Contoh Jurnal Internasional Gratis | Makalah Dan Jurnal Gratis Ab

Foto: http://tinyurl.com/bbq3wm4

Peningkatan Daya Saing
Industri Indonesia
guna Menghadapi Asean-China Free Trade
Agreement (ACFTA) dalam Rangka Memperkokoh
Ketahanan Nasional
PENDAHULUAN

P

erdagangan antarnegara sudah
dilakukan sejak beratus tahun lalu,
yang antara lain dikenal dengan
imperium transregional Asia, Eropa
maupun Timur Tengah. Imperium global
pertama yang melakukan perdagangan
transnasional pada masanya adalah Spanyol

yang menaklukkan peradaban Aztec,
Inca dan Maya. Pada perkembangannya

keberadaan imperium Spanyol tersebut
surut dan tergantikan oleh ‘Pax Neerlandica’
yang dimotori Belanda dengan VOC-nya
yang memonopoli perdagangan Nusantara
dan menjadikan Belanda sebagai imperium
modern pertama di dunia. Imperiumimperium yang lain di antaranya adalah

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

41

Internasional
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan salah satu
persetujuan multilateral yang disepakati dalam era global di mana bea masuk
barang dari luar negeri menjadi nol. Ini menunjukkan kemudian bahwa yang
disaingkan bukan hanya aspek perdagangannya tapi juga adalah terutama
aspek produksinya. Negara dengan aspek pengelolaan industrinya yang kurang
baik dapat dipastikan akan kalah sebelum berperang.
Pax Britannica dan Pax
Americana yang merupakan

imperium modern ke-4
dan sangat memengaruhi
kondisi perdagangan dunia.
Keberadaan Pax
imperium tersebut
merupakan cikal bakal
dari konsepsi perdagangan
bebas (liberalisasi
perdagangan internasional),
yang awal mulanya diusung
oleh WTO (world trade
organization). Sehingga apabila suatu
negara menjadi anggota WTO, berarti
secara otomatis harus bersedia membuka
pasar bagi negara lain dan menerima segala
konsekuensi perdagangan bebas tersebut.
Namun demikian, sampai sejauh ini tidak
ada satu negara pun, khususnya negaranegara maju seperti Uni Eropa dan Amerika
Serikat yang sepenuh hati mau membuka
kran bagi kebebasan impor (Gilpin and

Gilpin, 2000), walaupun mayoritas dari
mereka berpandangan bahwa liberalisme
akan mendatangkan keuntungan bagi
semua pihak, di mana perdagangan bebas
akan mendorong tumbuhnya konsumsi dan
keuntungan, dikarenakan adanya perbedaan
keunggulan komparatif relatif antarnegara
dalam menghasilkan komoditas. Banyak ahli/
pakar memprediksi bahwa pada masa akan
datang perdebatan terus akan berlangsung
antara para pendukung liberalisme dan
proteksionisme, dan hanya sedikit yang akan
benar-benar melaksanakan perdagangan
bebas (Krugman and Obstfeld, 2002).
Konsep perdagangan bebas secara
umum dimaksudkan untuk meningkatkan
peradaban dan kesejahteraan negara-negara
yang terlibat di dalamnya (Samuelson dan

42


http://tinyurl.com/cx6sws3

Nordhaus, 1992). Demikian halnya kerja
sama yang dilakukan oleh ASEAN dengan
China yang dimaksudkan untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan kedua
belah pihak. Kerja sama yang dikemas
dalam ASEAN-China Free Trade Agreement
ini bukanlah perjanjian perdagangan
bebas pertama yang dilakukan pemerintah
Indonesia dengan negara lain, baik secara
bilateral maupun multilateral. Sebelumnya
sejumlah perjanjian perdagangan bebas
telah ditandatangani pemerintah, di
antaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA),
ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade
Agreement (FTA), ASEAN-Korea Selatan Free
Trade Agreement (FTA) dan Indonesia-Japan
Partnership Agreement.

ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) merupakan salah satu persetujuan
multilateral yang disepakati dalam era global
di mana bea masuk barang dari luar negeri
menjadi nol. Ini menunjukkan kemudian
bahwa yang disaingkan bukan hanya aspek
perdagangannya tapi juga adalah terutama
aspek produksinya. Negara dengan aspek
pengelolaan industrinya yang kurang baik
dapat dipastikan akan kalah sebelum
berperang. Oleh karena itu dalam menyikapi
diberlakukannya ASEAN-China Free Trade

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional
Agreement ini muncul pendapat yang pro dan
kontra. Perjanjian perdagangan bebas ASEANChina yang telah diberlakukan mulai Januari
2010, memunculkan berbagai tanggapan
mulai dari para pembuat kebijakan,

pelaku usaha maupun kaum cendekiawan.
Saat ini para pendukung adanya Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA)
melihat bahwa pelaksanaan kesepakatan
perdagangan itu akan bermakna besar bagi
kepentingan geostrategis dan geoekonomis
Indonesia maupun Asia Tenggara secara
keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi China yang relatif
pesat saat ini menjadikan negara Tirai Bambu
tersebut sebagai salah satu aktor politik dan
ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia
dan ASEAN. Sebaliknya, mereka yang
berpendapat kritis terhadap kesepakatan

minuman, industri petrokimia, industri
tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki,
industri elektronik dan peralatan listrik,
industri besi baja, industri plastik dan
jasa permesinan. Kekhawatiran tersebut

memang cukup beralasan. Hal ini didasari
oleh beberapa asumsi seperti neraca
perdagangan dengan China yang dulunya
surplus akhir-akhir ini mulai menunjukkan
deisit. Neraca perdagangan nonmigas
Indonesia-China mengalami deisit yang
semakin lama semakin melonjak tinggi, di
mana pada tahun 2007 sebesar 1,3 miliar
dolar AS menjadi 9,2 miliar dolar AS pada
tahun 2008. Barang-barang dari China
mengalir deras ke pasar Indonesia. Kini
China sudah menjadi sumber utama impor
Indonesia, yakni sebesar 17,2 persen dari
total impor nonmigas dan sebaliknya China
hanya menyerap 8,7 persen ekspor nonmigas

Dengan diberlakukan ACFTA diprediksi akan banyak industri yang gulung tikar,
dan dengan sendirinya akan meningkatkkan jumlah pengangguran di Indonesia.
Industri Indonesia dianggap belum siap bersaing dengan produk-produk China,
antara lain: industri permesinan, sektor perkebunan dan pertanian, industri

makanan dan minuman, industri petrokimia, industri tekstil dan produk
tekstil, industri alas kaki, industri elektronik dan peralatan listrik, industri
besi baja, industri plastik dan jasa permesinan.

