Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (Kwk-Gbkp) Pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Terhitung sejak tahun 2010 sampai pada tahun 2015 ada satu bencana yang tidak berhenti mengganggu salah satu wilayah Indonesia, yakni daerah Kabupaten Karo. Gunung Sinabung yang berada di daerah Tanah Karo berulangkali bererupsi dalam beberapa tahun belakangan ini. Serangkaian erupsi Gunung Sinabung yang diawali pada tahun 2010, letusan Gunung Sinabung pada 27 Agustus 2010 dikategorikan tipe letusan freatik (letusan terjadi karena tekanan gas) yang diikuti jatuhan abu vulkanik Gunung Sinabung hingga menutupi Desa Sukameriah, Gungpintu, Sigarang-garang, Sukadebi, Bekerah dan Simacem. Tanggal 27-28 Agustus letusan abu atau freatik dari kawah puncak.Tanggal 29-30 Agustus 2010 letusan abu dari puncak disertai suara dentuman dan kolom abu berkisar 1500-2000 meter. Tanggal 3 dan 7 September letusan abu dengan tinggi kolom abu berkisar 2000-5000 meter (http//www.Ini riwayat erupsi dan letusan Gunung Sinabung_merdeka.com.html, diakses tanggal 10 Februari 2015 Pukul 17.00 WIB).

Selanjutnya serangkaian aktivitas Gunung Sinabung menunjukkan aktivitas signifikannya pertengahan September 2013, hal tersebut ditandai dengan getaran-getaran yang cukup intensive atau sering.Disusul dengan setiap 20 menit terjadi gempa dimana puncaknya yaitu pertengahan Desember 2013.Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutpo Purwo Nugroho membenarkan adanya peningkatan aktivitas Gunung Sinabung. Tertanggal 12 Desember 2013 perkembangan aktivitas Gunung Sinabung terjadi 2 kali gempa vulkanik 1 kali gempa vulkanik dangkal, 41 kali gempa frekuensi rendah, 187 kali gempa hybrid (berkekuatan tinggi), 8 kali gempa hembusan dan terus menerus dengan amplitude maksimum 2 mm, longsoran material yang mengarah ke tiga desa seperti Desa


(2)

2

Bekerah, Mardinding, dan Simacem, tercatat pengungsi mencapai 17.844 jiwa yang terdiri dari 5.513 kepala keluarga yang tersebar di 31 titik posko pengungsian. Diramalkan Gunung Sinabung bisa saja meletus dengan frekuensi yang besar sekali engan pola kegempaan vulkanik seperti itu. Bisa dibuktikan berapa hari tanda-tanda seperti meluncurnya awan panas dan abu vulkanik yang mengganggu jarak pandang serta pernafasan warga di desa sekitar Gunung Sinabung mengakibatkan pengungsi kian bertambah menjadi 18.186 jiwa (http//www.koran-sindo.com/node/351882), diakses tanggal 17 Februari 2015 pukul 20.45 WIB).

Tanggal 19-21 Desember 2014 tanda-tanda Gunung Sinabung meletus semakin kuat gunung setinggi 2.460 meter dari permukaan laut mengeluarkan guguran material sejauh 5 km kearah tenggara. Dari seluruh gunung api yang berada di atas kondisi normal di Indonesia dimana Gunung Sinabung satu-satunya yang memiliki status awan (level IV), sehingga ditetapkanlah tidak diperbolehkan aktivitas warga di radius 5 kilometer (rona merah) dari kaki gunung tersebut. Perubahan yang signifikan pada kondisi struktur Gunung Sinabung menyebabkan terjadinya longsoran di sekitar badan gunung di wilayah puncak gunung teramati bentuk kubah magma yang kapan saja dapat menyemburkan lava pijar. Selanjutnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi merekomendasikan masyarakat di 17 desa dan 2 dusun seperti Desa Gurukinayan, Sukameriah, Berastepu, Bekerah, Gamber, Simacem, Perbaji, Mardinding, Kuta Gugung, Kuta Rakyat, Sigarang-Garang, Sukanalu, Temberun, Kuta Mbaru, Kuta Tonggal, Tiganderket, Selandi, dan Dusun Sibintuin serta Dusun Lau Kawar harus diungsikan (http//www.chripstory.com/li/187097, diakses tanggal 17 Februari 2015 pukul 21.15 WIB).

