NONMUSLIM BELUM TENTU KAFIR dan TIDAK MA

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim, Alhamdulillah, buku berjudul Non Muslim belum tentu Kafir dan Tidak Masuk

Syurga ini dapat kami terbitkan dan sudah ada ditangan sobat pembaca. Secara teknis penulisan buku ini masih menyalahi metode ilmiah, tentang cara penyaduran khususnya dan masih utuhnya tulisan-tulisan orang dan sumber di luar penulis yang sengaja dimasukkan dalam buku ini. Sehingga buku ini masih bersifat bunga rampai dan penulis mohon maaf dan mohon keikhlasan penulis dan sumber lain yang sengaja kami sadur dan kutip di dalam buku ini. Buku ini merupakan wujud perenungan penulis selama kurang lebih sejak tahun 2000, dengan berdiskusi lintas agama lewat internet dan browsing dalam mempelajari tema ini kita dapatkan beberapa sumber internet yang menguatkan hipotesa saya dalam masalah ini.

Buku ini dapat penulis pastikan akan mengundang kontroversi, sebab pemikiran bahwa non muslim belum tentu kafir dan tidak masuk syurga secara umum dianggap tidak benar baik oleh umat Islam kebanyakan maupun sebaliknya oleh umat non muslim sendiri. Namun, penulis akan dapat membuktikan berdasarkan argument yang benar, bahwa pendapat umum yang menyatakan bahwa non muslim itu semua kafir dan tidak selamat adalah pendapat yang tidak tepat. Mayoritas non muslim itu berkeyakinan dan mengimani agamanya adalah disebabkan oleh keturunan agama orangtuanya. Dan mayoritas non muslim itu tidak tahu dan belum mengerti dan memahami kebenaran ajaran agama Islam. Artinya, mayoritas non muslim itu tidak kafir dalam artian kata kafir yang sebenarnya.

Ternyata, mayoritas ulama muslim menyatakan bahwa kafir karena ketidaktahuan (kebodohan) adalah kafir yang dimaafkan. Orang yang tidaktahu, tidak mengerti dan orang yang tahu dan mengerti hukum yang dikenakan pada mereka sangat berbeda. Hal inilah yang penulis ketengahkan dan penulis sengaja publikasikan karena wacana atau ilmu ini sangat jarang dibahas dan dibicarakan para dai dan ulama dalam pendidikan dan syiarnya.

Sebagai penutup, Islam adalah rahmatan lil alamin. Ajaran Islam yang penuh rahmat kepada seluruh alam mestinya dapat membahagiakan seluruh alam semesta. Islam yang rahmat akan terkotori oleh cara-cara berpikir dan tindakan yang sama sekali jauh dari rahmat, contohnya anarki, kebencian, dan pengkafiran orang secara sembarangan. Dengan memahami bahwa mayoritas nonmuslim belum tentu kafir, atau sebaliknya bagi agama Kristen misalnya memandang mayoritas non kristiani belum tentu kafir, maka stigma bahwa agama-agama itu saling mencurigai akan sirna menjadi kehidupan bermasyarakat yang sejuk, saling kenal mengenal secara utuh.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.49:13)

DAFTAR ISI

BAB I IDE PEMIKIRAN (Muhammad diutus Allah tidak untuk

3 BAB II Konsep Wahdat al-Adyan; ANTARA MONO DAN MULTI

menghakimi hati seseorang) ……………….……………………..

11 BAB III NON MUSLIM JUGA BISA MASUK SURGA?......................

sebuah renungan kritis…………………………………………

BAB IV HUKUM ORANG AWAM (bodoh) “TIDAK TAHU” DALAM

KEISLAMAN …………………………………………………

BAB V BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG HUKUM KEYAKINAN

DALAM ISLAM…………………………………………………

BAB VI Konsili Vatikan II (DALAM AGAMA KATHOLIK) PERNYATAAN TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTIANI ………………………

25 BAB VII Untaian Mutiara Dalam Memahami Ayat Hukum……………

30 BAB VIII PERDEBATAN TENTANG KESELAMATAN DI LUAR

GEREJA KATHOLIK ………………………………………….

BAB IX KESELAMATAN BAGI GOLONGAN ORANG AWAM

YANG “TIDAK TAHU” ………………………………………..

BAB X ISLAM ETIC IS UNIVERSAL RELIGION

86 BAB XI PROTOTIPE MANUSIA BERKEYAKINAN…………………

(Katolik Islami, Kristen Islami, Budha Islami, Hindu Islami dll.)

106 BAB XII ISLAM TIDAK MENGENAL JIHAD OFENSIF …………….

BAB I IDE PEMIKIRAN Muhammad diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang

DE PEMIKIRAN Muhammad diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang

Landasan dalam Qur’an: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 2 : 62)

Riwayat Asbabun nuzul ayat Qur’an tersebut (terjemahan bebas) sbb: ” ada seorang sahabat nabi Muhammad (fulan) bertanya kepada nabi, “Bagaimana nasib sahabatnya yang beragama yahudi, nasrani, shabiin kelak di hari pembalasan? Nabi pada awal menjawab, “mereka semua tidak akan selamat.” Mendengar sabda nabi itu si fulan bermuram durja mukanya. Kemudian turunlah ayat (QS. 2: 62) tersebut untuk mengingatkan kepada nabi Muhammad bahwa hanya Allah-lah yang berhak mengklaim keselamatan seseorang di hari pembalasan kelak. selanjutnya kala menerima ayat itu Muhammad segera sadar dan meralat sabdanya kepada fulan dengan membacakan ayat itu. Maka, sahabat tersebut langsung berwajah cerah dan berbahagia.

