Kritik Peristiwa 30 September 1965 dan I

Kritik Peristiwa 30 September 1965 dan Implikasinya
dalam Pembangunan Pendidikan ke Arah Kedewasaan
bagi Masyarakat Indonesia1
Oleh: Ferdy Yudha Pratama2

Pengantar
Tak akan pernah lupa dari ingatan setiap masyarakat Indonesia akan
peristiwa di malam 30 September 1965. Peristiwa tersebut masuk ke dalam
catatan kelam sejarah bangsa ini. Namun hingga kini belum dapat dipastikan siapa
dalang dibalik peristiwa tersebut. Setelah kejatuhan pemerintahan Soeharto di
tahun 1998, orang-orang yang pada masa sebelumnya diam mulai angkat bicara
menyoal berbagai kontroversi peristiwa 1965, juga mempertanyakan kembali
tentang ”versi resmi” yang dianggap benar oleh masyarakat luas selama lebih dari
empat dekade. Secara cepat keran demokrasi terbuka lebar. Pembahasan mengenai
peristiwa 1965 beserta “versi resmi”-nya mulai marak, seperti dalam berbagai
seminar, diskusi, penulisan buku, acara debat di televisi, dan lainnya.
Bahan kajian yang paling diminati adalah mempertanyakan kembali
tentang siapa sebenarnya yang mendalangi peristiwa 30 September 1965. Salah
satunya A. Pambudi (2011) dalam bukunya Fakta dan Rekayasa G30S Menurut
Kesaksian Para pelaku yang mengungkapkan sedikitnya ada enam versi, pelaku


utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus, G 30 S adalah persoalan internal AD,
G 30 S digerakkan oleh CIA, bertemunya kepentingan Inggris dan AS, Soekarno
dalang gerakan 30 September, hingga teori Chaos yang menyebutkan tak ada
dalang tunggal dalam peristiwa G 30 S. Selain itu, bahan kajian lainnya juga
mengenai penambahan kata “PKI” dalam singkatan G 30 S dan kontroversi film
Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer di tahun 1984.
Artikel ini diajukan untuk memenuhi realisasi program kerja “Pena Sejarah I” tahun
2014 oleh Biro Penelitian dan Pengembangan, Bidang Pendidikan di Himpunan Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Sejarah – Universitas Pendidikan Indonesia.
2
Ferdy Yudha Pratama adalah mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah – Universitas
Pendidikan Indonesia angkatan 2012. Pernah menjabat sebagai Ketua Biro Penelitian dan
Pengembangan, Bidang Pendidikan di Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah –
Universitas Pendidikan Indonesia periode 2014/2015.
1

1

Kemudian kajian-kajian tersebut makin berkembang hingga menyentuh
aspek pendidikan, karena pada masa pemerintahan Soeharto, buku-buku yang

berkaitan dengan Komunis atau Marxisme dilarang beredar, kemudian singkatan
G 30 S/PKI tercantum ke dalam buku-buku pelajaran siswa sekolah. Tak sampai
di situ, film Pengkhianatan G 30 S/PKI pun menjadi tontonan wajib bagi
masyarakat, termasuk untuk para generasi muda saat itu. Sehingga pendidikan
bagi generasi muda saat inilah yang memiliki peran penting dalam membangun
tradisi ilmiah dan membentuk paradigma baru yang lebih dewasa.

Kontroversi Singkatan G 30 S/PKI dan Pendidikan di Indonesia
Jika dipahami secara kritis, pemakaian kata “PKI” tidak lain adalah
pernyataan yang mengandung makna pelaku peristiwa 1965. Penulisan G 30
S/PKI pertama kali dimuat dalam sebuah buku berjudul “Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia (G.30.S/PKI)” yang dikeluarkan oleh Komando

Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban tahun 1978. Buku tersebut
menyebutkan bahwa “...secara garis besar telah diyakini bahwa G.30.S. adalah
perbuatan PKI dalam rangka usaha perbuatan kekuasaan Negara Republik
Indonesia yang syah” (KOPKAMTIB, 1978: 1). Buku tersebut menjadi “versi
resmi” yang menjadi sumber rujukan utama bagi penyusunan buku-buku
selanjutnya, salah satunya Sejarah Nasional Indonesia VI oleh Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang nantinya menjadi rujukan juga bagi

buku-buku pelajaran siswa di sekolah.
Penggunaan kata “PKI” pada konsep G 30 S dimulai pada awal masa
kepemimpinan Presiden Soeharto. Versi resmi pemerintah Indonesia menyatakan
peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat oleh pasukan
Cakrabirawa itu dikenal dan ditulis dengan istilah G-30-S 1965/PKI (Nurhadi,
2012: 2). Ditambahkannya istilah itu yang menjadi G 30 S/PKI adalah
berdasarkan atas penemuan-penemuan dari mereka yang menang. Pihak yang
menang kala itu bisa disebut Soeharto beserta pemerintahannya yang
menggantikan kepemimpinan Soekarno di tahun 1967.