Pusat Data Informasi dan Humas BNPB tangal 08 Januari 2014 mengumumkan bahwa pengungsi terus bertambah yaitu 22.708 jiwa (7.079 KK). Tertanggal 15 Januari 2014, jumlah pengungsi makin bertambah dimana tercatat 26.714 pengungsi (8.161 KK) tersebar di


(3)

3

39 titik pengungsian. Terdapat titik pengungsi baru yaitu di Maka Jl.Samura sebanyak 122 jiwa (42 KK) yang berasal dari Desa Gung Pinto. 9 Februari 2014 tercatat jumlah pengungsi erupsi Gunung Sinabung mencapai 33.126 jiwa (10.297 KK) yang terletak di 41 titik pengungsian yang statusnya masih skala bencana kabupaten, dimana artinya Pemerintah Daerah Karo masih mampu mengatasi bencana tersebut yang dibantu Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara yang didampingi oleh Pemerintah Pusat. Adanya usulan agardijadikan skala nasional tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 51 ayat 2, dimana disebutkan penetapan skala nasional ditetapkan oleh presiden, skala provinsi oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota oleh bupati/walikota. Pemerintah Daerah Karo masih berjalan normal.Selain itu juga tidak ada korban jiwa banyak dan terjadi eskalasi bencana yang luas. Berbeda dengan erupsu Gunung Merapi tahun 2010, dimana presiden memerintahkan kendali operasi tangap darurat dalam satu komando berada di tangan kepala BNPB dibantu Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jawa Tengah dan DIY pada tanggal 05 September 2010. Keputusan presiden saat itu didasarkan bertambahnya korban dan pengungsi. Pada 4 September 2010 korban jiwa 44 tewas, 119 luka-luka, 82.701 mengungsi, kemudian ketika erupsi besar 05 September 2010 korban meningkat 114 tewas, 218 luka-luka dan 300.000 mengungsi (Pusat data Informasi dan Humas BNPB).

Adanya informasi peningkatan aktivitas Gunung Sinabung kerugian yang ditimbulkan makin besar. Dinas Pertanian dan Perkebunan Karo menyatakan kerugian di sektor pertanian dan perkebunan sejak Gunung Sinabung erupsi 6 Januari 2014 diperkirakan Rp 712,2 milyar dari 10.406 ha lahan pertanian dan perkebunan. Luas lahan pertanian dan perkebunan ini meliputi tanaman pangan (1.837 Ha), holtikultura (5.716 Ha), tanaman buah (1.630 Ha), biofarmaka (1,7 Ha), dan perkebunan (2.856 Ha). Dampak kerugian terbesar terdapat di 4 kecamatan seperti Namanteran, Simpang Empat, Payung, dan Tiganderket (http//www.Mari


(4)

4

Meringankan Beban Pengungsi Sinabung_Kompasiana.com.htm diakses tanggal 19 Februari 2015 pukul 12.00 WIB).

Tabel 1.1

DATA PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG KAB. KARO TANGGAL 02 MARET 2015

No. POS PENAMPUNGAN ALAMAT KK JIWA

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

GBKP KOTA BERASTAGI KLASIS GBKP BERASTAGI

KWK BERASTAGI

GBKP JL.KOTACANE KABANJAHE PAROKI G.KATOLIK KABANJAHE

UKA KABANJAHE 2 UKA KABANJAHE 3 SERBA GUNA KNPI

Jl. Gundaling Jl. Udara Jl. Udara Jl. Kotacane Jl. Irian Desa Ketaren Desa Ketaren Jl. Pahlawan 43 99 70 195 65 94 35 186 160 264 178 697 248 287 82 582