Tafsir ayat ini, mayoritas ulama tafsir memang menyatakan bahwa yang dimaksud “mukmin, yahudi, nasrani. shabiin itu adalah mereka yg hidup sebelum Muhammad datanglah yang akan selamat. Bukan setelahnya. Tapi bagi penulis setelah mendalami kajian tentang HUKUM ORANG AWAM (bodoh) “TIDAK TAHU” DALAM KEISLAMAN, yang mayoritas ulama menyatakan KESELAMATAN BAGI GOLONGAN ORANG AWAM

YANG “TIDAK TAHU” dan setelah mendalami dan menyaksikan khusuknya umat agama2 menyembah Tuhannya masing2 dan beramal sholeh, maka ayat tersebut masih berlaku bagi mereka yang tergolong orang awam karena ketidaktahuannya dan ketidakmengertiannya akan kebenaran Islam (baik dari yahudi, Nasrani, Shabiin, Majusi, Hindu, Budha dll).

Penulis juga mencoba membuat prototipe MANUSIA BERKEYAKINAN sbb:

PROTOTIPE MANUSIA BERKEYAKINAN

1. Beriman : Orang yang Iman kepada Allah YME dan beramal sholeh = (selamat)

2. Kafir : Orang yang ingkar kepada Allah YME = (tidak selamat)

3. Munafik : Orang yang bermuka dua (ingkar dan iman) = (selamat dan tidak selamat dengan syarat)

4. Dholim : Orang yang banyak berdosa = (selamat dengan syarat)

5. Awam : Orang yang beriman tapi bodoh (selamat dengan syarat)

Tingkat Keselamatan Berdasarkan Pengetahuan, Keimanan dan Amal (Tahu dan mengerti Islam, Iman kepada Allah YME dan beramal baik)

1. Orang yang Tahu, Mengerti, Iman dan Beramal baik (taqwa)

2. Orang yang Tahu, Mengerti, Iman tapi tidak beramal baik (dholim)

3. Orang yang Tahu, Mengerti , Tidak Iman tapi beramal baik (kufur)

4. Orang yang Tahu, Mengerti , Tidak Iman dan tidak beramal baik (kufur)

5. Orang yang Tahu, Tidak Mengerti , Iman dan Beramal baik (awam)

6. Orang yang Tahu, Tidak Mengerti , Iman dan Tidak Beramal baik (dholim)

7. Orang yang Tahu, Tidak Mengerti, Tidak Iman tapi Beramal baik (kufur)

8. Orang yang Tahu, Tidak Mengerti, Tidak Iman dan Tidak Beramal baik (kufur)

9. Orang yang Tidak Tahu, Tidak Mengerti, Iman dan Beramal baik (awam)

10. Orang yang Tidak Tahu, Tidak Mengerti, Iman dan Tidak Beramal baik (dholim)

11. Orang yang Tidak Tahu, Tidak Mengerti, Tidak Iman tapi Beramal baik (kufur)

12. Orang yang Tidak Tahu, Tidak Mengerti, Tidak Iman dan Tidak Beramal baik (kufur)

ADA sebuah hadist driwayatkan: “Dari Miqdad bin ‘Amr ; ia pernah bertanya kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru “Aslamtu lillah” – aku Islam kepada Allah – namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi ? - Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya, yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi, bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang.”

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-in, orangorang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS. 22:17)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra. : Bahwa Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat? Rasulullah saw. bersabda: Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama? Para sahabat menjawab: Tidak, wahai Rasulullah. Rasulullah saw. bersabda: Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan? Mereka menjawab: Tidak, wahai Rasulullah. Rasulullah saw. bersabda: Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala. Tinggallah umat ini, termasuk di antaranya yang munafik. Kemudian Allah datang kepada mereka dalam bentuk selain bentuk-Nya yang mereka kenal, seraya berfirman: Akulah Tuhan kalian. Mereka (umat ini) berkata: Kami berlindung kepada Allah darimu. Ini adalah tempat kami, sampai Tuhan kami dating kepada kami. Apabila Tuhan datang, kami tentu mengenal-Nya. Lalu Allah Taala dating kepada mereka dalam bentuk-Nya yang telah mereka kenal. Allah berfirman: Akulah Tuhan kalian. Mereka pun berkata: Engkau Tuhan kami. Mereka mengikuti-Nya.

Dan Allah membentangkan jembatan di atas neraka Jahanam. Aku (Rasulullah saw.) dan umatkulah yang pertama kali melintas. Pada saat itu, yang berbicara hanyalah para rasul. Doa para rasul saat itu adalah: Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah. Di dalam neraka Jahanam terdapat besi berkait seperti duri Sakdan (nama tumbuhan yang berduri besar di setiap sisinya). Pernahkah kalian melihat Sakdan? Para sahabat menjawab: Ya, wahai Rasulullah. Rasulullah saw. melanjutkan: Besi berkait itu seperti duri Sakdan, tetapi hanya Allah yang tahu seberapa besarnya. Besi berkait itu merenggut manusia dengan amal-amal mereka. Di antara mereka ada orang yang beriman, maka tetaplah amalnya. Dan di antara mereka ada yang dapat melintas, hingga selamat. Setelah Allah selesai memberikan keputusan untuk para hamba dan dengan rahmat-Nya Dia ingin mengeluarkan orang-orang di antara ahli neraka yang Dia kehendaki, maka Dia memerintah para malaikat untuk mengeluarkan orang-orang yang tidak pernah menyekutukan Allah. Itulah orang-orang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan rahmat-Nya, yang mengucap: “Laa ilaaha illallah”. Para malaikat mengenali mereka di neraka dengan adanya bekas sujud. Api neraka memakan tubuh anak keturunan Adam, kecuali bekas sujud. Allah melarang neraka memakan bekas sujud. Mereka dikeluarkan dari neraka, dalam keadaan hangus. Lalu mereka disiram dengan air kehidupan, sehingga mereka menjadi tumbuh seperti biji-bijian tumbuh dalam kandungan banjir (lumpur). Kemudian selesailah Allah Ta’ala memberi keputusan di antara para hamba. Tinggal seorang lelaki yang menghadapkan wajahnya ke neraka. Dia adalah ahli surga yang terakhir masuk. Dia berkata: Ya Tuhanku, palingkanlah wajahku dari neraka, anginnya benar-benar menamparku dan nyala apinya membakarku. Dia terus memohon apa yang