2

Penulisan G 30 S/PKI banyak ditemukan pada artikel dan buku-buku
untuk konsumsi umum ataupun untuk pelajar di berbagai tingkatan sekolah.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo terbitan tahun 2000. Hasil
"indoktrinasi" lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat.
Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta)
jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis (Sari,
2012).
Pemakaian kata ”PKI” dalam singkatan G 30 S merupakan hal yang tidak

bisa dipandang sebelah mata. Hal tersebut telah menjadi pertarungan bahasa, dan
konsekuensinya pun sangat luar biasa. Ini tidak hanya sekedar pertaruhan
pemakaian tiga huruf tetapi konsekuensi di belakangnya: pemulihan nama baik
orang-orang PKI hingga penamaan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan (jika
kekuasaan wacana suatu ketika berbalik) (Nurhadi, 2012: 3). Berdasarkan tafsiran
sejarah, penggunaan kata “PKI” pada konsep G 30 S masih menjadi perdebatan
dan hingga kini belum juga diperoleh kesepakatan pasti tentang siapa dalang di
balik peristiwa tersebut.
“Pengingkaran penulisan kata G 30 S 1965 tanpa mencantumkan kata PKI
di belakangnya merupakan suatu bentuk yang tidak diizinkan oleh pihak
yang berwenang, dalam hal ini pemerintah, termasuk juga pemerintah
reformasi, pemerintahan pasca Orde Baru yang dilegitimasi sebagai rezim
yang berbeda dengan Orde Baru” (Nurhadi, 2012: 1-2).
Maka menjadi jelas mengapa hingga kini buku-buku pelajaran di tingkat SD,
SLTP maupun SLTA masih mencantumkan PKI dalam singkatan G 30 S dan
menjadi konsumsi sehari-hari yang perlahan-lahan membentuk mindset generasi
muda.

Kontroversi Film Pengkhianatan G 30 S/PKI
Peristiwa 1965 menjadi topik terhangat yang menggemparkan seluruh

negeri bahkan sampai menjadi bahan perbincangan dunia kala itu. Berita
pembunuhan jenderal tersebar ke semua daerah, baik melalui media cetak, siaran
radio, dan televisi. Tidak kalah tenar dengan pemberitaan media, muncul sebuah
film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dibuat
tahun 1984. Arifin C. Noer sendiri merupakan seorang sineas terkenal yang

3

beberapa filmnya pada dekade 70-80’an dilarang beredar oleh pemerintah Orde
Baru, seperti Koruptor-koruptor (1978) dan Matahari-matahari (1985) karena
dianggap bertentangan dengan ideologi pembangunan. Menurut Veven Sp.
Wardhana (2013: 172),
“Di kemudian hari, Arifin C. Noer menggarap film “proyek” pemerintah:
Pemberontakan Pengkhianatan G30S/PKI (1984), yang menimbulkan
kontroversi. Mungkin dengan cara ini Arifin C. Noer hendak menunjukkan
bahwa dirinya tidak “memusuhi” pemerintah. Dalam sebuah percakapan
dengan saya, dia katakan bahwa film tersebut tak sepenuhnya sebagai
corong pemerintah, itu antara lain dengan dituliskannya dalam credit title:
“Cerita Arifin C. Noer”- sehingga tetap ada sentuhan atau sidik jari atau
versi atau identitas sang sineas”.