Jumlah 787 2498

Sumber: karokab.go.id

Penanganan korban bencana gunung meletus yang baik selama ini dilakukan oleh berbagai instansi, namun tidak didukung dengan kebutuhan minimum bagi para korban bencana. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 26 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi korban bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar artinya kebutuhan untuk menyambung hidup dan kehidupannya selama berada di daerah pengungsian. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana pasal 28 ayat 1 bahwa bantuan pemenuhan kebutuhan dasar harus diberikan kepada korban


(5)

5

bencana alam dalam bentuk penampungan sementara, bantuan pangan dan sandang, mendapatkan air bersih dan sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan (Sudibyakto, 2011:121).

Konteks bencana erupsi Gunung Sinabung bantuan darurat bencana untuk pemenuhan kebutuhan dasar tentunya harus menganut prinsip nasional kebutuhan dasar. Oleh karena itu sangat diperlukan pendampingan pengungsi korban bencana Gunung Sinabung khususnya bagi kelompok yang rentan seperti bayi, balita, anak-anak, perempuan, pengungsi penyandang cacat (disabilitas), orang sakit dan manula yang menjadi korban erupsi Sinabung agar kriteria kebutuhan minimal dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya. Namun pada kenyataannya, stok bantuan pangan, minuman maupun lainnya sering menipis.Untuk mendapatkan air untuk mandi pun terbatas.Jika pergi menuju sungai harus jauh berjalan jauh.Dari lokasi pngungsian sampai menuju sungai berjalan lebih dari 100 meter.Padahal, berjalan kaki mengambil air dari tangki air untuk diangkat dan dibawa menuju MCK lumayan melelahkan.Wanita yang sudah tua tidak kuat lagi untuk mengangkatnya, bahkan ibu yang baru melahirkan pun bisa berakibat buruk jika harus mengangkat air tersebut.

Selama bencana erupsi Sinabung ini juga ada 2 orang wanita yang benar-benar merasakan kesusahan yang luar biasa, ketika mengandung tidak mendapatkan gizi yang baik karena keterbatasan pangan di lokasi pengungsian, begitu pula ketika melahirkan, mereka harus merasakan sakit sepanjang mencari rumah sakit untuk tempat mereka melahirkan. Pemerintah Daerah belum menyediakan jasa seperti dokter ataupun bidan yang dapat membantu para wanita hamil untuk melahirkan pada masing-masing posko pengungsian.Begitu pula sepulangnya dari rumah sakit setelah melahirkan, banyak biaya yang harus dilunasi padahal kondisi keuangan mereka sudah sangat parah dikarenakan ladang di tempat tinggal mereka sudah tidak dapat dikelola lagi.Lalu mereka juga harus kembali


(6)

6

merasakan sedihnya posko pengungsian, dimana anak yang baru dilahirkan juga harus ikut menikmati bagaimana kurang memadainya posko pengungsian (Koran Tribun, 11 Juni 2014).

Para lansia perempuan di daerah Karo memiliki kebiasaan memakan sirih sebagai penghabis waktu serta membantu menenangkan pikiran ketika menghadapi masalah.Namun, di posko pengungsian para lansia perempuan tidak lagi dapat melakukan hal yang serupa karena kalaupun ada, jumlah sirih yang disediakan tidak dapat dikonsumsi setiap harinya secara rutin, padahal kita tahu ketika berada di posko pengungsian beban pikiran mereka jauh lebih besar dibanding waktu-waktu sebelumnya.Anak-anak perempuan juga mengalami masa keci yang dapat dikatakan buruk karena tidak mendapatkan fasilitas bermain yang baik.Sekalipun sering relawan datang untuk member penghiburan melalui games-games, namun pada dasarnya permainan yang disediakan tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan waktunya juga tidak dapat ditentukan.Berdasarkan keadaan tersebut azas pemberian bantuan harus berdasarkan pada prioritas untuk kelompok rentan ini dan harus adil.Hal yang sangat penting adalah adanya Team Rapid Need Assesment dalam rangka membantu Pemerintah Daerah dalam memantau dan memberikan saran dan jalan keluar tentang jenis kebutuhan yang diperlukan korban bencana secara proporsional (Sudibyakto, 2011:122).