dibolehkan kepada Allah. Kemudian Allah Taala berfirman: Mungkin, jika Aku mengabulkan permintaanmu, engkau akan meminta yang lain. Orang itu menjawab: Aku tidak akan minta yang lain kepada-Mu. Maka ia pun berjanji kepada Allah. Lalu Allah memalingkan wajahnya dari neraka. Ketika ia telah menghadap dan melihat surga, ia pun diam tertegun, kemudian berkata: Ya Tuhanku, majukanlah aku ke pintu surga. Allah berkata: Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta kepada-Ku selain apa yang sudah Kuberikan, celaka engkau, hai anak-cucu Adam, ternyata engkau tidak menepati janji. Orang itu berkata: Ya Tuhanku! Dia memohon terus kepada Allah, hingga Allah berfirman kepadanya: Mungkin jika Aku memberimu apa yang engkau pinta, engkau akan meminta yang lain lagi. Orang itu berkata: Tidak, demi Keagungan-Mu. Dan ia berjanji lagi kepada Tuhannya. Lalu Allah mendekatkannya ke pintu surga. Setelah ia berdiri di ambang pintu surga, ternyata pintu surga terbuka lebar baginya, sehingga ia dapat melihat dengan jelas keindahan dan kesenangan yang ada di dalamnya. Dia pun diam tertegun. Kemudian berkata: Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga. Allah Taala berfirman kepadanya: Bukankah engkau telah berjanji tidak akan meminta selain apa yang telah Aku berikan? Celaka engkau, hai anak cucu Adam, betapa engkau tidak dapat menepati janji! Orang itu berkata: Ya Tuhanku, aku tidak ingin menjadi makhluk- Mu yang paling malang. Dia terus memohon kepada Allah, sehingga membuat Allah Taala tertawa (rida). Ketika Allah Taala tertawa Dia berfirman: Masuklah engkau ke surga. Setelah orang itu masuk surga, Allah berfirman kepadanya: Inginkanlah sesuatu! Orang itu meminta kepada Tuhannya, sampai Allah mengingatkannya tentang ini dan itu. Ketika telah habis keinginan-keinginannya, Allah Taala berfirman: Itu semua untukmu, begitu pula yang semisalnya. (Shahih Muslim No.267)

Titik Temu (kalimat Sawa’)

“Katakanlah olehmu (Muhammad): wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan ” selain Allah. “(QS. 3:64)

Budi Munawar Rachman dalam artikelnya yang berjudul Filsafat Perennial dan Masalah Klaim Kebenaran berpendapat; Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim: Agama Islam adalah sebuah agama universal untuk sekalian umat manusia. Landasan prinsip-prinsip tersebut adalah Tunggal, meskipun ada berbagai manifestasi lahiriahnya yang beraneka ragam. Ini juga yang telah menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah Tunggal, karena berpegang kepada Kebenaran Tunggal (Tuhan). Tapi kemudian manusia berselisih paham, justru setelah penjelasan tentang Kebenaran itu datang, dan mereka berusaha memahami Kebenaran itu, setaraf dengan kemampuan atau sesuai dengan keterbatasan mereka. Sehingga di sinilah mulai terjadi perbedaan penafsiran terhadap kebenaran Yang Tunggal itu. Perbedaan itu itu kemudian dipertajam oleh kepentingan pribadi dan kelompok (vested interest).

Kesatuan asal umat manusia itu dilukiskan Alqur’an, “…adalah manusia itu melainkan semvia merupakan umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih.” (QS.10:19)

Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau Tauhid. Tugas para rasul adalah menyampaikan ajaran tentang Tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja (Islam).Dan, justru berdasarkan paham ketauhidan inilah, Alqur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). “Tidak ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa ingkar kepada Thaghut (syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah), dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amatkuat yang tidak akan putus.”(QS. 2:256)

Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada: Bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama. Karena alasan inilah Alqur’an mengajak kepada “titik pertemuan” atau dalam istilah Alqur’annya adalah: kalimatun Sawa’. “Katakanlah olehmu (Muhammad): wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memeperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan ” selain Allah. “(QS. 3:64)

Implikasi dari kalimah sawa’ ini adalah: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik. Pandangan ini akan mendorong umat Islam secara normatif untuk menghargai kemajemukan keagamaan lewat sikap-sikap toleransi, dan keterbukaan seperti dicerminkan dalam konsep tentang siapa yang digolongkan sebagai Ahli Kitab.

Sketsa gambar itu adalah hasil renungan saya yang dapat diartikan sebagai berikut: Islam adalah Dinullah (Agama Allah yg Real) diberikan kepada manusia lewat seluruh

para nabi dan rasul. Islam-lah yg dibawa Adam, Ibrahim, Musa, Nuh, Isa sampai Muhammad. Bukti mudahnya adalah arti kata Islam itu sendiri adalah Islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Kepatuhan dan ketundukkan kepada Allah itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian kepada sesama manusia dan lingkungannya. Silahkan artikan kata Agama yang lain, tidak sedalam dan sejalan dgn substansi ajaran Allah. Jadi, secara substansi (esoteris) Non-Muslim adalah masih mempunyai sifat Islami dan beragama Islam kalau mereka masih sepakat kepada Kalimat Kalimatun Sawa’= kalimat titik temu yaitu IMAN KEPADA ALLAH YANG ESA. ALLAH artinya TUHAN secara Dzat maupun sifatNYA.

dari landasan Qur’an dan Hadist dan Ijtihad di atas Islam mengajarkan dengan pasti bahwa:

1. Muhammad diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang.

2. Keselamatan seseorang di akherat kelak adalah mutlak hak Allah semata.

3. Islam melarang meng”kafir”kan secara sembarangan seseorang (non muslim). Syiar yang Rahmatan lil alamin tidak mengenal slogan pengkafiran yang sembarangan. Jangan sebut mereka (non muslim itu kafir), sebut saja mereka ahli kitab dari Nasrani, Yahudi, Budhis, Hinduis dll.