perdagangan bebas, melihat potensi
ambruknya industri domestik Indonesia yang
akan kesulitan menghadapi tantangan dari
membanjirnya impor produk murah dari
China. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan
regulasi/peraturan yang ada maupun
lemahnya daya saing produk-produk industri
Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya,
terlebih lagi jika dihadapkan pada produkproduk China yang telah membanjiri pasar
Indonesia.
Dengan diberlakukan ACFTA diprediksi
akan banyak industri yang gulung tikar, dan
dengan sendirinya akan meningkatkkan
jumlah pengangguran di Indonesia. Industri
Indonesia dianggap belum siap bersaing
dengan produk-produk China, antara lain:

industri permesinan, sektor perkebunan
dan pertanian, industri makanan dan

Indonesia (Faisal Basri, Tempo 23 Desember
2009). ASEAN-China Free Trade Agreement
diperkirakan juga akan membuat 1.597 pos
bebas tarif menjadi 0% dan hingga Januari
2010 sudah 7.306 pos yang bertarif 0%.
Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
perjanjian perdagangan bebas selama ini
sering kali dilatarbelakangi ketakutan pada
dampak trade diversion. Artinya kalau
dua negara melakukan perjanjian bebas
maka kegiatan ekspor-Impor akan lebih
banyak dilakukan oleh dua negara tersebut.
Akibatnya negara lain seperti Indonesia
akan mengalami kehilangan potensi ekspor
di kedua negara tersebut. Namun yang
perlu dicatat, trade diversion hanya berlaku
bagi dua negara atau lebih yang memiliki

produk yang sama dengan tujuan pasar

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

43

Internasional
yang sama. Dengan kata lain, ketakutan
kehilangan potensi pasar ekspor seharusnya
tidak menjadi alasan bagi sebuah negara
merasa terasingkan sehingga akhirnya tanpa
kesiapan yang matang nekad menceburkan
diri masuk dalam perjanjian perdagangan
bebas meski dengan risiko pasar dalam
negeri akan diserbu oleh berbagai macam
produk luar yang dapat mengancam
kelangsungan produsen lokal (Edy
Burmansyah, Kompas, 28 Desember 2009).
Produk Industri Indonesia sekonyongkonyong dihadapkan pada perdagangan
bebas. Mereka dipaksa bersaing dengan

pemain-pemain besar dari luar negeri di
pasar domestik tanpa ada perlindungan
lagi dari pemerintah. Hal ini tentu akan
memberikan dampak yang luas terhadap
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Banyak
faktor yang menyebabkan daya saing produk
industri Indonesia lemah dibanding dengan
negara lain, seperti jaminan ketersediaan
energi untuk industri, kesiapan infrastruktur
yang mengakibatkan tingginya biaya
transportasi, masalah perpajakan, perizinan,
insentif pemerintah hingga ke tingginya suku
bunga perbankan, serta birokrasi pemerintah
yang korup. Berbagai bentuk pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
ikut memperlemah daya saing industri.
Daya saing industri merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari daya saing
ekonomi suatu bangsa. Daya saing industri
harus melibatkan segala aspek parameter
daya saing untuk memperkuat daya saing
industri tersebut. Bahkan di beberapa negara
ASEAN seperti di Thailand telah dimasukkan
aspek parameter entertainment. Indeks
daya saing produk industri Indonesia pada
tahun 2006 berada pada tingkatan yang
cukup rendah, yaitu ranking ke-54 dari 117
negara (data World Economic Review 2007).
Salah satu parameter pengukuran dari daya
saing industri adalah tingkat keterterimaan
produk negara tersebut di pasar luar negeri.
Untuk bisa diterima oleh pasar global maka
minimum ada dua hal yang harus terpenuhi,
yaitu hak cipta dan memenuhi standar
internasional.
Sejauh ini pemerintah Indonesia kurang

44

serius mengurus hak cipta maupun Standar
Nasional Indonesia (SNI). Indikasinya
antara lain terlihat dari masih maraknya
pembajakan cakram optik yang dapat
dijumpai secara bebas di mal-mal tanpa
pernah dirazia. Hal ini juga terjadi untuk
isi rekaman baik musik, ilm maupun
soft ware. Selain itu bahwa di Indonesia
ada 6900-an SNI, ternyata yang sudah
diwajibkan hanya sekitar 84 buah dan
yang telah dinotiikasikan ke WTO hanya
sekitar 20-an SNI. Dalam kondisi seperti itu
tentu saja sulit mengharapkan daya saing
Indonesia meningkat. Oleh karena itu, dalam
menyikapi diberlakukannya ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA) ini, maka
pemerintah harus mempersiapkannya dengan
matang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan pemerintah memegang
komitmen menjalankan kesepakatan
perdagangan bebas ASEAN-China.
Negara dihadapkan pada persoalan
melindungi kepentingan rakyat di satu
sisi dan di sisi lain harus memperkuat dan
melakukan persiapan yang lebih baik untuk
menghadapinya. Sedangkan di sisi lainnya
lagi pemerintah harus tetap menjalin kerja
sama dengan ASEAN dan mitra lainnya. Kita
tidak perlu cemas dalam menghadapi ini,
bukan hanya China yang bisa mengekspor
barang-barang ke Indonesia, tetapi kita juga
harus bisa mengekspor ke sana. Peluang
masih sangat terbuka, dan untuk mengatasi
persaingan, pemerintah harus memberikan
fasilitas guna meningkatkan mutu industri
Indonesia (Tempo, 26 Januari 2010). Namun
meskipun demikian, pemerintah perlu
mengkaji ulang implementasi perjanjian
perdagangan bebas ASEAN-China ini
karena ketidaksiapan berbagai elemen di
dalam negeri untuk mengimplementasikan
perjanjian itu. Peluang adanya renegosiasi
masih terbuka, tinggal bagaimana
pemerintah dan para pelaku usaha untuk
mengnyinergikan setiap langkah dan
usahanya dalam menghadapi adanya
perdagangan bebas ASEAN-China ini, sehingga
dapat bermanfaat untuk perekonomian
bangsa dan negara.
ACFTA adalah suatu keharusan, mau
tidak mau, siap tidak siap, masa itu akan
datang. ACFTA sulit untuk dihindari, tidak

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional
ada jalan lain selain maju. Cara terbaik
saat ini adalah meningkatkan konsolidasi
antara pemerintah dan dunia usaha,
mengembangkan potensi dan kekuatan lokal,
serta meningkatkan profesionalisme serta
sistem administrasi yang ada. Pemerintah
harus memiliki keberpihakan pada sektor riil
bila mengharapkan pertumbuhan pada sektor
manufaktur atau mengharapkan pertumbuhan
ekonomi yang seimbang. Bersaing business
to business dengan China memang sulit,
tetapi kita tidak boleh kehabisan akal (Sofjan
Wanandi, Kompas 24 Desember 2009).
Diperlukan adanya dukungan pemerintah,
pelaku usaha maupun instansi terkait secara
sinergis sehingga diharapkan produk industri
Indonesia akan dapat bersaing, berkembang
sehingga dapat meningkatkan perekonomian
negara, memperbaiki taraf hidup masyarakat
serta meningkatkan kesejahteraan dan
keamanan. Dengan demikian akan terwujud
kondisi yang kondusif dalam melanjutkan
pembangunan guna menyerap tenaga kerja
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dalam rangka stabilitas nasional.

DASAR
a. Bedrijfsreglementeerings Ordonnantie
Tahun 1934
b. Staatsblad Nomor 86 Tahun 1938 tentang
Penyaluran Perusahaan
c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961
tentang Barang.
d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965
tentang Pergudangan.
e. Undang-Undang No 05 tahun 1984
tentang Perindustrian
f.

