui bahwa dia
menderita penyakit kronis akan menolak keadaannya dan juga mengalami
kecemasan. Dia juga menjelaskan bahwa seseorang yang menderita penyakit
kronis akan mengalami depresi juga mengalami masalah adaptasi. Sejalan dengan
hal tersebut Ross (2009) menjelaskan ketika pasien tidak mampu mengontrol
penolakan terhadap keadaannya maka respon yang dilakukan pasien dapat berupa
kemarahan (anger ), individu tersebut akan marah dengan apa yang terjadi pada
dirinya dan mengatakan “mengapa saya”. Akan sulit bagi individu dengan
terminal illness menerima kenyataan bahwa kematian dekat dengan orang yang

mengalami penyakit tersebut. Menerima kenyataan bahwa seseorang dihadapkan
dengan penyakit kronis bukanlah hal yang mudah. Menolak penyakit yang

Universitas Sumatera Utara

4


diderita, beradaptasi dengan obat-obatan yang selama ini tidak dikonsumsi oleh
pasien juga dialami oleh salah satu penderita penyakit kronis seperti yang
dinyatakan di bawah ini:
“Kenapa aku bisa sampai terkena penyakit ini? Harus diet makanan yang
ketat,menjaga cairan yang masuk ke tubuh,gak boleh kecapekan dan
banyak pantangan lainnya. Hal itulah yang kujalani selama 4 tahun ini.
Setiap hari minum obat, tiap 2 minggu sekali harus merelakan tubuhku
ditusuk jarum dan dipasang selang untuk cuci darah”.
(D Desember 2008, diakses pada September 2016)
Rider, Fournier & Bensing 2004 (dalam Livneh 2009), mengatakan bahwa
seseorang dengan penyakit kronis akan menjadi seseorang yang pesimis.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa seseorang dengan penyakit kronis juga
mengalami ketidakberdayaan terhadap dirinya sendiri. Individu akan merasakan
kekecewaaan ketika mereka dalam kondisi kronis, hal ini karena mereka tidak
mampu mewujudkan tujuan ataupun mimpi yang mereka ingin capai juga akan
mengalami ketakutan akan kehilangan tubuhnya sendiri (Hayship & Peveto,
dalam Despelder dkk 2005). Hal ini juga dialami oleh salah satu pasien penyakit
kronis sebagaimana dalam kutipan berikut ini :
“Sudah lama saya hidup dengan penyakit ini, semua pengobatan sudah

dicoba namun tidak memberikan dampak yang baik. Saya malu dengan
kondisi saya, hanya duduk di kursi roda tidak bisa melakukan apapun
sendiri, saya malu keluar rumah dan bertemu dengan teman-teman.”
(Rest in Peace, Kalimantan 2014)
Jika masih ada waktu (belum dihadapkan dengan kematian) maka pasien
akan berusaha kompromi (bargaining) dengan Tuhan, membuat perjanjian bahwa
jika diberi kesempatan maka pasien akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik
lagi. Namun, jika harapan yang dibuat oleh pasien tidak membuahkan hasil pasien
akan mulai depresi. Beberapa pasien memutuskan untuk mengakhiri hidupnya

Universitas Sumatera Utara

5

karena seakan-akan tidak ada jalan keluar bagi masalahnya. Bagi beberapa pasien
ada yang mampu bertahan lebih lama bahkan menerima kenyataan bahwa
kematian telah dekat. Bagi pasien yang telah berdamai dan menerima
(acceptance) kematian memandang kematian itu bukanlah akhir dari segalanya,
kematian adalah tempat peristirahatan sebelum memulai perjalanan panjang
(Ross, 2009).

Masing-masing individu dengan penyakit kronis akan memiliki reaksi
yang berbeda terhadap kematian. Reaksi yang ditunjukkan oleh individu juga
tergantung pada bagaimana dukungan sosial yang dia dapatkan, bagaimana tipe
kepribadian yang dia miliki, penyakit kronis seperti apa yang dihadapinya saat ini,
apa efek yang ditimbulkan oleh penyakit kronis tersebut, bagaimana
pengetahuannya akan penyakit tersebut, apakah ada treatment yang cocok untuk
menangani penyakit kronis tersebut, dan lainnya. Orang dengan sakit kronis
secara teratur perlu melakukan pemeriksaan medis atau mengubah gaya hidup.
Banyak kondisi kronis yang tidak hanya menyebabkan cacat, bahkan tak jarang
penyakit kronis menyebabkan kematian (Sarafino, 2011).
Alternatif pengobatan yang tersedia juga mempengaruhi bagaimana respon
individu terhadap kematian. Seiring dengan berkembangnya teknologi, alternatif
pengobatan dalam bidang kesehatan pun semakin banyak ditemukan. Misalnya,
untuk penyakit kanker, pengobatan dapat berupa pembedahan, terapi penyinaran,
kemoterapi, terapi kombinasi, dan sebagainya (diakses pada 14 Juli 2014, dalam
Pengobatan Kanker).