4. Orang mukmin, yahudi, nasrani, shabiin, majusi dll sebagai seorang manusia mempunyai derajat yang sama di mata Tuhan.

5. Titik temu (kalimat Sawa’) : kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan ” selain Allah.

BAB II Konsep Wahdat al-Adyan;

ANTARA MONO DAN MULTI sebuah renungan nakal

Pandangan beberapa ulama Islam popular yang kontroversial, seperti al-Hallaj, al- Rumi, dan ibn Arabi tentang konsep wahdat al-adyan, yaitu konsep yang menyatakan bahwa pada dasarnya sumber agama adalah satu, yaitu Tuhan yang sama, yang juga menghadirkan polemik kontroversi antara monotheisme dan politheisme paling tidak cukup menarik untuk disimak dan direnungi.

Al-Hallaj pernah mengatakan: “Kufur dan iman hanya berbeda dari segi nama, bukan dari segi hakikat, karena keduanya tidak ada perbedaan.” Oleh karena itu, maka al-Hallaj menyalahkan orang yang menyalahkan agama orang lain (Abd al-Hakim Hasan. 1954: 375). Barang siapa mencaci maki orang dengan mengatakan agamanya batal, maka berarti ia telah menghukumi agamanya sendiri. Lebih ekstrim lagi ia mengatakan: “Ketahuilah bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan sebagainya adalah julukan yang berbeda-beda”. Hal ini tersirat dalam syairnya:

“Aku memikirkan agama-agama dengan sungguh-sungguh. Kemudian sampailah pada kesimpulan bahwa ia mempunyai banyak sekali cabang. Maka jangan sekali-kali mengajak seorang terhadap suatu agama, karena sesungguhnya akan menghalangi untuk sampai pada tujuan yang kokoh. Tetapi ajaklah mereka melihat asal/sumber segala kemuliaan dan makna, maka dia akan memahaminya.” (Abd. al- Hafidz bin Muhammad Madani Hasyim, t.th. : 39).

Demikianlah, konsep wahdat al-adyan yang memandang bahwa sumber agama adalah satu, yakni Tuhan yang sama, memandang bahwa wujud agama hanyalah bungkus lahirnya saja.

Selanjutnya al-Hallaj juga berpendapat: “If the well-Guided was pleased with indirect information how searches the route not

suffice himself whit an indirect race. From the Burning Bush on the side of Sinai What he heard speak from the Bush was not the Bush nor its seed, but Allah. And my role is like this Bush.” (al-Hallaj, 1974 : 28 ).

Pandangan ini merupakan konsekuensi dari kesadaran diri atas “kehadiran” Tuhan di setiap tempat, dalam semua agama. Karena pada dasarnya agama yang dipeluk oleh seseorang secara tidak langsung merupakan “bukan hasil pilihan sendiri” (Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, 1983 : 132). Senada dengan itu John Hock berpendapat bahwa 99% keyakinan agama tergantung kepada tempat di mana seseorang dilahirkan. Seseorang yang lahir di Thailand sangat mungkin beragama Budha, yang lahir di Saudi Arabia sangat mungkin beragama Islam dan sebagainya (John Hick t.th. : 1-2)

Menurut Louis Massignon, faham wahdat al-adyan-nya al-Hallaj ini dilandaskan pada pandangan tauhidnya. Banyak orang sulit memahami pemikiran ini, karena Menurut Louis Massignon, faham wahdat al-adyan-nya al-Hallaj ini dilandaskan pada pandangan tauhidnya. Banyak orang sulit memahami pemikiran ini, karena

“He is Allah the living. Allah is One. Unique, Alone and testifid as One. Both the One and the progession of Unity of the One are in Him and form Him. From Him comes the distance that separates others From His Unity. The knowledge if Tawhid is an autonomous abstract cognizance.” (al-Hallaj, 1974 : 52-53).

Baginya, Tuhan tidak bisa disifati apapun. Pensifatan pada-Nya hanya akan membatasi-Nya (Louis Lassignon, t.th. :.319). Maka konsep Tuhan yang satu harus pula dipahami secara unik, karena Tuhan adalah kesatuan yang mutlak dari keseluruhannya. Menurut al-Hallaj, penyembahan melalui konsep monotheisme, ataupun politheisme, tak masalah bagi Tuhan. Pada dasarnya keduanya hanya berkaitan dengan logika, yakni antara yang satu dan yang banyak. Dari situ juga ditelusuri akan dijumpai kepercayaan- kepercayaan yang apabila ditafsirkan akan mengarah kepada satu Tuhan (Kautsar Azhar Noer, t.th. : 321).

Konsep wahdat al-adyan ini juga dikembangkan oleh Ibn Arabi dengan agama universalnya, yaitu suatu agama yang mistikal dan bukan sekedar theistikal, yakni suatu faham bahwa Tuhan tidak dapat disifati dan dibatasi oleh suatu apapun. Ibnu Arabi mengatakan :

“Sungguh hatiku telah menerima berbagai bentuk. Tempat pengembalaan bagi kijang dan biara bagi pendeta, rumah bagi berhala dan ka'bah bagi yang thawaf, sabak bagi taurat dan cinta… cinta itulah agama dan imanku.” (Ibnu Arabi, 1980: 77-78 ).

Pemikiran Ibn Arabi mengenai wahdat al-adyan ini dapat kita lacak dari pemahaman logikanya mengenai makna yang satu (al-wahid) dan yang banyak (al- katsir), di sini Ibn Arabi memulainya dengan konsep wahdat al-wujud, dasar filosofis dalam memahami Tuhan dalam hubungan-Nya dengan alam. Tuhan tidak bisa dipahami kecuali dengan memadukan dua sifat yang berlawanan padanya. Bahwa wujud hakiki hanyalah satu, yakni Tuhan, Al-Hallaq. Meski wujud-Nya hanya satu, Tuhan menampakkan dirinya [tajjala] dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam. (Kautsar Azhari Noer, 1995 : 74)