Undang-Undang No 32 tahun 1997
tentang Perdagangan Berjangka Komoditi

MAKSUD DAN TUJUAN
a. Maksud. Kegiatan kajian ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran tentang
kondisi daya saing industri Indonesia saat
ini dan kesiapannya dalam menghadapi
ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) yang telah diberlakukan mulai 1

Januari 2010.
b. Tujuan. Kajian ini bertujuan
menghasilkan rekomendasi yang dapat
dipakai sebagai pedoman bertindak
serta bahan-bahan pertimbangan bagi
pimpinan nasional dalam menetapkan
kebijakan untuk memecahkan masalah
yang berkaitan dengan peningkatan
daya saing industri Indonesia dalam
menghadapi ASEAN-China Free Trade
Agreement.

RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam
naskah ini adalah, “mengapa berbagai
pihak, baik politisi, birokrasi, akademisi,
khususnya pelaku bisnis di Indonesia,
memiliki kekhawatiran dan kebimbangan
terhadap diberlakukannya ASEAN-China
Free Trade Agreement sebagai kebijakan
yang dapat menggeser berbagai produk
industri terutama industri kecil dan
menengah di Indonesia oleh produk China,
baik di pasar domestik maupun regional?”
Dari berbagai fenomena dan kegelisahan
akademik tersebut, maka dalam menjawab
berbagai persoalan yang berimplikasi
terhadap terganggunya Ketahanan Nasional,
dirumuskanlah jawaban untuk mengatasi
kegelisahan dimaksud sebagai berikut:
a. Bagaimana kebijakan peningkatan daya
saing industri nasional diarahkan pada
penanganan isu-isu strategis?
b. Bagaimana pola pengembangan industri
yang relevan bagi keunggulan potensi
daerah dan sesuai dengan tata ruang
nasional?
c. Bagaimana kebijakan dan formulasi
yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menghadapi ASEAN-China Free Trade
Agreement?
d. Bagaimana kebijakan yang dilakukan
dalam melindungi produk-produk dalam
negeri, terutama produk yang belum
memiliki tingkat kompetitif dengan
produk China?

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

45

Internasional
menguraikan data dan fakta serta
faktor-faktor yang memengaruhi
daya saing industri Indonesia dalam
menghadapi persaingan pasar bebas
ASEAN-China baik secara global,
regional maupun nasional.
- Bab III Analisis dan Upaya. Bab
ini berisikan analisis terhadap
data dan fakta serta pijakan
teori dengan menggunakan pisau
analisis Wasantara dan Ketahanan
Nasional serta upaya-upaya yang
harus dilakukan dalam merumuskan
dampak yang akan dihadapi terkait
dengan adanya perdagangan bebas
ASEAN-China.

Foto: http://tinyurl.com/b7al77e

RUANG LINGKUP DAN SISTEMATIKA
PENULISAN
a. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini difokuskan
pada penelaahan berbagai permasalahan
daya saing industri Indonesia dalam
menghadapi perdagangan bebas
dikaitkan dengan aspek ekonomi,
politik, sosial budaya dan perkembangan
lingkungan strategis nasional, regional
maupun global.
b. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan kajian ini
disusun dengan tata urut sebagai
berikut:
-

-

46

Bab I Pendahuluan. Dalam bab
ini dikemukakan hal-hal yang
melatarbelakangi kajian tentang
Peningkatan Daya Saing Industri
Indonesia guna Menghadapi ASEANChina Free Trade Agreement dalam
Rangka Memperkokoh Ketahanan
Nasional, maksud dan tujuan, ruang
lingkup kajian dan metodologi yang
dipakai dalam pengkajian.
Bab II Kondisi awal dan faktorfaktor yang memengaruhi. Bab ini

- Bab IV Penutup. Bab ini
mengungkapkan kesimpulan yang
diperoleh dari analisis data dan
fakta yang dilengkapi dengan saran/
rekomendasi sebagai alternatif solusi
yang ditawarkan untuk dijadikan
bahan pertimbangan dan masukan
kepada Presiden RI terkait dengan
daya saing industri Indonesia serta
langkah-langkah yang harus dilakukan
dalam menghadapi perdagangan
bebas ASEAN-China.

METODE DAN PENDEKATAN
Metode pembahasan naskah
dilakukan secara deskriptif analisis untuk
menggambarkan berbagai hal terkait
dengan judul. Metode pendekatan
dilakukan dengan pendekatan kualitatif
melalui critical appraisal (telaah kritis),
yaitu dengan mengkritisi berbagai
tulisan dan dokumen yang relevan
dengan persoalan dan meta analysis
dengan memetakan berbagai persoalan
terkait permasalahan daya saing industri
Indonesia.

PENGERTIAN
a. Daya Saing adalah kemampuan untuk
dapat menghasilkan barang-barang dan
jasa berkualitas unggul yang mampu
bersaing dengan produk-produk negaranegara lain.

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional
b. ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) merupakan salah satu perjanjian
multilateral yang disepakati dalam era
global di mana bea masuk barang dari
luar negeri menjadi nol.
c. Ketahanan Nasional adalah kondisi
dinamik bangsa Indonesia yang meliputi
segenap aspek kehidupan nasional
yang terintegrasi, berisi keuletan
dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan dan gangguan (TAHG) baik
yang datang dari luar maupun dari
dalam, untuk menjamin identitas,
integritas, kelangsungan hidup bangsa
dan negara serta perjuangan mencapai
tujuan nasionalnya.

terhadap mata uang asing, juga merupakan
permasalahan yang menyebabkan rendahnya
daya saing nasional di era persaingan global.
Di samping itu beberapa kelemahan dari
key success factors seperti kualitas sumber
daya manusia, teknologi, infrastruktur,
modal dan pasar juga masih jauh dari
posisi Sustainable Competitive Advantage.
Strategi pembangunan nasional lima tahun
ke depan tentu harus memberikan prioritas
pada upaya perbaikan dari key success
factors tersebut. Di tataran mikro, terutama
di sektor industri manufaktur belum
terlihat perbaikan yang cukup signiikan.
Pertumbuhan sektor industri masih jauh dari
memuaskan, bahkan gejala deindustrialisasi
dini yang sudah berlangsung dalam beberapa
tahun terakhir makin kuat dirasakan, di
mana pertumbuhan PDB, PBA mencatat laju

Implementasi dari ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) tentunya
akan memberikan dampak terhadap dinamika lingkungan strategis bangsa
Indonesia, tidak hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga pada bidang-bidang
lain, seperti sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Sampai sejauh
ini masih terdapat beberapa permasalahan internal yang menyebabkan posisi
tawar Indonesia tidak menguntungkan dalam kerja sama ACFTA tersebut, baik
dilihat dari skala regional apalagi global.

petumbuhan sektor industri pengolahan 2009
hanya pada angka 2,1%.