Universitas Sumatera Utara

6


Namun tidak semua penyakit kronis memiliki alternatif pengobatan yang
baik. Salah satu penyakit kronis tersebut adalah Guillain Barre Syndrome (GBS).
Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan penyakit yang langka. Banyak dokter

yang belum pernah menemukan pasien dengan penyakit ini, mengalami kesalahan
diagnosa di awal pemeriksaan. Meskipun angka kejadian sindroma yang
menyerang saraf tepi ini, di dunia, terbilang masih cukup kecil, yaitu 0,6-1,9 per
100.000 penduduk, namun para neurolog sering tersamarkan dengan gejala-gejala
yang timbul, karena hampir sama dengan jenis kelainan saraf lainnya (Darma
Imran, dalam Medicinus edisi Agustus 2012). Menurut Darma, penyakit Guillain
Barre Syndrome ini merupakan penyakit yang berbahaya, hal ini dikarenakan anti

bodi yang seharusnya melindungi berubah menjadi antigen bagi tubuh yang
menyerang sistem saraf.
Penyakit GBS berbeda dengan penyakit kronis lainnya, GBS merupakan
penyakit yang langka dan sangat jarang ditemukan. Pengobatan untuk penyakit ini
belum ditemukan, sedangkan penyakit kronis lainnya, seperti kanker telah
ditemukan treatment untuk penanganannya, misalnya dengan melakukan
kemoterapi, terapi oksigen untuk penyakit paru obstruktif kronik, dan sebagainya

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
GBS merupakan penyakit akut peripheral neuropathy—sebuah kondisi
dimana terjadi degenerasi yang melibatkan sistem saraf dan meluas hingga ke
bagian kepala, tubuh, dan sistem limbik (Parry & Steinberg, 2007). GBS dapat
juga dijelaskan sebagai serangan sistem kekebalan tubuh terhadap selaput myelin,
menyebabkan lepasnya myelin dari dinding tempat melekatnya myelin, dan

Universitas Sumatera Utara

7

mengarah kepada short circuit, sehingga pesan elektrikal tidak dapat dikirim ke
bagian otak dan bagian perifer tubuh (Parry & Steinberg, 2007). Hal ini
menyebabkan terjadinya kesalahan penerjemahan pesan di bagian otak.
Efek yang terjadi pada pasien Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah
melemahnya otot-otot tubuh, hal ini merupakan gejala primer dari GBS.
Melemahnya otot ini terjadi dengan sangat cepat, hitungan hari hingga minggu,
dan umumnya terlebih dahulu menyerang bagian kaki. Melemahnya otot tubuh
mempengaruhi sistem pernapasan, bicara, dan menelan. Besar kemungkinan
menyebabkan kelumpuhan total (Parry & Steinberg, 2007).

Salah satu penyebab terjadinya GBS adalah infeksi virus, meskipun hingga
saat ini masih menjadi pertanyaan apa sebenarnya penyebab munculnya penyakit
ini (Parry & Steinberg, 2007). Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa virus
yang telah laten pada tubuh sewaktu-waktu akan menyerang kembali tubuh dan
menyebabkan menurunnya kembali fungsi tubuh, seperti virus AIDS. Jika pasien
GBS tersebut terserang virus dan virus tersebut laten pada tubuhnya maka ada
kemungkinan pasien akan mengalami penurunan kembali fungsi tubuhnya
(Wikipedia, diakses pada 25 November 2013). Bahkan virus tersebut mampu
memunculkan penyakit lain pada pasien.
Dalam kasus yang ekstrim, seorang pasien Guillain Barre Syndrome
(GBS) akan kehilangan seluruh pergerakan ototnya dan membuat pasien tidak
mampu berkomunikasi, dan kasus ini merupakan severe cases. Kasus ini juga
sering disebut dengan locked-in syndrome. Seseorang dengan kondisi seperti ini
akan mengalami koma atau tidak sadar, sehingga orang-orang di sekitarnya perlu