Lebih lanjut ia berpendapat, hubungan ontologis antara yang satu dan yang banyak menggunakan penjelasan matematis. Bilangan-bilangan berasal dari yang satu (dari pengulangannya) menurut pengelompokkan yang telah diketahui. Yang satu mewujudkan satu bilangan. Sedang bilangan menyebarkan yang satu. Hukum bilangan hanya ada karena adanya yang dibilang, dihitung. Setiap unit bilangan adalah realitas seperti sembilan dan sepuluh sampai kepada yang terkecil dan yang tertinggi hingga tanpa batas. Tak satupun dari unit itu yang merupakan kumpulan (dari satu-satu) semata, namun pada pihak lain, masing-masing unit merupakan kumpulan satu-satu (Ibnu Arabi, 1980 : 77-78)

Bagi al-Rumi, ia dengan ekstrimnya pernah menyatakan :

“Aku seorang Muslim, tetapi aku juga seorang Nasrani, Brahmanisme, dan Zaratustraisme. Aku pasrah kepada-Mu wahai al-Haqq yang Mulia ... aku hanya mempunyai satu tempat ibadah masjid atau gereja atau rumah berhala. Tujuanku hanya pada Dzat Yang Mulia. (Ahmad Amin, 1993 : xi-xix).

Sisa hidupnya sebagaimana digambarkan oleh anaknya (Sultan Walad) ditandai oleh keintiman mistik untuk mencapai tingkat “manusia sempurna” yaitu seorang dari orang-orang vang mencerminkan sifat-sifat Illahi (Ahmad Amin, 1993 : x1 - xix).

Filsafat al-Rumi diilhami oleh gagasan monistik. Dia mengatakan “Matsnawi” adalah kedai kesatuan (wahdah) : setiap sesuatu yang engkau lihat dari sana selain yang Esa adalah berhala. Mengenai medan pertempuran dalam kehidupan, ia pahami bahwa seluruh pertentangan dan perselisihan itu hanya berperan melaksanakan tugasnya dalam menjaga fungsi keharmonisan alam semesta yang hanya disadari oleh para sufi (Ahmad Amin, 1993 : xi-xix).

Beberapa pernyataan al-Hallaj, ibn-Arabi dan Rumi di atas memang mengandung pengertian yang saling bertolak belakang. Namun kebertolak-belakangannya bukannya tidak mungkin mengandung pengertian hakekat kebenaran. Puncak-puncak pikiran orang-orang unik yang didapat dari hasil pengembaraan pengalaman keagamaannya patut menjadi sebuah harapan hakiki. Paling tidak, dalam merenungi kenyataan diciptakannya perbedaan di muka bumi ini oleh Allah, dapat kita dapati hakekat tujuan dan maknanya.

Perbedaan multikultural adalah rahmat Allah. Di mana dalam perbedaan itu kita diwajibkan saling kenal-mengenal, bukannya saling menghujat dan menyalahkan. Apalagi untuk bermusuhan dan saling membunuh. Setelah kita saling kenal maka kita akan bisa saling mengetahui, memahami dan mengasihi satu sama lainnya tanpa syarat. Hanya keimanan yang terwujud dalam kepatuhan dan kepasrahan serta amalan kita saja yang nanti akan dinilai oleh Allah. Dan Kalimatun Sawa yang mengandung kembalinya segala perbedaan itu ke asalnya yang Hakiki adalah wujud puncak dari kepatuhan atas segala perbedaan yang diharapkan.

Persepsi kebenaran manusia adalah nisbih. Kebenaran adalah hanya Haq Allah. Dan penulis mengakhiri kolom ini dengan pernyataan;

“Kepada orang-orang yang sholeh, baik itu beragama Kristen, Katholik, Islam, Hindu, Budha, Khonghucu, Santho, Yahudi, Kejawen, aliran dinamisme maupun animisme, dll di segenap penjuru bumi dan di dalam ruang waktu kapan pun, smoga mereka mendapat curahan kebahagiaan dan keselamatan Tuhan di hari akhir kelak. Sebab, mereka semua secara tulus telah berusaha beribadah dan menggapai wajah Tuhan dengan mengharap kasih, cinta, dan ridho-Nya. Apakah orang-orang yang begitu tulus dan sholeh tersebut tidak terselamatkan, gara-gara klaim setiap agama yang mengaku bahwa golongan mereka sendirilah yang terselamatkan? Apakah Allah yang katanya Maha Adil dan Maha Kasih akan bertindak demikian, menghukum orang-orang yang sedemikian tulus mengharapkan Kasih dan sayang- Nya?”

Waallahu ‘alam bi shawab. Awan Lembayung

BAB III

Aug 20, '07 3:33 AM NON MUSLIM JUGA BISA MASUK SURGA? for everyone

Siapakah mereka yang Masuk Surga! Selama ini kita umat Islam mengenal kafir sebagai orang yang bukan beragama Islam,

dan seperti diketahui kata kafir berarti suatu cap kalau orang itu bakal dipastikan masuk neraka! Artinya jika seseorang terlahir dari keluarga Islam dan tercetak kata Islam di KTP-nya karcis untuk masuk surga sudah di tangan. Tapi apa benar demikian? Coba lihat ayat ini..

“Sesungguhnya orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan orang-orang Nasrani; barangsiapa yang beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, dan berbuat kebaikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan tidak perlu bersedih hati.” (5:69/2:62)

“Ahli Kitab ada yang baik, mereka mengagungkan wahyu Allah sepanjang malam, mereka ada yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh berbuat baik, dan mereka adalah orang saleh! Apa saja kebaikan mereka maka tidak diingkari pahalanya” (3:113-115)

“Orang-orang yang telah kami beri kitab mereka baca sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman” (2:121)

“Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada umat Islam dan kepada mereka, mereka rendah hati dan tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah!” (3:199)

Melihat dalil diatas berarti dapat juga orang yang berlabel agama non muslim dapat diridhoi atau diberkati oleh Allah. Memang betul ada ayat Qur'an yang mengatakan bahwa Islam diakui sebagai agama yang diridhoi, “Sesungguhnya agama disisi Allah ialah Islam” (3:18)

Saya sebagai muslim meyakini itu...namun Islam disini saya lebih melihatnya sebagai institusi yang diridhoi. Sekarang pertanyaannya kalau begitu apa sudah terjamin sekedar memasuki institusinya saja kita manusia bakal selamat ke surga? coba lihat apa yang dikatakan oleh Allah saat bicara tentang siapa-siapa saja yang masuk surga...