KONDISI AWAL DAN FAKTOR YANG
MEMENGARUHI
Implementasi dari ASEAN-China Free
Trade Agreement (ACFTA) tentunya akan
memberikan dampak terhadap dinamika
lingkungan strategis bangsa Indonesia, tidak
hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga
pada bidang-bidang lain, seperti sosial,
budaya, politik, pertahanan dan keamanan.
Sampai sejauh ini masih terdapat beberapa
permasalahan internal yang menyebabkan
posisi tawar Indonesia tidak menguntungkan
dalam kerja sama ACFTA tersebut, baik
dilihat dari skala regional apalagi global.
Masih tingginya tingkat pengangguran dan
jumlah penduduk miskin, buruknya struktur
ekonomi nasional, high cost economy,
rentannya nilai mata uang nasional

Struktur ekonomi Indonesia cenderung
menjadi semakin rapuh karena hanya
didukung oleh perkembangan sektor-sektor
yang kurang menyerap tenaga kerja formal
dan cenderung menyerap pekerja informal.
Gejala tersebut perlu segera diatasi karena
tidak sejalan dengan pematangan struktur
ekonomi agar menjadi lebih tangguh dan
modern, yang bisa menyejahterakan seluruh
rakyat Indonesia. Upaya untuk menjadi
negara maju akan sangat sulit jika sektor
informal terlalu besar, karena produktivitas
perekonomian akan sulit berkembang.
Tantangan bagi sektor industri
manufaktur terus menghadang. Akhir-akhir
ini deraan krisis listrik kian menjadi-jadi,

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

47

Internasional
ditambah lagi dengan implementasi free
trade agreement (FTA) ASEAN-China yang
nyaris penuh mulai tahun 2010. Tanpa FTA
ini saja kita sudah keteteran menghadapi
penetrasi produk-produk manufaktur dari
China. Neraca perdagangan kita dengan
China, berbalik dari surplus sebesar 1,12
miliar dolar AS tahun 2007 menjadi deisit
sebesar 3,61 miliar dolar AS tahun 2008.
Pada tahun 2009, meskipun terdapat
penurunan, namun deisit perdagangan
nonmigas kita dengan China masih mencapai
2,50 miliar dolar AS.
Dampak dari penerapan perdagangan
bebas lainnya adalah kenaikan ekspor
negara ASEAN ke Indonesia yang juga akan
menjadi lebih tinggi. Hal ini terjadi karena
produk-produk dari negara ASEAN tersebut
menjadi lebih kompetitif dibandingkan
dengan produk-produk dari Indonesia,
karena beberapa sektor industri mereka
mendapatkan akses ke bahan baku dan
bahan baku antara yang lebih murah dari
China, sedangkan produsen Indonesia tidak.

Singapura, Korea bahkan Jepang tumbuh
negatif.

Ekspor selama periode tumbuh
(CAGR) 11,09%, di mana tercatat yang
pertumbuhannya tinggi adalah pengolahan
kelapa sawit, pengolahan karet, besi baja,
mesin dan otomotif; masing-masing 22,31%,
18,74%, 18,53%, yang ekspornya relatif
stagnan adalah produk elektronik serta
pengolahan kayu; sedangkan TPT sebagai
komoditi ekspor tradisional pertumbuhannya
selama 5 tahun terakhir cukup konsisten,
yaitu sekitar 5,5%.

PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI
Selama 5 tahun terakhir (20052009), tiga sektor ekonomi utama dalam
perekonomian, yaitu pertanian, industri
pengolahan dan perdagangan bersama-sama
memberikan sumbangan 56%, masing-masing
pada tahun 2009 memberikan sumbangan
industri 26,4%, perdagangan 13,4% dan
pertanian 15,3%.

Untuk 5 tahun terakhir, pertumbuhan
industri nonmigas Indonesia belum mampu
mencapai kinerjanya seperti sebelum
krisis tahun 1998. Pada tahun 2009 industri
manufaktur hanya mengalami pertumbuhan
2,52% sedangkan perekonomian Indonesia
pada tahun tersebut tumbuh 4,55%. Walau
demikian industri di Thailand, Malaysia,

48

Industri juga memberikan andil dalam
menyumbang penyerapan tenaga kerja yang
tidak kecil, yaitu tahun 2009 sekitar 13,9
juta orang, dengan rata-rata pertumbuhan
5 tahun terakhir sekitar 5,41%. Industri kecil
menyerap tenaga kerja sekitar 7,8 juta
(56,28%), industri menengah 200 ribu (1,44%)
dan industri berskala besar 5,9 juta (42,28%).
Cabang industri yang menyerap tenaga
kerja dalam jumlah yang sangat besar yaitu
makanan, minuman dan tembakau (5 juta
orang), TPT (2,4 juta orang) dan barang kayu
dan hasil hutan lainnya (1,8 juta orang).

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional
sisi kedua adalah ancaman apabila
justru negara-negara lainlah yang dapat
memanfaatkan peluang tersebut. Identiikasi
peluang dan ancaman tersebut sangat
penting sehingga kita dapat menentukan
posisi kita dilihat dari proil peluang dan
ancaman.
a. Struktur Industri Indonesia

Hingga tahun 2009, penyebaran industri
Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa
yang mencapai 75% dari seluruh industri
yang ada di Indonesia

Pertumbuhan kredit perbankan untuk
sektor industri mengalami pertumbuhan
negatif pada tahun 2009 sebesar 8,8
persen.

PERMASALAHAN DAYA SAING INDUSTRI
INDONESIA
Bagi negara-negara kuat, apalagi negara
tersebut mempunyai posisi Sustainable
Competitive Advantage (SCA) dalam peta
persaingan dunia, perdagangan bebas akan
banyak memberikan manfaat. Perdagangan
bebas akan mampu memperluas pasar,
memperluas pengaruh, meningkatkan
standar hidup dan kesejahteraan
masyarakat. Namun bagi negara-negara
lemah, perdagangan bebas justru akan
menimbulkan banyak permasalahan.
Oleh karena itu, ACFTA yang merupakan
implementasi dari sistem perdagangan
bebas pada tingkat regional dapat menjadi
“pedang bermata dua”. Mata atau sisi
pertama dapat menimbulkan peluang
apabila kita mampu memanfaatkan efek
sinergi dari kerja sama tersebut, sedangkan

Kekuatan struktur industri biasanya
dapat dilihat dari kokoh-rapuhnya
hubungan kerja (networking) antara
industri dasar dengan hilirnya, termasuk
supporting industry-nya seperti industri
kecil dan menengah (IKM). IKM seakan
tumbuh “by accident not by design”
sehingga kurang mampu menjadi
supporting industry bagi industri yang
lebih besarnya. Padahal jumlah IKM lebih
dari 90% dari total industri. Ini berarti
bahwa dalam kacamata Panca Gatra,
posisi IKM sangatlah strategis.
Di sisi lain pemerintah tidak
menyediakan insentif bagi industri
besar yang memiliki networking
penumbuhan. Akhirnya industri besar
kurang memperhatikan pertumbuhan IKM
yang sebenarnya sangat strategis dalam
kehidupan berbangsa karena IKM relatif
mampu bertahan dalam badai ekonomi
yang cukup besar seperti yang dialami
Indonesia pada tahun 1997.
Di China, industri besar yang
memiliki networking dengan IKM akan
berpeluang mendapatkan insentif yang
lebih besar. Hal ini tentu saja akan
sangat membantu mendorong industri
besar supaya terkait dengan IKM yang
berdampak langsung kepada kehidupan
masyarakat.