Universitas Sumatera Utara

8

tetap berjaga-jaga (Parry & Steinberg, 2007). GBS merupakan penyakit cronic

illness yang menyebabkan rasa sakit serius pada penderita juga menyebabkan

kematian. Meskipun tersedia peralatan medis (ICU, ventilator, terapi, dsb) yang
dapat menunjang kesembuhan pasien, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat
mengalami kematian dan 12 % tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48
minggu setelah gejala pertama muncul, 20 % pasien akan tetap hidup dengan
memiliki gejala sisa (Frans Irapanusa, diakses pada 17 Oktober 2016).
Penyakit GBS merupakan penyakit kronis langka yang mengakibatkan
kelumpuhan pada penderita. Penyebab utama mengapa seseorang menderita
penyakit ini belum diketahui secara pasti dan pengobatan yang tepat untuk pasien
juga belum ditemukan. Resiko kematian pada pasien dengan penyakit ini juga
tinggi seperti penyakit kronis lain. Pasien dengan penyakit GBS tidak mudah
menjalani kehidupan dengan penyakit ini serta adanya kemungkinan kematian
yang terjadi pada pasien.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa pasien dengan penyakit
Guillain Barre Syndrome (GBS) sebagai salah satu penyakit kronis yang langka,

dapat membuat seorang yang didiagnosa penyakit ini merasa kematian dekat pada
dirinya, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana seseorang
pasien yang menderita penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) berespon dalam
setiap stase kematian berdasarkan teori Kubler Ross.

Universitas Sumatera Utara

9

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran Stage of Dying pada seorang pasien Guillain Barre
Syndrome (GBS)?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan

peneliti

dalam

penelitian

ini

adalah

sebagai

berikut

:

Menggambarkan Stage of Dying pada pasien Guillain Barre Syndrome (GBS).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
pengetahuan terhadap ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis mengenai Stage
of Dying pada pasien dengan penyakit kronis (Guillain Barre Syndrome).

2. Manfaat Teoritis
a. Untuk pasien GBS
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pasien GBS
mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh pasien ketika dalam kondisi
sakit dengan penyakit terminal illnes. Dengan demikian diharapkan pasien
mampu menerima penyakitnya ataupun kondisi yang dihadapinya serta menerima
kematian dirinya sendiri. Menerima kematian diri sendiri akan membantu pasien
mensyukuri hidupnya dan bersukacita menjalani hidup meskipun dalam kondisi
sakit.

Universitas Sumatera Utara

10

b. Untuk keluarga dan masyarakat
1. Dapat menjadi sumber informasi mengenai aspek psikologis yang
dirasakan oleh pasien juga tahap-tahap kematian yang dialami oleh pasien
sehingga keluarga mampu merawat dan memberikan dukungan kepada
pasien, agar pasien dapat menerima baik penyakit maupun kemungkinan
terjadinya kematian dan merasa dihargai serta didukung.
2. Dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat untuk mengetahui
penyakit GBS, apa dampak secara fisik terutama psikologis yang
dirasakan oleh pasien, dan bagaimana tahap-tahapan kematian yang
dialami pasien. Sehingga, ketika ada anggota keluarga ataupun saudara
yang mengalami penyakit ini mengetahui hal apa yang dilakukan, secara
psikologis, terhadap penderita.
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini digambarkan latar belakang masalah berupa kematian, aspek
psikologis yang ditemukan pada pasien dengan penyakit kronis, juga penjelasan
mengenai GBS, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian.

Universitas Sumatera Utara

11

BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori Stage of Dying oleh
Kubler Ross, pasien, dan Guillain Barre Syndrome (GBS).
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisikan subjek penelitian, informan penelitian dan lokasi
penelitian. Selain itu juga teknik pengambilan sampel yang dipergunakan dalam
penelitian dan metode pengambilan data.
BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjelaskan tentang gambaran subjek penelitian, setting
penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah
dijelaskan di bab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga akan memuat saran
penyempurnaan

penelitian

berikutnya.

Universitas Sumatera Utara