YANG TERPILIH BELUM TENTU YANG TERBAIK

Eep Saifullah Fatah: YANG TERPILIH BELUM TENTU YANG TERBAIK
Pada Pemilihan Presiden putaran ke-2 nanti diprediksikan angka golput akan mencapai 40 persen
lebih, baik golput politik, golput ideologi maupun golput teknis. Bila prediksi itu benar, maka
pemerintahan yang baru nanti dipastikan akan mengalami delegitimasi dari masyarakat.
Benarkah sinyalemen tersebut? Kita simak wawancara Ton Martono dari SM dengan Eep
Saefullah Fatah, di Park Line Casablanca beberapa hari lalu. Ia adalah Staf Pengajar Fisip UI,
Pendiri Lingkaran Persaudaraan Pemberdayaan Warga Negara (LPPW), mantan Anggota MPR
RI Utusan Golongan (67 hari), Presenter Politik di AN-teve, penulis sejumlah buku ilmiah antara
lain “ Provokasi Awal Abad, Mencintai Indonesia dengan Amal “. Mantan ketua Litbang Redaksi
Harian Republika ini sejak 21 Maret 2000 hingga sekarang bermukim di Amerika Serikat
menyelesaikan Studi Program Ph.D, di Political Science Department, the Ohio State University,
Columbus, Ohio, USA..
Perjalanan transisi demokrasi di Indonesia saat ini sudah sejauhmana?
Perjalanan transisi demokrasi sekarang ini sudah berjalan dan sangat menggembirakan pada
tingkat prosedural, alam arti bahwa kita memiliki prosedur-prosedur baru berdemokrasi yang
selama ini belum kita kenali. Kita lihat kebebasan berekspresi, berorganisasi dalam partai politik,
Pemilu dan berparlemen dengan cara baru dan lain lain. Semua itu adalah merupakan prosedur
baru dalam berdemokrasi. Dari sudut prosedur pencapaian kita sudah lumayan bagus. Transisi
demokrasi kita perjalanannya diawali dengan masa sulit, yakni sulit ekonomi dan politik,
sehingga menyebabkan siapapun dan dengan kemampuan apapun tidak mungkin bisa
menyelesaikan persoalan itu hanya dengan waktu singkat.

Apa makna yang paling strategis dari pelaksanaan pemilihan Prersiden secara langsung?
Menyangkut soal pemilihan Presiden transisi demokrasi ini cukup luar biasa, karena untuk
pertama kali rakyat ditempatkan di pusat arena politik, terlepas dari jabatan mereka, jenis
kelamin mereka ikut menentukan pemilihan secara langsung. Hal ini adalah merupakan satu
yang paling penting dalam politik kepemimpinan. Ketika rakyat berada di pusat atau di tengah
arena politik ini, maka sebetulnya transisi demokrasi sudah mencapai kemajuan. Karena pada
intinya demokrasi itu terus menerus mengajak rakyat sampai ke pusat di arena politik.
Menurut Anda, kenapa hasil pemilihan Presiden putaran pertama hasilnya seperti itu, dan kenapa
Amien Rais mengalami kekalahan?
Pelajaran penting dari pemilihan Presiden tahap pertama kemarin, ada gejala yang jelas bahwa
pemilih kita ini semakin relatif otonom. Artinya identifikasi partai, identifikasi organissasi
kemasyarakatan tidak bisa dijadikan ukuran kearah mana mereka akan diarahkan. Pemilih
otonom ini merupakan sejarah penting bagi kita dalam pemilihan Presiden tahap pertama,
sehingga kita tidak bisa menjumlahkan secara sederhana dengan matematika sederhana
gabungan suara partai yang berkoalisi untuk menyokong kandidat tertentu. Pelajaran penting lain
adalah bahwa mesin politik yang sekarang kita pahami ternyata berperilaku seperti yang tidak
kita pahami. Kita selama ini memahami mesin politik itu sebagai sesuatu yang mekanik untuk
kegiatan politik, padahal yang digerakkan bukan mesin politik tetapi organ politik. Sebagai

mesin yang penting itu hanya lembaga atau struktur berbagai tingkat, tetapi sebagai organ yang