Sumber: Dirjen Anggaran Kemenkeu, Kompas, 3 Februari 2010:4

Untuk ini dapat dilihat dari data

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

49

Internasional
sebagai berikut: berdasarkan data dari
Kementerian Perindustrian bahwa 76%
impor nasional dikuasai oleh impor bahan
baku industri, kemudian barang modal
19% dan diikuti barang konsumsi sekitar
5%. Padahal negara Indonesia terkenal
dengan kekayaan sumber daya alamnya.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM
terlihat bahwa sekitar 80% lebih SDA
diekspor dalam kondisi bahan alam tanpa
pengolahan yang berarti. Artinya produk
tambang (produk primer) yang diekspor
tidak memiliki nilai tambah, terutama
bagi masyarakat. Di sini terlihat bahwa
kemauan politik pemerintah dituntut
untuk segera memenuhi amanat UUD
1945 Pasal 33 bahwa kekayaan alam yang
terkandung dalam negara adalah untuk
memakmurkan rakyat Indonesia.
Hal tersebut di atas ditengarai
karena pemerintah tidak memberikan
perhatian terhadap pemanfaatan sumber
daya dalam negeri termasuk teknologi
putra bangsa, sehingga selalu bergantung
pada luar negeri. Inilah ancaman serius
jangka panjang bagi bangsa Indonesia.
IKM seharusnya dapat diarahkan
untuk menyuplai komponen yang
diperlukan industri besar. Maka bila
konsep ini benar-benar dijalankan maka
pertumbuhan industri akan memberikan
manfaat besar bagi masyarakat. Tidak
seperti yang kita jumpai saat ini di
mana pertumbuhan ekonomi tidak
berbanding lurus dengan pengurangan
angka pengangguran atau kemiskinan.
Itulah sebabnya banyak kalangan yang
melukiskan bahwa ekonomi nasional
tidak berkualitas seperti yang tergambar
di bawah ini.

Republika, Senin, 15 Februari 2010

Karena ketergantungan yang luar
biasa terhadap bahan/barang luar

50

negeri sehingga tentu saja akan juga
berpengaruh terhadap kualitas ekonomi
seperti yang dapat dilihat pada gambar
di atas. Sektor tradable pertumbuhannya
terus di bawah pertumbuhan PDB,
sementara yang non-tradable lebih tinggi
dari pertumbuhan PDB nasional.
Akibat kondisi kualitas ekonomi
yang kurang bagus tersebut maka
pertumbuhan impor nasional sangat
mengkhawatirkan, di mana laju
petumbuhan impor hampir tiga kali
lipat pertumbuhan ekspor seperti yang
ditunjukkan dalam gambar berikut:

Kekuatan industri tentu saja akan
sangat bergantung pada komitmen
pemerintah dalam menjaga
sustainability dari industri tersebut. Oleh
karenanya pemerintah seyogianya komit
untuk menyediakan mulai bahan baku,
tenaga listrik, air dan infrastruktur untuk
industri, baik bersifat isik misalnya jalan
raya, jembatan dan lain sebagainya,
maupun nonisik seperti aspek terkait
dengan keuangan dan iklim usaha yang
kondusif.
b. Daya saing industri. Daya saing industri
merupakan manifestasi dari tingkat
keterterimaan produk industri di
pasar domestik maupun internasional.
Memang banyak parameter dalam
daya saing, kementerian perindustrian
mengidentiikasi sekitar 23 parameter
daya saing. Bahkan Thailand memasukkan
parameter entertainment sebagai salah
satu parameternya.
Salah satu parameter penting adalah
diikutinya standar produk yang diakui
dunia melalui pengesahan World Trade
Organization (WTO). Indonesia memiliki
sekitar 6900 Standar Nasional Indonesia
(SNI) (sukarela) di mana 3.840 SNI di

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional
antaranya dikeluarkan oleh kementerian
perindustrian. Namun sayangnya dari
jumlah tersebut yang diwajibkan baru
87 buah dan dari angka ini baru 47
buah (1,2%) yang sudah dinotiikasikan
ke WTO. Hal ini berarti bahwaproduk
Indonesia yang diakui dunia masih sangat
terbatas. Tentu saja masalah ini sangat
mendesak untuk segera dicarikan jalan
keluarnya.
Dengan keterbatasan daya saing
nasional tersebut, kita dihadapkan
pada Free Trade Agreement (FTA) yang
didahului oleh ASEAN-China (ACFTA),
jika dibandingkan antara Indonesia vs
China, gambarannya tertera dalam bagan
di bawah ini. Dalam kondisi tersebut,
maka daya saing kita sudah pasti jauh
di bawah China. Pertumbuhan industri,
suku bunga bank yang perbedaannya
hampir 9%, panjang jalan tol dan
sebagainya merupakan indikator yang
tidak bisa disandingkan. Tentu saja
hal ini menyisakan pertanyaan bahwa
para negosiator kita dulu kurang
memperhatikan masalah tersebut.

Industri Tekstil dan Produk Tekstil
(TPT) merupakan primadona Indonesia,
akan tetapi akibat “kelalaian”
pengelolaan, maka dampak ACFTA
diperkirakan akan terjadi seperti dalam
gambar berikut.

Total tenaga listrik nasional yang
tersedia 30,9 GW dengan pertumbuhan
sebesar 6,9%. Sementara rasio
elektriikasi sekitar 65,79% dengan
rasio desa berlistrik 93,19%. Ini
menunjukkan bahwa untuk listrik masih
terjadi perebutan antara keperluan
industri dengan keperluan masyarakat,
yang tentu saja masyarakat harus
didahulukan. Dengan kata lain tenaga
listrik relatif masih menjadi barang
“mahal” bagi industri di Indonesia.
Pertumbuhan konsumsi listrik untuk
industri 4,8%, dengan jumlah tenaga
yang tersedia 45,784 GWh atau 35% dari
total, merupakan urutan kedua setelah
residential yang mencakup besaran
54,503 GWh (41%).

Neraca perdagangan Indonesia
dengan China setelah tahun 2008 di
mana impor kita dari China hampir dua
kali lipat dan deisit. Pada tahun 2004
China telah menotiikasikan standarnya
ke WTO, ini artinya mereka melakukan
persiapan dari segala arah yang sama
sekali kurang kita perhatikan.