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka Tuhan yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Q.S. Maryam:96)

“Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, bahwasanya mereka itu akan memperoleh surga yang di bawahnya mengalirlah beberapa sungai.” (Q.S. Al-Baqarah:25)

Terlihat dari banyaknya ayat-ayat Qur'an, syarat pertama masuk surga adalah mereka yang disebut ‘beriman’ dan bukan mereka yang berlabel ‘agama Islam’. Syarat kedua adalah beramal saleh atau berbuat kebaikan.

Artinya apa? Dari atas saya bisa menyimpulkan Allah memang memberi sebuah institusi yang diridhoiNya yakni Islam, tapi siapa saja yang bisa masuk surga bukanlah dinilai dari institusinya tapi dari hatinya. Syarat surga adalah kesempurnaan kondisi hati manusia.

Ada orang yang label KTP-nya Islam tapi tetap saja hatinya mengakui tuhan yang lain...dari bentuknya yang memberi sesembahan buat Wali Songo, Nyai Roro Kidul hingga pengagungan nafsunya, yang bisa buat orang berperilaku tidak jauh beda dengan perilakunya Robot Gedek...yaa ini sama saja dengan neraka juga jatuhnya...

Ada umat non muslim tapi dia menyadari keEsaan Allah dengan benar (tidak memperanakannya, tidak berasal dari ibu atau bapak, atau tidak menyamakannya dengan manusia, hewan atau benda). Namun dia bertahan di dalam institusi agamanya, hanya karena tidak ada sesuatu atau seseorangpun yang mampu memperkenalkan dan mengajaknya ke dalam institusi Islam dengan benar, maka akhirnya dia bertahan di agamanya, apalagi ditambah selama di dunia hidupnya diisi penuh dengan tindakan kebaikan....maka orang seperti ini menurut saya tidak akan dirugikan oleh Allah!

Di ayat lain Allahpun mengakui keimanan mereka yang 'non muslim' dan berada dalam institusi agama lain adalah karena dipaksa!

“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah beriman, kecuali mereka yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, namun orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah akan menimpanya!” (16:106)

Kesimpulannya bagi saya adalah bahwa agama Islam bukanlah agama simbol dan ritual. Simbol dan ritual dalam institusi agama Islam adalah alat untuk menyempurnakan hati dan bukan jadi tujuan utamanya. Dengan kata lain, agama Islam adalah agama yang tujuan utamanya mengukir hati manusia menjadi baik dan mulia, bukan mengukir simbol dan ritual menjadi agung! Siapa yang Kafir?

Pertanyaannya sekarang siapakah orang kafir kalau gitu? Penelusuran saya terhadap Qur'an, malah didapat makna kafir yang lain, penjelasan umumnya bukannya ditekankan pada label ‘non islam’ tetapi lebih banyak ditekankan kepada kondisi hati manusia yang sengaja dibuat buruk atau digelapkan terhadap kebenaran!

“Mereka menentang untuk mentaati lalu diresapi ke Hati mereka karena kekafiran” (2:93) “Orang yang dalam Hatinya ada penyakit, maka akan menambah kekafiran yang telah

ada dan mereka akan mati dalam kekafiran!” (9:125) Mereka ini dipertegas lagi oleh Al Qur’an memakai kata ‘kaum penyangkal’, bukan

dengan kata ‘non muslim’! “Perumpamaan orang kafir adalah seperti mengajak bicara orang yang Buta dan Tuli “ (11:24)

“Kaum penyangkal diberi peringatan atau tidak sama saja!” (2:6-7) “Perumpamaan menyeru orang kafir adalah seperti memanggil yang tidak mendengar

selain panggilan dan seruannya saja. Mereka, tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak mengerti” (2:171)

“Sama saja bagi mereka engkau memperingati atau tidak memperingati, mereka tidak beriman juga.” (36:10)

Kalau mau dibuat perumpamaan, kafir mungkin bisa saya artikan dalam kisah berikut...kalo di depan ada jalan rusak berat, lalu kita diperingati...tapi karena hati kita ngotot dan benci sama itu orang yang memperingati, maka saya gak mau dengar apalagi nurut...ya karena itu, saya jalan terus aja, cuek...lalu BRUUKK! yaa jeblos deh...Intinya hati yang kafir menyebabkan kita buta sama kebenaran, menyangkalnya hanya karena kita sombong dan penuh kebencian.

Yang perlu diwaspadai menurut gue adalah bahwa orang yang memakai label agama Islam pun menurut saya bisa kafir! Seperti kesaksian seorang mantan aktivis Negara Islam,

Jihad Terlarang (www.mataharitimoer.blogsome.com). Mereka bicara untuk menegakkan Kalimatullah, menyeru orang untuk masuk berjuang dalam menegakkan negara Islam…tapi ujung- ujungnya kelompok persaudaraan tersebut tidak lebih dari sarana untuk menarik infak

Matahari

Timoer

dalam

bukunya

(baca:pajak!) bagi kepentingan hidup dan eksistensi para elit di organisasi perjuangan tersebut! Orang-orang seperti ini biasa shalat, puasa atau naik haji tetapi mereka biasa menzalimi manusia lain untuk kepentingan dirinya sendiri, membenarkan dan memanipulasi dalil-dalil untuk kepentingan diri sendiri...mereka menutup diri dari nasihat dan pertimbangan orang, gampang menghina dan mengecilkan manusia lain...dan yang mereka ingin dengar adalah apa yang sesuai dengan keyakinan dirinya sendiri..bukankah ini ciri-cirinya orang kafir juga...?