Film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan tontonan yang wajib
disaksikan oleh seluruh masyarakat, karena selama 13 tahun terakhir
pemerintahan orde baru film ini wajib diputar di televisi dan bioskop-bioskop
setiap malam 30 September. Setelah masa orde baru runtuh, banyak kalangan
yang mempertanyakan mengenai kebenaran dari “versi resmi” yang selama
bertahun-tahun dipercayai sebagai sejarah yang pasti, termasuk yang digambarkan
dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Film ini disebut-sebut sebagai upaya
pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media. Jalan
cerita yang ada pada film tersebut memunculkan berbagai ungkapan kontra dari
berbagai kalangan, terutama dari pihak-pihak yang memang menyaksikan
langsung peristiwa maupun pihak yang menjadi pemeran dalam film tersebut.
Salah seorang yang menyaksikan langsung peristiwa 1965 yaitu Hendro
Subroto, sebagai wartawan TVRI saat itu. Ia meliput langsung ketika
pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya. Ia banyak mengungkap
beberapa detail dari film karya Arifin C. Noer yang menyimpang, setelah
bertahun-tahun ia diam tak bersuara. "Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat,"
katanya saat diwawancara Tempo pada Maret 2001... Lantaran berada di lokasi,
almarhum Hendro berani mengatakan ketujuh jenazah itu tidak mengalami
pembengkakan. "Seperti yang saya katakan tadi: jika orang sehat dianiaya,
disundut rokok, atau disayat senjata tajam, tubuh di bagian itu akan membengkak,

sebagai reaksi dari sistem kekebalan tubuh manusia," katanya. (Sari, 2012).

4

Kemudian pihak lain yang mengungkapkan bahwa ada beberapa adegan
yang berlebihan, ia adalah Amoroso Katamsi. “Film ini sengaja dibuat untuk
memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI saat itu. Jadi memang ada semacam
muatan politik,” ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film
Pengkhianatan G 30S-PKI (Sari, 2012). Dari pihak sejarawan, ada sosok Hilmar

Farid yang menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda orde
baru. “Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN
dengan restu Soeharto,” tulis dia dalam surat elektronik (Sari, 2012). Hal tersebut
semakin meyakinkan bahwa adanya pandangan tersendiri dari pemerintah Orde
Baru terhadap peristiwa 1965. Namun semenjak tahun 1998, kebijakan
penayangan film Pengkhianatan G 30 S/PKI dihapuskan. Penghapusan tersebut
dilakukan oleh Menteri Penerangan saat itu Yunus Yosfiah, karena diduga sebagai
propaganda orde baru.

Membangun Pendidikan di Indonesia yang Lebih Dewasa

Kasus penambahan kata “PKI” dalam “versi resmi” diduga memiliki
kepentingan lain, dengan cara sebuah kesengajaan pemerintah untuk menekankan
secara tegas bahwa satu-satunya dalang G 30 S adalah mutlak akibat pergerakan
PKI. Menurut Henk Schulte Nordholt, et.al (2013),
“Menulis sejarah, terutama sejarah nasional, bukan sekedar kegiatan
intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis.
Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi
pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa
korban, peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elite dan
kelompok tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik
bagi pelaku politik maupun sejarawan”.
Pemerintah secara tidak langsung telah membentuk paradigma masyarakat dan
generasi selanjutnya yang menganggap bahwa Marxisme atau Komunisme
merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Ideologi-ideologi yang dianggap
berbahaya bukannya dihadapi secara kritis dan argumentatif, tetapi ditabukan dan
dimitoskan (Suseno, 2010: xv). Bahkan beberapa waktu yang lalu kajian terkait
Marxisme sempat dilarang di tingkat pendidikan tinggi, “...bahwa ideologi
komunisme itu juga disingkirkan dari materi yang dipelajari di universitas dan
perguruan-perguruan


tinggi

dalam

rangka

5

ilmu-ilmu

humaniora

yang

bersangkutan” (Suseno, 2010: xiv). Seakan muncul korban yang lebih banyak lagi
dari peristiwa 30 September 1965 itu sendiri, korban tersebut yaitu masyarakat
luas yang tak dicerahkan dan dibiarkan menatap dalam gelap.
Hal tersebut bertentangan dengan hakikat pendidikan yang mestinya
membentuk cara berpikir seseorang yang kritis. Sebagai akibatnya, terjadi
kebalikan dari apa yang dipesankan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar

1945: kehidupan bangsa tidak dicerdaskan, melainkan dibodohkan (Suseno, 2010:
xiv). Maka tak akan mencapai kecerdasan jika pendidikan di Indonesia masih
diselimuti tabu dan mitos tanpa pembedahan mendalam yang mengungkap
kebenaran sesuai kaidah-kaidah asas ilmiah dan akademis. Jikalau pemerintah
Orde Baru saat itu dinilai berhasil membentuk penghayatan dan pengaplikasian
Ideologi Pancasila dalam diri masyarakat Indonesia yang konsekuen dengan
menjadikan versi resmi sebagai pedoman wajib, maka sudah waktunya untuk
bersikap terbuka dan menerima sesuatu yang ilmiah. Mempelajari sesuatu tidak
sama dengan menganutnya apalagi dengan menyebarkannya (Suseno, 2010: xiv).
Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk memahami suatu hal secara mendalam
dan kemudian secara bijak menentukan sikap-sikap yang seharusnya dilakukan.
Masyarakat bukan saatnya lagi ditakut-takuti demi kelanggengan kekuasaan,
namun dibukakan matanya lebar-lebar dan diajak untuk melihat kebenaran.
Sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu
sendiri ialah proses sejarah dalam aktualitasnya (Supardan, 2008: 291). Lebih
jelasnya, ilmu sejarah masih perlu mengungkap lebih dalam peristiwa yang benarbenar telah terjadi secara apa adanya dengan kajian-kajian yang objektif.
Terutama harus terlepas dari berbagai macam kepentingan politik yang
pengaruhnya akan berdampak luas. Menurut Ashiong P. Munthe, M. Pd (dalam
Wicaksono, 2013),
“Sejarah merupakan bagian dari jati diri bangsa yang harus terbuka dan

akrab bagi generasi penerusnya...Generasi penerus tidak boleh buta
sejarah, karena belajar sejarah menjadi facilitating learning and improving
performance sebagai sumber inspirasi untuk mendidik generasi penerus
yang berkarakter dan bermoral, agar generasi penerus tidak masuk pada
kubangan kesalahan yang sama...”
Juga menurut Asvi Warman Adam (2009, 239), semakin dewasa suatu bangsa,
semakin mampu menerima sejarah sebagaimana adanya dan belajar dari sana.

6

Jika dibandingkan dengan agama, menurut Mi’raj Dodi Kurniawan dan
Andi Suwirta (2011), Agama bukan lagi benda menakutkan, atau sesuatu yang
taken for granted (diterima begitu saja), tetapi sebagai bagian dari kehidupan

manusia yang layak dijadikan “sahabat” dan ajarannya dapat dibedah dan
dikomparasikan dengan renik-renik kehidupan. Sama seperti kasus yang telah
dibahas sebelumnya, bahwa sudah saatnya peristiwa 30 September 1965 disikapi
secara kritis dan bijak, bukan lagi sebagai sesuatu yang menakutkan dan diterima
begitu saja sebagai kebenaran yang mutlak. Masyarakat Indonesia sudah saatnya
menjadi masyarakat yang dewasa, lepas dari berbagai macam tabu, mitos dan rasa
ketakutan yang berlebih terhadap apapun yang berkaitan dengan peristiwa 30
September 1965. Sudah saatnya Indonesia melakukan pembangunan dalam
bidang pendidikan. Pendidikan harus berperan sebagai aktor sentral yang merubah
paradigma masyarakat ke arah yang lebih kritis dan tidak menerima begitu saja
atau bahkan meyakini hal yang berkembang atau yang sengaja dikembangkan
oleh pihak-pihak tertentu sebagai sesuatu yang mutlak.

7

Referensi
Sumber Buku dan Artikel:
Adam, A.W. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan
Peristiwa . Jakarta: Kompas

Kopkamtib. (1978). Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
(G.30.S/PKI). Jakarta: Kopkamtib

Dodi Kurniawan-Suwirta, M.A. (2011). “Membangun Peradaban Indonesia
Melalui Ikhtiar Pendidikan yang Bercorak Alternatif dan Kritis”. Atikan:
Jurnal Kajian Pendidikan. 1, (2), 171-186.

Nordholt, H.S., et.al. (2013). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia .
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

Nurhadi. (2012). Kuasa Bahasa terhadap Sastra, Sejarah, dan Wacana
Kekuasaan. Yogyakarta: PBSI-FBS,UNY

Pambudi, A. (2011). Fakta dan Rekayasa G30S Menurut Kesaksian Para Pelaku.
Jakarta: MedPress.

Poesponegoro, M.W., dan Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia
VI. Jakarta: Balai Pustaka

Supardan, D. (2009). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta : Bumi Aksara

Suseno, F.M. (2010). Pemikiran Karl Marx (Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Wardhana, Sp. V. (2013). Budaya Massa, Agama, Wanita . Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.

8

Wicaksono, D. (2013). Marxisme dan Kehancuran PKI. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.

Sumber Online:
Sari, N. (2012). Film Pengkhianatan G 30 S/PKI Dicerca dan Dipuji. [Online].
Tersedia: http://m.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432673/Film
Pengkhianatan-G-30SPKI-Dicerca-dan-Dipuji. [30 September 2014].

9