penting adalah aktor-aktor yang bisa menggerakkan aktivitas politik. Nah yang kita lihat pemilu
kemarin sekalipun ada mesin politik yang besar seperti PDIP dan Golkar tidak ada jaminan
bahwa mesin politik itu akan mendulang suara besar sesuai dengan postur mesin politiknya.
Karena ditingkat operasional organ politik tidak memiliki mesin politik yaknu aktor-aktor yang
bergerak dengan loyalitas tinggi dan motivasi yang luarbiasa dengan insentif yang cukup untuk
mendukung kandidat. Hal ini masuk akal sebenarnya, karena sebagain kecil organ-oragan politik
ini adalah mereka yang sudah puas, karena memperoleh kursi DPRD dan DPR sehingga mereka
tidak punya lagi motivasi. Sementara sebagaina besar sisanya sangat kecewa karena tidak bisa
masuk menjadi anggota DPR dan DPRD, akhirnya mereka tidak termotivasi. Sehingga untuk
menggerakkan organ yang besar, yang dilakukan kan sumber daya yang tidak memerlukan daya
di tingkat lokal, kalau suplai itu tidak ada maka mesin itu tidak bisa bergerak. Dan kita lihat
ternyata pilihan masyarakat atas kandidat Presiden itu merupakan ekspresi yang ada
hubungannya dengan figur. Tidak ada faktor yang menginstruksi, yang ada adalah kontak
langsung yang ada hubungannya dengan figur seperti yang kita lihat sekarang ini.
Kemudian kenapa tokoh seperti Amien Rais tidak terpilih, sebenarnya hanya hukum besi
kompetisi saja, karena figur yang terpilih dalam kompetisi demokrasi tidak selalu yang terbaik.
Dalam pemilu legislatif dan eksekutif kenapa angka golput relatif tinggi?
Kalau kita lihat datanya, mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu kamarin ada : 33.
754.959 pemilih, sementara jumlah suara tidak sah ada : 2.636.976 , sehingga jumlah mereka
yang tidak berpartisipasi seluruhnya ada : 36.391.935 ini adalah jumlah yang luarbiasa besar,

karena jumlah pemilih kita dalam pemilu Presiden adalah 154.048.803 orang , ini adalah
segemen yang luarbiasa besar dan hampir sama besarnya dengan perolehan SBY dan Yusuf Kalla
dan melebihi suara Mega dan Hasyim Muzadi. Kalau kita lihat fenomena seperti itu tentu kita
harus mengkaji siapa sebenarnya mereka, kenapa mereka golput dan sebagainya.
Benarkah ada prediksi bahwa pemilihan Presiden putaran ke dua nanti angka golput akan
mencapai 40 persen lebih. Andaikata hal itu terjadi apakah legitimasi pemerintahan baru nanti
akan terganggu?
Sebenarnya kalau kita bicara tentang fenomena golput setidaknya ada tiga kelompok utama,
yang pertama adalah golput ideologis, mereka tidak ikut serta pemilu atau sengaja membuat
cacat pilihan mereka, tetapi umumnya mereka karena sebab ideologis tidak ikut pemilu. Didalam
kelompok golput ideologis ini ketika saya ketemu dengan Prof. Usep Ranuwijaya tokoh PNI tua
yang tetap konsisten sampai sekarang. Dia bilang, ”Sejak l967 ketika penanaman modal asing
dibiarkan masuk Indonesia dan negara kita menjadi kapitalis secara ekonomi dan politik
akhirnya dipengaruhi oleh kapitalis itu, maka saya tidak akan ikut lagi dalam proses politik di
negara ini.” Kalau orang sudah memposisikan dirinya seperti itu, maka dia termasuk golput
ideologis. Sebenarnya bukan kalangan tua saja, banyak aktivis muda yang menentang globalisasi
hingga sekarang mereka menjauhi proses politik di negara ini. Ada juga varian lain mereka
golput karena sebab-sebab religious, misalnya ada kelompok Islam tertentu yang jumlahnya
sedikit, mereka menganggap bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia sangat bertentangan
dengan nilai Islam, karena itu mereka tidak lagi ikut dalam proses berpolitik, berpemilu,

berparlemen dan sebagainya.