Adapun untuk pemanfaatan sumber
tenaga pembangkit tenaga listrik,
Indonesia masih sangat bergantung pada
sumber daya energi fosil, yaitu 62% dari
seluruh sumber tenaga yang digunakan.
Hal in tentu sangat berbahaya mengingat
fosil merupakan non-renewable natural
resources di samping menimbulkan
masalah lingkungan dan dampak negatif

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

51

Internasional
terhadap pemanasan global.
Konsumsi baja per kapita sering
kali merupakan indikator kuat tidaknya
pembangunan infrastruktur yang
merupakan salah satu parameter penting
bagi penumbuhan industri, baik untuk
bangunan, jembatan, pelabuhan,
jalan dan sebagainya. Banyak data
yang menunjukkan bahwa konsumsi
baja per kapita Indonesia terendah di
antara negara pembanding, sementara
pertumbuhannya relatif mendekati
nol persen. Hal ini sangat disayangkan
karena pertumbuhan industri akan
sangat bergantung pada ada tidaknya
infrastruktur. Makin lengkap infrastruktur
maka industri tersebut akan memiliki
daya saing yang semakin tinggi.
Sebaran industri masih
terkonsentrasi di Jawa yang mengambil
porsi sebanyak 65% dari total industri,
berikutnya di Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan. Sementara di Papua
masih sangat terbatas. Oleh karenanya
sebaran ini menjadi target utama, yaitu
menumbuhkan industri di luar Jawa
mengingat SDA banyak di luar Jawa.
c. Iklim investasi
Pada periode 2005-2009 penanaman
modal di sektor industri pengolahan
terealisasi rata-rata per tahun
senilai 19,14 triliun rupiah untuk
proyek Penamanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN), sementara itu untuk
Penamanaman Modal Asing (PMA)
mencapai US$ 4,33 miliar. Bila kurs
dihitung berdasarkan angka Rp 10.000/
dolar, maka modal asing yang diserap
mencapai 40,69 triliun rupiah per
tahun. Sehingga total investasi sektor
industri pengolahan mencapai 59,74
triliun rupiah per tahun. Angka ini
melebihi sasaran investasi sektor industri
pengolahan pada RPJMN, yaitu antara 40
s/d 50 triliun rupiah.

Ekuin bidang Industri Perdagangan)
relatif bila dibandingkan dengan negaranegara tetangga.
Beberapa stimulus yang telah
diberikan pemerintah tampaknya kurang
direspons positif oleh pengusaha,
sehingga menteri perindustrian dengan
gencarnya mengusulkan pemberian tax
holiday yang di beberapa tetangga sudah
dilaksanakan dan mampu menyerap
investor terutama asing.

Indonesia merupakan negara
yang memiliki daya tarik luar biasa,
namun sayangnya belum dikelola
secara profesional sehingga terdapat
ketidakpastian di mana-mana. Hal ini
tentu saja akan sangat mengganggu
terutama bagi investor asing. Oleh
karenanya, dalam hal Foreign Direct
Investment (FDI) Indonesia masih di
bawah Thailand apalagi Vietnam yang
masih relatif “baru” selesai perang.
Untuk hal tersebut selanjutnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Untuk mempermudah pembandingan,
selanjutnya lihat tabel FDI di bawah ini:

Pertumbuhan investasi di Indonesia,
tidak sejelek yang diperkirakan karena
ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh
positif, bahkan berada pada urutan ke-3
setelah China dan India (Deputi Menko

52

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional

Iklim ekonomi sangat dipengaruhi
oleh iklim politik dalam suatu negara.
Indonesia masih memiliki tantangan
untuk mengurangi terlalu kuatnya
pengaruh politik ke dalam investasi.
Apalagi Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) tidak berdiri dalam satu
atap dengan sektor industri sehingga
sering kali langkahnya kurang harmonis.
Terlebih lagi Indonesia dikenal sebagai
salah satu negara yang memiliki tingkat
kepastian investasi yang rendah. Di
samping politik, terdapat banyak
masalah yang dihadapi, termasuk juga
masalah perburuhan yang sering kali di
keluhkan oleh para investor terutama
dari luar negeri.

FAKTOR YANG MEMENGARUHI
a. Pengaruh Perkembangan Lingkungan
Global Perkembangan lingkungan global
identik dengan fenomena globalisasi
yang ditandai dengan terjadinya
transformasi budaya tradisional
menuju budaya modern, tumbuhnya
fenomena pemisahan ruang dan waktu
(distanciation), kepercayaan (reliability)
dan releksivitas (relexivity) (Giddens,
1990), serta juga ditandai dengan
fenomena “kapitalisme yang mendorong
terjadinya revolusioner sehingga tercipta
suatu masyarakat global dan menggusur
dunia tradisional” (Karl Marx, 1884), di
mana pasar tunggal dunia (borderless
market) menjadi tujuan utama menuju
terwujudnya ekonomi yang lebih
efektif dan eisien. Dengan demikian
jelas bahwa menurut para pendukung
globalisasi “tidak ada pilihan” bagi setiap
negara untuk mengikutinya jika tidak
mau ditinggalkan atau terisolasi dari
perekonomian dunia yang mengalami

kemajuan sangat pesat. Untuk itu
kebijakan yang harus ditempuh suatu
negara harus mempertimbangkan dengan
matang melalui short-term and longterm strategy dari berbagai aspek,
baik pendapatan maupun sumber daya
yang dimiliki negara tersebut, karena
hal tersebut yang menentukan bentuk
interaksinya dengan perekonomian
dunia.
Perkembangan globalisasi yang
berdampak terhadap China dan Indonesia
di antaranya adalah berkembangnya
berbagai negara baik secara individu
seperti Amerika Serikat dan sekutunya,
Rusia maupun negara-negara yang
membentuk kelompok seperti BRIC
(Brasil, Rusia, India dan China) maupun
Uni Eropa yang semakin menguat
perekonomiannya, yang tercermin dari
makin menguatnya Euro, sebagai dampak
dari melemahnya perekonomian Amerika
Serikat. Penguatan perekonomian Eropa
ini membuka peluang bagi Indonesia
untuk semakin memperkuat kerja sama
dengan negara-negara Eropa. Terkait
dengan keberadaan BRIC, menurut
Goldman Sachs dalam Global Economic
Paper Nomor 34 Tahun 2005, disebutkan
bahwa India akan menjadi perekonomian
terbesar ketiga pada tahun 2035 dan
China akan menjadi perekonomian
terbesar tahun 2041.
Kebangkitan China tersebut
merupakan bagian dari proses
globalisasi, yang diprediksi akan
memengaruhi pasar dan sistem
dunia sehingga berdampak pada efek
permintaan dan efek spesialisasi
produksi (production specialization
effect). Dalam hubungannya dengan
permintaan, pertumbuhan perekonomian
China akan menciptakan pasar bagi
barang yang diproduksi secara regional.
Selain itu pertumbuhan tersebut juga
menyebabkan negara-negara sekitar
China memilih melakukan spesialisasi
serta berusaha membentuk keunggulan
komparatif terhadap China. Dalam hal
ini tentunya pertumbuhan China tersebut
akan menyulitkan negara-negara
tetangganya. Karena perluasan ekspor

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

53

Internasional
China mungkin akan mengurangi market
share negara lain dan hal ini berpotensi
menurunkan pendapatan. Selain itu
perkembangan China akan menciptakan
persaingan antarnegara tetangga untuk
menerima aliran modal, khususnya
FDI yang dianggap sebagai katalis
pembangunan.