Wilayah Negara Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, klimatologis, dan demografis yang berpotensi terjadinya bencana.Bencana sering diidentikkan dengan sesuatu yang buruk, paralel dengan istilah disaster dalam Bencana yang terjadi disebabkan oleh dua faktor, faktor tersebut adalah faktor alam dan non alam.Kedua faktor tersebut dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.Kondisi seperti ini dapat dialami oleh seluruh wilayah Indonesia.Intensitas bencana yang dialami Indonesia akhir-akhir ini semakin meningkat dan kompleks, sebab itu sistem penanggulangan bencana harus ditangani lebih


(7)

7

komprehensif, tepat sasaran dengan melibatkan multi sektor secara bersama-sama, terpadu, terkoordinasi, sistematik dan sinergis. Berdasarkan laporan yang diterima sekretariat Bakornas PB (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana) kurun waktu 2002-2005 tercatat sebanyak 2.184 kejadian bencana (Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2008:1)

Permasalahan yang mengemukaka saat bencana adalah berkaitan dengan isu gender, khususnya berkaitan dengan perempuan yang selama ini luput diberi perhatian. Pemilihan jumlah korban menurut jenis kelamin sangat perlu diperhatikan untuk menyusun kebijakan yang tepat sasaran, meskipun dalam bencana ini tidak memilih-milih korban berdasarkan atas jenis kelamin, usia, umur, sosial-ekonomi, suku bangsa, agama, dan seterusnya. Pola pikir umum berasumsi bahwa bencana menimpa orang tanpa memilih jenis kelamin sebab itu kebijakan penanganan bersifat netral, tidak memilah-milah untuk jenis kelamin tertentu, bahkan ada kecenderungan penanganannya bias terhadap perempuan, karena tiga hal:

1. Kurang peka tehadap isu gender.

Kebijakan penanggulangan bencana yang tidak sensitif terhadap isu gender mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan (termasuk anak-anak, lanjut usia dan kelompok terpinggirkan lainnya). Manfaat serta partisipasi dan control dari kebijakan, program maupun kehiatan bantuang bencana yang diberikan dalam kesempatan memperoleh akses. Para pengambil kebijakan dan pelaksanaan penganggulangan bencana sering memahami penanganan bencana “tidak berpihak” atau disebut netral gender. Pelaksana penanggulangan bencana umumnya melihat masyarakat terkena bencana sebagai kelompok homogeny, padahal perempuan dan laki-laki berbdea, bukan saja secara biologis tetapi juga berbeda dalam peran dan status gendernya (sebagai akibat dari hubungan gendernya), yang berdampak berbeda pula diantara keduanya dalam memperoleh tanggung jawab, hak kewajiban, kesempatan, pengalaman, termasuk dalam


(8)

8

memperoleh akses dan manfaat dari program pembangunan; keikutsertaan dalam memutuskan dan didengar pendapa serta keinginannya serta penguasaan terhadap sumberdaya seperti informasi, pengetahuan, keterampilan, dana, dan lain-lain. Masalah yang disebabkan karena perbedaan itulah yang disebut sebagai isu gender.