Kemudian yang kedua golput politik, yakni mereka golput karena anti elitisme dan formalisme,
proses transisi demokrasi dan pemilu adalah aksi para elitisme yang pada akhirnya rakyat
menjadi korban. Kemudian ada lagi mereka golput politik karena tidak tersedianya pilihan dan
ini hanya temporer.
Kemudian kelompok golput yang ketiga adalah golput teknis, yakni mereka tidak memilih
karena ketidaktahuannya, mereka tidak datang ke TPS karena nonton sepak bola, tidak datang ke
TPS karena cacat dan seterusnya. Nah serta mereta mereka yang golput teknis ini serta merta
dimasukkan dalam golput politik maupun golput ideologis. Karena itu perhitungan golput itu
harus lebih spesifik supaya kita bisa lebih mudah membedakannya, sehingga dengan begitu kita
bisa melihat angka golput secara anatomis, nah kita lihat nanti angka golput dalam pemilihan
Presiden putaran kedua.
Kalau jumlah golput dalam tahap kedua nanti sama dengan jumlah pemilih yang berpartisipasi
maka golput tidak ada persoalan, tetapi andaikata angka golput nanti lebih tinggi dari jumlah
pemilih yang berpartisipasi, tidak akan pengaruh, karena hak politik bagi yang memilih dan yang
tidak memilih adalah sama, karena itu hasilnya nanti harus diterima oleh siapapun.
Bisakah golput mentransformasikan diri menjadi embrio oposisi rakyat?
Kita lihat dari anatominya, tapi yang jelas golput ini sulit diorganisir karena mereka yang golput
ideologis, politis dan golput teknis itu sangat sulit untuk digerakkan, karena golput mereka

temporer. Karena kalau tersedia kandidat bagi kelompok mereka , maka mereka tidak lagi golput
dan organisasi mereka akan bubar dengan sendirinya. Yang kita bayangkan adalah kalau mereka
memposisikan dirinya dalam kelompok masing-masing dan secara sendiri-sendiri sebagai
warganegara dengan fungsi yang proaktif dan fungsi yang proaktif itu mereka menjadi
warganegara. Jadi yang dilakukan oleh mereka adalah mentransformasi diri menjadi pemilih atau
golput menjadi warganegara. Mereka tahu dan menjaga hak mereka sendiri, mereka tahu
menjaga hak orang banyak, mereka bertumpu pada diri sendiri bukan pada orang lain termasuk
juga kepada pemimpin dan secara proaktif memperjuangkan hak-hak mereka secara tegas, dan
mereka akan melawan ketika hak-haknya diciderai.
Menurut Anda perjalanan sejarah politik nasional kita berlangsung ssecara linier atau berdasar
pada siklus?
Saya tidak percaya ada sejarah yang berlangsung secara linier, dan juga tidak selalu siklus. Linier
dan garis lurus perbandingannya kan bukan hanya siklus. Sejarah itu selalu mengandung
dialektika. Ada pertempuran yang tidak pernah berhenti dari berbagai eksponen dari sejarah itu
kemudian menghasilkan sesuatu, nah begitu juga transisi demokrasi bahwasanya transisi itu bisa
terjadi kebalikan-kebalikan dari zaman ke zaman. Misalnya satu negara sudah melakukan proses
demokratisasi dalam satu tertentu kualitas demokrasinya menyurut mereka akan kembali ke
otoritarianisme.
Apa harapan Anda terhadap peran Muhammadiyah kaitanya dengan masa depan Indonesia?
Muhammadiyah yang besar ini bisa memainkan perannya sebagai kontrol moral, karena

Muhammadiyah memiliki pengaruh yang luarbiasa di tingkat elit dan formal. Dan
Muhammadiyah jangan sampai lupa terhadap fungsinya untuk memelihara kekritisan dalam

kantong-kantong masyarakat dalam rangka proses pendidikan politik yang konsisten dan tertata
terus menerus dengan segmen atau audien yang luar biasa besar. Dalam kontek ini
Muhammadiyah jangan sampai menjadi agen mobilisasi politik, akan tetapi justru
Muhammadiyah menjadi agen partisipasi politik, yakni membiarkan keragaman dan
membiasakan jamaahnya berbeda dan kemudian bersikap sosial dengan otonomi relatif yang
dimilki oleh warga Muhammadiyah.Ton
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004