b. Pengaruh Perkembangan Lingkungan
Regional

Perkembangan di lingkungan regional
yang dapat memengaruhi hubungan
Indonesia dan China didominasi oleh
keberadaan perkembangan negaranegara ASEAN dan upaya perwujudan
ASEAN Community khususnya ASEAN
Economic Community. Selain itu juga
Secara geopolitik dan geostrategi
dipengaruhi oleh keberadaan negaraIndonesia terletak di tengah-tengah
negara yang tergabung dalam BRIC yang
kawasan yang strategis dan dinamis
kontribusinya terhadap ekspor dan impor
di Asia Timur, serta berada di lingkup
dunia semakin meningkat. Kondisi ini
ketahanan regional ASEAN yang
akan memengaruhi
menjadi sentra
tingkat pangsa pasar
perekonomian
berbagai negara
negara-negara
Secara geopolitik dan geostrategi Indonesia
yang berpendapatan
berkembang yang
terletak di tengah-tengah kawasan yang
sedang dan rendah,
perekonomiannya
walaupun di sisi
hidup seperti
strategis dan dinamis di Asia Timur, serta
lain pertumbuhan
China, India,
berada di lingkup ketahanan regional ASEAN
perekonomian pada
negara-negara
yang menjadi sentra perekonomian negaranegara-negara
Amerika Latin
negara berkembang yang perekonomiannya
(BRIC) tersebut
dan Rusia serta
hidup seperti China, India, negara-negara
akan mendorong
Eropa Tengah
pertumbuhan
dan sejumlah
Amerika Latin dan Rusia serta Eropa Tengah
sektor manufaktur,
negara di Asia.
dan sejumlah negara di Asia. Di samping
jasa dan berbagai
Di samping
pertimbangan geopolitik dan geostrategi
perlengkapan
pertimbangan
tersebut, Indonesia juga memiliki sumber
industri.
geopolitik dan
daya alam yang besar, dengan jumlah
geostrategi
Keberadaan BRIC
tersebut,
penduduk terbesar ke-4 dunia dan merupakan akan memengaruhi
Indonesia juga
negara yang berdemokrasi terbesar di dunia.
negara-negara ASEAN
memiliki sumber
melalui berbagai
daya alam
cara, seperti
yang besar,
populasi, angkatan
dengan jumlah penduduk terbesar ke-4
kerja, pertumbuhan ekonomi, pasar dan
dunia dan merupakan negara yang
perdagangan serta konsumsi sumber
berdemokrasi terbesar di dunia.
daya dan energi (Angang Hu, 2007) dan
perdagangan internasional yang dianggap
Merunut dari berbagai pengaruh
paling berpengaruh (Winters, et al.,
global dan kondisi geopolitik serta
2007). Kondisi inilah di antaranya yang
geostrategi sebagaimana diuraikan di
mendorong ASEAN untuk mempercepat
atas, dalam rangka mempertahankan
perwujudan ASEAN Community sebagai
keunggulan kerja sama dengan China
pilar ketahanan regional. Perkembangan
yang dibingkai dalam ACFTA, maupun
lain yang juga ikut memengaruhi
keunggulan di kawasan Asia dan global,
keberadaan ACFTA adalah adanya
yang perlu dilakukan oleh Indonesia
penguatan kerja sama regional yang
dalam tataran global di antaranya adalah
dilakukan oleh Jepang, Korea dan
meningkatkan upaya dalam pelibatan
Australia maupun akan diberlakukannya
dengan ekonomi global dan lebih
FTA ASEAN dengan European Union,
gesit serta cerdik dalam menanggapi
Australia maupun dengan Selandia Baru.
perubahan keadaan dan isu-isu global
yang sangat dinamis.

54

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

Internasional
Perkembangan kawasan regional Asia
didominasi oleh pertumbuhan China dan
India di samping Jepang dan Korea. China
secara regional sudah sangat terbuka
dalam hal investasi sehingga tidak
memerlukan liberalisasi yang lebih jauh.
Berbagai negara di kawasan regional
telah banyak yang melakukan investasi di
China dan menjadikannya sebagai basis
produksi dengan memanfaatkan biaya
produksi dan upah yang murah di negeri
China. Kemudahan dalam hal investasi di
China yang dipadukan dengan program
kemandirian merupakan suatu hal yang
dapat mengungkit berkembangnya negara
China menjadi the next super power di
Asia di samping India.
Menelisik perkembangan
perekonomian China dan India serta
Indonesia, maka keberadaan Chindonesia
(China, India dan Indonesia) merupakan
pilar kekuatan regional di kawasan
sebagaimana dikemukakan oleh Nicholas
Cashmore bahwa Chindonesia merupakan
“the new global power triangle: China,
India and Indonesia” (Global Nexus
Institute dalam Cristianto Wibisono,
2010). China, India dan Indonesia
merupakan pangsa pasar besar bagi
negara-negara kawasan, di samping itu
juga merupakan negara di kawasan yang
mencapai pertumbuhan ekonomi positif
ketika negara-negara lain masih dalam
siklus pertumbuhan negatif.
c. Pengaruh Perkembangan Lingkungan
Nasional
Kondisi riil menunjukkan bahwa
Indonesia masih menghadapi
berbagai persoalan tingginya tingkat
pengangguran, besarnya jumlah
penduduk miskin, buruknya struktur
ekonomi nasional, tingginya kasus
korupsi maupun high cost economy
yang menimbulkan terjadinya resistensi
dan penyebab rendahnya daya saing
nasional. Dalam sektor industri,
permasalahan ‘grease money’ dalam
bentuk pungli ataupun biaya ekstra
mulai dari pencarian bahan baku sampai
menjadi output maupun ekspor masih
banyak terjadi. Selain itu Indonesia

juga masih menghadapi permasalahan
terkait dengan pengelolaan ekonomi
lokal yang mencakup manajemen
infrastruktur, pembangunan sektor
swasta, aksesibilitas dan kepastian lahan
serta hubungan Pemda dan sektor bisnis
(KPPOD, 2010).
Persoalan sosial budaya masyarakat
yang ‘luar negeri minded’ yang
telah lama berakar dalam kehidupan
masyarakat Indonesia seakan mendapat
ruang yang lebih luas ke arah
menguatnya pola budaya konsumtif.
Hal itu dapat diketahui ketika orang
mengonsumsi suatu produk bukan karena
kegunaan atau fungsinya, melainkan
karena citra (image) yang melekat
pada produk tersebut. Di sini, produk
telah berubah menjadi sesuatu yang
memiliki makna simbolis. Suatu produk
lebih dilihat dari hubungannya dengan
citra, kemewahan dan kenikmatan
sesaat. Tidak heran jika kemudian
hedonisme semakin melekat pada
perilaku kehidupan masyarakat. Hal ini
menyebabkan penghargaan terhadap
produksi dalam negeri sangat rendah
sehingga industri dalam negeri semakin
merana.
Otonomi daerah yang memberikan
peluang pada daerah untuk lebih leluasa
dalam mengembangkan berbagai potensi
lokal merupakan peluang tersendiri
bagi pengembangan berbagai sektor
khususnya industri. Namun demikian
berbagai dukungan perundang-undangan
masih menjadi kendala tersendiri,
bahkan sering kali tidak berpihak pada
masyarakat, bahkan semangat UUD
1945 khusus pasal 33 di mana bumi
dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya yang menguasai hajat
hidup orang banyak harus dikuasai
negara sering kali diabaikan. Berbagai
kepentingan jangka pendek sering kali
menggadaikan semangat nasionalisme
dengan menyerahkan aset kekayaan
alam untuk dieksplorasi oleh pihak-pihak
yang tidak semestinya bahkan oleh orang
asing. Reformasi birokrasi yang dilakukan
pemerintah dengan menata struktur
kelembagaan, meningkatkan sinergitas