Peran dan status gender itu dinamis sifatnya, bisa berubah atau bertukar karena perbedaan status sosial, rural-urban, suku bangsa, agama, atau dikala kejadian tertentu seperti bencana Gunung Sinabung misalnya. Komisi Status Wanita (PBB) menunjukkan bahwa saat ada bencana, dari semua korban, maka perempuanlah yang lebih terpuruk keadaannya. Sementara itu Komisi Status Wanita (PBB) juga menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran vital dikala bencana, karena selain tetap menjalankan tugas dan fungsinya care giver dalam keluarga dan yang bertanggung-jawab dalam urusan domestik rumahtangga, mereka juga seringkali berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, tulang punggung keluarga terutama ketika ia harus menjadi orang tua tunggal karena suami, ayah dan anggota lainnya hilang/ tewas ataupun kehilangan pekerjaan dan harta benda. Tidak jarang peremuan-perempuan ini juga terlibat dengan kegiatan sosial, seperti membantu di dapur umum, pos kesehatan.Perempuan bukan saja menjadi objek yang harus dilindungi, tetapi juga menjadi subjek, berperan aktif sebagai “Change of Agent”, sehingga dalam keadaan bencana peran serta beban perempuan justru bertambah. Dianggap lumrah dan masyarakat menerima perempuan “keluar” dari norma gendernya ketika dalam keadaan bencana; meskipun dalam keadaan ‘normal kembali’, perempuan-perempuan itupun kembali ke peran gendernya.

2. Masih mengacu pada stereotipi gender.

Kebijakan penanggulangan bencana seringkali luput memahami dinamika itu, sebaliknya masih mengacu pada stereotipi gender, yang menempatkan laki-laki pada peran gendernya misalnya sebagai kepala keluarga, sebagai pengambil keputusan, sebagai


(9)

9

tulang punggung ekonomi rumahtangga; serta menempatkan perempuan pada peran gendenrya sebagai ibu rumahtangga, mengurus kegiatan domestik meskipun secara de facto peran-peran gender stereotipi itu juga sudah banyak berubah, misalnya dikala bencana Gunung Sinabung.

3. Langkanya data terpilah menurut jenis kelamin. Sehingga isu gender tidak terkuak.

Kebijakan penanggulangan bencana tetap merancang kebijakan program tanpa data terpilah menurut jenis kelamin, karena ketidaksediaan data terpilah dan tetapi juga karena tidak dianggap penting. Hal ini memaknai bahwa penanggulangan bencana belum menerapkan strategi pengarusutamaan gender sesuai amat Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional serta Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan gender sebagai salah satu dasar, prinsip serta tujuan Penanggulangan Nasional Bencana Alam (PNBA)

Perencanaan penanggulangan bencana, seperti halnya dengan perencanaan pembangunan yang bersifat umum, seringkali luput mempertimbangkan isi gender ini; luput mempertimbangkan pengalaman, kesulitan sebagai perempuan dalam memperoleh akses maupun manfaat dari kebijakan/ program/ aktivitas yang disediakan. Isu gender yang mengemuka yang timbul akibat bencana (termasuk konflik) yang spesifik terhadap perempuan dan anak khususnya meliputi masalah yang berkaitan dengan:

1). Aspek Hukum, seperti menyangkut soal perlindungan hukum sehubungan dengan keluarga terpisah, hak ahli waris, kepemilikan, dokumen-dokumen penting yang hilang atau musnah.

2). Aspek Kesehatan, berkaitan dengan masalah ketersediaan air bersih dan sanitasi bagi keluarga yang menurut pembagian gender dibanyak masyarakat masih menjadi tanggung jawab perempuan; masalah pemenuhan hak kesehatan reprodukasi misalnya seperti


(10)

10

kebutuhan perempuan yang sedang hamil, menyusui dan perempuan yang sedang mengalami menstruasi.

3). Aspek Sosial-Ekonomi, masalah yang berkaitan dengan pergeseran pembagian kerja menurut gender, seperti keala keluarga perempuan (kehilangan suami, ayah), yang harus bertanggung-jawab sendiri dalam menghidupi keluarga; kelompok lansia serta penduduk rentan lainnya yang secara ekonomi kehilangan tempat bersandar, termasuk dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Selain itu, terganggunya dan menurunnya partisipasi sosial-ekonomi perempuan sebagai akibat dari tidak berfungsinya pranata sosial-ekonomi di masyarakat (seperti pasar, posyandu, kegiatan PKK, dst). Juga terganggunya kegiatan-kegiatan belajar-mengajar yang berdampak langsung terhadap anak didik seperti terjadinya penurunan angka partisipasi sekolah, dan secara tak langsung menjadi tanggung jawab ibu juga.

