Pokemon Go dan Anak Kita

Pokemon Go dan Anak Kita
Oleh : Rudi Haryono,S.S., M.Pd.
Dunia kita pada abad ke-21 ini memang telah mengalami loncatan IPTEK dan TI
yang luar biasa. Betapa tidak, dari hari ke hari manusia semakin dimanjakan dan dimudahkan
oleh alat komunikasi dan media sosial.

Faktanya, media banyak memberitakan terkait

dengan trend masyarakat dunia saat ini sedang “disihir” dengan game virtual Pokemon Go,
tak terkecuali masyarakat Indonesia. Adalah Satoshi Tajiri, inspirator pembuat animasi
Pokemon, yang lahir pada tanggal 28 Agustus 1965, di Machida, sebuah daerah di pinggiran
kota Tokyo, Jepang. Ayahnya merupakan seorang salesman mobil Nissan sementara ibunya
adalah seorang ibu rumah tangga. Sebagai anak muda, dia suka menjelajah ke lingkungan
luar dan terutama tertarik dengan macam-macam serangga. Dia suka mengumpulkan
serangga, berburu serangga di kolam, ladang dan hutan, terus mencari serangga-serangga
baru dan mencari cara baru untuk menangkap serangga seperti kumbang. Kartun yang
bermula muncul di Jepang beberapa tahun yang silam. Semula ia hanya berupa permainan
elektronik, lalu berkembang jadi film, komik dan merek dagang. Sebagian perusahaan yang
menangani film kartun Pokemon berlomba-lomba membuat film serial, jurnal, dan situs yang
menceritakan serial kehidupan Pokemon. Akibatnya, kontroversi dampak game Pokemon Go
berkembang terkait dengan dampak negatifnya dalam konteks pendidikan anak, sosial bahkan

keamanan negara serta privacy seseorang yang potensial rawan untuk di-hack. Lebih jauh,
Pokemon Go telah meluas dan diminati masyarakat seluruh dunia. Namun keberadaannya
yang popular tersebut tidak sedikit telah mengundang banyak kejahatan, salah satunya
kejahatan dunia maya. Inilah efek pisau dari IPTEK digital yang luar biasa. Tulisan singkat
ini hanya memfokuskan terkait dengan bagaimana kita sebagai orang tua untuk terus tidak
berhenti mengendalikan anak-anak kita dari berbagai macam letupan-letupan kecanggihan
peradaban dan perkembangan IPTEK global yang semakin tak terbendung setiap saat.
Akibatnya kohesifitas, etika, komunikasi verbal dan non-verbal dalam keluarga dan sosial
semakin tergerus. Puncaknya, manusia baik yang anak-anak maupun dewasa semakin
terasingkan dari komunitasnya dan semakin individualis serta addicted dengan gadget, game
dan produk IPTEK digital lainnya.
Media dan Anak
Mendidik anak pada abad ke-21 seperti sekarang tidaklah mudah tetapi semakin
kompleks. Hal tersebut dikarenakan tantangan pendidikan keluarga yang berasal dari

eksternal, yaitu kemajuan IPTEK dan TI digital internet. Menurut Kirkorian et.al (2008)
dalam artikelnya yang berjudul Media and Young Children’s Learning, media elektronik
seperti televisi dan terlebih lagi game bebas (bukan game edukasi), telah mempengaruhi
perkembangan pendidikan anak-anak dalam hal perkembangan kognitif dan pencapaian
akademik.


Orang

tua

sebagai

sekolah

pertama

berkewajiban

untuk

mengawasi,

mengendalikan dan memberikan pemahaman terkait dengan game yang mereka mainkan dan
isi game yang sesuai untuk anak serta mendukung dalam pembelajaran anak. Faktanya,
memang game pada sisi negatif yang berlebihan telah menggantikan orang tua sebagai teman