Sumber: http://refleksiman.multiply.com/journal/item/11/NON_MUSLIM_JUGA_BISA_MASU K_SURGA

BAB IV HUKUM ORANG AWAM (bodoh) “TIDAK TAHU” DALAM KEISLAMAN

Kebodohan bukan sifat yang selalu melekat pada manusia dalam tiap kondisinya. Tetapi ada bentuk kebodohan yang melekat pada manusia sebagai akibat dari perbuatannya sendiri yaitu kelalaiannya dalam upaya menghilangkan kebodohan tersebut dengan cara belajar. Oleh karena itu hukum kebodohan dalam masalah agama berubah sesuai dengan perubahan hukum kebodohan yang dapat dimaafkan karena sebab-sebab syariat; pertama, adalah sebab kesulitan untuk melepaskan diri dari kebodohan tersebut. Kedua, adalah tidak adanya kelalaian mukallaf dalam tindakannya yang muncul dari kebodohan yang dimaafkan tersebut. Jadi kebodohan tidak dapat dijadikan alasan kecuali jika ada kesulitan dan kendala untuk menghindarinya jika kesulitan dan kendala itu hilang dan ia dapat mengetahui hukum agama tetapi ia lalai maka kebodohannya tidak dapat dimaafkan.

Syekh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Orang yang meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan bukan berdasarkan keyakinan dan bukan pula karena kebodohan yang dapat dimaafkan, tetapi karena kebodohan dan berpaling dari kewajibannya mencari ilmu dengan kemampuan yang ada pada dirinya atau ia telah mendengar diwajibkannya hal ini dan diharamkannya hal itu dan ia tidak melaksanakannya karena ia berpaling dan bukan karena keingkarannya pada kerasulan. Kedua bentuk penyimpangan ini banyak terjadi karena meninggalkan kewajiban mencari ilmu yang diperintahkan kepadanya hingga ia meninggalkan kewajiban dan melakukan larangan tanpa mengetahui bahwa perbuatan itu telah diwajibkan dan yang lain diharamkan atau kabar telah sampai kepadanya dan ia tidak berusaha mengikutinya karena fanatik terhadap mazhabnya atau karena mengikuti hawa nafsunya maka tindakan ini telah meninggalkan keyakinan yang diwajibkan tanpa alasan syar’i. Ibnu al-Luham mengatakan “Jika kami mengatakan bahwa orang bodoh dapat dimaafkan maka yang kami maksudkan dengan pernyataan ini adalah apabila ia tidak lalai dan tidak meremehkan dalam mempelajari hukum. Sedangkan apabila ia lalai maka ia tidak dimaafkan.” (Syadzarat adz-Dzahab juz 7 h. 31 dan Mu’jam al-Mu’allifin juz 2 h. 510).

Ibnu Qayyim Rahimahullah berbicara tentang orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir yang bertaklid pada pembesar dan pemimpin mereka dalam kekafiran ia mengatakan, “Dalam kondisi ini perlu ada penjelasan yang memadai yang dapat menghilangkan praduga macam-macam yaitu perbedaan antara mukallid (kebodohan) Ibnu Qayyim Rahimahullah berbicara tentang orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir yang bertaklid pada pembesar dan pemimpin mereka dalam kekafiran ia mengatakan, “Dalam kondisi ini perlu ada penjelasan yang memadai yang dapat menghilangkan praduga macam-macam yaitu perbedaan antara mukallid (kebodohan)

Imam Suyuthi Rahimahullah berkata, “Setiap orang yang tidak mengetahui mengenai sesuatu yang telah diharamkan dan diketahui oleh mayoritas masyarakat ia tidak dimaafkan kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang sulit mengetahui hal tersebut.”

Imam al-Muqarri Rahimahullah mengatakan, “Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada para ulama utk menjelaskan hukum-hukum, Maka tidaklah diterima kebodohan seseorang yang memungkinkan baginya untuk mempelajarinya.”

Imam Ibnu Rajab mengatakan, “Jika seseorang yang hidup di negara Islam dalam lingkungan kaum muslimin berbuat zina dan ia mengaku tidak mengetahui bahwa zina telah diharamkan, perkataannya tidak dapat diterima sebab kenyataannya ia telah mendustainya meskipun pada dasarnya ia tidak mengetahui hal itu.” Maksud dari perkataan Ibnu Rajab adalah bahwa hukum zina telah dikenal dan tersiar di negara Islam sehingga meskipun seseorang berbuat zina mengaku dirinya tidak mengetahui hukum zina maka ketidaktahuannya tidak dapat diterima karena kelalaiannya dalam upaya mengetahui hukum-hukum Islam yang merupakan ilmu agama yang sudah semestinya diketahui dan dikenal secara umum. Demikian juga karena kebodohannya tersebut bukan sesuatu yang sulit dihindari sehingga tidak dapat dijadikan alasan bagi orang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang telah diharamkan yang merupakan hukum agama yang sudah seharusnya diketahui dan telah dikenal secara umum kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh dari perkembangan ilmu sehingga hukum-hukum seperti ini kurang jelas baginya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan ini adalah bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf dengan melihat tidak adanya kesulitan untuk melepaskan diri darinya menurut kebiasaan mengingat tidak adanya sebab-sebab kesulitan tersebut juga dengan melihat kemungkinan mukallaf untuk memperoleh ilmu.. maka kebodohan Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan ini adalah bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf dengan melihat tidak adanya kesulitan untuk melepaskan diri darinya menurut kebiasaan mengingat tidak adanya sebab-sebab kesulitan tersebut juga dengan melihat kemungkinan mukallaf untuk memperoleh ilmu.. maka kebodohan

Sumber Al-Jahl bi Masail al-I’tiqad wa Hukmuhu Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma’asy Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia sumber file al_islam.chm

BAB V BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG HUKUM KEYAKINAN DALAM ISLAM

Semua penjelasan yang dibutuhkan manusia untuk mengetahui, meyakini dan mempercayai masalah-masalah tauhid kenabian dan hari akhir, masalah halal dan haram telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Karena masalah-masalah tersebut merupakan masalah-masalah yang paling penting yang harus disampaikan oleh Rasulullah saw dengan jelas dan beliau telah menjelaskannya. Hal itu juga merupakan hujjah terbesar yang ditegakkan Allah bagi hamba-hamba-Nya melalui Rasul-Nya yang menyampaikan dan menjelaskannya kepada mereka. Kitab Allah yang diriwayatkan para sahabat dan tabi’in dari Rasulullah saw baik lafal maupun maknanya dan hikmah yang merupakan sunnah Rasulullah saw yang juga diriwayatkan dari nabi telah mencakup semua persoalan di atas. Dengan demikian jelaslah bahwa syar’i dalam hal ini adalah Rasulullah saw telah menjelaskan semua hal yang dapat menjaga manusia dari berbagai kerusakan dan tidak ada yang lebih merusak manusia selain kekafiran dan kemaksiatan. Rasul telah memberikan penjelasan tersebut yang menggugurkan alasan untuk tidak mempercayai nya. Allah SWT berfirman:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberikan petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang mereka harus jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” .