4). Aspek Psikologis yang berkaitan dengan masalah trauma pasc bencana dan pengalaman lama tinggal di pengungsian yang dialami perempuan dan dalam keadaan keluarga yang tercerai berai, rentan terhadap kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumahtangga (KDRT) kasus-kasus pelecehan/ kekerasan seksual, rawan trafficking bagi perempuan dan anak-anak.

5). Aspek Sosial dan Budaya yang berkaitan dengan masalah carut-marut kehidupan sosial pasca konflik dan bencana, yang dapat mengancam pergeseran perilaku, tata nilai budaya; maka diperlukan upaya untuk mengembalikan dan fungsi-fungsi sosial kemayarakatan termasuk tata nilai dan perilaku.

6). Aspek Keamanan yang menyangkut rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya terbebas dari rasa intimidasi untuk daerah konflik.


(11)

11

Mengingat masalah-masalah yang menimpa perempuan pada saat bencana itulah, maka ada keharusan yang disepakati secara global dan kemudian diikuti ditingkat nasional untuk member perhatian khusus bagi perempuan dikala bencana (UN Resolution No.63/1999) dan yang terakhir ini Statement Pertemuan APEC di Peru November 2008).Sebelumnya sudah pula menjadi kesepakatan dunia (Beijing Platform 1995) dan di Indonesia (Inpres No.9 tahun 2000) untuk melaksanakan integrasi isu gender (PUG) kepada seluruh program pembangunan, termasuk program pembangunan sistem Pengelolaaan Bencana. Khusus yang berkaitan dengan Pengelolaan Bencana, Indonesia telah mengeluarkan UU No.24 tahun 2007 yang secara eksplisit mencantumkan gender sebagai salah satu prinsip serta tujuannya. Undang-undang itu telah pula diikuti dengan 3 Peraturan Pemerintah (PP 21; 22 dan 23) di dalam PP No.21 mengenai dibentuknya BNPB (Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2009:7).

Berangkat dari kondisi yang telah diuraikan, Peneliti tertarik untuk melihat “Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP) pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo”.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat setelah masalah diidentifikasi dan dipilih. Perumusan ini penting, karena hasilnya akan menjadi penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya (Suryabrata 2008:17). Berdasarkan uraian latar belakang, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut, “Bagaimana Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP) pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo?”.


(12)

12 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana program pemberdayaan perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP) pada perempuan pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

1.3.2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai pengembangan teori-teori pemberdayaan perempuan pengungsi Sinabung oleh

Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP).

b. Secara akademis, dapat memberikan kontribsi keilmuan dalam menambah referensi dan bahan kajian serta studi komparasi bagi para peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan masalah ini.

c. Secara praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran dan juga menjadi referensi bagi pihak-pihak yan terlibat di dalam program pemberdayaan perempuan dan juga instansi pemerintah maupun lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan.

d. Bagi peneliti, sebagai media belaar dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulis menggunakan sistematika yang secara garis besar terdiri dari 6 bab dan sejumlah sub bab dalam penulisan skripsi ini. Penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini sebagai berikut dengan harapan agar mudah dalam penyusunan dan pemahaman isi serta pesan yang ingin disampaikan:


(13)

13 BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan obyek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III: METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisanya.

BAB VI: PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.


(1)

8

memperoleh akses dan manfaat dari program pembangunan; keikutsertaan dalam memutuskan dan didengar pendapa serta keinginannya serta penguasaan terhadap sumberdaya seperti informasi, pengetahuan, keterampilan, dana, dan lain-lain. Masalah yang disebabkan karena perbedaan itulah yang disebut sebagai isu gender.