anak-anak dalam berinteraksi. Hal tersebut diperparah lagi apabila orang tua apatis dan minus
komunikasi dengan anaknya, sehingga anak hanya akrab dengan gamenya sendiri dan jauh
dari interaksi dan komunikasi dengan orang tuanya.
Bagi para pakar games terkemuka, permainan semacam Pokemon Go adalah tren
yang tidak bisa lagi dibendung dan akan melanda seluruh dunia. Keistimewaan games terbaru
ini adalah pemainnya bisa “melihat” Pokemon di dunia nyata. Figur “pocket monster” seolah
melebur dengan realitas. Dengan bantuan data Global Positioning Service, monster-monster
buatan Nintendo itu ditampilkan pada peta virtual. Sebagaimana juga dikatakan oleh Prof.
Mario Lorenzo, pakar proses informatika dan pengembangan produk Virtual di Technische
Universität Chemnitz, Jerman. Dia mengatakan bahwa Pokemon Go adalah permainan masa
depan. Keunggulan Pokemon Go yang merupakan game aktif, dimana pemainnya tidak statis,
tetapi bergerak ke sana kemari untuk mencari objek Pokemon, telah mecuri perhatian para
penggila game. Namun sebagai imbas negatifnya, Pemerintah Indonesia sudah menyatakan
melarang permainan Virtual dan Augmented Reality itu di kawasan yang rawan dan sensitif
seperti instalasi militer atau kantor-kantor pemerintahan. Bahkan

Kuwait juga sudah

melarang perburuan “Pikachu” dan kawan-kawannya di seputar istana Emir, instalasi
perminyakan, basis militer dan mesjid, sebagaimana diberitakan media massa. Sebagaimana

juga diberitakan dalam majalah TIME, seorang anak muda di Pittsburgh, Pennsylvania
mengalami kecelakaan saat keluar dari sebuah museum di daerah Tarentum. Autumn
Deiseroth (15) mengalami kecelakaan yang menyebabkan beberapa luka di sekujur tubuhnya.
Remaja tersebut mengaku sedang bermain Pokemon Go pada saat itu. Autumn menyeberangi
jalanan ramai dan tidak sadari ada mobil yang datang ke arahnya. Namun, Autumn, seperti
dikutip dari Time, mengaku dirinya telah melihat ke sisi kiri dan kanan sebelum
menyeberang. Autumn pun mengatakan bahwa dirinya menyalahkan game Pokemon Go
tersebut, begitu pula sang ibu.

Secara jelasnya, bagi orang dewasa, bermain game seringkali dilakukan hanya untuk
menghilangkan suntuk dan kejenuhan dari bekerja, sehingga durasi bermain game tidak
terlalu lama. Berbeda dengan anak-anak yang belum memiliki daya filter dan kemampuan
menyeleksi informasi yang baik, bermain game bagi mereka merupakan sebuah aktifitas yang
terus-menerus semakin mengasyikkan dan menjadikan kecanduan, mengingat mereka belum
memiliki rutinitas pekerjaan seperti orang dewasa. Menurut Barbour (2008), industri hiburan
tidak hanya telah mempengaruhi perilaku, gaya berbusana, dan nilai (value) pada orang
dewasa, tetapi anak-anak juga menjadi tertarik secara luas dengan efek dari industri hiburan
tersebut. Walau kecemasan muncul dimana-mana, khususnya terkait kecurigaan pemanfaatan
permainan untuk menghimpun data intelejen, sejumlah pakar games menilai tren akan sulit
direm. Karena itu adalah tren teknologi digital dan virtual yang berkembang dari kemajuan

teknologi informatika dan komunikasi yang manfaatnya telah dirasakan semua orang.
Segala sesuatu yang berlebihan (over) itu tidak baik. Demikian juga dengan bermain
game, apapun content-nya, karena manusia adalah mahluk sosial yang harus berinteraksi dan
berkomunikasi secara intens dengan manusia dan lingkungannya. Penggunaan game yang
berlebihan akan semakin membuat manusia jauh dari peradabannya, dia hanya akan menjadi
seorang ilusionis dan tidak realistis dengan kehidupannya. Terlebih dampak game yang
berlebihan untuk anak yang semakin begitu massif saat ini, apabila tidak dikontrol oleh orang
tua tidak mustahil mereka akan mengalami kemunduran berfikir realistis kognitif dan gerak
motorik untuk berinteraksi dengan dunia nyata. Bagaimana pun kita hidup di dunia nyata,
bukan dunia maya, dan kita harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup
dengan sesuatu yang riil. Kalau pun ada game yang membuat kita tertarik, sebagai orang
dewasa anggaplah itu sebatas untuk hang out, bukan sebuah hobi yang tidak produktif.
Kalaupun harus dan penasaran, mari berfikir jernih untuk bermain Pokemon Go dengan
memperhatikan hal positif dan negatifnya, jangan sampai kita “bertemu” Pokemon di jalan
raya pada saat kendaraan tepat berada di depan kita, sementara Pokemon hilang entah
kemana, dan kita harus tertabrak di dunia nyata.
Rudi Haryono, S.S., M.Pd.
Pengamat Pendidikan / Dosen STKIP Muhammadiyah Bogor