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan utk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”

“selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

“Katakanlah ‘Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya niscaya kamu mendapatkan petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan .”

Abu Dzarr berkata “Rasulullah saw telah wafat dan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya dan tidak menyampaikan ilmu kepada kita.” Di dalam shahih Muslim dikatakan, “Sebagian orang-orang musyrik berkata kepada Salman, “Nabi kamu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu hingga persoalan buang air.” Salman Abu Dzarr berkata “Rasulullah saw telah wafat dan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya dan tidak menyampaikan ilmu kepada kita.” Di dalam shahih Muslim dikatakan, “Sebagian orang-orang musyrik berkata kepada Salman, “Nabi kamu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu hingga persoalan buang air.” Salman

Imam as-Syafi’i mengatakan, “Ilmu itu terdiri dari dua macam; pertama ilmu umum yaitu ilmu yang pasti diketahui oleh seorang yang sudah baligh yang tidak hilang akalnya .. seperti salat lima waktu, kewajiban puasa Ramadhan, haji bagi orang yang mampu, zakat harta, diharamkannya zina, pembunuhan, pencurian dan khamr serta persoalan-persoalan lain yang masuk dalam pengertian ini yang telah diperintahkan kepada hamba-hamba Allah untuk mengetahuinya dan mengamalkannya, mentaatinya dengan jiwanya dan hartanya dan mencegah dari hal-hal yang telah diharamkan bagi mereka.” “Bentuk pengetahuan ini secara keseluruhan terdapat dalam kitab Allah dan diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin. Orang-orang awam sekarang mengetahuinya dari orang-orang terdahulu, mereka meriwayatkan dari Rasulullah saw dan tidak ada pertentangan dalam cerita mereka dan tidak pula dalam hal kewajiban yang diperintahkan kepada mereka. Ilmu umum ini merupakan ilmu yang tidak mungkin salah dalam pemberitaannya dengan penafsirannya dan tidak boleh bertentangan dalam kasus ini..”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, “Secara umum Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan masalah halal dan haram tanpa menjelaskan keduanya. Akan tetapi sebagiannya lebih jelas dari sebagian yang lain. Maka masalah yang keterangannya telah jelas terkenal di kalangan masyarakat dan diketahui secara umum sebagai ajaran agama sesuai kebutuhan tidak ada keraguan di dalamnya sehingga tidak ada pula alasan bagi siapapun yang hidup di negeri Islam untuk tidak mengetahuinya.” Oleh karena itu ketika para ulama ushul memperbincangkan masalah ‘kebodohan’ yang dapat dijadikan alasan dan yang tidak, mereka mengatakan bahwa kebodohan akan Pencipta Yang Maha Tinggi dan kenabian Muhammad saw merupakan kebodohan yang bathil yang tidak dapat dijadikan alasan berpaling dari Islam. Ketentuan-ketentuan syariat yang tidak mungkin menjadikan kebodohan terhadapnya dipandang sebagai alasan untuk mengingkarinya secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian.

Pertama , kebodohan dalam masalah pokok-pokok agama dan masalah-masalah akidah yang global seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah SWT dan sifat- sifat kesempunaan-Nya serta kenabian Muhammad saw. Kedua , masalah agama yang secara niscaya diketahui, diikuti selanjutnya seluruh hukum syari’at yang telah diketahui dan tersebar di negara-negara Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, haramnya zina, pembunuhan, khamr dan pencurian. Beberapa pejelasan mengenai masalah ini

1. Tidak ada alasan bagi kebodohan dalam pengakuan keislaman secara global dan kebebasan yang umum dari tiap agama yang ditentangnya. Maka tiap orang yang tidak memeluk agama Islam adalah kafir baik sebagai pengingkaran maupun kebodohan. Ibnu Qayyim ra menjelaskan “Islam adalah agama tauhid Allah, ibadah hanya kepada-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti ajarannya. Maka seorang hamba yang tidak melaksanakan hal itu bukanlah muslim jika ia bukan kafir karena ingkar maka ia adalah kafir karena kebodohannya .” Tingkat tertinggi dari golongan ini adalah orang-orang kafir yang bodoh yang tidak ingkar tetapi tidak adanya pengingkaran dari mereka tidak lantas mengeluarkan mereka dari kekafiran. Sebab orang yang kafir adalah orang yang 1. Tidak ada alasan bagi kebodohan dalam pengakuan keislaman secara global dan kebebasan yang umum dari tiap agama yang ditentangnya. Maka tiap orang yang tidak memeluk agama Islam adalah kafir baik sebagai pengingkaran maupun kebodohan. Ibnu Qayyim ra menjelaskan “Islam adalah agama tauhid Allah, ibadah hanya kepada-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti ajarannya. Maka seorang hamba yang tidak melaksanakan hal itu bukanlah muslim jika ia bukan kafir karena ingkar maka ia adalah kafir karena kebodohannya .” Tingkat tertinggi dari golongan ini adalah orang-orang kafir yang bodoh yang tidak ingkar tetapi tidak adanya pengingkaran dari mereka tidak lantas mengeluarkan mereka dari kekafiran. Sebab orang yang kafir adalah orang yang