Peran dan status gender itu dinamis sifatnya, bisa berubah atau bertukar karena perbedaan status sosial, rural-urban, suku bangsa, agama, atau dikala kejadian tertentu seperti bencana Gunung Sinabung misalnya. Komisi Status Wanita (PBB) menunjukkan bahwa saat ada bencana, dari semua korban, maka perempuanlah yang lebih terpuruk keadaannya. Sementara itu Komisi Status Wanita (PBB) juga menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran vital dikala bencana, karena selain tetap menjalankan tugas dan fungsinya care giver dalam keluarga dan yang bertanggung-jawab dalam urusan domestik rumahtangga, mereka juga seringkali berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, tulang punggung keluarga terutama ketika ia harus menjadi orang tua tunggal karena suami, ayah dan anggota lainnya hilang/ tewas ataupun kehilangan pekerjaan dan harta benda. Tidak jarang peremuan-perempuan ini juga terlibat dengan kegiatan sosial, seperti membantu di dapur umum, pos kesehatan.Perempuan bukan saja menjadi objek yang harus dilindungi, tetapi juga menjadi subjek, berperan aktif sebagai “Change of Agent”, sehingga dalam keadaan bencana peran serta beban perempuan justru bertambah. Dianggap lumrah dan masyarakat menerima perempuan “keluar” dari norma gendernya ketika dalam keadaan bencana; meskipun dalam keadaan ‘normal kembali’, perempuan-perempuan itupun kembali ke peran gendernya.

2. Masih mengacu pada stereotipi gender.

Kebijakan penanggulangan bencana seringkali luput memahami dinamika itu, sebaliknya masih mengacu pada stereotipi gender, yang menempatkan laki-laki pada peran gendernya misalnya sebagai kepala keluarga, sebagai pengambil keputusan, sebagai


(2)

9

tulang punggung ekonomi rumahtangga; serta menempatkan perempuan pada peran gendenrya sebagai ibu rumahtangga, mengurus kegiatan domestik meskipun secara de facto peran-peran gender stereotipi itu juga sudah banyak berubah, misalnya dikala bencana Gunung Sinabung.

3. Langkanya data terpilah menurut jenis kelamin. Sehingga isu gender tidak terkuak.

Kebijakan penanggulangan bencana tetap merancang kebijakan program tanpa data terpilah menurut jenis kelamin, karena ketidaksediaan data terpilah dan tetapi juga karena tidak dianggap penting. Hal ini memaknai bahwa penanggulangan bencana belum menerapkan strategi pengarusutamaan gender sesuai amat Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional serta Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan gender sebagai salah satu dasar, prinsip serta tujuan Penanggulangan Nasional Bencana Alam (PNBA)

Perencanaan penanggulangan bencana, seperti halnya dengan perencanaan pembangunan yang bersifat umum, seringkali luput mempertimbangkan isi gender ini; luput mempertimbangkan pengalaman, kesulitan sebagai perempuan dalam memperoleh akses maupun manfaat dari kebijakan/ program/ aktivitas yang disediakan. Isu gender yang mengemuka yang timbul akibat bencana (termasuk konflik) yang spesifik terhadap perempuan dan anak khususnya meliputi masalah yang berkaitan dengan:

1). Aspek Hukum, seperti menyangkut soal perlindungan hukum sehubungan dengan keluarga terpisah, hak ahli waris, kepemilikan, dokumen-dokumen penting yang hilang atau musnah.

2). Aspek Kesehatan, berkaitan dengan masalah ketersediaan air bersih dan sanitasi bagi keluarga yang menurut pembagian gender dibanyak masyarakat masih menjadi tanggung jawab perempuan; masalah pemenuhan hak kesehatan reprodukasi misalnya seperti


(3)

10

kebutuhan perempuan yang sedang hamil, menyusui dan perempuan yang sedang mengalami menstruasi.