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

55

Foto: http://tinyurl.com/cwo8pdr

antarkelembagaan dan mengeliminasi
berbagai peluang bagi tindak korupsi
merupakan angin segar bagi tumbuh
kembangnya sektor-sektor industri, baik
BUMN maupun sektor swasta khususnya
UMKM. Selama ini UMKM kurang
mendapat perhatian dari pemerintah,
bahkan dalam perjalanannya seakan
tidak ada linkage dengan perusahaanperusahaan besar. Mereka saling
berjalan parsial, bahkan terkadang
saling mematikan. Pemerintah sebagai
regulator dan empowering seyogianya
mulai mengnyinergikan keduanya
sehingga akan menjadi pilar kekokohan
perekonomian bangsa.

ANALISIS DAN UPAYA
Kerja Sama Regional (Free Trade Agreement)
Apabila dirunut ke belakang, kerja sama
perdagangan guna memperkuat negara
ataupun kawasan sebagaimana halnya
kerja sama regional sebenarnya telah lama
ada. Embrionya adalah imperiumenisme
(sebut saja sejarah imperium), di mana
sejak pada masa itu telah dikenal adanya
imperium transregional baik Asia, Eropa

56

maupun Timur Tengah, dengan tiga imperium
terbesar di zaman itu, yaitu Pax Romana,
Dinasti Mongol dan Khilafah Islamiyah Turki.
Kebesaran imperium regional Tiongkok
pernah dijajah oleh dinasti Yuan yang
merupakan masyarakat minoritas Mongol
(1267-1368) dan dinasti Qing Manchu (16441911). Sedangkan imperium nasional Timur
Tengah pra Islam didominasi oleh peran
Assyria, Babylonia, Cartago, Mesir, Sheba dan
Persia. Menurut pendapat Samuel Huntington
tentang the clash of civilization sebagaimana
disitir oleh Cristianto Wibisono, bahwa
interaksi Pax Romana, Dinasti Mongol dan
Khilafah Islamiyah Turki merupakan embrio
terjadinya benturan peradaban confusius,
Barat dan Islam sejak zaman perang salib.
Pada perkembangannya, muncullah imperium
global yang dipimpin oleh Spanyol dengan
menguasai suku Aztek, Inca dan Maya; lebih
modern lagi muncullah Pax Neerlandica
(Belanda) sebagai imperium global modern
dengan VOC yang dipergunakan untuk
menguasai perdagangan Nusantara, selain
itu juga terdapat Pax Britannica dan Pax
Americana yang kesemuanya merupakan
bentuk-bentuk imperium global modern.
Seiring dengan tumbuhnya modernisasi

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012

r

Internasional
dengan simbol globalisasi, berbagai bentuk
imperium maupun kerja sama yang dikemas
dalam bentuk ‘Pax’ sebagaimana diurai
di atas telah surut, luruh bahkan hilang
dan tergantikan oleh bentuk-bentuk kerja
sama perdagangan yang lebih bermartabat
dengan memberikan peluang kebebasan
dan keuntungan bagi berbagai pihak yang
tergabung di dalamnya. Berbagai negara
mulai sadar bahwa globalisasi menjadikan
peran sebagai negara yang tidak bisa
berdiri sendiri, namun memerlukan saling
ketergantungan, di mana globalisasi telah
menjadi mainstream bagi perekonomian
global yang memerlukan adanya proses
perdagangaan dunia bermartabat, yang
mampu mendorong terciptanya eisiensi
melalui spesialisasi produk, pengurangan
berbagai hambatan perdagangan baik itu
yang berupa tarif yang tinggi (tariff barrier)
maupun yang bukan tarif (non-tariff barrier)
dengan tujuan menurunkan biaya-biaya dan
meningkatkan rantai supply.
Perdagangan bebas (free trade) yang
merupakan landscape perekonomian global
telah mendorong terbukanya pasar nasional
menjadi pasar regional menuju terwujudnya
pasar global. Kondisi ini akan memengaruhi
berbagai kepentingan nasional, sehingga
perkembangan ekonomi global perlu
dicermati secara saksama. Bentuk kerja sama
free trade agreement di era globalisasi, baik
bilateral maupun multilateral, dimaksudkan
untuk lebih meningkatkan perekonomian
bangsa dan negara dalam rangka
menyejahterakan rakyatnya.
Pada tataran regional Asia, bentuk
kerja sama dominan diwarnai oleh
keberadaan ASEAN dengan konsepsi tiga
pilar pertumbuhan kerja sama, yaitu ASEAN
Political-Security Community, ASEAN
Economic Community dan ASEAN SocioCultural Community. Pembentukan ASEAN
Economic Community (AEC) dengan program
ASEAN Economic Community blue print
2015 mencanangkan program perwujudan
ASEAN sebagai pasar tunggal dan menjadikan
kawasan ASEAN lebih menarik bagi
penanaman modal asing dengan didukung
oleh aliran barang dan jasa, investasi, modal
dan tenaga kerja terdidik yang lebih bebas.
Hal ini membuka peluang bagi peningkatan

volume perdagangan antarnegara-negara
anggota ASEAN maupun dengan negara
lain sebagaimana dengan diberlakukannya
ACFTA yang diharapkan mampu memperluas
pasar industri guna menumbuhkembangkan
kesejahteraan masyarakatnya. Selain ACFTA
terdapat berbagai perjanjian perdagangan
bebas yang telah ditandatangani, di
antaranya adalah ASEAN Free Trade Area
(AFTA), ASEAN Australia, New Zealand Free
Trade Agreement dan ASEAN-South Korea
Free Trade Agreement.
Secara umum, Indonesia seharusnya
mampu menjadi driving force bagi negaranegara ASEAN dan the next power di Asia.
Realitasnya Indonesia merupakan negara
yang terluas di kawasan dengan kekayaan
alam yang melimpah dan jumlah penduduk
237,5 juta jiwa terbesar ke-4 di dunia. Selain
itu Indonesia memiliki PDB 510,8 juta dolar
AS. Terkait dengan kondisi perekonomian,
kondisi ekonomi makro Indonesia telah mulai
membaik yang ditandai dengan semakin
meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi
nasional, menurunnya laju inlasi, dan
peningkatan sektor industri pengolahan

Secara umum, Indonesia seharusnya
mampu menjadi driving force bagi
negara-negara ASEAN dan the next
power di Asia. Realitasnya Indonesia
merupakan negara yang terluas di
kawasan dengan kekayaan alam yang
melimpah dan jumlah penduduk
237,5 juta jiwa terbesar ke-4 di
dunia. Selain itu Indonesia memiliki
PDB 510,8 juta dolar AS. Terkait
dengan kondisi perekonomian,
kondisi ekonomi ma