3). Aspek Sosial-Ekonomi, masalah yang berkaitan dengan pergeseran pembagian kerja menurut gender, seperti keala keluarga perempuan (kehilangan suami, ayah), yang harus bertanggung-jawab sendiri dalam menghidupi keluarga; kelompok lansia serta penduduk rentan lainnya yang secara ekonomi kehilangan tempat bersandar, termasuk dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Selain itu, terganggunya dan menurunnya partisipasi sosial-ekonomi perempuan sebagai akibat dari tidak berfungsinya pranata sosial-ekonomi di masyarakat (seperti pasar, posyandu, kegiatan PKK, dst). Juga terganggunya kegiatan-kegiatan belajar-mengajar yang berdampak langsung terhadap anak didik seperti terjadinya penurunan angka partisipasi sekolah, dan secara tak langsung menjadi tanggung jawab ibu juga.

4). Aspek Psikologis yang berkaitan dengan masalah trauma pasc bencana dan pengalaman lama tinggal di pengungsian yang dialami perempuan dan dalam keadaan keluarga yang tercerai berai, rentan terhadap kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumahtangga (KDRT) kasus-kasus pelecehan/ kekerasan seksual, rawan trafficking bagi perempuan dan anak-anak.

5). Aspek Sosial dan Budaya yang berkaitan dengan masalah carut-marut kehidupan sosial pasca konflik dan bencana, yang dapat mengancam pergeseran perilaku, tata nilai budaya; maka diperlukan upaya untuk mengembalikan dan fungsi-fungsi sosial kemayarakatan termasuk tata nilai dan perilaku.

6). Aspek Keamanan yang menyangkut rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya terbebas dari rasa intimidasi untuk daerah konflik.


(4)

11

Mengingat masalah-masalah yang menimpa perempuan pada saat bencana itulah, maka ada keharusan yang disepakati secara global dan kemudian diikuti ditingkat nasional untuk member perhatian khusus bagi perempuan dikala bencana (UN Resolution No.63/1999) dan yang terakhir ini Statement Pertemuan APEC di Peru November 2008).Sebelumnya sudah pula menjadi kesepakatan dunia (Beijing Platform 1995) dan di Indonesia (Inpres No.9 tahun 2000) untuk melaksanakan integrasi isu gender (PUG) kepada seluruh program pembangunan, termasuk program pembangunan sistem Pengelolaaan Bencana. Khusus yang berkaitan dengan Pengelolaan Bencana, Indonesia telah mengeluarkan UU No.24 tahun 2007 yang secara eksplisit mencantumkan gender sebagai salah satu prinsip serta tujuannya. Undang-undang itu telah pula diikuti dengan 3 Peraturan Pemerintah (PP 21; 22 dan 23) di dalam PP No.21 mengenai dibentuknya BNPB (Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2009:7).

Berangkat dari kondisi yang telah diuraikan, Peneliti tertarik untuk melihat “Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP) pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo”.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat setelah masalah diidentifikasi dan dipilih. Perumusan ini penting, karena hasilnya akan menjadi penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya (Suryabrata 2008:17). Berdasarkan uraian latar belakang, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut, “Bagaimana Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP) pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo?”.


(5)

12

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana program pemberdayaan perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP) pada perempuan pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

1.3.2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai pengembangan teori-teori pemberdayaan perempuan pengungsi Sinabung oleh

Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (KWK-GBKP).

b. Secara akademis, dapat memberikan kontribsi keilmuan dalam menambah referensi dan bahan kajian serta studi komparasi bagi para peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan masalah ini.

c. Secara praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran dan juga menjadi referensi bagi pihak-pihak yan terlibat di dalam program pemberdayaan perempuan dan juga instansi pemerintah maupun lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan.

d. Bagi peneliti, sebagai media belaar dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulis menggunakan sistematika yang secara garis besar terdiri dari 6 bab dan sejumlah sub bab dalam penulisan skripsi ini. Penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini sebagai berikut dengan harapan agar mudah dalam penyusunan dan pemahaman isi serta pesan yang ingin disampaikan:


(6)

13

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan obyek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III: METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisanya.

BAB VI: PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.